OLEH Nasrul Azwar
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 tentang pemerintahan nagari, sebagai produk hukum, telah jadi acuan penting untuk pengembangan nagari di Kabupaten Agam. Sebagai Perda, acuannya jelas pada produk hukum yang di atasnya: UU No 12 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi kabupaten dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah, UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1999 tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah dan rancangan keputusan presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000.
Dengan demikian, dasar dan landasan hukum Perda No 31 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari di Kabupaten Agam amat kuat, terlepas dari soal apakah kelak bisa diaplikasikan dengan baik atau tidak dalam tataran komunitas di nagari-nagari di Kabupaten Agam, tentu masalah lain lagi.
Dalam Perda tersebut dijelaskan juga tentang definisi nagari yaitu nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Kabupaten Agam, yang terdiri dari himpunan beberapa suku di Minangkabau yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dan mempunyai harta kekayaan sendiri, berwenang mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pemerintahannya. Dalam Perda itu ada dicantumkan jumlah nagari yang berada di kabupetan Agam sebanyak 73 nagari.
Namun demikian, belum ada laporan resmi yang diperoleh dari jajaran Pemerintah Kabupaten Agam, apakah semua nagari (73 buah) itu telah memiliki Wali Nagari sesuai dengan peraturan Perda tersebut. Artinya, belum jelas benar berapa dari 73 nagari itu yang Wali Nagarinya telah dilantik.
Satu hal juga yang sangat menarik adalah masih banyaknya kelemahan dan kekurangan dari isi Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000, yang telah ditetapkan DPRD Sumatra Barat 7 Desember 2000 dan diundangkan 16 Desember 2000, yang kini jadi sandaran untuk melahirkan peraturan daerah tentang nagari di tingkat kabupeten.
Paling tidak, menurut, Kamardi Rais Dt. P. Simulie, Ketua Umum LKAAM Sumatra Barat, yakni terkesan masih mengabaikan struktur pemerintahan adat yang dipaturun-dipanaikkan, nan diico nan dipakai, yang secara historis dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga adat tertinggi di nagari-nagari, yang dilambangkan sebagai “babalai – bamusajik, balabuah-batapian, bakorong-ba kampuang, bagalanggang-bapamedan”. “Nah, inilahlah yang tidak tertampung di dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 tersebut. Yang kita niatkan kopiah, tapi yang dapat hanya daster, baiklah kita terima juga sebagai penutup kepala,” katanya.
Juga, tambah Kamardi Rais, yang jadi masalah lain dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 adalah perda tersebut tidak utuh untuk Provinsi Sumatra Barat. Perda tersebut tidak mengatur keberadaan Kabupaten Mentawai dan juga tentang nagari-nagari di kota-kota. “Masalah ini masih ada peraturan yang jadi kendala.”
Sama halnya dengan itu, N. Dt Perpatih Nan Tuo, yang juga salah seorang pengurus LKAAM Sumatra Barat, menekankan pada aspek kemungkinan dampak atas Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 terhadap kehidupan sosial nagari. “Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 disusun tidak berdasarkan pada hasil penelitian lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga perda ini tidak menggambarkan nagari secara umum,” katanya dalam sebuah diskusi di LBH – padang baru-baru ini.
Buktinya, katanya, Pasal 2 Perda tersebut menyatakan bahwa setiap nagari mempunyai beberapa suku. Padahal menurut adat, berdirinya suatu nagari paling sedikit 4 suku di dalamnya. “Pasal ini jelas akan memancing jorong suatu nagari ingin mendirikan nagari pula, karena syarat dengan sangat mudah telah dipenuhi. Dan ini jelas akan sangat mudah memicu perpecahan di tingkat nagari,” tuturnya.
Selain itu, perda ini juga membuka peluang kepada Pemerintah Nagari melakukan intervensi atas kekayaan nagari. Karena harta kekayaan nagari tidak serta merta menjadi harta kekayaan pemerintah nagari. “Perumusan yang demikian akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara nagari sebagai pemilik harta kekayaan nagari dengan pemerintah nagari.”
