KODE-4

Tuesday, June 26, 2007

Teater Sumatra Barat:



Mayat Hidup yang Ditangisi

OLEH Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)

Keinginan melihat pertunjukan teater di Sumatra Barat yang berbobot, agaknya harus dipupus. Sejak tahun 2000-2007 pertunjukan teater di Sumatra Barat jumlahnya mungkin mencapai ratusan, dan sebanyak itu pula repertoar yang sudah diangkat ke atas pentas. Tapi, nyatanya, kuantitas pertunjukan tidak menjamin kualitas pertunjukan. Problem utamanya tak jauh dari seputaran: berkesenian (berteater) dilakukan karena adanya iven atau memenuhi undangan atau dalam rangka. Artinya pula, teater di Sumatra Barat telah kehilangan substansi dan hakekatnya. Maka, jika menyebut konstelasi dan peta perteateran mutakhir di Indonesia, jangan berharap banyak Sumatra Barat menjadi salah satu simpul. Teater di Sumatra Barat tidak dianggap penting dalam kancah dan arah perkembangan teater di Indonesia. Pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang ini, tak lebih sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri: narsisisme. Malah, minus referensi perkembangan teater mutakhir. Mereka ini kurang membaca.

Sebelum era itu, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang. Pijakan tradisi randai dan juga teks-teks kaba melahirkan sebuah "tradisi baru" dalam teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat. Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an dan 80-90-an adalah sebagai representasi praktik-praktik pemaknaan yang bermaian dalam aktivitas-aktivitas penciptaan makna. Produksi dan pertukaran tanda yang bernilai yang menghasilkan makna dan pemahaman baru tentang teater. Proses urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan ke kultur teks visual panggung berlangsung secara ketat. Tema-tema dan konsep penyutradaraan kerap dibasiskan pada tradisi lokal.

Sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra Barat itu pula, kontribusi yang paling berarti bagi jagad teater di Indonesia dapat dikatakan cukup signifikans. Saat itu, kehidupan teater di Sumatra, tampaknya cerita dengan basis kultural Minang menjadi primadona. Naskah-naskah yang berbasis tradisi dan kultur Minangkabau dirayakan dengan sangat semarak. Era tahun 70-80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.

Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa. Tahun 90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditenggarai bahwa para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90-an terjadi “kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di Sumatra Barat. Beberapa iven pertemuan teater dari berskala lokal hingga regional pernah dilangsungkan di daerah ini.

Festival teater yang pernah digelar di Sumatra Barat semenjak tahun 70-an hingga 2007 (dan ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus) sudah sering dilaksanakan. Tujuan utama festival mengakomodasi kelompok-kelompok teater yang ada di Sumatra Barat dan juga menawarkan tontonan alternatif bagi publik. Namun kondisi kehidupan teater di Sumatra Barat tidak juga sehat. Belum lagi jika dihitung iven-iven yang digelar lembaga-lembaga kesenian, perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang terkait dengan kehadiran teater, juga tak terhitung jumlahnya.

Sebagian pemerhati teater menyebutkan, puncak pertumbuhan seni teater di Sumatra Barat berlangsung pada era 1980-an sampai awal tahun 1990-an. Fakta demikian memang dapat dibuktikan dari jumlah peserta dalam Festival Teater Sumatra Barat yang dilaksanakan tahun 1980 dan 1985 yang masing-masing berjumlah 13 kelompok teater. Dan jika ditilik dari asal kelompok teater yang ikut festival, tampak merata dari berbagai daerah di Sumatra Barat—semenjak dari Maninjau, Pelembayan di Agam, Pariaman sampai ke Payakumbuh. Dari gambaran peserta ini, pertumbuhan teater pada saat itu tidak terpusat di Padang saja.

Kini, Festival Teater Sumatra Barat akan digelar. Jika tak ada aral melintang, bulan Agustus 2007 sebuah peristiwa teater yang bertendensi festival akan memunculkan “puncak-puncak” dari sebagian elemen teater: kelompok teater terbaik, aktor dan aktris, sutradara, artisitik, dan musik. Namun, sepanjang informasi yangt didapat, belum jelas benar apa tema besar Festival Teater Sumatra Barat 2007 ini. Jika tak ada tema, katakanlah tema itu untuk meletakkan frame sebuah festival, tentu dapat menyulitkan arah dan tujuan penilaian festival ini, juga tak menutup kemungkinan peserta festival juga akan kehilangan arah.

***

Teater di Indonesia lahir dari urbanisasi. Perpindahan yang terus berlangsung tak pernah henti. Perpindahan dalam bentuk apa saja. Maka dengan demikian, dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam urban-urban yang menyuarakan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal. Proses urbanisasi itu yang kemudian membentuk kata-kata, sakigus ideologi. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.

Seperti menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.

Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Ada penonton yang menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang berbeda pula. Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.

Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen. Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.

Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater. Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”

Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.

Dari sekian banyak perjalanan kehidupan kesenian di Indonesia, utamanya teater, memang tidak bisa tidak, belenggu utama yang mengikat teater menjadi terpuruk adalah biaya produksi, selain tentu saja kemampuan intelektual pegiat teater itu sendiri. Kini, di Sumatra Barat, seperti sudah disebut di atas bahwa teater di daerah ini mengalami masa kelam dan berada pada titik nadir yang mencemaskan.

Memang, kondisi demikian terasa sangat ironis ketika kondisi zaman telah sangat maju, canggih, akses informasi yang demikian mudah, dan membina jejaring dengan komunitas sejenis tidak lagi sulit (karena teknologi informasi membuka peluang untuk itu). Selain itu pula, tantangan hidup kesenian itu sendiri pada saat sekarang sangat besar dan beragam, misal, begitu terbuka berbagai kemungkinan untuk berhadapan dengan penonton (publik), tantangan yang berada dalam lingkaran seniman itu sendiri: kerusakan lingkungan hidup yang demikian parahnya, ekologis, ketidakadilan sosial, politik yang banal, kemisklinan, dan konflik antaretnis, serta kebohongan yang kerap dilakukan para politisi. Kondisi-kondisi demikian itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi dalam era-era pertumbuhan teater sebelumnya, walau beberapa pola dan substansinya sama.

Teater, tentu saja dalam berbagai perspektif dan elemennya, akan tampak menyibak dengan lembut kemungkinan-kemungkinan kontemplatif deari semua persoalan manusia itu. Namun demikian, sayang sekali, pegiat teater di Sumatra Barat tak mampu membaca soal itu dan mereka kurang merenung, tampaknya. ***

Monday, June 25, 2007

Pentas Teater Nyai Ontosoroh

Kisah perlawanan perempuan bernama Sanikem. Zaman kolonial Belanda gadis-gadis dijual, diserahkan kepada pembesar-pembesar Belanda dijadikan gundik, atau Nyai. Jaman penjajahan Jepang perempuan dijual dan dipaksa dijadikan Jugun Ianfu. Zaman sekarang perempuan-perempuan dijual oleh keluarga, olehnegara, dijadikan TKW, menjadi budak rumah tangga, kadang dipaksa atau ditipu dijadikan pekerja seks demi devisa, jadi pahlawan sehari, kemudian dilupakan. Sudah waktunya perempuan harus melawan, melawan sehormat-hormatnya. Pengarang tersohor Indonesia , Pramoedya Ananta Toer mengajarkan tentang perlawanan perempuan dan pembentukan karakter, dalam novelnya yang paling popular Bumi Manusia. Tahun ini untuk pertama kalinya sosok perempuan pelawan, gundik dan perempuan terpelajar sekaligus, Nyai Ontosoroh, muncul di atas panggung.

Adaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. .."

