KODE-4

Showing posts with label SAMUIKLADO. Show all posts
Showing posts with label SAMUIKLADO. Show all posts

Thursday, August 2, 2007

Pembakaran Buku dan Politik Iliterasi

OLEH Nurani Soyomukti


Belakangan ini panggung budaya kita diwarnai dengan adanya razia buku-buku sejarah yang dianggap “menyesatkan”. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Negeri Kota Depok memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004. Bahkan secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).

Berawal pada tanggal 9 Maret 2007, saat Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.

Tindakan merazia dan men-sweeping buku yang dianggap melanggar hukum tersebut terjadi secara meluas di berbagai daerah. Yang perlu dicatat, kejadian semacam ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bangsa kita. Pelarangan, pembakaran, dan represi terhadap aktivitas menerbitkan buku atau terbitan lain selalu terulang-ulang. Apalagi, pada saat masyarakat kita saat ini tengah dihegemoni oleh budaya tonton (terutama didominasi acara sinetron, telenovela, dan gosip), keberadaan buku sebagai bacaan yang mencerahkan masyarakat begitu tentan untuk terancam. Pongahnya jaksa agung mengeluarkan larangan tersebut salah satunya juga karena ketidakpedulian masyarakat terhadap dunia buku dan budaya baca-tulis, karena budaya tonton bagai penjara yang memasung naluri kritis dan kesadaran demokrasi.

Kemunduran Budaya Literer

Buku adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah Negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Ketidakproduktifan masyarakat Indonesia memang berkaitan dengan sejarahnya. Sebelum modernisasi masuk, budaya baca-tulis tidak terbangun karena rakyat hanya menerima dan memberi informasi dan pengetahuan berdasarkan dongeng-dongeng yang tersebar, yang melekat pada pemahaman yang membodohi rakyat dan menguntungkan kaealang raja-raja (bangsawan). Melalui dongeng rakyat harus menerima pemahaman bahwa raja adalah gusti (wakil Tuhan/Dewa), yang harus dituruti perintahnya. Ini menunjukkan bahwa budaya oral (lisan) di mana budaya baca-tulis tidak hidup, sebuah masyarakat bukan hanya tidak dapat maju, tetapi juga diwarnai hubungan penindasan dan penipuan.

Asumsi tentang masyarakat literer dan modernisasi dapat kita pahami dari studi ilmu-ilmu sosial seperti dalam studi Daniel Learner yang mempelajari tradisi, transisi, dan modernisasi di enam Negara Timur Tengah. Dalam bukunya The Passing of Traditional Society: Modernizing The Middle East, Learner menerapkan asumsi ketat bahwa perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern ditandai oleh akses kepada tulisan atau aksara (baik buku maupun koran) dan kepada media komunikasi massa lainnya seperti radio.

Masyarakat modern Indonesia yang dicangkokkan oleh penjajah Belanda melalui kolonialisme juga dengan sendirinya melahirkan masyarakat literer modern. Untuk mempercepat eksploitasi kapitalisme, maka harus ada infrastruktur politik dan budaya yang mendukungnya. Kapitalisme, berbeda dengan feodalisme kerajaan, membutuhkan masyarakat yang mengenal tulisan dalam tujuannya untuk menciptakan tenaga kerja yang modern seperti administrasi rasional yang membutuhkan dokumentasi dan publikasi, pekerja-pekerjanya yang membutuhkan kerja-kerja menulis (mulai juru ketik hingga akhirnya juga muncul penerbitan-penerbit an koran dan buku-buku).

Tak diragukan, kemunduran budaya literer barangkali terjadi ketika Orde Baru bercokol sebagai rejim yang takut pada kata-kata dan suara-suara dari rakyatnya. Setiap suara kritis dibungkam dan dikambing hitamkan. Membawa buku ditangkap, menulis ditangkap, dan menerbitkan koran dan majalah juga tidak aman.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah sejak ketuntuhan Orde Baru budaya literer kita meningkat? Modernisasi pasca-Soeharto membawa lompatan kualitas modernisasi di bawah payung sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal. Basis kebudayaan dihiasi dengan liberalisme, kebebasan untuk mengontestasikan ekspresi budaya yang salah satunya munculnya banyak penerbit media cetak baru, salah satunya juga penerbitan buku. Tetapi meragukan apakah menjamurnya penerbitan tersebut dapat berpengaruh pada cara masyarakat kita bersikap memandang realitas. Jika banyak orang yang menulis buku, banyak terbitan, bahkan banyak artis-artis yang menulis buku, ternyata dengan serta merta budaya literer juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat—sebagaimana jaman pergerakan kekuatan baca-tulis sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran rakyat.

Budaya baca-tulispun masih belum dapat mengalahkan saingannya dalam ranah budaya, yaitu budaya menonton (TV) yang juga sekaligus meningkatkan budaya oral seperti semaraknya acara infoteinmen (gosip). Kebiasaan gosip peranh jaya pada masa kegelapan jaman kerajaan di mana rakyat hanya menerima kabar dan perkembangan social dari getok-tular mulut dan dongeng. Budaya oral ini lebih banyak tidak objektifnya dan banyak manipulasinya. Selain itu budaya menonton tidak memicu produktifitas dan kreatifitas (imajinasi) otak. Berbeda dengan budaya baca-tulis yang membentuk kualitas pribadi, selain memasok dan mentransfer pengetahuan dan ideologi.

Masyarakat yang didominasi budaya tonton pastilah hanya memperbanyak generasi yang berpikir dan bertindak secara—apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai—“satu dimensi” (one-dimensional man). Mereka hanya bisa meniru dan lahirlah masyarakat permisif dan konsumtif—tidak produktif dan kreatif. Pada hal, untuk membangun bangsa ini kita butuh manusia yang berkarakter yang punya gairah untuk memahami persoalan dan memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencipta.

Mau tak mau, masyarakat literer harus dirumuskan pembangunannya. Bagaimana strateg-taktik untuk menciptakan masyarakat literer tentu saja membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Pemerintah harus mendukungnya, lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, dan penerbitan memiliki peran yang strategis. Selain itu juga komunitas-komunitas baca tulis yang kini semakin banyak bermunculan juga menandai adanya harapan bahwa masyarakat literer masih dapat diharapkan untuk mendukung pembangunan bangsa yang terseok-seok karena makna aksaranya sendiri.***

Nurani Soyomukti, Penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL”; berkhidmat di JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta

DKI, dari Fakta ke Rekayasa

OLEH NASRUL AZWAR

Salah satu dari empat butir keputusan yang dihasilkan dalam Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia yang dilangsungkan di Jayapura, 22-25 Agustus 2005, adalah dibentuknya Dewan Kesenian Indonesia atau DKI. Selain keputusan yang dikeluarkan itu, kongres juga menerbitkan dua belas butir rekomendasi.

Salah satu butir rekomendasi itu adalah meminta kepada Presiden dan pemerintah untuk mengukuhkan berdirinya Dewan Kesenian Indonesia dengan surat keputusan presiden (keppres).

Setelah hasil kongres itu tersiar, sikap menolak atas rencana pembentukan DKI tidak dapat dibendung lagi. Berderet-deret tulisan di media cetak dan aksi dilakukan sejumlah seniman di Jakarta, beberapa waktu lalu, memunculkan satu kata: tolak (DKI)!


Akan tetapi, sebagian besar dari tulisan dan aksi penolakan itu ditulis dan dilakukan oleh orang yang tidak terlibat langsung dalam kongres. Hanya satu tulisan Isbedy Setiawan ZS yang dimuat di Media Indonesia ( 11 September 2005) yang berasal dari peserta sekaligus tim perumus kongres. Sementara tulisan Putu Fajar Arcana dalam Kompas edisi Minggu, 4 September 2005, lahir karena ia bertugas meliput jalannya kongres.

Bagi saya itu tidak jadi soal penting. Untuk itu pula tulisan ini mencoba menggambarkan perjalanan menuju lahirnya DKI itu karena saya utusan Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) sebagai peserta.

Fakta

Pada tanggal 15 Oktober 2004, DKSB menerima surat undangan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Undangan yang sama saya kira juga diterima oleh dewan kesenian (DK) lainnya di Indonesia.

Perihal undangan itu adalah Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Dalam undangan itu terlampir surat kesediaan Dewan Kesenian Tanah Papua (DKTP) sebagai tuan rumah/penyelenggara Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia. Kesediaan DKTP sebagai penyelenggara karena diamanatkan dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia V yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 3-7 Meret 1999. Adapun DKJ sendiri adalah sebagai Badan Kontak Antardewan Kesenian se-Indonesia.

Lembaran lainnya ada formulir tentang pernyataan keikutsertaan dalam Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia beserta kolom saran atau masukan. Formulir ini dikirimkan kembali paling lambat 31 Desember 2005. Surat tersebut ditandatangani Ratna Sarumpaet (Ketua Umum) dan Harris Priadie Bah (Sekretaris) Dewan Pekerja Harian DKJ.

Dalam undangan itu tertulis agar diinformasikan kepada DK kabupaten dan kota di wilayah masing-masing. Selain itu, dalam undangan juga tertera top pimpinan DKJ sebagai steering comitte (SC) sekaligus menetapkan tema musyawarahnya, yaitu ”Posisi Kebudayaan dalam Pembangunan Indonesia ke Depan”.

Waktu terus berputar. Sembilan bulan setelah surat pertama diterima, pada 17 Juli 2005, DKSB kembali menerima surat undangan dari DKJ. Surat undangan kedua ini substansinya berbeda dengan surat pertama. Perbedaan paling mencolok adalah berubahnya subtansi dan tujuannya.

Surat pertama mengundang DK untuk ikut serta dalam Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia, sedangkan surat kedua mengundang DK untuk ikut serta dalam Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Surat kedua itu disertai lampiran proposal, agenda dan materi acara, serta susunan kepanitiaan. Menyangkut jadwal dan tempat tidak ada perubahan. Surat undangan masih tetap ditandatangani orang yang sama.

Rekayasa

Perubahan dari musyawarah ke kongres, sepanjang informasi yang saya dapat, tidak pernah dijelaskan pihak DKJ maupun DKTP sebagai penyelenggara. Padahal, posisi beberapa pengurus DKJ yang menjadi SC sudah seharusnya menjelaskan perubahan yang sangat prinsip itu. Jika dipelajari lebih jauh, kesimpulan saya, dua surat yang dikirimkan itu memang sangat kontradiktif dan mengarah pada perbuatan manipulasi terhadap fakta yang sebenarnya, serta penuh dengan rekayasa.

Isi kedua surat itu dapat membuktikan bahwa DKJ sebagai SC telah ”mengatur” permainan menuju DKI itu. Pada surat pertama secara jelas tertulis akan digelar Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia 2005 seperti yang diamanatkan dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia V yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 3-7 Maret 1999. Musyawarah ini dilakukan berkala. Sedangkan surat kedua-di sinilah bermula manipulasi dan rekayasa itu-amanat di Yogyakarta itu bertukar dengan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Tema pertemuan pun bertukar dengan ”Seni untuk Semua”.