Lebih lengkap
Namun demikian, apa yang jadi sisi kelemahan yang hadir dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000, tampaknya mampu ditutupi dan diakomodasi dengan baik oleh Perda Kabupaten Agam No 31 tahun 2001. Paling tidak hal yang dicemasaskan N. Dt Perpatih Nan Tuo, tentang perpecahan nagari karena syarat mendirikan nagari yang tercantum dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9/2000 itu demikian mudahnya dihadirkan, tidak demikian halnya dengan Perda kabupaten Agam No 31/2001. Walau, hampir setiap produk hukum yang dikeluarkan wakil rakyat selalu memuat sisi lemah yang paling substansi. Tampaknya, pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 lebih lengkap dan jelas.
Contoh yang jelas adalah Pasal 5 tentang pemekaran nagari di Kabupaten Agam. Untuk Perda Provinsi Sumatra Barat No 9/2000, hanya menyebutkan, syarat pendirian nagari baru harus memenuhi beberapa suku. Kata “beberapa suku” ini memang tidak tegas dan terkesan bias, dan ambigiutas. Namun, pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001, jelas dicantumkan persyaratan pendirian nagari salah satunya adalah ninik mamak nan ampek suku.
Selain itu juga dijelaskan pada pasal 62 tentang pengelolaan kekayaan nagari di kabupaten Agam. Bahwa sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola nagari tidak dibenarkan diambil alih pemerintah, baik provinsi maupun daerah.
Sedangkan tentang pemekaran nagari-nagari baru, hingga kini – jika mengacu pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 berjumlah 73 nagari—memang belum diperoleh informasi tentang hadir nagari baru di Kabapaten Agam. Jum 73 nagari yang dicantumkan dalam perda itu berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat Nomor 5/GSB/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari dalam provinsi daerah tingkat I Sumatra Barat dan Surat Gubernur Nomor 156/GSB/1974 tentang kerapatan nagari dalam provinsi daerah tingkat I Sumatra Barat. Keputusan ini dikeluarkan sebelum diberlakukannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa.
Pemberdayaan Komponen Nagari
Sudah tak terbilang banyaknya tulisan dan penelitian yang menyebutkan bahwa polarisasi pemerintahan desa dan penyeragaman bentuk pemerintahan yang “dipaksakan” hadir semasa Orde Baru, lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Paling tidak, yang sangat merasakan kerugian penyeragaman itu adalah masyarakat komunitas Minangkabau, yang sebelumnya berbasis pada pada bentuk komunitas nagari.
Dari rentang semenjak diterapkannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa, hal-hal yang paling terlihat sangat merugikan dan kikis identitas komunal dan individual di nagari itu adalah; pertama, jati diri komunitas nagari di Minangkabau menemukan kebekuannya dan mengalami degradasi yang dasyat, kedua, nagari di Minangkabau tidak lagi memiliki kewenangan politis ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya, ketiga, terjadinya konflik vertikal dan horizontal di dalam tataran nagari itu sendiri. Hilangnya batas nagari, keempat, komunitas Minangkabau kehilangan tokoh panutan yang berwibawa, kelima, terkikisnya rasa memiliki dan nilai-nilai kebersamaan, seperti gotong royong, keenam, mandulnya peran dan fungsi komponen, institusi informal nagari, yang selama ini jadi bagian inheren dengan eksistensi nagari dan anak nagari.
Masalah yang diakibatkan penyeragaman itu, kini, walau telah muncul kehidupan bernagari dalam pemerintahan di Sumatra Barat, bukan serta merta soal yang sangat krusial itu selesai dan hilang demikian saja. Ini artinya, masih ada persoalan yang demikain pentingnya belum terselesaikan dan sangat mendesak diselesaikan di dalam lingkungan nagari itu sendiri.
Dalam struktur pemerintahan nagari, jika mengacu pada peraturan yang berlaku, dan merupakan komponen terpenting untuk menggerakkan potensi nagari adalah; pemeritahan nagari terdiri dari wali nagari, sekretaris nagari, kepala urusan pemberdayaan dan pemerintahan, kepala urusan ketentraman dan ketertiban, kepala urusan kesejahteraan rakyat, kepala urusan administrasi keuangan dan aset nagari, dan kepala jorong.