Naskah : Faiza Mardzoeki, Sutradara : Wawan Sofwan
Tempat Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki,Jakarta (12, 13, 14 Agustus 2007)

AKTOR Salma, Rudi Wowor Restu Sinaga, Ayu Diah Pasha, Madina Wowor, Temmy, Sita"RSD" Nursanti, William Bivers, M Hendrayanto, Teuku Rifnu Wikana,Nuansa Ayu, Felencia Hutabarat, Antony Ayes, Temmy H, Rusman, Joint,Bowo GP, Syaeful Amri-Ari-, Rusman, Pipien Putri, Rebecca Henscke

  • TIM ARTISTIK
    Direktur Artistik : Dolorosa Sinaga
    Co Penata Artistik: Gallis A.S
    Penata Musik : Fahmi Alatas
    Penata Busana : Merdi Sihombing,
    Penata Lampu : Aziz Dying & Sari
    Sound Engineer : Mogan Pasaribu
    Koreografer: Pipien Putri
    Ticket:
    VIP Rp 100.000,00
    Wings Rp 75.000,00
    Balkon Rp 30.000,00

    Nonton Hemat khusus Mahasiswa dan pelajar pada pertunjukan Hari Senin
    13 Agustus 2007) mendapat diskon 20%, dengan menunjukan kartu mahasiswa/ pelajar
  • Tiket dibeli pada bulan Awal Juli 2007
  • Namun, untuk lebih aman dan pasti anda mendapatkan ticket, bisa menghubungi sekarang juga untuk booking ke : Miranda Putri di: 021-70764004 dan 081808701099 atau ke Sekretariat: Jl. Tebet Barat Dalam II D NO. 21, Jakarta, Indonesia 12810 Telp/fax : (62-21) 8302028. Atau kontak ke: Dewi Djaja 08159787838, 021-68592885 dan Efriza di 08155006450 Email: nyaiontosorohtheatr e@yahoo.co. id, Multiply : http://nyaiontosorohtheatre.multiply.com

Sunday, June 24, 2007

Etnisitas Minangkabau dalam Film Dog's Life


OLEH SAHRUL N
Saya pernah mendapat beberapa pertanyaan dari orang di luar etnis Minangkabau, seperti, “Kenapa orang Minang suka berburu babi?”, “Kenapa orang Minang suka pada anjing, padahal orang Minang itu Islam?”, “Kenapa babi harus dibunuh, padahal ia hanya hidup di hutan?”, dan pertanyaan lain yang sejenis dengan itu. Waktu itu saya menjawabnya dengan logika-logika seadanya yang tentu saja tidak akan memuaskan penanya tersebut.

Dzikrullah: Spirit Islam dalam Musik Elizar Koto


OLEH SAHRUL N, dosen STSI Padangpanjang
Bahasa membicarakan manusia dan manusia membicarakan bahasa. Maksudnya, karena bahasa di dunia ini banyak dan khas serta berbeda-beda, maka bahasa menjadi tanda dan gejala terpenting dalam kehidupan, gejala utama dalam dinamika manusia, dan akar terpokok dalam ilmu pengetahuan. Musik merupakan salah satu media bahasa manusia, saat ini mulai menggeser subjek masalah sebelumnya yaitu alam (kosmosentris), agama (teosentris), dan manusia (antroposentris). Ketiga unsur ini menjadi menyatu dalam bahasa musik yang akan dihadirkan Elizar Koto (sang komposer) pada Minggu tanggal 4 Mei 2003 di sebuah desa yang bernama Pitalah Bungo Tanjung Padangpanjang.

Perjumpaan Dua Etnis Pedagang


OLEH NELTI ANGGRAINI
DATA BUKU
Judul: Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat
Penulis: Erniwati
Halaman: xvi + 175 halaman

Penerbit: Penerbit Ombak

Cetakan: Pertama, Januari 2007
Tionghoa—salah satu etnis yang identik punya naluri bisnis yang kuat—berjumpa dengan etnis Minang dengan etos dagang yang tak kalah pekat, apa jadinya? Sejarawan Universitas Negeri Padang juga kandidat doktor Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang cukup intens dan fokus melakukan kajian tentang etnis Tionghoa, Erniwati, mencoba memotret keberadaan dan perkembangan komunitas Tionghoa di Ranah Minang, dan bagaimana mereka berinteraksi dan membaur dengan penduduk pribumi Minangkabau. Dalam kajian dan pendekatan historis, ia memaparkanya dalam buku Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatra Barat.

Thursday, June 21, 2007

Waktu Batu: Tradisi Teater Rangkap Tiga


Pementasan Teater Garasi Yogyakarta
OLEH SAHRUL N
Bicara tentang identitas teater Indonesia hari ini, maka kita akan bicara tentang tiga tradisi teater, yaitu tradisi Timur, tradisi Barat, dan tradisi Timur Barat. Masing-masing tradisi teater ini memiliki bentuk dan konsep sendiri dalam menyampaikan gagasan di panggung pertunjukan. Tradisi Timur dan tradisi Barat memiliki pakem yang jelas dan terstruktur dengan baik serta memiliki penonton yang jelas. Sementara tradisi Timur Barat bisa diolah dalam bentuk eksperimentasi-eksperimentasi, sehingga daya ungkapnya lebih universal. Akan tetapi bagi Teater Garasi Yogyakarta yang melakukan pementasan di STSI Padangpanjang pada tanggal 31 Maret 2003 dengan judul “Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah?)” mencoba menghilangkan dikotomi Barat dan Timur dan identitas hanyalah proses untuk menuju pada ketegangan kreativitas. Semua bentuk adalah tradisi. Masa lalu, masa kini, masa datang adalah tradisi dan Waktu Batu adalah tradisi rangkap tiga.

Wednesday, June 20, 2007

Dito Natura dan Wakidi


OLEH BUDIMAN
Pameran seni lukis yang berlangsung di Hotel Bumiminang Padang tanggal 14 – 31 Desember ini oleh kelompok Dito Natura adalah semacam bentuk kristalisasi mengenang 116 tahun sang maestro Wakidi. Karena orang-orang kelompok Dito Natura ; Ar. Nizar, Firman Ismail, Jhaya, Idran Wakidi, Yose Rizal dan Yazid mereka semua merupakan murid-murid Wakidi yang telah banyak belajar perihal melukis dan perjalanan sang guru sendiri sebagai pelukis. Jadi pameran ini merupakan akumulasi rasa kecintaan yang tinggi dan mendalam mereka semua terhadap Wakidi yang dianggap telah berjasa besar tidak saja pada muridnya tapi juga pada perjalanan seni lukis di Sumatera Barat.

Komunitas SAGA : Solusi Atasi Krisis Penulis Seni Rupa


OLEH BUDIMAN
Komunitas Saga merupakan komunitas yang terbentuk dari kegiatan workshop kritik seni rupa yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sumbar pada tanggal 11-13 Februari 2007 yang lalu di FBSS UNP Padang. Komunitas Saga berdiri dimaksudkan untuk mewadahi para penulis/kritikus seni rupa yang bergerak di daerah Sumbar. Komunitas ini diketuai oleh Syofyan Ali Munir (Parsenibud), wakil ketua Minda Sari (guru SMKN 7 Padang), Sekretaris : Budiman (penulis) dan bendahara : Abdita (guru SKKN 4 Padang) dengan jumlah anggotanya sebanyak 30 orang yang terdiri dari berbagai kalangan seperti dosen seni rupa, penulis seni, guru seni rupa, dll. Komunitas Saga bersekretariat di Jurusan Seni Rupa FBSS UNP Padang.

Monday, June 18, 2007

Kumpulan Cerpen "Merantau"

Kompas, Senin, 18 Juni 2007


Sebuah Budaya Tradisi Merantau

OLEH FADLILLAH MALIN SUTAN KAYO

Membaca kumpulan cerpen Perantau karya Gus tf Sakai (2007), mengingatkan kembali akan disertasi Mochtar Naim (1979) yang monumental. Jika orang ingin membaca tentang merantau, maka ada tiga buku yang agaknya wajib dibaca, yaitu pertama buku Mochtar Naim, kedua buku Tsuyoshi K (1989), dan yang ketiga adalah karya Gus tf Sakai.(Lengkapnya...)