Untuk itu pula, DK yang hadir di Jayapura, pada sidang pleno pertama mempertanyakan perubahan dari musyawarah ke kongres. Pertanyaan yang mendasar ini dijawab bahwa selama ini DKJ merasa sangat terbebani sebagai Badan Kontak Dewan Kesenian se-Indonesia yang diamanatkan dalam musyawarah di Yogjakarta, maka perlu kiranya dibentuk lembaga atau institusi yang dapat memayungi semua DK di Indonesia.

Jawaban itu jelas tidak memuaskan peserta. Seperti kongres partai politik, sidang diskors 30 menit. Akhirnya didapat kesepakatan, 10 utusan DK memilih nama kongres, 2 memilih nama musyawarah, dan 1 memilih keduanya. Maka, selanjutnya digunakan nama Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia.

Kondisi saat itu memang sangat dilematis dengan segerobak pertimbangan. Satu sisi para peserta harus menghormati kerja keras tuan rumah untuk mempersiapkan sedemikian rupa acara itu yang telanjur disosialisasikan dengan nama kongres. Dan rasanya sangat tidak menghargai mereka, tiba-tiba semuanya ditukar dengan nama musyawarah.

Sisi lain, sikap ”sepakat” menerima nama kongres seolah berkompromi dengan fakta yang telah dimanipulasi. Hasil bincang-bincang dengan kawan-kawan peserta, hampir semua beralasan memilih nama kongres karena pertimbangan kebersamaan, menghormati, dan menghargai DKTP dan masyarakat Papua sebagai tuan rumah.

Pertimbangan demikian memang memiliki efek dan konsekuensi. Paling tidak, keberadaan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia seolah ”legitimed” dan keputusan yang dihasilkan juga diandai-andaikan berasal dari keinginan peserta kongres. Padahal, kondisi dilematis yang demikian itu dapat diraba sebagai upaya yang sengaja diciptakan demikian rupa yang memaksa peserta tidak punya pilihan lain.

Untuk yang satu ini, harus diakui, SC dan juga kelompok yang mendukungnya sangat cerdik dan lihai mem-plot kongres seolah terlegitimasi. Memang, harus dikatakan, peserta kongres telah dikelabui dan dimanipulasi.

Maka, apa yang dicurigai Arie F Batubara (Kompas, 19 September 2005) tentang keterlibatan DKJ atau sejumlah oknum anggotanya menyangkut plotting kongres itu menemukan pembenaran. Menurut dia, keterlibatan DKJ atau sejumlah oknum anggotanya, yang secara terang-terangan membawa nama DKJ sebagai sebuah lembaga, adalah tindakan yang bersifat manipulatif. Dalam hal ini, peserta kongres yang lain—yang bisa jadi hadir dengan membawa mandat resmi dari daerahnya—sesungguhnya bisa dikatakan sudah terkelabui.

Untuk itu pula, penelusuran lebih lanjut sangat dimungkinkan untuk membaca kembali hasil Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1999 itu. Paling tidak untuk memastikan apakah benar musyawarah itu menghasilkan butir tentang Kongres Dewan Kesenian seperti yang tertulis dalam surat kedua itu. Jika ditemukan yang sebaliknya, rumusan yang dihasilkan di Jayapura dapat dianggap tidak ada, termasuk pembentukan DKI itu. Karena semua berawal dari fakta menuju rekayasa.***

Klik Kompas, Senin, 26 September 2005

Sunday, July 15, 2007

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007

Berladang di Punggung Budaya

OLEH Nasrul Azwar

Gendang Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 telah ditabuh. Penabuhnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, walau tampak kacau balau dan penuh kepanikan di wajah panitia pelaksana, tapi, sejak Minggu, 8 Juli 2007 alek yang disebut sebagai revitalisasi budaya tradisi Minangkabau ini, resmi dibuka. Bersamaan dengan itu pula, dicanangkan Hari Permainan Anak Nusantara.

Surat kabar lokal menyebut, Pekan Budaya Sumatera Barat 2007 merupakan Pekan Budaya yang ke-X (sepuluh). Dari cerita tokoh-tokoh yang pernah terlibat langsung dengan Pekan Budaya di Sumatra Barat, mengatakan iven ini dimulai sejak tahun 1982. Namun, jangan berharap banyak jika ingin menelusuri bukti-bukti tertulis berupa buku acara atau dokumen lainnya, kliping-kliping media cetak atau media audio visual yang berkaitan dengan perjalanan Pekan Budaya itu. Kita tidak akan menemukannya, malah di institusi atau badan yang relevan dengan kearsipan sekalipun. Hal itu jauh api dari rokok. Bahwa etnis Minang sangat kental dengan tradisi lisan (niraksara) mendapatkan pembenarannya di sini. Kita hanya bercerita saja, tidak mau menuliskannya.

Jika Anda berniat mendokumentasikan, menyusun, dan selanjutnya, misalnya, menuliskannya menjadi sebuah buku atau berupa skiripsi, Anda mungkin layak menerima penghargaan dari Gunernur Sumatra Barat (itupun jika dia punya apresiasi yang sungguh-sungguh terhadap karya Anda). Sebab, Andalah yang orang pertama di ranah Minang ini yang mampu menulis tentang itu: Sebuah iven budaya yang cukup penting di negeri ini, yang melibatkan banyak pihak dan sudah menelan dana yang besar, terwujud berupa karya tulis.

Sejenak kita lupakan itu dulu. Kembali ke Pekan Budaya yang kini sedang bakatuntang di Taman Budaya Sumatra Barat sampai tanggal 14 Juli 2007. Ini Pekan Budaya ketiga sejak reformasi tahun 1999 yang digelar di tempat seniman dan budayawan Sumatra Barat berkumpul itu. Dulu, Pekan Budaya digelar di kota dan kabupaten di Sumatra Barat: Kabupaten 50 Kota/Kota Payaklumbuh, Kota Bukittinggi dan Agam, dan Kabupaten Tanahdatar, pernah merasakan suka duka sebagai sipangka dalam alek Pekan Budaya itu. Kini, pola seperti arisan itu tak ada lagi. Peran sepenuhnya diambil Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Maka, beruntunglah Pemerintah Kota Padang sebagai ibukota provinsi, karena setiap tahun Pekan Budaya dilaksanakan di “rumah”nya tanpa perlu mengalokasikan anggaran dalam APBD-nya.

Sementara itu, 6 kota dan 12 kabupaten yang berada di luar Kota Padang sangat mengesankan sekali sebagai pelengkap penderita dan sekaligus peramai alek belaka, malah secara pemerintahan mereka telah dilecehkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Mengapa tidak, di depan undang-undang otonomi daerah sesungguhnya posisi pemerintahan kota dan kabupaten sejajar. Tak ada yang istimewa. Pertanyaannya, apa alasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk memilih Kota Padang tempat digelarnya Pekan Budaya Sumatra Barat secara berturut-turut sejak tahun 2004? Alasan karena ibukota provinsi, saya kira bukan alasan yang realistis pada saat sekarang. Karena fasilitas di pertunjukan seni Kota Padang lebih lengkap, itu pun tak masuk akal. Untuk itu, sudah saatnya wali kota dan bupati yang di Provinsi Sumatra Barat mempertanyakan hal itu kepada gubernur.

Sebab, salamo hiduang ditampuah anggok, iven Pekan Budaya tak akan pernah menghadirkan tontonan seni yang membutuhkan gedung dengan akustik yang bagus, lampu yang lengkap, dan alat musik yang jernih dan kuat. Pekan Budaya Sumatra Barat sejak dulunya memang sudah diorientasikan sebagai sebuah pakan, atau pasa. Maka, yang hadir setiap iven ini digelar adalah hamparan lapak-lapak dagangan para penggelas dengan seribu cara menarik perhatian tamu yang datang.

Lalu, jangan pula kita heran saat datang ke arena ini, mendengar secara bersamaan suara saluang dan pedendang, suara anak randai yang sedang membawakan tokoh Anggun nan Tongga, suara ginset, suara biduan orgen tunggal, dan teriakan pedagang pakaian anak-anak dengan kalimat terkenal di kaki lima “tigo saribu, tigo saribu!”

Inilah yang namanya Pekan Budaya Sumatra Barat. Iven “budaya dan seni” yang mengatasnamakan seni dan budaya (Minangkabau) Sumatra Barat. Seni dan budaya tradisi yang tumbuh dan berkembang di nagari-nagari yang dibesarkan oleh anak-anak nagari, yang dalam pikiran para pejabat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi, belum dikenal masyarakat luas, telah dijadikan alasan pembenaran untuk dengan mudahnya menghamburkan uang sebasar Rp 1,2 milyar. Uang sebanyak itu, dalam logika paling sederhana, sepeser pun tak akan pernah dirasakan para seniman tradisi yang tampil mewakili kota dan kabupatennya. Malah, semua kebutuhan transportasi, akomodasi, honor, dan lain sebagainya ditanggung pemerintah masing-masing. Panitia Pekan Budaya tak bertanggung jawab menyangkut biaya dan dana. Dan, malah untuk memperagakan keunggulan dareah di stand-stand yang disediakan, mereka mesti bayar listrik ke panitia. Konon, untuk stand di dalam komplek Taman Budaya sebesar Rp 300.000/selama acara, dan di luar mereka bayar Rp 400.000/selama acara. Lalu buat apa uang yang dialokasikan dari APBD Sumatra Barat sebesar Rp 1,2 milyar itu, jika para peserta dari kota atau kabupaten tetap membayar?

Pekan Budaya tahun 2007 tak jauh beda dengan yang sudah-sudah. Materi acarapun berkisar di situ-situ juga: ada lomba ada festival. Saluang jo dendang dilombakan, randai juga. Ada lomba lagu pop Minang, memakai baju kurung, mewarnai dan baca puisi. Pesertanya sudah dapat diduga: rata-rata 10 orang/kelompok. Untuk mewarnai hanya diikuti 9 orang.

Dari jumlah peserta itu, pelaksanaan dan pola kerja Pekan Budaya jelas sangat memprihatinkan. Selain itu pula, iven yang dianggap penting ini tidak pula menyediakan buku acara atau buku panduan yang bisa dijadikan pedoman bagi para pengunjung. Kalau ada alasan sudah ditulis dalam undangan, tentu tidak semua mendapat undangan. Inilah satu-satunya di atas muka bumi, sebuah acara yang dibuka resmi oleh orang nomo 2 di Indonesia tidak mengeluarkan atau mencetak buku. “Alah kanai ota se masyarakaik ko tamasuak rang sumando awak tu,” kata teman saya.

Inilah sebuah peristiwa budaya yang dirancang jauh-jauh hari tanpa tujuan yang jelas. Tak jelas capaian apa yang dikehendaki. Jika dicium acara ini kental dengan aroma proyek. Satu lagi bertambah deretan-deretan “iven budaya” dengan mengatasnamakan seni dan budaya tradisi Minangkabau, dan ternyata mereka berladang di punggung seni dan budaya itu. ***

Sunday, June 10, 2007

Minangkabau, Balok Es yang Meleleh



OLEH Nasrul Azwar


Suatu hari teman saya mem-posting sebuah cerita
ke e-mail saya. Inti cerita di e-mail itu katanya, penting untuk melihat kondisi masyarakat Minangkabau, baik yang ada di rantau maupun di kampung halamannya. Cerita e-mail teman saya itu begini:

"Usman Chaniago, seorang pemuda bekerja sebagai supir camat di Payakumbuh. Suatu hari ia minta berhenti karena akan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Usman Chaniago menganggap, menjadi supir camat tidak bergengsi dan dipandang rendah di kampungnya. Lalu dia merantau ke Jakarta seperti kebanyakan pendahulunya. Mula-mula dia bekerja sebagai tukang kantau di Tanah Abang. Perlahan-lahan, Usman Chaniago dapat mengumpulkan sedikit modal, lalu dimulai pula menggelar dagangannya di pinggir jalan di Tanah Abang.

Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Dia pun berkeluarga dan memiliki 2 anak. Tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI. Karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya terpampang di pintu rumah mereka: ada Prof, Phd. M.Sc, M.Si, dan lain-lain. Usman Chaniago merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.

Dibuatlah papan nama dari perak, dipesan dari Koto Gadang, salah satu nagari di Kabupatena Agam yang terkenal dengan kerajinan peraknya, dengan nama Dr. Usman Chaniago M.Sc. Ketika ayahnya datang berkunjung ke rumahnya, taragak hendak berjumpa dengan cucunya, sambil bangga dia bertanya di mana anaknya kuliah, sebab setahu ayahnya, anaknya hanya berdagang. Dengan malu-malu Usman Chaniago menerangkan gelarnya di papan nama: "Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat dengan singkatan Dr. Usman Chaniago M.Sc."

Saya tersenyum habis membaca e-mail itu. Di dalamnya ada persoalan kreativitas dan kekonyolan, juga ada "nilai" yang menyangkut prestise dan pentingnya "status" sosial di tengah masyarakat.

Sisi lain, bisa jadi Usman Chaniago beranggapan tidak perlu membeli gelar dengan menghabiskan uang yang sesungguhnya dia sendiri mampu membeli gelar itu. Baginya, yang penting ada persamaan status "sosial" di lingkungannya, walau ia menyadari sebenarnya itu bukan gelar yang mesti diraihnya dengan kuliah.

Pelabelan identitas "baru" di awal dan belakang namanya, tak lebih dari sekadar "main-main". Toh, walau ada label "akademis" itu, Usman menyadari "gelar" itu tidak pernah membawa berkah menjadikan dirinya sebagai keynote speaker dalam sebuah seminar, kongres atau sejenis ini. Bisa juga, Usman Chaniago sedang menertawakan dirinya, atau barangkali kaumnya, atau Minangkabau itu sendiri - yang kadang dinilainya tidak lagi rasional menghadapi persoalan.

Ilustrasi di atas sebuah anekdot. Barangkali banyak anekdot serupa dengan versi yang lain yang pernah kita dengar. Namun, bukan itu yang dipersoalkan. Dari kaca mata ilmu tanda, ia mengemban makna referensial. Makna yang ada di dalam teks melekat di luar teks itu sendiri. Mereferensi. Penanda yang terkait dengan karakter, sifat, dan nurani purba manusia, dan untuk konteks anekdot di atas, penandanya adalah masyarakat Minangkabau: ada identitas etnis yang dapat diidentifikasi di dalamnya.

Anekdot, bagi yang tertarik dengan "dunia" ini, jika ingin memahami dan mendalami karakter etnis tertentu, bisa masuk lewat pintu anekdot seperti ini. Dalam dunia folklor, anekdot kayak begini menjadi determinatif. Kemunculan sebuah anekdot tentu memiliki latar belakang. Ada alasan "tertentu" munculnya anekdot. Dan dapat juga ia muncul karena benar-benar terjadi. Makanya, ia tampak penting dalam membaca karakter, pola pikir, dan etnis tertentu.

Etnis Minang saat sekarang adalah sekumpulan massa yang teridentifikasi karena adanya perjalanan bangsa ini. Ia sekumpulan massa yang diikat dalam sistem yang diciptakan sendiri. Sistem yang muncul itu, bisa jadi karena etnis Minang memiliki peran di dalamnya. Posisi dalam peran itu, pada periode tertentu mendominasi perjalanan bangsa ini, pada periode lain tersubordinatif, atau malah termajinalkan dan tidak dianggap. Namun demikian, etnis Minang tetap meyakini sebuah identitas. Identitas ini menjadi senjata yang diusung kemana-mana. Identitas dihadirkan sebagai singasana yang agung.

Minangkabau yang diaktulisasikan pada saat sekarang adalah Minangkabau sebagai identitas rekayasa jenetikal. Hasil dari proses kulturalistik yang dibangun dengan mengunakan tangan-tangan hegemonik. Kehadiran Minangkabau tidak lagi dilihat dalam posisi perannya yang sangat determinatif dalam policy publik, bukan tersebab dominasi pemikiran dalam nation building. Eksistensinya tidak lebih kerena etnis ini masuk dalam hitungan jumlah suku-suku yang ada di Indonesia ketika seorang guru sekolah dasar mengajarkan sejarah. Tak lebih sebagai hafalan bagi murid sekolah dasar. Dalam perspektif demikian itu, sesungguhnya Minangkabau telah terkubur. Telah tiada.

Minangkabau dalam garis kulturalnya telah tiada, tetapi dalam batas administrasi yang disebut dengan Provinsi Sumatra Barat masih ada. Antara Minangkabau dalam garis kutural dan Sumatra Barat dalam batas administrasi dalam kaca mata budaya adalah dua dunia yang berlainan. Yang diaktulisasikan sebagai Minangkabau pada saat sekarang adalah "Minangkabau" dalam garis administrasi tadi. Sedangkan Minangkabau dalam garis kultural sudah menjadi teks-teks sejarah yang telah lama terlewati. Minangkabau garis kultural telah ditelan oleh Minangkabau batas administratif.

Minangkabau batas administratif berkaitan dengan kekuasaan dan hegemonik negara. Eksistensinya berada dalam cengkeraman dan berkaitan dengan wilayah hukum negara. Minangkabau garis administratif (Sumatra Barat) kekuasaan tertinggi ada di tangan gubernur dan seterusnya ke tingkat bupati/walikota, camat, dan wali nagari/lurah.

Selanjutnya, pemimpin informal Minangkabau yang direpresentasikan sebagai kekuatan daya jelajah keintelektualannya yang pernah berjaya di masa lalu, kini tidak lagi memperlihatkan homologinya (hubungan sinkronis di mana struktur-struktur sosial, nilai-nilai sosial, dan simbol-simbol kultural dikatakan cocok satu sama lainnya). Kehilangan homologi ini disebabkan negara (Minangkabau administratif) telah ikut serta menginvasi secara sistematis Minangkabau garis kultural. Peran kunci pemimpin informal di tengah kaumnya telah direbut oleh aparatur negara. Aparatur itu bisa jadi polisi, satuan polisi pamong praja (Satpol PP), dan lain sebagainya yang bertindak dengan simbol-simbol kekuasaan negara.
Nasrul Azwar, Minangkabau, Balok Es yang Meleleh
Pada wilayah policy publik berkaitan dengan keperluan legitimasi kultural-politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Minangkabau administratif perlu mengaturnya dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Munculnya perda kembali ke nagari, perda penyakit masyarakat, ranperda tanah ulayat yang pernah menjadi polemik itu, dan perda-perda lainnya merupakan indikator dan bukti konkret bahwa negara berada dalam garis terdepan mengatur narasi besar tentang proses keberlangsungan kultural Minangkabau. Seterusnya, pada tingkat pemerintahan paling bawah yaitu nagari juga menerbitkan peraturan nagari. Minangkabau administratif telah merayakan perannya sebagai dalam wilayah materialisme kultural.

Pada batas yang demikian, sesungguhnya di Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme.

Pembagunan pasar dan hotel yang diidentikkan dengan ikon kota metropolitan menjadi persyaratan utama menuju kota modern. Para bupati dan wali kota yang berkuasa di wilayah Minangkabau dalam garis administrasi itu setiap hari meneriakkan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di wilayah hukumnya. Kebijakan penguasa tidak lagi mempertimbangkan jeritan pedagang-pedagang kecil. Jika muncul gejolak di tengah masyarakat menolak kebijakan penguasa itu, maka stigma langsung dilekatkan kepada mereka: menghalangi investor masuk ke daerah.

Minangkabau sekarang adalah Minangkabau yang berada dalam cengkeraman gurita konglomerasi-konglomerasi urban yang bertindak sebagai titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai aktivitas ekonomi yang beragam. Minangkabau telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi, distibusi, dan sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul pertukaran informasi dan proses pembuatan keputusan.

Minangkabau telah berada pada titik nadir, dan jelas sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Dari itu pula, wilayah publik, wilayah anak nagari, dan wilayah yang lainnya yang selama ini berada di tangan penguasa sudah saatnya dikembalikan ke dalam wilayah kultural Minangkabau.

"Perlawanan" yang paling dimungkinkan adalah dengan penguatan institusi informal, melakukan bargaining power terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa Minangkabau yang administratif itu. Memperjelas wilayah-wilayah yang pantas disentuh tangan penguasa, dan mempertajam kembali simpul-simpul kultural yang selama ini dimatikan oleh sistem kekuasaan.

Selain itu, penguasa Minangkabau administratif itu harus mempertegas dirinya untuk tidak menyentuh wilayah-wilayah yang sesungguhnya bisa digerakkan oleh sistem yang berjalan secara kultural. Jika tidak demikian, maka jadilah kita Usman Chaniago baru.***

Saturday, June 9, 2007

Suratkabar di Padang Monoton

Oktober 2nd, 2006 · 14 Comments
Saya di Padang melahap tiap hari semua harian yang terbit di Padang: Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, dan Pos Metro Padang. Apa yang saya peroleh dari empat media itu? Tak lebih rasa jengkel!
Surat kabar yang terbit di Padang (terutama harian)–jika mau memperoleh informasi yang dalam dan berita yang tajam–jangan harap. Berita yang diturunkan tak lebih dari aktivitas pejabat semenjak dari gubernur sampai camat di Sumatra Barat.
Apa yang dapat kita petik–taruhlah, misalnya, selama Ramadan ini–semua harian yang terbit di Kota Padang menurunkan berita safari Ramadan para pejabat dan juga anggota dewan. Apa yang dapat kita ambil dari berita-berita yang sifatnya seremonial peresmian ini dan itu. (Lenkapnya http://jurnalisme.wordpress.com/2006/10/02/suratkabar-di-padang-monoton/.)

