—dedikasi untuk saudaraku di aceh—
Di blang meurandeh sejumput harap ditabur dikicauan canda anak-anak mengaji --
Sementara teungku bantaqiah mengangguk: “esok lusa kamu khatam,” ujarnya seraya luruskan kupiah muridnya. Lalu dua lelaki itu peluk sang guru tercinta, mata terpejam teduh. Ada airmata – tentunya – mengalir tenang sedenting riak sungai beutong, desau batang ilalang di sudut taman dayah babul mukkaramah.
Kemuning bias mentari tertatih bawa airmata
“Oh tidak, Kita yakin, pengungsi itu akan kembali ke rumahnya. Mereka nggak tahan sengsara. Ini bermotif politik,” ujar seorang panglima tentara sambil terbahak-bahak, sementara seorang bayi mengerang nyawanya dalam dekapan ibunya, di sebelah panglima itu.
Seekor lalat hijau mengawasi di kejauhan, matanya merah menebar ulir-ulir sadis. Anak-anak berlari pucat, dan menghempaskan kepalanya di dada ibunya.
Seratus lalat hijau merayap-rayap, lalu tangis bersahutan: allahu akbar membelah kemuning mentari, memerahkan sungai beutong, dan lalat kian ramai: hijau, loreng, belang, hitam, lalu sepi.
Amis darah singgah di meja-meja, catatan-catatan, dan apologia para eksekutor anak bangsa.
Pagi, siang, dan malam tetap saja menyayat.
Tanpa interval berpesta di atas mayat-mayat yang dikubur hanya setengah meter
Dan angin tak pernah bisa dihentikan: mereka ada didemarkasi.
Padang, 1998-1999-2002
No comments:
Post a Comment