Pesona Iyut Fitra Dalam Musikalisasi Puisi


OLEH BUDIMAN
Siapa yang tidak kenal dengan namanya Iyut Fitra, seorang sastrawan muda asal Payakumbuh yang malang melintang dalam dunia sastra (puisi, cerpen, dll) di kancah seni Indonesia. Karya-karya Iyut Fitra telah banyak dipublikasikan di berbagai media massa Nasional (Kompas, Media Indonesia, Horizon, dll) maupun lokal dan bahkan diantaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku (Musim Retak). Dilihat dari usahanya dalam berkarya dan beraktivitas membesarkan dirinya dan daerah kelahirannya Payakumbuh, pantas kita acungi jempol.

STATEMENT AJI

TOLAK REVISI UU PERS, PERJUANGKAN KEBEBASAN PERS

Belum genap satu dasawarsa masyarakat Indonesia menikmati kebebasan pers telah muncul ancaman baru dengan beredarnya DRAFT Revisi Undang Undang Pers Nomor 40/1999 versi Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Dalam konsiderans awal Revisi UU Pers Nomor 40 versi Kominfo ini, disebutkan "pers punya tanggung jawab membantu pemerintah melaksanakan program-program pembangunan, menjalankan fungsi pemerintahan dll

Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap sbb:

  1. MENOLAK KONSEP Undang-Undang Pers Nomor 40 versi Kominfo yang secara gamblang bertendensi memutarbalikkan esensi kebebasan pers yang telah dijamin Konstitusi, menyerimpung fungsi sosial-politik pers, dan mendudukkan pers sebagai subordinat/alat kekuasaan pemerintah. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meyakini kebebasan pers dan kebebasan publik untuk mendapatkan informasi merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Kebebasan pers, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi, menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan, wajib dilindungi oleh negara dan masyarakat.
  2. MENOLAK upaya pihak-pihak yang hendak mengembalikan Indonesia ke zaman kegelapan informasi, penyeragaman informasi, dan pengendalian pers oleh aparat birokrasi sipl dan militer seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. AJI berpendapat upaya merevisi UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dewasa ini merupakan upaya Negara mengembalikan fungsi Departemen Penerangan (Deppen) sebagai lembaga sensor pemberitaan dan informasi publik dan lembaga pengatur organisasi pers. Dalam sistem demokrasi, pers yang independen dan profesional merupakan pilar keempat setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers berfungsi mengontrol jalannya kekuasaan negara, bukan sebaliknya.
  3. REVISI UU PERS bukanlah hal penting (urgen) pada saat negara
    menghadapi berbagai masalah yang lebih mendasar, seperti kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Masih banyak Rancangan Undang Undang lain seperti RUU Kebebasan Mencari Informasi Publik (KMIP)
    atau revisi Kitab Undang Acara Pidana (KUHP) yang lebih patut didahulukan. Alasan bahwa UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 belum lengkap atau terlalu liberal, tidak bisa dijadikan alasan pembenar revisi. Sebaliknya, AJI akan memperjuangkan UU Pers Nomor 40 Tahu 1999 sebagai Lex Spesialis dan melengkapinya dengan aturan pendukung UU Pers yang diperlukan.
  4. ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) mengajak seluruh komunitas pers dan masyarakat luas untuk bersama-sama menjaga kebebasan pers dan hak informasi publik dari campur tangan negara dan upaya pengaturan yang berlebihan oleh
    aparatur negara dan kaum birokrat.

Jakarta, 16 Juni 2007

Aliansi Jurnalis Independen

1. Heru Hendratmoko – Jakarta
2. Abdul Manan – Jakarta
3. Muhammad Hamzah – Banda Aceh
4. Ayi Jufridar – Lhokseumawe
5. Dedy Ardiansyah – Medan
6. Hasan Basril – Pekanbaru
7. Juwendra Asdiansyah – Lampung
8. Jajang Jamaludin - Jakarta
9. Margiyono – Jakarta
10. Mulyani Hasan – Bandung
11. Tarlen – Bandung
12. Bambang Muryanto - Yogyakarta
13. Dwidjo Utomo Maksum – Kediri
14. Abdi Purnomo – Malang
15. Mahbub Djunaidi – Jember
16. Sunudyantoro – Surabaya
17. Hamluddin – Surabaya
18. Rofiqddin – Semarang
19. Adi Nugroho – Semarang
20. Komang Erviani – Denpasar
21. Mursalin – Pontianak
22. Veraneldy – Padang
23. Fadli – Makassar
24. Cunding Levi – Jayapura
25. Rahmat Zena – Makassar
26. Amran Amier – Palu
27. Bambang Soed – Medan
28. Ruslan Sangadji – Palu
29. M. Nasir Idris – Kendari
30. M. Faried Cahyono – Jakarta
31. Andy Budiman – Jakarta
32. Luviana – Jakarta
33. Suwarjono
34. Nugroho Dewanto
35. AA Sudirman

Sunday, June 17, 2007

Maestro-maestro Seni Sumbar

OLEH BUDIMAN
Apa yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat dengan mengukuhkan beberapa orang seniman sebagai maestro-maestro seni Sumbar adalah langkah yang sangat tepat sekali. Pengukuhan sebagai maestro yang ditandai dengan pembuatan film dokumenter masing-masing dari mereka dapat dikatakan sebagai sebuah simbol. Maestro-maestro seni yang dikukuhkan adalah Arby Samah (Maestro Patung), Wakidi (Maestro Seni Rupa), Sawir Sutan Mudo (Maestro Seni Dendang Tradisi Minang), Yusaf Rahman (Maestro Musik Minang) dan Rusli Marzuki Saria (Maestro Sastra).

Saturday, June 16, 2007

Koreografer Rasmida "Menghidupkan" Hoerijah Adam

OLEH SAHRUL, dosen di STSI PADANGPANJANG
Akan selalu ada peristiwa-peristiwa kembali ke cahaya, ketika seseorang merasakan zaman keemasan dari kemenangan dan sekali lagi berdiri tegak dan tak tergoyahkan, siap untuk menghadapi bahkan hal-hal yang paling keraspun, seperti sebuah busur meregang melawan bahaya-bahaya baru. Tapi, Anda adalah dewa yang tak bertuan. (Nietzsche dalam Genealogi Moral, hal: 46)
Tulisan Nietzsche di atas memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Hoerijah Adam semasa hidupnya. Sebagai seorang pelopor kesenian tari Minangkabau, Hoerijah Adam telah menorehkan tinta emas dan menuju pada kemenangan kreativitas. Sosoknya berdiri tegak dan tak tergoyahkan, seperti tugu estetis dalam jiwa seniman-seniman muda saat ini. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya ada hal-hal yang membuat dirinya menderita, seperti kehancuran rumah tangga sampai pada peristiwa tragis kematiannya. Begitu itu saja, Hoerijah Adam pun harus berhadapan dengan adat Minangkabau yang keras. Sosok perempuan di Minangkabau --mungkin juga pada etnis lain-- adalah sosok yang menjadi nomor dua. Perempuan adalah ibu rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Sementara untuk dunia yang lebih luas laki-laki merasa lebih berkuasa. Dari fenomena ini, Hoerijah Adam menyongsong derasnya angin kebiasaan. Dia menantang dunia yang dikuasai laki-laki dan dia menang dalam perjuangannya. Kesendirian dalam kemenangan Hoerijah Adam sama halnya dengan apa yang dikatakan Nietzsche bahwa “Anda adalah dewa --mungkin untuk Hoerijah Adam bisa disebut dewi-- yang tak bertuan”.