Wednesday, February 21, 2007

Pendidikan untuk yang Kaya Raya


OLEH Nasrul Azwar

Jika Anda mau sedikit bekerja keras dan membuka lembaran surat-surat kabar yang terbit di Sumatra Barat dalam rentang bulan April-Mei 2004, maka Anda akan menemukan kalimat-kalimat seperti ini: “Jika saya terpilih menjadi anggota DPRD, saya akan membebaskan biaya pendidikan. Orangtua tidak perlu lagi memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya. Semua gratis! Maka, pilihlah saya pada pemilu nanti.”
Saat kampanye pemilu, kalimat demikian tidak asing di telinga kita. Janji-janji itulah yang dilontarkan para calon legislatif di lapangan bola, aula, di sudut-sudut galanggang nagari, dan di mana saja jika ada kesempatan. Kalimat itu menjadi headline di surat-surat kabar atau paling tidak berdiri mencolok di rubrik-rubrik advetorial. Saat itu mereka membutuhkan dukungan dari publik, dan tampaknya, adigium pendidikan gratis bisa menjadi komodifikasi dalam bursa politik untuk menggenjot raihan perolehan suara.
Kini, 2 tahun telah berlalu. Yang pernah berjanji itu telah 2 tahun pula duduk di kursi dewan legislatif dengan fasilitas lumayan mewah dari negara. Merela digaji cukup lumayan besar untuk ukuran penghasilan rata-rata rakyat Sumatra Barat, diberi tunjangan, jaminan ini-itu, ada juga uang insentif kungker, rapat ini-itu, dan lain sebagainya. Pokoknya, mereka tidak perlu pusing-pusing memikirkan “pitmas”, semua sudah oke.
Lalu, bagaimana dengan janji mereka tentang pendidikan gratis itu? Tak usah pikirkan, karena mereka tidak memikirkan itu lagi. Saat kini mereka sedang merayakan hasil kebohongan itu dengan bungkus sebagai wakil rakyat. Berteriak melebihi bunyi petus untuk menagih janji mereka, jangan harap mereka dengar. Datang ke kantor mereka buat menagih janji-janji itu, jangan berpikir mereka akan membuka pintu lebar-lebar. Semua seperti membenturkan sesuatu ke dinding batu.

***
Pada tanggal 23 Juni 2006, harian terbesar di Indonesia memuat iklan dengan judul Himbauan Departemen Pendidikan Nasional yang isinya saya kutip utuh: “Menyongsong Tahun Pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kebersamaan dalam mewujudkan layanan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif. Terkait dengan itu Pemerintah telah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada seluruh satuan pendidikan dasar (SD/MI, SDLB, SMP/MTs, SMPLB atau yang sederajat), sehingga satuan pendidikan dasar dihimbau untuk tidak melakukan pungutan biaya pendaftaran/administrasi dan biaya lainnya yang tidak proporsional kepada calon siswa/orang tua siswa.
Kepada Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota diminta untuk mengendalikan, mengawasi, dan jika diperlukan memberikan sanksi terhadap satuan pendidikan yang melakukan pungutan dimaksud.
Sesuai dengan pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005; guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik. Dimohon agar semua pihak terkait memaklumi dan mematuhinya.”
Bersama Asril Koto, Putri Reno Intan, Yurnaldi, dan saya berinisiatif memperbanyak iklan itu dan menyebarkan kepada orangtua murid/siswa. Dengan nama Forum Pemantau Pendidikan Sumatra Barat (FPP-SB) feedback dari penyebaran himbauan itu sungguh di luar dugaan: respons dari orangtua murid/siswa cukup besar. Semua bermuara pada pungutan uang yang dilakukan pihak sekolah, dan itu mencekik leher mereka.
Pungutan uang dengan dalih bermacam-macam, memang bukan hal aneh dalam dunia pendidikan kita. Pada akhir tahun pelajaran dan awal tahun pelajaran merupakan peluang besar bagi pihak sekolah untuk meraup dana sebanyak-banyaknya dari orangtua murid/siswa. Sekolah seperti berlomba memasang tarif. Jika sekolah dinilai publik bagus, elitis, dan berada di tengahn kota, maka tarif masuknya beda sekolah yang berlokasi di ujung kota, dan seterusnya.
Dari informasi yang diperoleh FPP-SB di lapangan, jenis pungutan di sekolah berlainan setiap sekolah, dan jumlah pungutan juga berbeda-beda di dalam Kota Padang. Pascapengumuman kelulusan di masing-masing tingkatan sekolah di Kota Padang, pungutan-pungutan yang terkait dengan siswa yang tamat—jika mengacu kepada himbaun Depdiknas di atas tergolong illegal dan menyalahi peraturan—misalnya, siswa tidak bisa memperoleh ijazahnya jika tidak membayar Rp 50.000. Ini pada tingkat SMU/MA, belum termasuk di tingkat SMP/MTsN, dan SD. Dari informasi yang diperoleh (sementara), FPP-SB telah menerima 15 pengaduaan dari orangtua murid/siswa di Kota Padang dengan pungutun bervariasi, tapi minimal nilainya pungutan terendah Rp 25.000.

***
Demikianlah dunia pendidikan kita, yang seyogyanya mengajarkan kejujuran dan kepatuhan terhadap peraturan, malah mempertontonkan sebaliknya. Lembaga dan fasilitas yang seharusnya tersedia cuma-cuma bagi anak sekarang malah menjadi proyek para birokrat pendidikan yang berkuasa. Dan juga sama halnya dengan nasib anak-anak yang tidak lulus ujian akhir nasional mengikuti Paket C dengan keharusan membayar Rp 300-600 ribu/siswa. Bermainnya kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat lokal agar anak atau saudaranya diterima di sekolah-sekolah negeri, semakin terbuka dilakukan di segala lapisan, padahal nilai anak/saudaranya itu lepas makan saja. Uang pelicin dan lain sebagainya bermain dengan cantik di birokrat pendidikan agar si anu bisa diterima. Tampaknya, korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela mulai dari perguruan tinggi sampai SD di nagari-nagari.
Akhirnya, memang betul, sistem pendidikan bangsa Indonesia hanya untuk yang berkuasa dan kaya raya. ***

Rabun Senja, Buta Sejarah


OLEH Nasrul Azwar

Apa yang membuat Minangkabau terpeta dengan tinta emas dalam sejarah kehidupan intelektual di Nusantara ini—taruhlah, misalnya, jauh sebelum bangsa Belanda masuk, atau saat Islam bertegur sapa dengan adat dan tradisi kulturalnya pada awal abad ke 16 M—tak lain karena kultur Minangkabau yang sangat fleksibel dan keterbukaan berpikir. Karakteristik yang unik dari masyarakat Minangkabau adalah kemampuan mengelola sistem budaya matrilineal dan memaknai filosofi adatnya, sehingga ideologi dan paham jenis apa saja yang masuk ke ranah ini, tidak ada masalah. Ideologi kiri, kanan, tengah, malah paham gado-gado.
Pada tahun 20-an, secara nyata berkembang berbagai aliran ideologi di ranah Minang termasuk paham komunis radikal yang berlanjut dengan pemberontakan komunis pada 1926-1927 di Silungkang. Pada 1940-an tercatat beberapa partai politik Islam di Minangkabau bergenggaman erat dengan koalisi komunis radikal. Semuanya berjalan dengan baik: menghormati paham dan mengharagai perbedaan ideologi itu tanpa kecurigaan.
Masa-masa seperti itu bukan saja berjalan dengan penuh keharmonisan, lebih jauh lagi membuka lebih luas dialektika masyarakat Minangkabau dalam menata pola pendidikan. Misal, pada akhir periode penjajahan Belanda—saat itu rasa nasionalisme Indonesia mengakar kuat pada masyarakat Minangkabau—tercatat jumlah institusi lembaga pendidikan dasar, menengah, dan lain sebagainya, jumlahnya jauh melampuai kawasan lain di Indonesia. Di mana-mana muncul institusi pendidikan yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan quo vadis negeri ini. Minangkabau saat itu seperti sebuah “tangki pemikiran” Indonesia dalam konteks Indonesia dan menempatkan Sumatra Barat pada posisi yang sangat penting. Akan tetapi, karena pola menata Indonesia bertolak belakang dengan pola kekuasaan yang dianut penguasa dengan kultur feodalisme, maka terjadilah pertentangan dan “perlawanan” terhadap pemerintah pusat. Meletusnya PRRI pada tahun 1958 sebagai manifestasi perlawanan itu.
Polarisasi, kemampuan beradaptasi, dan kelincahan membaca situasi yang berkembang adalah modal dasar bagi masyarakat Minang saat itu. Dan selanjutnya, dengan penyesuaian kultur adatnya, Minangkabau muncul sebagai kekuatan yang berpengaruh di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah pemikiran, masyarakat Minangkabau menafikan bentuk kecurigaan terhadap beragam ideologi dan aliran yang berkembang dan masuk ke ranah ini. Saat itu, tidak pernah muncul klaim atau pelarangan terhadap hasil pemikiran manusia. Semua paham, ideologi, dan apu pun namanya dipelajari dan diterima yang kelak akan memunculkan dialektika pemikiran “baru”. Dan sejarah mencatat, tokoh-tokoh politik, negarawan, ulama, budayawan, dan penulis kuat yang mencuat dari ranah Minang bukan karena mereka takut dengan beragam ideologi yang masuk ke negeri ini, tapi disebabkan pergaulan dan daya jelajah pemikiran yang berbasis pada kekuatan kultural dan agamanya. Mereka tidak gagap dan cemas, teguh dalam bersikap, kritis, tidak plin-plan, lapang cara pandangnya, tidak picik, berbuat tanpa tendensi, tidak arogan, terang jalan pikirannya. Inilah yang membuat tokoh-tokoh Minang yang muncul pra-kemerdekaan Republik ini sampai tahun 60-an berkharisma, penuh pesona, dan dihormati masyarakat.
Kini, semuanya terbalik. Berputar seratus delapan puluh derajat. Segelintir—malah tak sampai hitungan jari—orang-orang yang mengatasnamakan apa saja yang menurut mereka cocok, mengklaim dirinnya atau kelompoknya sebagai pihak yang paling benar dalam bidang apa saja. Kelompok ini dengan nama-nama yang berbeda tapi orang di dalamnya itu-itu juga bergerak seperti bunyi iklan: “Apa yang kamu minta, saya punya”. Mereka ini seperti menguasai produk dari hulu hingga hilir. Mengapa tidak? Jika ada yang bicara tentang korupsi di Sumatra Barat, kelompok ini punya lembaga untuk mengkonternya. Kata mereka, para koruptor yang telah divonis pengadilan itu dizalimi dan tidak bersalah. Di bidang pemikiran, misalnya pluralisme, secara lantang mereka juga bersorak: “Haram pluralisme itu!” Adat dan budaya, mereka ini, yang orangnya itu-itu juga, menegakkan pula sebuah majelis tinggi adat Minangkabau. Malah, tentu saja dengan mengklaim atas nama masyarakat Sumatra Barat—padahal jumlah mereka tak lebih 6 orang—memberikan pula anugerah/award kepada orang-orang tertentu yang mereka ponten tidak sejalan dengan kebenaran yang mereka anut dengan aksi menginjak foto-foto mereka di depan masjid. Tentu, yang lebih menggelikan lagi adalah pelarangan terhadap orang lain untuk mempelajari Minangkabau dan sampai kepada pengusiran sepanjang adat jika orang tersebut tetap bersikeras melakukan aktivitas menyangkut Minangkabau.
Sepintas, ini terlihat seperti sebuah opera sabun dan sinetron yang ditayangkan televis kita. Penuh ketidakmasukakalan. Konyol. Dan menyebalkan. Mereka tidak pernah berkaca dan belajar daeri sejarah yang ada di depan matanya. Itulah mereka. Biarkan sajalah, karena itu semua ciri-ciri manula. ***