Struktur ini jelas merupakan ‘perpanjangantangan’ pemerintah dan bagian paling bawah dalam struktur pemerintahan Indonesia. Banyak yang berpendapat, pola seperti ini tak jauh beda dengan saat diberlakukan pemerintahan desa dulunya. Istilah yang dimunculkan adalah “batuka baruak jo cigak”.
Komponen di dalam nagari lainnya juga ada lembaga sejenis legislatif yang disebut dengan Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN). Kedudukan BPRN ini sejajar dan menjadi mitra dari pemerintahan nagari. Keanggotaannya terdiri unsur ninik mamam, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, generasi muda, jumlahnya paling kurang 7 orang (mesti ganjil).
Juga ada komponen dalam nagari yang dinamakan dengan majelis musyawarah adat dan syarak nagari. Fungsinya memberikan pertimbangan kepada pemerintah nagari. Unsur yang ada di dalamnya tidak beda dengan apa yang ada di BPRN. Namun anggotannya, tidak dibenarkan yang telah duduk di BPRN dan juga Wali Nagari.
Juga ada yang lainnya, namanya kerapatan adat nagari (KAN) dan majelis ulam nagari. KAN merupakan lembaga tempat terhimpunnya ninik mamak, dan pemangku adat di nagari. Tugasnya antara lain menyelesaikan sengketa sako dan pusako menurut adat selingka nagari.
Sedangkan majelis ulama nagari merupakan lembaga tempat berhimpunnya para ulama di nagari. Salah satu tugasnya menanamkan aqidah Islam di tengah kehidupan masyarakat nagari.
Selain itu dalam Perda tersebut juga disarankan, nagari-nagari di Kabupaten Agam membentuk lembaga masyarakat lainnya, sesuai dengan aspirasi yang berkembang.
Jika dilihat sepintas saja, maka beban yang ditanggung nagari cukup berat, jika benar-benar nagari bersangkutan dijalankan dengan mengacu pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 itu. Mengapa berat?
Pertama, untuk memungsikan komponen-komponen yang ada di nagari dibutuhkan rekonstruksi modal sosial dan budaya yang selama ini telah hilang. Nagari akan menemukan identitis sosialnya jika semua komponen punya visi yang sama di nagari. Karena masalah ini menyangkut pada kemampuan anak nagari dan segenap perangkatnya mengaktualisasikan diri, interaksi sosial, serta kepekaaan akan perkembangan zaman. Maka, pada batas ini peran wali nagari menjadi sangat penting. Dan ini bukan soal yang hanya selesai di meja rapek nagari. Dan ini jelas menyangkut pada soal komitmen.
Kedua, menjemput potensi komponen nagari dan kepemimpinan tradisional di nagari. Mesikipun telah banyak terjadi perubahan, namun institusi sosial di nagari, seperi keluarga besar, masjid dan surau, ulama dan panghulu, cadiak pandai, bundo kanduang dan juga anak muda nagari, tampaknya masih punya peran sangat strategis dalam pengembangan nagari.
Menurut Emeraldy Chatra, dosen FISIP Unand, dalam struktur pemerintahan nagari, para penghulu pucuak berfungsi sebagai pemimpin Rapek Nagari, sekaligus sebagai anggotanya. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada individu penghulu pucuak, dan tidak pula dibagi‑bagi di antara individu penghulu payuang atau suku.
“Kekuasaan berada pada institusi Rapek Nagari yang di dalamnya berhimpun para penghulu. Berarti setiap individu tanpa mengenal status harus tunduk pada setiap keputusan (mufakat) yang dihasilkan Rapek Nagari. Tak seorang penghulu pun dapat membuat peraturan atau undang‑undang menurut kemauannya sendiri,” katanya Chatra, juga yang menulis buku “Adat Selingkar Desa”.