Thursday, June 14, 2007

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival)

17 – 26 Juni 2007
Menyambut HUT Kota Pariaman ke 5

Kerjasama Masyarakat Nagari Marunggi dengan dukungan Pemda Kota Pariaman dan Aliansi Indonesia Festival (ALIF)

A. LATAR BELAKANG

Tradisi budaya dalam masyarakat Minangkabau, baik di daerah pedalaman maupun di pesisiran, umumnya ditopang oleh tradisi sosial yang berakar kuat di dalam masyarakat pendukungnya. Dapat dikatakan tradisi budaya, termasuk tradisi kesenian merupakan bagian yang integral dari suatu masyarakat, terutama yang hidup di daerah pedesaan atau nagari.

Menurut para ahli, seni tradisi merupakan wadah pengikat solidaritas sosial dan penyampai nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat pendukungnya, di samping menjadi media hiburan. Dengan demikian fungsi seni tradisi dalam masyarakat begitu penting, dan patut untuk diberikan perhatian oleh semua pihak.

Kota Pariaman sebagai Kota Pantai, yang terletak di pantai barat Sumatera, merupakan suatu wilayah budaya yang memiliki berbagai budaya dan seni tradisi yang unik. Dari daerah ini tumbuh tradisi kesenian seperti Ulu Ambek, Indang, Gandang Tambua, yang menjadi identitas budaya Pariaman.

Berbagai seni tradisi tersebut biasanya ditampilkan dalam acara Alek Nagari, yang merupakan sebuah institusi budaya yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Alek Nagari atau dapat juga disebut dengan Festival Rakyat (Folk Festival), merupakan simpul untuk masyarakat nagari (anak nagari) untuk menjalin silaturahmi budaya secara partisipatif dan berkelanjutan. Dalam konteks kebudayaan Minangkabau Alek Nagari, selain berfungsi sebagai jembatan silaturahmi, sekaligus juga berperan sebagai ruang ekspresi untuk mempertahankan dan mengembangkan spirit budaya yang mereka miliki.

Dengan alasan ini pulalah, Alek Nagari Marunggi kembali dirancang dan direvitalisasi, sebagai bagian dari upaya menghidupkan semangat dan tradisi budaya yang ada di Kota Pariaman.

B. TUJUAN

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival) secara umum bertujuan untuk:

  1. Menampilkan berbagai keunikan budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Kota Pariaman, sebagai bagian yang penting dari budaya Indonesia.
  2. Merevitalisasi kelembagaan budaya “Alek Nagari” yang pernah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Nagari Marunggi kususnya dan Kota Pariaman umumnya.
  3. Mengembangkan seni tradisi sebagai media pendidikan budaya dari berbagai generasi yang hidup di dalam masyarakat Pariaman, baik yang tinggal di kampung maupun di rantau.
  4. Mengembangkan jaringan budaya antar masyarakat nagari (anak nagari) di Kota Pariaman.
  5. Mendukung program Pemda Kota Pariaman dalam menggerakkan pariwisata budaya berbasiskan masyarakat.

C. PROGRAM

Kegiatan yang akan ditampilkan selama Alek Nagari Marunggi ini akan mempertunjukan berbagai kesenian anak nagari yang hidup di Kota Pariaman, antara lain:

  1. Pertunjukan silat tradisional khas Pariaman Ulu Ambek
  2. Pertunjukan Seni Bernuansa Islam, Baindang
  3. Pertunjukan musik tradisional Pariaman, Gandang Tambua
  4. Pertunjukan Silat antar perguruan Silat
  5. Pertunjukan sastra tutur Minangkabau Pasambahan
  6. Pertunjukan tradisi penyambutan Silat Galombang

D. JADWAL DAN TEMPAT

Alek Nagari Marunggi (Pariaman Folk Festival) dilaksanakan antara 17 Juni – 26 Juni 2007, bertempat di Desa Marunggi Kenagarian Sunua Kurai Taji, Kecamatan Pariaman Selatan. Kegiatan pertunjukan dilaksanakan siang malam sesuai dengan tradisi Alek Nagari yang tumbuh dan berkembang di Pariaman.

E. PESERTA

Peserta Alek Nagari Marunggi ini adalah berasal dari Nagari-nagari yang ada di Kota Pariaman, yang merupakan perwakilan komunitas budaya dari setiap nagari tersebut. Komunitas budaya (seni) yang terlibat dalam Alek Nagari Marunggi ini antara lain kelompok Silat Ulu Ambek, Kelompok Indang, Kelompok Silat, Kelompok Musik Gandang Tambua dan musik saluang dan dendang.

F. ORGANISASI PELAKSANA

Pensipnya Alek Nagari Marunggi dilaksanakan oleh masyarakat nagari setempat dengan dukungan Pemda Kota Pariaman, yang difasilitasi oleh Edy Utama dan Nursyam saleh. Masyarakat Nagari Marunggi pada dasarnya telah memiliki institusi Alek Nagari dan ruang budaya yang disebut sebagai Laga-Laga, namun dalam beberapa tahun belakangan ini tidak dilaksanakan lagi. Penyelenggaraan Alek Nagari Marunggi diharapkan akan dikelola secara mandiri oleh Anak Nagari Marunggi bersama pimpinan masyarakat yang ada di sana.

Kontak Person
Edy Utama
Perumahan Unand BIII/04/02
Ulu Gadut-Padang
Sumatra Barat-INDONESIA
Telp. 0751-73164 Fax 0751-35667
HP. 0811660108


Wednesday, June 13, 2007

Gus tf: Melintas dari Sudut Kota Kecil

OLEH IVAN ADILLA, staf pengajar Fak Sastra Unand
Guf tf (Payakumbuh, 13 Agustus 1965) adalah penyair, cerpenis dan novelis. Sastrawan dengan nama asli Gustafrizal Busra ini menjalani pendidikan dasar hingga menengah di kota kelahirannya, Payakumbuh. Ia kemudian melanjutkan studi di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, dan tamat pada 1994. Ia memutuskan untuk menjalani profesi sebagai pengarang dan menetap di Payakumbuh. Dia sering diundang untuk membacakan sajak-sajaknya di Padang, Jakarta serta beberapa kota lain.

TENTANG GUS TF SAKAI


Gus tf Sakai mungkin adalah sastrawan Indonesia yang “rewel” dan “sulit” apabila ditanya biografinya. Selalu, ia akan balik bertanya, “Sebagai penulis puisi atau prosa?” Ia memang menulis dengan dua nama: Gus tf untuk puisi dan Gus tf Sakai untuk prosa (padahal keduanya tampak seperti tidak berbeda). Tentang dua nama ini, dalam sebuah wawancara di The Jakarta Post ia berkata pendek, “Untuk sugesti, biar keduanya serius pada masing-masingnya.” Lalu, ia akan memberikan biodata terpisah untuk setiap nama, juga sangat pendek.

Dari Kupu-kupu yang Bermimpi Jadi Swang Tse dan Tambo Gus tf Sakai


OLEH FADLILLAH

ADA kehendak untuk melupakan masa lalu pada setiap orang atau bangsa ketika sejarah masa lalu begitu pahit dan tidak disukai. Kemudian kejadian itu akan berlanjut untuk menghadirkan cerita-cerita yang menghibur hati yang terluka, kekecewaan dan kepedihan, hal ini adalah fenomena tragedi patologi sosial. Hadirnya cerita untuk menghibur kekecewaan dan kepedihan adalah dikarenakan ada lara yang hendak dilipur. Dari cerita, ada lara yang dilipur itu, merupakan kehendak untuk lari ke dunia imaji saat didapati realitas begitu buruk dan menyedihkan, persoalan seperti ini adalah realitas yang manusiawi. Jika hal itu terjadi pada diri individu barangkali ia hanya merupakan suatu kasus psikologis, tetapi apabila hal itu terjadi dalam realitas kebudayaan, maka hal ini sudah jadi persoalan tragedi kemanusiaan.