Sekolah Air Mata


OLEH Nasrul Azwar

Namanya Dimas Gumilar Taufik, siswa SMA kelas II IPS Sandy Putra, Bandung. Matanya tampak memerah dan berkaca-kaca menyiratkan sesuatu yang tidak sulit untuk dimaknai. Dia berdiri dalam barisan bersama temannya. Dia gelisah. Tiap sebentar menoleh kiri-kanan.
Saat yang sama, di lapangan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melangkah menuju podium. Dia akan memberi sambutan pembukaan Jambore Nasional 2006, Minggu, 16 Juli 2006.
Setelah Presiden berdiri dan tersenyum di podium khusus yang dibawa dari Jakarta, Dimas Gumilar Taufik berlari meninggalkan barisan pramuka. Tak seorang pun yang mengetahui apa yang akan dilakukan siswa ini. Sesampainya di podium, dia langsung menyerahkan sebuah map putih kepada Presiden tanpa berkata-kata. Malu, tapi harus dilakukan. Aksi mengejutkan ini ternyata luput dari pengawasan pasukan pengamanan presiden (paspampres).
Ada apa gerangan? Menapa Dimas begitu nekat menghampiri presiden? Apa yang diinginkannya? Ternyata aksi yang dilakukan Dimas hanyalah meminta bantuan biaya sekolah kepada Presiden. Dimas Gumilar Taufik mengatakan, dirinya sangat ingin sekolah dan menuntut banyak ilmu. Apa mau dikata kedua orangtuanya menganggur tanpa pekerjaan. Dirinya bingung hendak meminta bantuan pada siapa. Saudaranya juga sama-sama susah dan miskin.
Aksi siswa cerdas dan aktif ini, memang sengaja dilakukannya dan sudah dipersiapkan sebelumnya. Terbetik pikiran menyampaikan masalahnya langsung kepada Presiden. Toh bukan aksi kejahatan, bukan pula salah kirim. Ia berikan langsung kepada Presiden, karena di tangannyalah nasib pendidikan jutaan anak bangsa, termasuk dirinya.
Tidak sesuai prosedur? Memang, tapi ia sadar jika sesuai prosedur, suratnya tidak akan sampai ke tangan Presiden.
Presiden kaget, memang, menerima surat tersebut. Namun dengan bijak ia menerimanya dan ia simpan untuk ditindaklanjuti. Namun sampai kapan akan disimpan kita, tidak tahu, jikapun ternyata ditindaklanjuti dan dibantu biaya sekolahnya.
Sepenggalan kisah itu di-posting seorang wartawan radio Dakta 107 FM Bandung di mailing list jurnalisme. Dimas Gumilar Taufik reprsentasi satu dari sekian puluh juta anak Indonesia yang miskin. Dapat dibayangkan, bagaimana repotnya seorang Presiden jika semu siswa dan anak Indonesia meniru apa yang dilakukan Dimas. Di Sumatra Barat, hal serupa—sepanjang informasi yang saya dapat—belum pernah terjadi. Tapi, mata tak dapat ditutup, kondisi yang persis dengan Dimas Gumilar Taufik tidak sedikit jumlahnya. Barangkali, jumlahnya tegak lurus dengan jumlah penduduk miskin di Sumatra Barat: data resmi dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat mencapai 20% dari jumlah penduduk daerah ini.

***

Pendidikan di Indonesia adalah dunia ironis. Paradoks. Juga menyebalkan. Sisi alokasi dana di anggaran pemerintah, sektor ini terbilang sangat besar. UUD 1945 menuntut 20% dari total anggaran, walau belum terpenuhi. Taruhlah, rata-rata setiap provinsi di Indonesia mengalokasikan dana untuk pendidikan 10% (termasuk Sumatra Barat APBD 2007 diproyeksikan lebih 10% dari Rp 1,3 triliun). Lebih kurang Rp 130 milyar lebih untuk tingkat provinsi, dan belum terhitung di kota, kabupaten, dan pusat dalam APBN-nya.
Dana yang mengalir di sektor ini sangat melimpah. Persis dengan “melimpahnya” jumlah anak didik yang tak bisa menikmati pendidikan secara benar, tersebab karena miskin.
Selain itu, dana “membanjir” tak menutup kemungkinan korupsi bak air bah di tubuh institusi pemerintah ini. Semenjak hulu hingga hilir, sudah jadi buah bibir, sebut saja satu sektor, misalnya pengadaan buku-buku bacaan penunjang pendidikan pelbagai jenjang, korupsi dan pembengkakan anggaran menjadi menu setiap proyek.
Sementara, Dimas Gumilar Taufik dan sekian juta lainnya, meneteskan air mata saat hendak menuju sekolahnya, karena ia tak mampu membeli buku dan seragam. Mereka malu. Malu pada dirinya, tapi riwatat seperti ini selalu berakhir dengan kejayaan. ***

Melawan Lupa Sejarah


OLEH Nasrul Azwar

Delapan tahun yang lalu, 21 Mei 1998. Puing-puing sisa kobar api sepekan lalu masih mengoyak langit di beberapa kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Padang. Bangunan rumah, toko, dan pusat-pusat belanja, tampak buram. Dinding semula bersinar, kini bagai lukisan yang tak inspiratif. Sepi, menghitam, dan angker: Buah amuk yang keluar dari riwayat beradaban purbawi manusia. Massa marah entah pada siapa, entah apa yang menggerakan massa dengan mata merah menjarah, membakar, dan memperkosa. Sadis. Saat itu Indonesia sangat menangis. Tangis misteri. Semisteri peristiwa yang teramat tragis itu.
Tepat 21 Mei 1998, mata bangsa ini—mata yang masih bengkak karena derai air mata yang tak henti—memelototi pesawat televis sosok yang melangkah menatap lantai menuju mikrofon. Tubuh yang dipelototi itu adalah Presiden Soeharto: Anak petani berhati milter telah menjadi orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun. Ia berpidato. Suaranya tidak setegar sebelumnya, tapi tetap melempar senyum yang terkenal itu. Dengan dialek, “kan” dibaca “ken”, dia mundur. Mahasiswa dan semua bangsa Indonesia sujud syukur. Ada sedikit senyum, tentu, itu tanda bahagia. Tapi, tak semua bisa seperti itu, ada yang manangis dan terisak, karena menyadari ada yang hilang dalam diri mereka: anak mereka tewas di ujung peluru aparat keamanan. Rumah dan lahan tempat menumpukan hidup keluaga besar telah kosong, dirampas dan dibakar. Ada anak gadis mereka yang menahan malu sepanjang hidup, meratap dan tak tahu apa mesti dibuat, ada juga yang hilang ditelan reruntuhan dan terpanggang.
Reformasi. Demikianlah setiap detik lantang terucap. Saat itu, delapan tahun lalu, bangsa ini seperti menarik garis jauh ke belakang, dan membuat demarkasi sebagai titik awal pada saat pergantian kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Ingin berubah, berniat jadi negara yang demokratis, dan mendahulukan kepentingan rakyat Indonesia. Itulah harapan saat itu.
Kini, 21 Mei 2006. Sudah depalan tahun lamanya. Orang yang pada 21 Mei 1998 yang terpaksa meninggalkan kursi RI-1, kini masih diberi usia panjang oleh Sang Pencipta, walau terbaring lemas karena sakit. Sepanjang 40 senti meter ususnya dibuang. Tapi, ia kini, satu-satunya manusia di atas dunia ini dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang disangkakan kepadanya, termasuk kroni-kroninya. Soeharto dapat berkah. Ia beruntung. Sangat beruntung karena tinggal di sebuah negeri yang pemaaaf sekaligus suka melupakan sesuatu. Memang inilah negeri yang berjalan dengan langkah irrasional. Negeri yang besar tak bisa dilihat dan dikaji dari sudut ilmu apapun di atas dunia ini. Secanggih apapun ilmu itu. Pemerintah dan lembaga hukum sangat mudah “menghapus” ingatan kolektif dengan dasar yang dicari-cari.
Panyakit suka melupakan itu juga menjadi tren bagi tokoh politik, aktivis, budayawan, organisasi masyarakat, partai politik, dan sebagian rakyatnya. Sepertinya, semua tokoh-tokoh yang selama ini meneriakkan pengadilan terhadap Soeharto karena memperkaya dirinya dan menyengsarakan rakyat Indonesia, telah dengan sengaja seolah-olah lupa. Dari sumber majalah Time menyebutkan saat kini kekayaan keluarga Soeharto berjumlah US $ 15.000.000.000. Mungklin takut kehilangan kekuasaan, para totoh-tokoh dan aktivis yang kini duduk di kursi empuk, melengahkan saja bagaimana riwayat Soeharto pernah menghabisi rakyat secara massal di tahun 1965-1966, melupakan bahwa pada tahun 1998 negeri ini penuh darah penculikan, pembunuhan, mahasiswa luka, buruh mati, petani tewas, nelayan tewas, perempuan berdarah-darah. Semua seperti dilupakan demikian saja.
Mengutip lapotan majalah Time yang melakukan investigasi selama 3 bulan pada tahun 1999 menulis, Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskalanasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun.
Di sini saya bersetuju dengan Milan Kundera: Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. ***

Tuesday, February 20, 2007

Membaca Probelem Kultural yang Berjarak

OLEH Nasrul Azwar

Jika tak ada kendala yang berarti, pada 23-25 Agustus 2004, jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa-Sastra-Budaya Minangkabau Fakultas Sastra Universitas Andalas akan melaksanakan seminar bertaraf internasional. Dari informasi yang didapat, seminar ini mengapungkan tema ‘Kebudayaan Minangkabau: Potensi, Pewarisan, dan Pengembangannya dalam Paradigma Multikultural’. Selanjutnya, diikuti dengan sub-sub tema, antara lain, ‘Potensi budaya etnik (agama, tradisi, sejarah, kesenian, dan lainnya) dan prospek pengembangannya dalam konteks otonomi daerah, dalam menata masyarakat baru dan peningkatan kesejahteraan ekonomi melalui pariwisata budaya: Kasus Sumatra Barat dan komparasinya dengan daerah lain di Indonesia, bangsa serumpun, dan dunia)’.

Membaca tema yang diapungkan, memang memiliki relevansi dengan kondisi kekinian bangsa Indoensia, terutama yang terkait dengan budaya etnik, sekaligus potensi yang ada di dalamnya. Akan tetapi, mengangkat kebudayaan Minangkabau sebagai tema sentralnya, atau katakanlah sebagai “kasus”, mengesankan adanya “potensi” kekhawatiran, malah kecemasan akan masa depan eksistensi budaya salah satu etnik di Nusantara ini. Akan tetapi, dari dasar pemikiran yang ditulis panitia di brosur, tidak memaparkan argumen yang mendasar, mengapa kebudayaan Minangkabau yang diangkat dalam tema seminar berskala internasional itu? Padahal, problem serupa (mungkin) terjadi juga pada budaya etnik di daerah lainnya. Jika ada alasan yang tidak “dibunyikan”, misalnya, karena seminar ini diselenggarakan oleh jurusan Sastra Daerah (Minangkabau), jelas sekali sangat paradoks dan bertolak belakang dengan skala dan cakupan seminar, yakni internasional. Kandungan maknawi dari tema itu sendiri, malah sangat mengesankan mempersempit space komparasi kulrural. Karena ruang lingkupnya telah diperkecil dengan pilihan frase ‘Kebudayaan Minangkabau’. Tentu, alangkahnya cerdasnya, jika ‘Minangkabau’ itu diganti dengan ‘Lokal’, ‘Etnik’, atau ‘Melayu’, misalnya.