Ditambahkannya, kehidupan demokratis di nagari dapat menjadi sebab sekaligus akibat dari sistem pemerintahannya. “Gagasan untuk melibatkan banyak orang dalam mengurusi nagari tampak jelas dari dua simbol: mamak dan kemenakan Meskipun makna keduanya mengacu kepada garis keturunan (hubungan geneologis), namun keduanya merupakan komponen dasar dari pemerintahan nagari.”
Oleh karena mamak dan kemenakan adalah komponen, pemerintahan nagari, pola hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin akhirnya jauh dari sekadar hubungan kekuasaan. Hubungan keduanya lebih menjurus ada hubungan batin.
Rapek Nagari tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai "'lembaga negara tertinggi" dan "satu‑satunya lembaga pemerintahan" bagi sebuah nagari, tapi sekaligus menjadi lembaga yang mengakomodasikan berbagai kepentingan dan konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan dalam rnasyarakat.
Sebagai lembaga tertinggi tentu saja tidak semua konflik yang terjadi harus dihadirkan dalam sidang para penghulu di tingkat nagari. “Pada Rapek Nagari biasanya yang dibicarakan adalah masalah yang bersentuhan dengan kepentingan warga nagari secara umum,” jelasnya lagi.
Ini soal jadi tantangan yang paling berat bagi kehidupan nagari pada saat sekarang ini. Persoalannya bukan semata kembali dan mengembalikan bentuk kehidupan bernagari semata, namun bagaimana pemimpin masyarakat yang ada dalam nagari bersangkutan mampu mengelola dan sekaligus menyelesaikan persoalan dan konflik yang terjadi di dalam nagari.
Forum Wali Nagari
Munculnya wacana tentang keinginan Wali Nagari di nagari-nagari Kabupaten Agam untuk mewujudkan suatu wadah untuk menghimpun Wali Nagari, apakah namanya kelak, merupakan tanda adanya kemauan dan komitmen yang kuat bagi Wali Nagari untuk meletakkan visi, komitmen yang sama, sekaligus melihat persoalan nagari ditenggari sama persoalan yang dihadapi.
Keinginan untuk melahirkan satu wadah bagi Wali Nagari, pantas disambut baik. Namun demikian, jika polarisasi pemerintah nagari di Kabupaten Agam baru efektif berjalan 4-5 bulan belakang, seperti yang disampaikan Suardi Mahmud, salah seorang tokoh masyarakat yang mengagas perlunya wadah untuk Wali Nagari, kepada Suluh, maka persoalannya bukan lagi semata apakah wadah demikian itu penting atau tidak, akan tetapi yang jadi tujuan utama adalah “kekuatan” posisi Wali Nagari di tengah pemerintah Kabupaten itu sendiri.
Posisi demikian tampaknya amat penting jika dikaitkan dengan soal otoritas nagari dalam menentukan visi ke depan pembangunan, penguatan, pemberdayaan komunitas nagari yang dipimpin Wali Nagari bersangkutan, misalnya. Forum, atau apakah namanya, akan memposisikan Wali Nagari sebagai representasi dari kamauan publiknya, kemauan BPRN dan elemen-elemen yang ada dalam nagari. Selain itu, Forum Wali Nagari Kabupeten Agam—jika kelak ini namanya— akan menempatkan nagari sebagai basis penguatan pemberdayaan masyarakat nagari. Dan, paling sederhana, wadah ini jelas dapat “memotong” jalur birokrasi dan prosedur yang berbelit jika seorang Wali Nagari ingin menyampaikan aspirasinya ke DPRD, ke Pemkab, atau yang lainnya. Cukup forum ini saja yang bergerak.
Akan tetapi, satu hal yang perlu dibenahi dalam proses bernagari di kabupaten Agam, yang masih tergolong baru itu, adalah pembenahan ke dalam, penguatan internal. Ini jelas sangat penting dalam proses menuju arah keseimbangan antara Forum Wali Nagari dengan nagari-nagari yang ada di dalamnya. Jika, satu pihak berada pada posisi yang kurang mendapat perhatian dari Wali Nagari, maka persoalan akan menampakkan konflik yang kian tajam, baik horisontal maupun vertikal di tengah publik.