Tragik kemanusiaan ini menjadi problematik dalam novel Tambo (Sebuah Pertemuan) karya Gus tf Sakai, kehadirannya adalah akibat dari sebab yang pada hari ini sudah tersembunyi. Adalah kenyataan yang sulit untuk dijelaskan tentang Rido yang bermimpi jadi Datuk Perpatih Nan Sabatang (Sutan Balun), pada kenyataan itu juga (sama) Datuk Perpatih Nan Sabatang (yang ada dalam mimpi Rido itu) bermimpi menjadi Rido. Sebagaimana Swang Tse mengatakan ia bermimpi tentang kupu-kupu dan kemudian selanjutnya ia mengatakan bahwa realitas dirinya adalah mimpi dari kupu-kupu itu, tepatnya; kupu-kupu yang bermimpi jadi Swang Tse, kemudian Swang Tse berpikir dan meyakini bahwa dirinya yang sesungguhnya atau realitas sebenarnya dari dirinya adalah kupu-kupu. Swang Tse berkeyakinan kehidupannya sekarang hanyalah mimpi dari seekor kupu-kupu, karena dirinya sendiri adalah kupu-kupu itu, dan sekarang ia hanya menjalani sebuah mimpi.

Cerita tentang Swang Tse ini ditulis oleh Aart van Zoest dalam bukunya Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik, terjemahan Manoekmi Sardjoe, (1990:31). Tidak jauh berbeda persoalan ini juga diungkapkan oleh Hasif Amini dalam tulisannya di jurnal Kalam (4/1995:89,90) dengan judul Seni Baca di Perpustakaan Imajiner Jorge Luis Borges dan (Antara Lain) Sastra Fantasi. Dia mengatakan: "Dalam cerita ’Reruntuhan Melingkar’, seorang rahib pagan tua mendatangi suatu reruntuhan kuil di tengah hutan, demi ’memimpikan’ sesosok anak lelaki yang kelak akan dimasukkannya ke dalam realitas; namun di saat terakhir ketika si anak sudah jadi, mendapatkan wujud fisiknya, rahib itu mulai menyadari bahwa ia juga makhluk ilusi yang diimpikan oleh orang lain…." Borges melalui diskusi atas buku-buku kuno, di mana tak terjadi perpindahan ruang, melainkan perpindahan kognitif yang berlangsung dalam waktu. Borges secara khusus dan berulang, membahas persoalan waktu ini: "memperhadapkan waktu linear yang direkayasa dunia modern, dengan waktu sirkuler (melingkar) yang bersifat mitologis". Hal ini juga barangkali relevan dengan film Vanilla Sky yang disutradarai Cameron Crowe, film yang dirujuk dari film Spanyol berjudul Abre Los Ojos (1997). Fenomena Vanilla Sky adalah fenomena kupu-kupu Swang Tse, yakni tidak berbatasnya imajinasi dan realitas akibat penderitaan yang amat sangat, sebagaimana dimainkan oleh Tom Cruise dan Penelope Cruz.

Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang) dalam TSP itu mengatakan bagaimana ia bermimpi jadi Rido, Barangkali ini berhubungan dengan pola narasi kupu-kupu yang bermimpi jadi Swang Tse. Kemudian pada bab 14, Alangkah Banyak Diriku, diceritakan tentang Rido yang tetap tidak tahu beda realitas dengan mimpi. Sebelumnya ada pernyataan yang lebih berat dari persoalan itu adalah Rido (Sakai, 2002:18) mengatakan; "Bagiku mimpi, seperti mimpi, dan kenyataan, nyaris tak ada bedanya." Artinya, Rido tidak lagi dapat membedakan dalam hidupnya antara mimpi dengan realitas hidup, antara imajinasi dan realitas hidup. Selanjutnya dalam kalimat yang sama dikatakan bahwa hal itu adalah fenomena kehidupannya; "… Sering aku tak tahu apakah tengah berada dalam mimpi, ataukah tengah dalam kenyataan." Rido meyakini dirinya adalah Sutan Balun atau Datuk Perpatih Nan Sabatang, dia meyakini dirinya banyak, sebagaimana dikemukakan dalam bab 14 Alangkah Banyak Diriku, (Sakai, 2000:100). Jika disamakan dengan Swang Tse, maka Swang Tse yakin dirinya adalah kupu-kupu, dan realitasnya sebagai Swang Tse dalam alam mimpi kupu-kupu. Jika kupu-kupu berhenti bermimpi, maka ia (Swang Tse) yakin akan kembali ke alamnya yang bahagia itu, yakni alam kupu-kupu. Rido juga menunggu lewat si Tukang Kaba hal itu bertahun-tahun dan terus menunggu.

Narasi seperti ini sulit dipahami, tetapi bila ia diletakkan sebagai fenomena metafora atau hakikat kehidupan, maka ia merupakan narasi yang menyembunyikan sesuatu. Dengan demikian akan muncul sesuatu itu, yakni pertanyaan yang sederhana, mengapa hal itu terjadi, dan mengapa begitu? Fenomena Rido tersebut tidak mungkin terjadi begitu saja, ada satu sebab (atau beberapa sebab, banyak sebab) yang mengakibat Rido menjadi suatu fenomena. Adapun perlunya dicari sebab, karena fenomena Rido hanya dianggap sebagai akibat. Tidak mungkin penyebabnya adalah suatu realitas yang menyenangkan dan bahagia, karena jika realitas penyebabnya sesuatu yang baik, menyenangkan, bahagia, maka tentu akan mengakibatkan terjadinya kebaikan dan bahagia, dapat dipahami, serta persoalan menjadi selesai, tidak lagi suatu hal yang problemtis. Fenomena Rido sebagai narasi bukanlah suatu bentuk kebahagiaan, tetapi suatu narasi problematis yang tragis, cerita sedih. Dengan demikian, pada akhirnya fenomena Rido tentu disebabkan oleh suatu penderitaan, sistem yang buruk, kesedihan yang tidak terleraikan, yang menekannya. Ada dua dasar pemikiran untuk mengatakan bahwa fenomena Rido tersebut disebabkan oleh adanya narasi tragik yang terjadi.

Pertama, ketika pertanyaan itu dirujuk kepada pemikiran tulisan Pariaman (Brouwer,1984:228), maka apa yang terjadi pada Rido adalah gejala split of personality, dan memang novel ini pada mulanya berjudul Sakit, tetapi menurut Sakai adanya negosiasi dengan redaksi harian Republika (ketika novel ini akan dimuat bersambung di harian itu, sebelum diterbitkan, ungkapan pengarang kepada penulis) dan penerbit Grasindo, maka novel ini akhirnya berjudul Tambo (Sebuah Pertemuan). Fenomena split of personality ini timbul, menurut Pariaman (Brouwer,1984:202) merupakan reaksi terhadap sistem ganda kehidupan yang terlalu berat untuk dihadapi. Pendapat ini barangkali sejalan dengan cerita tentang Sybil karya Schreiber (2001:489-490), yang juga mengungkapkan bahwa keterpecahan kepribadian karena sistem ganda yang terlalu berat untuk dihadapi. Tetapi fenomena yang dihadirkan di sini di samping akibat sistem ganda yang lebih berat adalah dimungkinkan oleh penindasan kekuasaan dan kehancuran jati diri.

Kedua, dapat dirujuk sebab mengapa Swang Tse meyakini bahwa dunia nyata dirinya adalah kupu-kupu, dan dirinya hanyalah mimpi dari kupu-kupu, dikarenakan ia mengalami penderitaan dan kesedihan yang tidak terleraikan, yakni istri dan anaknya meninggal, ia tidak bisa menerima atau tidak kuat menerima realitas kesedihan itu, di samping selama ini hidupnya memang menderita dan puncaknya adalah kematian istrinya, sehingga ia pada satu kali bermimpi, dalam mimpinya itu ia menjadi kupu-kupu dan berkumpul dengan anak- anak dan istrinya, terbang sebagai kupu-kupu dalam taman bunga yang indah dan bahagia. Ketika ia terbangun, ia yakin bahwa realitas yang sesungguhnya dari dirinya adalah kupu-kupu, dirinya sebagai Swang Tse hanyalah mimpi buruk dari kupu-kupu. Sebuah narasi tragik dari tragedi kehidupan. Fenomena kupu-kupu Swang Tse disebabkan oleh tragik penderitaan, yang pada hakikatnya memungkinkan juga terjadi pada tragik kesedihan dari diri Rido.