Pada sisi yang berkaitan dengan aspek kultural, kebudayaan Minangkabau jelas melampaui bata-batas administrasi yang ada sekarang ini. Dalam pemaknaan selama ini, kebudayaan Minangkabau tentu lebih luas dari wilayah administrasi Sumatra Barat. Akan tetapi, akselesari perkembangan kebudayaan yang terus berubah—termasuk kebudayaan Minangkabau—pada saat kini, pemahaman kebudayaan dipahami identik dengan wilayah administasi dan hukum. Kekuasaan pemerintah daerah sebanding dengan cakupan luas wilayahnya, sekaligus juga dengan luas cakupan kebudayaannya. Artinya—dalam pengertian “kontemporer”—luas wilayah administrasi sebanding dengan wilayah kebudayaan itu sendiri, sekaligus penguasaannya.

Maka, keberadaan dan luas wilayah administrasi provinsi Sumatra Barat, segaris dengan luas kebudayaan Minangkabau. Sekaligus, di dalamnya kemungkinan besar hadir hegemoni kekuasaan pemerintah provinsi menyangkut pada pengembangannya. Tidak masuk akal, jika pemerintah provinsi Sumatra Barat memberi perhatian khusus kepada kebudayaan Minangkabau yang secara administrasi, etnis pendukungnya berada di wilayah administasi provinsi Riau, misalnya. Demikian pula sebaliknya.

Tentu, jika persoalan di atas dikaitkan dengan frase ‘Kebudayaan Minangkabau’ yang dipilih panitia, tampaknya, apa yang ingin disasar dan dicapai seperti kehilangan pembenarannya, malah terkesan egosentris.

Dalam Belukar Persoalan yang Berjarak

Tahun lalu, di Bukittinggi dilaksanakan Kongres Kebudayaan V. Tema dengan makna serupa juga diperbicangkan, sehingga menghasilkan 18 butir rekomendasi, yang salah satunya menyinggung tentang potensi dan kearifan lokal dalam tradisi etnik, yang dijadikan sub tema pada seminar ini.

Juga, pada tahun 1988 di Bukittinggi digelar seminar dengan skala internasional dengan problematik yang sama, tentu dalam perspektif yang lain, namun “benang merahnya” segaris dengan tema yang diapungkan pada seminar yang akan dilaksanakan oleh Fakultas Sastra Universitas Andalas, pada 23-25 Agustus 2004 yang akan datang.

Namun, terlepas dari itu—pada dasar pemikiran seminar ini pada alenea kedua dan seterusnya, yang menyinggung tentang problematik seniman tradisi, sangat menarik. Dikatakan, seniman tradisi bersama khasanah budaya yang diperjuangkannya, satu persatu berguguran. Menjadi seniman tradisi yang kaya dengan simbol identitas etnik, ibarat sebuah pengorbanan yang sia-sia, karena kesenian yang mereka hidupi tidak menghidupi mereka secara ekonomik. Pewarisan budaya menjadi hal yang dilematis pula. Di samping tidak dianggap bernilai ekonomis (karenanya tidak menarik minat pendidik dan peserta didik), soal pewarisan budaya juga dipahami secara berbeda, dengan rujukan dan orientasi yang tidak sinergis, terutama antara kaum akademis dan non-akademis.

Mengapa menarik? Pertama, keberhasilan seniman tradisi diukur dengan besar-kecilnya penghasilan yang didapat seniman itu. Sandarannya, nilai ekonomis. Kedua, pewarisan budaya dikaitkan dengan nilai ekonomis, yang menyebabkan kurang berminatnya pendidik dan peserta didik.

Bagi saya, dasar pemikiran ini sangat-sangat tidak akademik, sekaligus subjektif. Ukuran keberhasilan seniman tradisi dan pewarisan budayanya, tidak akan tepat jika diukur dengan pola kapitalis seperti itu. Seniman tradisi—terutama seniman tradis Minangkabau—nilai ekonomis yang diterimanya sebagai kontraprestasinya, tidak menjadi tujuan yang paling utama. Dan jika itu diterimanya, hanya merupakan turunan dari jasa yang diberikannya. Sama halnya dengan pewarisan budaya tradisi, di dalam proses pewarisan yang berlangsung, misalnya, seorang seniman tradisi memberikan “ilmunya” kepada lingkungan keluarganya, atau kaumnya, tak lebih hanya persoalan pertanggungjawaban kultural dan sosial. Artinya, proses dan keberhasilannya tidak diukur secara ekonomis.

Dari itu pula, saya tidak memahami, dari perspektif dan sisi mana panitia seminar mengukur bahwa gugurnya satu persatu seniman tradisi berkaitan dengan nilai ekonomis yang diterimanya, dan pergorbanan seniman tradisi, diibaratkan sia-sia, karena kesenian yang mereka hidupi tidak menghidupi mereka secara ekonomik.

Beberapa hal yang sesunguhnya terlupakan menyangkut “militansi” seniman tradisi—utamanya—di Sumatra Barat, mengapa seni tradisinya bisa bertahan hingga kini adalah pola interaksi yang demikian naturalis antara pelakunya dengan lingkungan sosialnya. Seniman tradisi sebagai bagian dari masyarakat—katakanlah dalam sebuah nagari di Minangkabau—berada pada posisi penting dalam pranata sebuah nagari. Maka dengan demikian, seni tradisi menjadi inheren dengan keberadaan sebuah nagari.

Dari itu pula, akan menjadi sangat menarik jika seminar ini juga memperbincangkan korelasi nagari dengan seni tradisi Minangkabau. Sejauh mana kaitannya, dan sejauh mana pula nagari di Sumatra Barat mengsinergikan keberadaan seni tradisi itu sendiri.

Namun, seminar tetap seminar. Dan bukan menjadi kebiasaan sebuah seminar yang diselengarakan perguruan tinggi di negeri ini, memperbincangkan problem yang sesungguhnya tengah berlangsung di tengah masyarakat. Ia selalu berada pada tataran yang “berjarak” dengan publik. Itu sudah biasa.***

Monday, February 19, 2007

Mencermati Festival Minangkabau 2004

OLEH Nasrul Azwar

Festival Minangkabau—semula bernama Pekan Budaya—dari pelbagai informasi yang berkembang akan diselenggarakan pada 19 – 26 November 2004. Rencana Festival Minangkabau dikesankan sebagai iven kelanjutan dari Pekan Budaya yang sebelumnya pernah digelar di Sumatra Barat. Tujuannya dasarnya adalah mendenyutkan aktivitas seni dan budaya Minangkabau sebagai aset kebudayaan yang pantas dilestarikan dan dijaga, terutama kesenian tradisi, juga, tentu saja, arahnya untuk menarik hati wisatawan mancanegara dan lokal agar datang ke daerah ini. Maka, Festival Minangkabau dimungkinkan sebagai iven yang mengentalpekatkan aspek-aspek wisata di dalamnya.

Dengan dasar dan tujuan yang demikian itu, janganlah berharap besar pada Festival Minangkabau itu kita akan menyaksikan pertunjukan seni yang memiliki kualitas yang bersandar pada aspek seni kontemporer, pertunjukan seni dari seniman yang melakukan perjelajahan kreativitas, inovatif, proses pencapaian-pencapaian baru dalam ranah seni dan budaya. Jangan juga meminta kehadiran pertunjukan seni tradisi Minangkabau yang pelakunya sendiri telah berpuluh-puluh tahun mengawal kesenian itu sendiri. Karena tujuan dasar adalah pariwisata, maka yang paling diutamakan adalah semarak, ramai, massal, dan instant.

Dari beberapa puluh kali rapat untuk merancang program ini, baik yang diadakan di Kantor Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) Provinsi Sumatra Barat, maupun di Kantor Gubernur Provinsi Sumatra Barat, namun sampai kini banyak hal yang belum jelas, baik itu posisi dan peran masing-masing lembaga, arah, bentuk, tujuan program ini, serta posisi seniman dan budayawan, maupun mekanisme penyelenggaraannya. Sehingga, agenda rapat seolah berkisar di dalam kain sarung saja. Itu ke itu saja yang dibicarakan setiap rapat. Kondisi dan sikap demikian jelas sangat-sangat menyebalkan.

Kini, Surat Keputusan Gubernur telah diterbitkan untuk meletakkan “dasar hukum dan legalitas” dari penyelenggaraan Festival Minangkabau ini. Jumlah panitia penyelenggara di luar pelindung dan panitia pengarah, melebihi 200 orang. Jumlah yang cukup dasyat, memang, untuk ukuran sebuah iven tingkat provinsi. Maka, jangan bicara tentang efektivitas dan efesiensi di dalam penyelenggaraan iven ini. Karena, hal itu sama dengan meludah ke atas langit. Dan jangan pula mempertanyakan, ukuran dan indikator apa yang digunakan untuk menyebut Festival Minangkabau 2004 ini sukses dan berhasil. Karena memang tak ada ukurannya. Memang tak ada standarnya.

Pada awal rapat di Dinas Parsenibud, telah muncul kepermukaan bahwa iven ini akan dilaksanakan sebuah Event Organizer (EO), kata Asrien Nurdin, pimpinan rapat saat itu, yang sudah berpengalaman dalam penyelenggaraan iven serupa. Dengan dibungkus beragam alasan, saat itu Kepala Dinas Parsenibud Provinsi Sumatra Barat telah merekomendasikan dan memberi referensi bahwa Festival Minangkabau tidak bisa tidak, harus dilaksanakan oleh EO itu. Alasan yang disampaikan saat itu adalah keterbatasan dana penyelenggaraan yang dialokasikan dalam APBD 2004 hanya Rp 650 juta, dan EO dinilai dapat mencari tambahan dari pihak sponsorship dan donatur lainnya.

Jelas, rencana iven ini diselenggarakan oleh organizer mendapat tantangan serta penolakan keras dari pelbagai pihak terkait, baik DKSB maupun Taman Budaya Sumatra Barat, dan juga budayawan dan seniman yang hadir saat itu maupun yang mendengar informasi ini. Rapat selanjutnya pun jadi tidak berkeruncingan. Keterlibatan EO itu secara langsung terhadap penyelenggaraan Festival Minangkabau, dinilai pelbagai pihak sebagai pelecehan terhadap keberadaan lembaga atau institusi kesenian dan kebudayaan, termasuk seniman dan budayawan di Sumatra Barat. Tepatnya, seniman dan pelaku seni sebagai buruh di “rumahnya” sendiri. Memang, pada akhirnya EO sebagai penyelenggara Festival Minangkabau 2004 dibatalkan.