Maka, penguatan pada nagari masing-masing menjadi soal yang utama dan penting, sebelum Wali Nagarinya mendirikan satu wadah. Menurut, Abdul Aziz Saleh, guru besar Sosiologi Universitas Andalas, dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal Genta No 3 Tahun I 1996, hal yang perlu dikembangkan dalam pemerintahan nagari adalah: pertama, proses dan mekanisme pengambilan keputusan. Secara tradisional, baiyo batido adalah konsep kunci dalam proses pengambilan keputusan. Suatu proses musyawarah adalah tempat setiap orang (pihak) dapat menyatakan ya (pernyataan persetujuan) atau tidak (pernyataan penolakan). Dengan demikian dalam proses pengambilan keputusan itu, perbedaan pendapat diakui dan diterima sebagal suatu hal yang wajar. Bahkan dianggap sebagai suatu proses penting yang perlu dilalui untuk memperoleh suatu keputusan yang berkualitas, dan dapat diterima oleh semua pihak.
Memang, proses musyawarah ini membutuhkan waktu yang relatif panjang, karena melibatkan berbagai berkepentingan dan harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya. Sehingga keputusan yang diambil, dapat mengakomodir kepentingan dan aspirasi sebagian besar masyarakat. Di dalam setiap musyawarah, semua pihak mempunyai kedudukan yang sama, seperti diungkapkan dalam pepatah tegak sama tinggi dan duduk sama rendah.
Di tingkat keluarga besar musyawarah dilakukan di antara sesama anggota keluarga yang sudah dewasa, baik laki‑laki maupun perempuan. Musyawaah ini dipimpin mamak yang dituakan atau disebut tungganai. Di tingkat kaum atau suku musyawarah dilaksanakan di antara para tungganai atau mamak yang dituakan, dipimpin penghulu kaum atau penghulu suku. Sedangkan di tingkat nagari musyawarah dilakukan antara anggota Kerapatan Adat Nagan (KAN).
Kedua, Konsep tentang pemimpin,kekuasaan,dan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Konsep ideal masyarakat Minangkabau tentang pemimpin dinyatakan dalam ungkapan adat teluk timbunan kapal, adat tua menanggung ragam. Maksudnya seorang pemimpin yang ideal adalah pemmpin yang tahan kritik. Seorang yang suka mendengarkan pendapat dan saran yang dipimpin dan tidak bersifat suka menggurui.
Ketiga, sikap terhadap perubaban dan terhadap sesuatu yang baru. Dalam masyarakat manapun juga, setiap perubahan selalu menimbulkan pro dan kontra, termasuk dalam masyarakat Mmangkabau.Ini telah dibuktikan oleh sejarah, seperti ketika masuknya Agama Islam, dan masuknya bangsa dan kebudayaan Barat. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau cukup lentur dan terbuka serta dapat menarik manfaat dari sesuatu yang baru. Hal ini diperlancar oleh kenyataan bahwa budaya Minangkabau tidak begitu cenderung membakukan menyakralkan sesuatu.
Keempat, konsep tentang hubungan sesama. Masyarakat Minangkabau relatif lebib bersifat egaliter dan demokrafis. Nilai ini juga dioperasionalkan di dalam kehidupan sehari‑hari, termasuk dalam hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Di dalam hubungan yang demikian, tidak ada yang memerintah dan tidak ada yang diperintah, karena yang dilaksakanakan adalah keputusan bersama melalui proses musyawarah. Peranan pemimpin lebih berupa koordinator. Inilah yang menentukan pola interaksi antara sesama anggota masyarakat dan juga dengan pemimpin. Sifat demokratisnya juga dinyatakan dalam penghargaan terhadap sesama dan dikuatkan dalam ungkapan, lamak dek awak, katuju dek urang. Penghargaan terhadap manusia sebagai
individu dan haknya untuk ikut ambil bagian di dalam kegiatan dan kehidupan masyarakat, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dinyatakan dalam ungkapan; yang buta meniup lesung, yang lumpuh menjaga padi yang dijemur, yang lumpuh untuk menembakkan meriam.