Tragik yang terjadi pada Rido sebagai sebab, pertama oleh sistem ganda sosial budaya dan kedua oleh kesedihan dan penderitaan dan ketiga oleh penindasan kekuasaan dan kehancuran jati diri. Pada sebab pertama menurut Pariaman (Brouwer,1984:208) jarang menjadi penyebab utama, ia hanya menjadi landasan sebagai pencetusan. Namun pengaruh yang kuat memang ada pada sistem sosial yang membesarkan seseorang, sistem nilai yang dianut. Rido dibesarkan oleh sistem rumah gadang yang otoritasnya dikuasai oleh nenek tertua dan mamak laki-laki (saudara laki-laki dari ibu) tertua, ia dibesarkan oleh keluarga ibu, sistem membuat ia berjarak dengan ayahnya. Sistem budaya ini memungkinkan untuk tumbuhnya kompleks mother (kompleks ibu) sebagaimana dikatakan Pariaman (Brouwer,1984:215), dan ini terjadi pada Datuk Perpatih Nan Sabatang (Sakai, 2000:69-70). Anak laki-laki dalam sistem sosial Minangkabau setelah akil balig (umur tujuh tahun) harus berpisah dengan ibunya dan tidur di surau, sedangkan masa remajanya dihabiskan di gelanggang, kemudian masa dewasanya di perantauan, ketika berkeluarga ia hanya dapat pulang ke rumah istri pada malam hari (tetapi Rido belum beristri, juga Datuk Perpatih Nan Sabatang), terakhir di masa tua kembali ke surau. Sistem sosial ini yang membuat laki-laki tidak pernah punya kamar pribadi, dalam pengertian lain laki-laki Minangkabau merupakan laki-laki rantau (tidak menetap selalu bepergian). Di samping itu sistem sosial budaya yang dihidupi tersebut bersifat ganda. Pertama, pada satu sisi secara adat tradisi ia dihidupi oleh sistem matrilineal dan di sisi agama ia dihadapkan dengan sistem patrilineal. Kedua, laras Bodi Chaniago dengan laras Koto Piliang mempunyai sistem yang berlawanan, yakni sistem Bodi Chaniago bersistem demokrat dengan Koto Piliang bersistem otokrat. Ketiga, keluarga ayah dengan keluarga ibu, keluarga ibu dengan keluarga istri, yang masing-masing dengan sistem yang berbeda.

Namun pada akhirnya persoalan penyebab bukanlah sesuatu yang pasti, ia akan menunjukkan banyak sebab, dan banyak kemungkinan, dan lebih banyak hal baru yang dapat ditemukan dan dipahami. Sebagai novel ia memang akan membukakan pemikiran ke arah itu, mendorong orang untuk bertualang dalam dunia kemungkinan dan dunia mungkin. Ada fenomena cerita dari dua tokoh yang saling bermimpi lebih merupakan persoalan yang lebih memungkinkan banyak alternatif yang akan ditemukan. Paling tidak ada fenomena tokoh yang ganda, dalam pengertian lain juga suatu fenomena berkepribadian ganda, suatu fenomena tokoh yang tidak terintegrasi dalam satu kepribadian, terbelah berserpihan menjadi banyak kepribadian, banyak cerita. Hakikat yang dihadirkannya adalah persoalan identitas jati diri yang hancur, tepatnya persoalan eksistensi yang berserakan.

Persoalan hakikat jati diri ini, atau eksistensi, persoalan apakah Rido yang bermimpi jadi Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang), atau apakah Sutan Balun (Datuk Perpatih Nan Sabatang) yang bermimpi jadi Rido. Akan tetapi ketika hal ini dibawakan kepada filosofi Buddha, maka ia merupakan kupu-kupu yang bermimpi menjadi Swang Tse, karena pada sisi lain Adityawarman dalam rujukan sejarah merupakan penganut Buddha Bhairawa, dan Minangkabau sebelum Islam adalah bangsa yang beragama Hindu Buddha. Filosofi Swang Tse juga akan berhubungan dengan hakikat reinkarnasi yang sudah hilang di Minangkabau. Persoalan itu tidak berhenti sampai di sini, hal itu hanya rujukan untuk realitas narasi hari ini, karena novel TSP adalah karya sastra dengan kekinian Indonesia, hadir dalam konsep selera estetika multikultural Indonesia. Dalam bahasa pemikiran hari ini, maka TSP berbicara tentang hakikat keterpecahan identitas kepribadian dan ketidakjelasan eksistensi diri manusia Indonesia hari ini dalam konteks banyak bangsa yang tertindas oleh penguasa Indonesia.

Keterpecahan kepribadian atau eksistensi Indonesia hari ini, dan pencarian pada masa lalu, pada narasi mitos, sejarah, dan tradisi, adalah kesia-siaan. Memang realitas itu sudah dilakukan pada masa rezim Soekarno dan rezim Orde Baru, memparadigmakan kebudayaan masa lalu sebagai narasi kebudayaan luhur. Pada satu sisi menjadi membelakangi masa depan dan menghadap ke masa lalu. Kemudian hiduplah kembali neofeodalisme yang tidak lebih kentalnya daripada feodalisme di zaman Kerajaan Singosari, Kediri, Majapahit, Mataram, Sriwijaya, Pagaruyung. Neofeodalisme itu mendapat sambutan yang cocok dengan kebudayaan kapitalisme modern. Pada akhirnya rakyat tetap tertindas, miskin, dan menderita, dan sesudah itu karena dalam ketertindasan, penderitaan, dan kesedihan orang akan lari ke dunia cerita, narasi pelarian (apakah narasi kupu-kupu atau narasi Datuk Perpatih Nan Sabatang), maka lahirlah banyak cerita yang dapat melipur lara. ***

SUMBER KOMPAS, Minggu, 04 Mei 2003

Fadlillah Mahasiswa pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana,
Denpasar, staf pengajar

SEA Award 2000 untuk Wisran Hadi


Wisran Hadi, salah seorang sastrawan dan dramawan terkemuka Indonesia, tanggal 17-23 September mendatang akan menjadi tamu di Thailand. Ia ditetapkan sebagai penerima penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.

"Ternyata untuk sebuah kerja kreatif dan berprestasi tak harus ke Jakarta, di daerah pun bisa. Tempat tidak menentukan, yang menentukan adalah kualitas dari karya dan berkarya tanpa henti," kata Wisran Hadi saat dihubungi Kompas, Selasa (1/8), di Padang.

Wisran Hadi adalah sastrawan dan dramawan urang awak kedua penerima penghargaan SEA Write Award 2000 setelah AA Navis yang menerima penghargaan serupa tahun 1992. SEA Write Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan Thailand kepada pengarang ASEAN. Tahun 1999, penerima SEA Write Award adalah sastrawan Seno Gumira Adjidarma.

Menurut Wisran, ia mendapatkan penghargaan itu bukan karena buku-buku yang ditulisnya menjadi terbaik, melainkan karena kontinuitas dalam dunia karang-mengarang. Selain itu juga ditentukan oleh latar belakang, kultur pengarang yang tergambar dalam karya-karyanya dan nilai/kualitas sastra yang terdapat dalam karya tersebut.

Wisran Hadi yang dilahirkan di Lapai, Padang, tanggal 20 Juli, 55 tahun lalu, sudah berkecimpung dalam dunia karang-mengarang sejak 26 tahun terakhir, setamat Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta tahun 1974. Karya pertamanya, Gaung, berhasil memenangkan lomba penulisan naskah drama yang dilaksanakan IKJ tahun 1975. Selama 10 tahun kemudian, berturut-turut ia memenangkan lomba penulisan naskah drama. Sampai tahun 2000, lebih 20 naskah dramanya memenangkan perlombaan.