Pola ini memang tidak serta-merta diterima sebagai apa adanya, karena di dalam rencana penyelenggaraan Festival Minangkabau itu sendiri, juga ditunggangi dengan kepentingan politik menjelang pemilihan Gubernur Sumatra Barat di tahun 2005. Artinya, ada “proyek” kepentingan posisi jabatan di dalamnya. Festival Minangkabau hanya salah satu “jembatan” untuk menuju kursi SB-1 bagi para pejabat yang kini berada pada kursi yang memiliki potensi besar untuk mengantarkankanya ke SB-1 itu. Festival ini hanya diasumsikan sebagai “pembujuk” publik Sumatra Barat: bahwa pemerintah sangat peduli dengan seni dan kebudayaan. Benarkah itu intinya? Saya kira bukan. ***

Darah PRRI di Tanah Minang

OLEH Nasrul Azwar

Saat itu tanggal 10 Februari 1958. Saat ini, tepat empat puluh delapan tahun yang lalu. Genderang perang ditalu. Pemicunya, tersebab ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat: banyak senjang, tak sedikit yang timpang dalam roda pemerintahan. Maka, 10 Februari 1958, lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Padang, Dewan Perjuangan membacakan tuntutannya untuk pemerintahan pusat yang dikenal dengan “Piagam Perjuangan”. Isinya: 1). Bubarkan Kabinet Djuanda dan kembalikan mandatnya ke presiden, 2). Bentuk zaken kabinet nasional dibawah suatu panitia pimpinan M. Hatta dan Hamengkubuwono IX, 3). Beri kabinet baru mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu mendatang, 4). Presiden Soekarno/Pj. Presiden agar membatasi diri menurut konstitusi. 5). Bila tuntutannya tak dipenuhi dalam tempo 5x24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijaksanaan sendiri.

Pemerintah Pusat diultimatum. Digaham oleh daerah, tentu saja Pusat murka. Jika orang pusat murka, alamat hancur negeri ini. Lima hari setalah ancaman itu, Pusat kirim tentara ke Padang sebanyak 7500-10000 personil terdiri dari Kodam Diponegoro, Siliwangi, Brawijaya dan elit Banteng Raiders juga KKO khusus Marinir AL ke Sumatra Tengah (Minangkabau). Tidak cukup? Pusat memperkuat lagi dengan mengirim 5-7 kapal perang dan ditambah dengan pesawat tempur. Kolonel Ahmad Yani memimpin penyerangan. Galibnya sebuah pertempuran, tentu pakai sandi. Namanya Sandi Operasi 17 Agustus. Maka, berdarah-darahlah negeri ini. Dentuman dan raungan senjata perang sahut-menyahut. Perang sesama saudara sendiri. Saling mengunus senjata dengan saudara yang pernah sama-sama berjuang mengusir penjajah. Peristiwa yang sangat ironis, dan terkesan naif.

Di Pasa Ateh Kota Bukittinggi, saat pagi masih merangkak, ratusan pedagang dibantai tentara pusat karena dicurigai ada tentara pro PRRI yang menyelinap di dalamnya, ternyata dugaan itu salah. Rakyat sipil yang akan menggelar dagangan pagi itu terbunuh sia-sia. Dan tak ada yang bertanggung-jawab. Di Nagari Simarasok, Kabupaten Agam, kepala seorang datuk dipancung oleh OPR lalu diarak keliling kampung untuk ditonton ramai-ramai. Semua di luar batas kemanusiaan. Harga diri telah hancur. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi tumbal kekejaman ambisi dan ketaatan terhadap perintah. Saat itu, masyarakat tidak mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang terjadi di negerinya. Mengapa tiba-tiba saling bunuh sesama bangsa. Meletusnya perang sesama saudara ini hingga kini tidak pernah jelas berapa jumlah nyawa manusia yang terbunuh. Negara Indonesia (pemerintah pusat atau pun daerah) sebenarnya harus menjelaskan sejarah hitam ini secara transparan kepada publik, apa sebenarnya yang terjadi.

Banyak pelaku dan juga sejarhwan mengatakan, semula gerakan itu tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal sebagai "gerakan anti-Jawa", karena kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar. Sejak kemerdekaan diproklamasikan 1945, beberapa gerakan atau pemberontakan demi memisahkan diri dari negara kesatuan, terjadi di berbagai daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Indonesia Bagian Timur. Saksi dan pemaain saat itu berteori sebagai perjuangan koreksi, tetapi mengapa pemerintah pusat tidak mengatakan dengan nada yang sama. Pemerintah pusat saat itu tidak merasa ada yang perlu dikoreksi oleh daerah-daerah yang memberontak. Maka, senjata adalah jawaban yang tepat pagi pusat, karena—bagi pusat—apa yang dilakukan oleh berbagai nama dewan yang dibentuk di daerah sebagai rupa pembangkangan dari sekian banyak para militer yang sakit hati. Di dalam teori militer, mereka disebut desersi. Maka, kebijakannya adalah tumpas.

Banyak hal yang perlu diperdebatkan tentang peristiwa PRRI itu seiring dengan masih banyaknya fakta-fakta yang diselubungi. Seorang pakar sejarah dari daerah ini mengatakan, isu-isu yang jadi latar belakang gerakan protes PRRI terhadap pemerintahan pusat, esensinya mencerminkan isu-isu yang berkembang ditataran nasional, antara lain dominasi pusat terhadap daerah yang sangat besar, peran politik militer, serta meluasnya pengaruh komunis. Selain itu, juga faktor penglikuidasian oleh jajaran tinggi militer di Jakarta terhadap Divisi IX Banteng.

Lalu, bukankah faktor penglikuidasian Divisi IX Banteng itu bisa diasumsikan sebagai kebijakan yang menyakitkan bagi petinggi-petinggi militer yang ada di daerah? Atau bisa juga karena Amerika Serikat kita saling membunuh.

Peristiwa berdarah itu memang membuat luka. Luka bagi siapa saja. Tetapi, saat kini, barangkali, luka itu sudah dilupakan. Dilupakan oleh perjalanan masa. Dilupakan oleh pemerintah yang semakin tidak menghargai rakyatnya. Empat puluh depalan tahun memang rentang waktu yang tidak panjang. Dia masih berada dalam ingatan kolektif rakyat dan pelakunya. Karena masih segar, tentu tidak menutup kemungkinan peristiwa yang sama akan muncul lagi, jika negeri ini masih tetap dijarah, diperkosa, dikuras, dan rakyat makin menderita dari hari ke hari. Kita lihat saja.***

Dusta dalam Pers

OLEH Nasrul Azwar

Orang Minang mulai menerbitkan surat kabar bernama Bintang Timor semenjak Desember 1864 lalu dengan menggunakan bahasa Melayu, semua orang sudah tahu. Tapi, tidak semua orang bahwa Kota Padang termasuk salah satu kota pers tertua di Sumatra.

Seperti yang ditulis Suryadi (2001), sepanjang paroh kedua abad ke-19 sampai paruh pertama abad ke-20, seperti yang dicatat Ahmat Adam dalam artikelnya “The Vernacular Press in Padang, 1865-1913”, puluhan surat kabar pribumi bermunculan di Padang, tak kurang dari 29 surat kabar daerah telah terbit di Padang dalam periode 1865-1913, dan banyak lagi yang terbit setelah periode itu.

Kini, di Sumatra Barat, semenjak Presiden Soeharto digulingkan pada 21 Mei 1998–di awal abad 21 ini—tercatat 52 buah penerbitan pers hingga akhir tahun 2003—terlepas dari jatuh bangunnya dunia pers itu. Kondisi masing-masing periode itu tentu berbeda sesuai kondisi zamannya, baik itu perbedaan sisi idealisme persnya maupun kepentingan serta latar belakang penerbitan pers itu. Masa lalu tetap sebagai masa lalu. Juga sebaliknya, masa sekarang adalah saat kini. Keterkaitannya adalah spirit dan representasi masyarakat yang melingkunginnya. Beberapa pendapat mengatakan kondisi pers saat sekarang telah kehilangan spirit dan idealismennya. Tak lebih sebagai ruang reportase aktivitas kekuasaan. Sikap pers yang terbit di Sumatra Barat adalah sikap kepentingan kekuasaan dan pengusaha, dan borjuistif. Pers di Sumatera Barat tidak menguatkan sejarahnya sendiri. Pers yang lahir di Sumatra Barat seperti kehilangan identintifikasinya sejalan dengan perkembangan ruang, waktu, dan konteksnya.

Maraknya penerbitan media cetak tidak diiringi dengan makin menguatnya kebutuhan membaca media cetak bagi masyarakat. Sehingga kemampuan untuk bertahan bagi media cetak lebih berorientasi pada pengiklan bukan pembaca. Maka, bagi media cetak “pemburuan” iklan menjadi sangat utama dan vital. Untuk itu pula, seperti harus dimaklumi, menjelang sebuah “peristiwa” besar berlangsung, taruhlah pemilu atau pilkadal, penerbitan media cetak yang baru bak cendawan tumbuh. Orientasi penerbitannya hanya sesaat, instant, dan tanpa idealisme jurnalistik, serta tidak punya arah yang jelas. Kecenderungan demikian berlangsung silih berganti dengan pelaku “pers” yang sama dengan perubahan nama media cetaknya saja.

Memperoleh informasi yang bersih, jelas, dan transparans yang dihadirkan media pers bagi masyarakat menjadi suatu keniscayaan. Sebaliknya, jika informasi yang didedahkan media pers ke tengah masyarakat dengan pelbagai alasan dan bentuk, serta selanjutnya mengalami distorsi yang sangat prinsip, maka media pers telah memanipulasi informasi dan pembohongan sistematis kepada masyarakat.

Maka, bagi media cetak “pemburuan” iklan menjadi sangat utama dan vital. Untuk itu pula, seperti harus dimaklumi, menjelang sebuah “peristiwa” besar berlangsung, taruhlah, misalnya, pilkadal, pelantikan pejabat, anugrah untuk sebuah kota, dan lain-lainnya, penerbitan media cetak yang baru bak cendawan tumbuh. Kecenderungan demikian berlangsung silih berganti dengan pelaku “pers” yang sama dengan perubahan nama media cetaknya saja.

Jika kita jeli, amatilah produk pers yang hadir saat sekarang. Kita akan menjumpai berita dengan pola dan bentuk bervariasi dengan kecenderungan news order (berita orderan) dari sosok pejabat, penguasa, pengusaha, dan lain sebagainya. Berita berita orderan tentu saja dengan imbalan uang sekian ratus ribu sampai jutaan. Dari sini, wartawan yang bernegoasiasi dengan sosok itu juga mendapat komisi atau fee dari perusahaan surat kabar tempat ia bernaung. Besaran komisi dan fee itu bervariasi tergantung kebijakan perusahaan surat kabar masing-masing. Biasanya tak lebih 30% dari nilai negosiasi itu.

Media pers seperti itu telah melakukan pembohongan kepada kepada masyarakat dengan pola pembungkusan yang rapi terhadap fakta-fakta seolah-seolah yang hadir pada lembar surat kabar mereka fakta yang sesungguhnya. Idealnya, kerja jurnalistik mengolah fakta menjadi informasi jurnalisme, Keberadaan media jurnalisme tidak dapat terlepas dari platform demokrasi yang menjaga keberadaan warga dalam konteks kebebasan: "kebebasan untuk" (freedom for) dan "kebebasan dari" (freedom from).

Dengan kata lain, materi yang dijadikan informasi jurnalisme adalah fakta yang berasal dari kehidupan publik. Inilah yang membedakan media jurnalisme dengan media lainnya, yaitu dalam pengutamaan informasi yang berasal dari fakta publik. Karenanya fakta personal kendati menjadi informasi media, tidak dapat disebut sebagai informasi jurnalisme. Suatu fakta hanya dapat dipandang bernilai jika ditempatkan dalam proses sosial yang menjadi "ruang"nya.