Kelima, sistem pemilikan tanah, dan penggunaannya dalam masyarakat. Bagi masyarakat Minangkabau tanah merupakan faktor yang penting bukan hanya dari sudut ekonomis dan nilai praktisnya saja. Orang Minang, termasuk mereka yang berada di rantau yang sebetulnya tidak mengandalkan hidupnya dari mengolah tanah tetap melihat tanah sebagai faktor penting, karena memiliki nilai yang bersifat emosional dan sentimental. Hal ini disebabkan adanya anggapan yang tumbuh dengan kuat dalam masyarakat, orang Minang baru diakui sebagai orang Minang kalau dapat memajukan nagarinya, sukunya, rumahnya, tanahnya (ulayatnya).
Dari itu pula, soal penguatan ke dalam jadi kian teramat penting. Jika semua nagari-nagari di Kabupaten Agam—yang dalam Perda Kabupaten Agam No 31/2001 disebutkan berjumlah 73 nagari— jika semua telah memiliki Wali Nagari, dan berarti otomatis ada 73 orang Wali Nagari di Kabupetan Agam, tentu bukan sebuah wadah yang kecil. Paling tidak dalam tataran “posisi tawar” untuk sebuah kebijakan publik, misal yang dikeluarkan pemkab Agam, tentu forum ini akan ditempatkan pada posisi yang penting.
Namun, tentu, ada beberapa hal yang perlu dicermati jika kelak Forum Wali Nagari ini hadir, yakni persoalan politik dan kepentingan kekuasaan menjelang Pemilu 2004 nanti. Tentu banyak pihak yang akan tidak setuju, jika forum ini dimanfaatkan jadi kendaraan partai politik untuk mengumpulkan suara pada pemilu 2004.
“Jika ini terlaksana, ekses dan prsedennya akan sangat jelek sekali,” kata Ivan Adilla, seorang pengamat kebudayaan Minangkabau. Maka, ia menyarankan Forum Wali Nagari ini hendaknya lebih mengedepankan dan mengutamakan program ketimbang demi kepentingan partai politik. Baginya, Forum semacam perlu dikembangkan dan disosialisakan. “Sebab, inilah semacam wadah yang pertama hadir di Sumatra Barat yang bisa menghimpun Wali Nagari dalam satu forum. Daerah lain belum melakukan ini. Sementara Wali Nagari se Agam telah melakukannya,” jelas lagi.
Diterangkannya, untuk Kabupaten Solok, yang pertama sekali mengeluarkan Perda tentang kembali ke nagari di Sumatra Barat, belum muncul pikiran untuk mendirikkan wadah semacam itu. “Saya kira ini perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain. Dan juga, tidak salah jika forum ini diperluas ke tingkat lebih tinggi, misalnya Forum Wali Nagari Se-Sumatra Barat, misalnya. Dan tentu akan sangat menarik jika kekuatan Wali Nagari yang terhimpun dalam satu wadah yang lebih luas bisa terwujud,” tambah Ivan, yang juga salah seorang putra Solok dan staf pengajar di jurusan Minangkabau Universitas Andalas Padang.
Namun, ia juga mengingatkan, forum semacam ini sangat rentan disusupi kepentingan politik dan kekuasaan, maka sangat penting ditangani dengan hati-hati.
Lain halnya dengan Syuhendri, salah seorang panghulu di nagari Malalak. Ia lebih menekankan kepada pemberdayaan nagari masing-masing terlebih dahulu, baru kelak jika proses pengembangan nagari berjalan baik, Wali Nagari masing-masing perlu memikirkan ke luar.
“Polarisasi pemerintahan nagari masih baru di Kabupaten Agam, maka alangkah baiknya jika nagari masing-masing yang dibenahi. Dan mencoba menyatukan visi, komponen, dan semua elemen yang ada di nagari,” katanya.
Namun tak salah kan jika keduanya berjalan dengan baik. nas/dari berbagai sumber