Selain menulis naskah drama, Wisran juga menulis novel dan cerita pendek. Novel berjudul Tamu, selain pernah diterbitkan bersambung di sebuah harian nasional, juga diterbitkan dalam bentuk buku. Novel lain yang telah dibukukan adalah Iman, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Akan terbit bulan Agustus 2000 ini novel Orang-orang Belanti.

Cerpen-cerpen Wisran dipublikasikan di media cetak dan telah dibukukan oleh penerbit Malaysia dengan judul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi. Di luar itu, ia sudah lebih 10 tahun menjadi dosen tamu di Universitas Andalas, Padang.

Yurnaldi, Kompas, Rabu, 2 Agustus 2000

Wisran Hadi: Dari Perupa ke Teater



OLEH IVAN ADILLA, Fakultas Sastra Unand

Wisran Hadi (Lapai, Padang, 27 Juli 1945) merupakan seniman yang aktif dalam beberapa bidang kesenian, namun karirnya yang menonjol adalah di bidang sastra dan teater. Ia juga dikenal sebagai budayawan.

Wisran Hadi merupakan anak ketiga dari tiga belas bersaudara yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama. Ayahnya, Haji Darwas Idris (Hadi) adalah imam besar mesjid Muhammadiyah, Padang, ahli hadis dan tafsir serta penggagas dan pendiri Fakultas Syariah Universitas Muhammadiyah, Padang. Pendidikan dasar hingga menengah ia jalani di Padang dengan menyelesaikan Sekolah Rakyat, Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Sekolah Guru Agama. setelah itu ia melanjutkan studinya di Akademi Senirupa Indonesia (ASRI) dan tamat pada tahun 1969.Berbagai profesi pernah ia jalani, seluruhnya berkait dengan dunia pendidikan dan jurnalistik. Tamat dari ASRI, ia menjadi guru di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) (1970-1971), dan INS Kayu Tanam (1971-1978). Setelah itu ia bekerja sebagai staf redaksi HarianSinggalang (1979-1983), Sekretaris Eksekutif dan dosen di Akademi Pariwisata Bunda, Padang (1983-1985), dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Andalas (1985-1995), dan redaktur majalah kebudayaan Minangkabau Limbago (1987-1989) , serta dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta (1996-1998). Tahun 1997-2001, ia merintis dan menjadi dosen luar biasa di Fakultas Pertanian Universitas Andalas untuk mata kuliah Adat dan Kebudayaan Minangkabau, sebuah mata kuliah muatan lokal yang diharapkan memberikan pemahaman bagi mahasiswa tentang masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Pada Mei 2001 diundang sebagai Ahli Panel Penilai Luar dan sejak Juli 2001 hingga sekarang sebagai Pensyarah di Akademi Seni Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Sembari mengajar ia juga terlibat sebagai penata artistik dan sutradara beberapa pementasan serta memberikan workshop untuk teater modern di berbagai negara bagian di Malaysia.

Wisran Hadi telah menerima berbagai penghargaan dan beasiswa atas prestasinya sebagai sastrawan dan teaterawan. Di antara penghargaan yang telah diraihnya adalah SEA Write Award , peghargaan sastra tertinggi untuk Asia Tengrara dari Raja Thailand, (2000), International Writing Program di The University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat (1977-1978), Observasi teater Modern di New York atas sponsor Asian Cultural Council (1978). Sponsor yang sama mengundangnya melakukan Studi Perbandingan Teater Modern Amerika dan Jepang (1986-1987), Penghargaan Penulisan Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1991).

Karirnya di bidang seni dimulai dari bidang seni rupa, saat ia melanjutkan studi di Akademi Senirupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta. Sejak mahasiswa ia mengikuti pameran bersama di Malang (1967), Surakarta (1968) dan Taman Ismail Marzuki (1969). Setamat dari ASRI ia kembali ke Padang dan melanjutkan karirnya sebagai perupa dengan menggelar beberapa pameran yang diselenggarakan di Padang (1970; 1971; 1973; 1975). Beberapa iven senirupa yang pernah diikutinya dalah Pameran Perupa Sumatra Barat (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1976), Pameran Pelukis Sumatra (Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta,1976), Bienalle Perupa Indonesia (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1976), Pameran Lukisan Wisran Hadi (Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 1976). Karya senirupanya cukup mendapat perhatian sehingga beberapa karya menjadi koleksi Dewan Kesenian Jakarta. Dalam kapasitasnya sebagai perupa, Wisran beberapa kali terlibat sebagai penata artistik untuk beberapa pementasan. Di antaranya, pementasan Bagindo Aziz Chan karya Chairul Harun (1972), drama-tari Malin Kundang karya Hurijah Adam (1972), dan Angun Nan Tongga karya A. Chaniago HR (1973). Ia juga merancang desain untuk monumen Bangindo Azis Chan (Padang, 1973), Relief Perjuangan Kemerdekaan (Bukittinggi, 1974) serta disain sampul untuk buku puisi Siul (Abrar Yusra, 1975) dan Paco-Paco (Hamid Jabbar, 1975).

Pada periode selanjutnya Wisran Hadi memfokuskan kegiatan di bidang teater dan sastra. Pengenalan Wisran Hadi dengan teater bermula dari pergaulan dan perkenalannya dengan Putu Wijaya, Arifin C.Noer, Abdul Hadi WM, Chairul Umam dan Rendra yang merupakan para penggiat dan anggota kelompok teater mahasiswa di Yogyakarta. Bekal itu kemudian dikembangkannya saat membimbing siswa SSRI untuk menyiapkan sebuah pementasan dalam rangka kegiatan sekolah. Setelah itu ia bergabung dengan Bengkel Teater Padang (1972-1973), Study Teater Padang (1973-1974), dan Teater Padang (1974-1975). Pada 10 November 1975, Wisran Hadi dan beberapa sastrawan (Hamid Jabbar (alm.), Raudha Thaib, Haris Effendi Thahar, Darman Moenir, A. Alin De dan Herisman Is) mendirikan Bumi Teater, yang kegiatannya mencakup bidang sastra, senirupa, teater dan musik. Hingga saat ini Wisran Hadi merupakan pimpinan, sutradara dan penata artistik di grup tersebut. Bersama Bumi Tetaer, Wisran Hadi telah melakukan pertunjukan di berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara tetangga, seperti Padang, Medan, Jakarta, Yogyakarta, dan Kuala Lumpur. Sepanjang 28 tahun bersama Bumi Teater, setidaknya Wisran Hadi telah menyutradarai 30 pertunjukan teater yang dipentaskan grup tersebut, sehingga Bumi Teater sering didentikkan dengan Wisran Hadi.

Di bawah asuhan Wisran Hadi, Bumi Teater tumbuh sebagai kelompok yang diperhitungkan dan disegani di panggung teater Indonesia. Bumi Teater merupakan grup teater tertua di luar Jawa yang masih aktif dan selalu diundang untuk tampil dalam berbagai iven teater di Indonesia. Karya penyutradaraan Wisran Hadi mendapat perhatian dari banyak pengamat dan pencinta teater Indonesia, sehingga ia sering diundang untuk menyampaikan pikiran dan pandangannya dalam berbagai forum teater. Untuk pementasan yang disutradarainya, Wisran Hadi mengeksplorasi aneka khazanah budaya dan filsafat masyarakat Minangkabau menjadi pertunjukan modern. Ia memanfaatkan dan mengolah kembali berbagai konsepsi dalam permainan randai, indang, selawat dulang, mainan buaian kaliang (komedi putar) hingga musik talempong, genggong dan tasa. Ia juga mengembangkan konsep filsafat Minangkabau tentang posisi dan peran manusia sebagai dasar pengolahan peran di panggung teater modern. Konsep penyutradaraannya diformulasikan dalam bentuk esei yang disampaikan dalam Forum Pertemuan Teater 1986 di Padang dengan judul ‘Teater Demokratik, Pembicaraan Awal Sebuah Konsepsi'. Esei itu merupakan sumbangan berharga terhadap perkembangan konsep teater di Indonesia. Konsep itu merupakan sumbangan berharga yang disampaikannya dalam sebuah makalah merupakan sumbangan pikiran yang berharga dalam perkembangan teater di Indonesia.