Kini dusta jurnalisme terus mengalir ke tengah publik. Manipulasi fakta yang dilakukan media pers sebenarnya telah berlangsung semenjak Orde Baru hingga kini. Dan itu tidak mungkin kita bandingkan dengan pers yang lahir di Sumatra Barat pada abad-19 dan awal 20. Maka, jangan heran, Sumatra Barat tidak memiliki media pers yang “monumental” keberadaannya. Karena semua telah masuk dalam lingkaran politik kepentingan.***

Pekan Budaya Birokrat

OLEH Nasrul Azwar

Jika Sumatra Barat masih tetap dilindungi Sang Pencipta, di pengujung tahun 2006 ini para seniman, pekerja seni, budayawan, intelektual, pemikir, dan tokoh-tokoh adat, dan lain sebagainya akan merayakan kehebatan Minangkabau. Pada Pekan Budaya (juga sebagian menyebutnya dengan Festival Minangkabau) dengan sangat suka ria akan tampil karya-karya master piace seniman Sumatra Barat dari beragam cabang, tentunya. Jika usia kita diberi Sang Pencipta usia sampai di ujung tahun ini, kita akan menikmati mahakarya para pegiat seni di daerah

Pemerintah Provinsi Sumatra Barat lewat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya telah menganggarkan dana untuk itu. Seperti biasanya, seniman dan pekerja seni tetap berada dalam ketiak-ketiak para birokrat itu. Seperti bisanya pula, pola dan pelaksanaannya tidak pernah lepas dari tangan birokrat di jajaran Dinas Parsenibud dengan modal SK Gubernur yang memuat orang-orangnya segerombak “tundo”. Pola demikian, sampai dunia ini mengecil tampaknya tidak akan pernah berubah. Seniman dan pekerja seni, sampai bumi ini mengeriput juga akan berada di bawah kaki para birokrat itu. Hal demikian terus berlangsung. Maka, tetap menganga juga para seniman dan bercarut pungkang memaki para birokrat itu. Sementara, birokrat tersenyum dikulum-kulum.

Pekan Budaya—atau apalah namanya—memnag dikesankan sebagai iven kelanjutan dari Pekan Budaya yang sebelumnya pernah digelar di Sumatra Barat. Tujuannya dasarnya adalah mendenyutkan aktivitas seni dan budaya Minangkabau sebagai aset kebudayaan yang pantas dilestarikan dan dijaga, terutama kesenian tradisi, juga, tentu saja, arahnya untuk menarik hati wisatawan mancanegara dan lokal agar datang ke daerah ini. Maka, Festival Minangkabau dimungkinkan sebagai iven yang mengentalpekatkan aspek-aspek wisata di dalamnya.

Dengan dasar dan tujuan yang demikian itu, janganlah berharap besar pada Festival Minangkabau itu kita akan menyaksikan pertunjukan seni yang memiliki kualitas yang bersandar pada aspek seni kontemporer, pertunjukan seni dari seniman yang melakukan perjelajahan kreativitas, inovatif, proses pencapaian-pencapaian baru dalam ranah seni dan budaya. Jangan juga meminta kehadiran pertunjukan seni tradisi Minangkabau yang pelakunya sendiri telah berpuluh-puluh tahun mengawal kesenian itu sendiri. Karena tujuan dasar adalah pariwisata, maka yang paling diutamakan adalah semarak, ramai, massal, dan instant.

Dari beberapa kali rapat untuk merancang program ini, baik yang diadakan di Kantor Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Parsenibud) Provinsi Sumatra Barat, maupun di Kantor Gubernur Provinsi Sumatra Barat, sampai kini banyak hal yang belum jelas, baik itu posisi dan peran masing-masing lembaga, arah, bentuk, tujuan program ini, serta posisi seniman dan budayawan, maupun mekanisme penyelenggaraannya. Sehingga, agenda rapat seolah berkisar di dalam kain sarung saja. Itu ke itu saja yang dibicarakan setiap rapat. Kondisi dan sikap demikian jelas sangat-sangat menyebalkan.

Kini, Surat Keputusan Gubernur telah diterbitkan untuk meletakkan “dasar hukum dan legalitas” dari penyelenggaraan Pekan Budaya ini. Jumlah panitia, konon, yang cukup dasyat, memang, untuk ukuran sebuah iven tingkat provinsi. Maka, jangan bicara tentang efektivitas dan efesiensi di dalam penyelenggaraan iven ini. Karena, hal itu sama dengan meludah ke atas langit. Dan jangan pula mempertanyakan, ukuran dan indikator apa yang digunakan untuk menyebut iven ini sukses dan berhasil. Karena memang tak ada ukurannya. Memang tak ada standarnya.

Marilah kita berkesenian dan berkebudayaan, merayakan kemurahan hati para birokrat yang telah menyediakan uang hampir mencapai Rp 1 milyar. Marilah bersama-sama menyaksikan sekelompok siswa SD berbalas pantun, bermain randai, dan juga lomba pidato adat bagi anak TK.

Seniman dan pekerja seni terus menitikkan keringatnya. Meneteskan air mata. Menahan lapar. Sementara, para birokrat dan juga ibu-ibu darma wanita menyiapkan makanan lezat untuk disantap para tamu. Dan terus-menerus. Selamat untuk kawan-kawan seniman dan panitia.***

Sunday, February 18, 2007

Play Boy dan ABSBK


OLEH
Nasrul Azwar

Bisnis media massa memang menjanjikan untuk mengeruk keuntungan besar. Apalagi contentnya “menyosialisasikan” ke dalam ruang publik bentuk-bentuk tubuh yang seksi dengan pencitraan tubuh yang bagus tanpa lemak, sintal, padat, serta kekar. Tentu saja disajikan dengan sedikit kain pembungkus. Malah bisa juga bugil, tentu disuguhkan dalam berbagai pose. Citra bentuk tubuh yang seksi (tubuh perempuan dan lelaki) adalah polarisasi untuk menghadirkan mainstream bagi publik bahwa tubuh yang “aduhai” itu telah memenuhi standar pengelola media massa itu.

Di ruang-ruang publik—baik di mailing list, medai elektronik, cetak, dan di mal— cerita tak lepas dari menunggu “lahirnya” sebuah majalah yang diimajinasikan mampu memenuhi aspirasi libido siapa saja. Majalah ini menamakan dirinya majalah dewasa yang memang telah lama terbit dan beredar di Amerika Serikat, Play Boy. Pada bulan Maret majalah Play Boy edisi Indonesia akan diluncurkan. Dua bulan dari sekarang, pro-kontra telah meruyak-piyak bak perang seperti akan dimulai. Play Boy versi Indonesia, yang masih jabang itu, menuai promosi maha dasyat. Ia jadi “benda” yang telah berhasil memenuhi kaidah pencitraan dan meraih brand image dagang. Satu sisi, strategi bisnis dan promosi Play Boy telah berjalan tanpa beriklan dengan biaya yang besar. Negeri ini memang dibesarkan dengan cara dagang kapitalis yang busuk. Bangsa ini enggan belajar dari diri dan lingkungannya. Bangsa ini telah berada dalam perangkat mesin kapitalisme, dan mereka sendiri yang menggerakkan agar mesin itu bekerja.

Sebelumnya, semenjak kran kebebasan terbuka lebar 6 tahun lalu, saat begitu maraknya penerbitan tabloid dan malajah yang content-nya tak jauh-jauh dari menjajakan tubuh telanjang manusia, tak ada reaksi sekeras akan terbitnya Play Boy versi Indonesia ini. Semua orang mengenal tabloid Exotica, Lelaki, Lipstik, Popular, ME, dan sejenis ini yang kini tetap beredar dan memang laris manis terjual. Untuk yang telah beredar demikin luas itu, yang tidak ada batasan jual belinya, boleh siapa saja, tidak ada reaksi dari siapa-siapa, malah oplahnya makin menanjak dari hari ke hari. Barangkali, awal terbitnya media ini dilakukan diam-diam. Beda dengan Play Boy, pengelolanya berani berteriak lantang: Kami akan terbit pada Maret.

***

Lalu, baru-baru ini 3 anggota DPRD Sumatra Barat dari Komisi A; Yul Akhyari Sastra, Djanas Raden, dan Johardi Das (Singgalang, Rabu, 18/1/2006) berkomentar tentang wilayah yang tak jauh beda dengan akan beredarnya Play Boy itu yakni tentang prostitusi di Sumatra Barat yang mereka nilai perlu diakomodasi dalam APBD tahun 2006. Tentu, jika menyangkut APBD jelas ujungnya anggaran. Ketiga wakil rakyat ini sepakat memulaukan pelacur yang berkeliaran saban malam—mungkin karena naas—terjaring razia Sat Pol PP. Selama ini, kata mereka, pelacur yang tertangkap itu cuma “direhabilitasi” di Panti Andam Dewi Sukarami, dan itu tidak memberi efek jera. Maka sebaiknya mereka dipulaukan saja agar tidak mengganggu psikologis lingkungan sekitar. Maksud mereka, wanita tuna susila (WTS) itu diisolasikan di sebuah pulau (entah pulau mana yang digunakan, tak jelas), tanpa mengikutkan “pemakai”nya. Artinya, laki-laki yang memanfaatkan jasa WTS tiap malam itu tak perlu diisolasikan pula.

Memang tidak adil! Yang selalu dipersalahkan wanitanya, bukan lelakinya. Bukankah “transaksi” itu dapat berjalan jika ada pihak lelaki yang maago “barang” padusi itu? Mungkin, karena anggota DPRD Sumatra Barat itu kebetulan laki-laki, maka perlu kiranya mereka membela kaumnya. Salahkan saja padusi malam itu!

Saya sendiri tak heran dengan ucapan mereka itu. Gagasan itu bukan “barang baru” lagi. Lima belas tahun lalu, ide serupa sudah menjadi wacana publik di ranah Minang. Namun, perjalanan gagasan itu mentah dan hilang demikian saja. Banyak pihak yang menolaknya. Lalu hilang demikian saja.

Kini, pangana itu diapungkan lagi oleh wakil rakyat yang duduk di DPRD Sumatra Barat, malah, dari pengakuan mereka, akan dikembangkan dalam pembahasan APBD 2006. Jika dulu wacana ini tidak sampai ke tingkat legislatif, kini barang itu sudah berada di tangan wakil rakyat. Entah bentuk apa realisasinya, kita belum tahu, tapi kita tunggu sajalah selanjutnya.

Tapi, ada baiknya juga, karena wacana itu telah di tangan wakil kita, maka saya usul agar pulau yang akan ditempati WTS itu ditata dan dibangun dengan fasilitas yang representasif dan profesional. Maksud saya, pulau itu dikhususkan buat lokalisasi bukan semata diperuntukkan isolasi bagi WTS yang ditangkap Sat Pol PP. Penempatan lokalisasi WTS di salah satu pulau yang ada di wilayah hukum Sumatra Provinsi Barat lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang berkeliaran di sudut-sudut kota dan pojok jalan. Kontrol bisa dijalankan dengan sistematis, akurat, dan jelas. ***