Di antara hal yang menonjol dari karya teater Wisran Hadi adalah pilihannya terhadap bentuk simbolik, permainan grouping dan konsistensinya mempertahankan etika keagamaan dalam setiap pementasan. Latar belakang pengetahuan dan pengalamannya sebagai perupa memberikan sumbangan besar dalam melakukan berbagai alternatif untuk teater simbolik yang dikembangkan Wisran Hadi. Pilihan itu sekaligus memungkinkan ia secara konsisten mempertahankan etika keagamaan dengan menghindari adegan-adegan yang dianggap tabu atau tidak sesuai dengan etika agama (Islam) dan mengubahnya ke dalam bentuk simbolik. Pilihannya terhadap permainan grouping merupakan pengembangan dari konsep randai yang dipandangnya sebagai bentuk teater demokratik. Namun pilihan itu juga dikritik oleh beberapa kalangan karena dianggap tidak mampu melahirkan aktor yang kuat.

Beberapa pementasan yang disutradarai Wisran Hadi mendapat komentar yang luas dari berbagai kalangan karena dianggap kontroversial. Pertunjukan Imam Bonjol (Padang, 1982 dan Jakarta, 1995) mendapat komentar dari budayawan, pengamat seni, sejarawan hingga pemerintah daerah yang disampaikan di berbagai media massa dan forum diskusi. Setidaknya terdapat 40 komentar terhadap pertunjukan tersebut, merupakan jumlah yang besar untuk sebuah sebuah pertunjukan teater. Pementasan lain yang juga dipandang menimbulkan kontroversi adalah Puti Bungsu (1978), Dara Jingga (1984), Senandung Semenanjung (1986), sedangkan pementasan Mandi Angin (1999) dipuji karena memberikan alternatif yang menarik dan menyegarkan dengan memanfaatkan komedi putar untuk pementasan teater. Selain aktif dengan teater modern, Wisran juga terlibat dengan teater tradisional randai. Ia pernah bergabung dengan grup randai Bintang Harapan , Cahaya Baru , dan Muda Sepakat sebagai penasehat dan penulis naskah.

Kecuali pada masa awal karirnya, hampir seluruh pementasan yang disutradarai Wisran Hadi bertolak dari naskah yang ditulisnya sendiri. Wisran Hadi merupakan penulis naskah yang menonjol dan tetap produktif. Hingga saat ini ia telah menulis sekitar 90 naskah drama, daalam bahasa Indonesia dan Minangkabau. Ia satu-satunya penulis yang memenangkan hadiah sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian jakarta selama 10 tahun berturut-turut, sejak 1975-19..... Hingga saat ini 15 naskah dramanya memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Naskah drama......, yaitu....... Hal yang menonjol dari drama-drama Wisran adalah bahasanya yang puitik dan bentuk parodi yang dipilihnhya. Drama-dramanya terakhir memperlihatkan kecenderunganya untuk mempermainkan kata-kata dengan berbgai kemungkinan maknanya. Misalnya Jalan Lurus dan Mandi Angin.

Beberapa penghargaan yan diraihnya, Hadiah buku utaa dari Yayasan IKAPI dan Depatemen Pendidikan nasional untk novel Tamu (1997), Hadiah Buku sastra Terbaik untuk kategori Drama dalam Pertemuan Sastrawan nusantara untuk Jalan Lurus (1997), Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia untuk naskah Gading Cempaka (1996) dan drama anak-anak Mama Di Mana (1996). Selama sepuluh tahun berturut-turut, antara 1975-1985,, naskah dramanya memenangkan penghargaan Sayembara Penulisan naskah Sandiwara Indonesia yang dilaksanakan Dewan kesesnian Jakarta atas naskah Gaung, Ring, Perguruan, Cindua mato, malin Kundang, Pewaris, Anggun nan Tongga, Peneyberangkan, Senandung Semenanjung, dan Imam Bonjol.

Drama yang terlah diterbitkan menjadi buku: Empat Sandiwara Orang Melayu (Bandung: Angkasa, 2000), Mandi Angin (Padang, Dewan kesenian Sumatra Barat, 1999), Jalan Lurus (Bandung: Angkasa, 1997), Baeram, Kumpla 8 drama Pendek (Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kbudayaaan, 1982), Titian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1982), Pewaris (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1981), Perantau Pulau Puti (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1981), Anggun Nan Tongga (jakarta: Balai Pustaka, 1982), Puti Bungsu (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978). Sejak 1971, hampir 50 naskah dramanya telah dipentaskan. Ia menyutradarai sekitar 20 perteunjukan yang dipentaskan bersama beberapa grup teater dan telah melakukan pertunjukan ke berbagai kota di Indonesia dan negra tetanga. Selain itu ia juga memasuki dunia film sebagai pemain, penulis skenario dan sutrdara. Di antara skenario yang telah difilmkan adalah jangan ada yang terbuang (balai pusat Informasi Pertraian, Padang, 1982), Anggun nan Tongga ( Televisi Republik Indonesia, 1983), Cindua Mato (TVRI, 1998), Empat lakon Perang paderi (TVRI, 2004), juga berbperan sebagai Teman harun dalam Titian Seranbut dibelah lTujuh, (Sutadara Chairul Umum, 1982). Dam Bujang Se;aat. Film dkomenter Cindu mato (sutradara, Khaterine Sternger Fry, Ketty Production, Canada, 1985).

Selain menulis drama, wisran juga menulis puisi, cerita pendek dan novel. Puisinya dikumpulkan dalam Simalakama (Ruang Pendidik INS, Kayu Tanam, 1975). Cerita pendeknya dipublikasi pada Harian Singgalang, Kompas, Media Indonesia, Republika, dan majalah sastra Horison (Jakarta) serta majalah kebudayaan Minangkabau Limbago (Padang). Kumpulan cerpennya yang telah terbit, Daun-Daun Mahoni Gugur Lagi ( Fajar Bhakti Sdn Bhd. Kuala Lumpur,1998), Guru Berkepala Tiga (Balai Pustaka, Jakarta), serta dalam antologi Pembisik (Penerbit Republika, jakarta). Beberapa novelnya juga telah diterbitkan. Novel pertamanya, Tamu (Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1996) meraih penghargaan dari Yayasan Buku Utama. Novelnya yang lain adalah Orang-Orang Blanti (Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang), Negeri Perempuan (Pustaka Firdaus, jakarta), Imam (Pustaka Firdaus, Jakarta). Dari Tanah Tepi (diterbitkan secara bersambung pada Harian Singggalang 15 Maret -20 Mei 1998). Novel WH memiliki corak penceritaan yang tidak banyak dilakukan pengarang lain. Iman dan Orang-orang Blanti mengambil pola biografi dan catatan harian yang bercampur baur dengan bentuk penulisan karya ilmiah. Wisran merupakan sedikit dari sastrawan yang mampu menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Tuulisannya dalam bahasa Minangkabau berupa kisah serial bertajuk Jilatang, dipublikasi dalam bentuk kolom di harian Padang Ekspress. Selain itu ia juga menulis beberapa naskah randai berbahasa Minang.

Wisran Hadi juga dikenal sebagai pemikir kebudayaan dengan pikiran yang bernas dan kritik yang lugas. Sebagai pemikir budaya, ia sering diundang menyampaikan makalah tentang masalah kebudayaan dan seni di berbagai forum di jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Kuala Lumpur. Pemikirannya tentang kebudayaan juga dilahirkan dalam bentuk esei dan artikel yang dimuat di berbagai media massa dan majalah.***