KODE-4

Thursday, August 2, 2007

DKI, dari Fakta ke Rekayasa

OLEH NASRUL AZWAR

Salah satu dari empat butir keputusan yang dihasilkan dalam Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia yang dilangsungkan di Jayapura, 22-25 Agustus 2005, adalah dibentuknya Dewan Kesenian Indonesia atau DKI. Selain keputusan yang dikeluarkan itu, kongres juga menerbitkan dua belas butir rekomendasi.

Salah satu butir rekomendasi itu adalah meminta kepada Presiden dan pemerintah untuk mengukuhkan berdirinya Dewan Kesenian Indonesia dengan surat keputusan presiden (keppres).

Setelah hasil kongres itu tersiar, sikap menolak atas rencana pembentukan DKI tidak dapat dibendung lagi. Berderet-deret tulisan di media cetak dan aksi dilakukan sejumlah seniman di Jakarta, beberapa waktu lalu, memunculkan satu kata: tolak (DKI)!


Akan tetapi, sebagian besar dari tulisan dan aksi penolakan itu ditulis dan dilakukan oleh orang yang tidak terlibat langsung dalam kongres. Hanya satu tulisan Isbedy Setiawan ZS yang dimuat di Media Indonesia ( 11 September 2005) yang berasal dari peserta sekaligus tim perumus kongres. Sementara tulisan Putu Fajar Arcana dalam Kompas edisi Minggu, 4 September 2005, lahir karena ia bertugas meliput jalannya kongres.

Bagi saya itu tidak jadi soal penting. Untuk itu pula tulisan ini mencoba menggambarkan perjalanan menuju lahirnya DKI itu karena saya utusan Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) sebagai peserta.

Fakta

Pada tanggal 15 Oktober 2004, DKSB menerima surat undangan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Undangan yang sama saya kira juga diterima oleh dewan kesenian (DK) lainnya di Indonesia.

Perihal undangan itu adalah Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Dalam undangan itu terlampir surat kesediaan Dewan Kesenian Tanah Papua (DKTP) sebagai tuan rumah/penyelenggara Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia. Kesediaan DKTP sebagai penyelenggara karena diamanatkan dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia V yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 3-7 Meret 1999. Adapun DKJ sendiri adalah sebagai Badan Kontak Antardewan Kesenian se-Indonesia.

Lembaran lainnya ada formulir tentang pernyataan keikutsertaan dalam Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia beserta kolom saran atau masukan. Formulir ini dikirimkan kembali paling lambat 31 Desember 2005. Surat tersebut ditandatangani Ratna Sarumpaet (Ketua Umum) dan Harris Priadie Bah (Sekretaris) Dewan Pekerja Harian DKJ.

Dalam undangan itu tertulis agar diinformasikan kepada DK kabupaten dan kota di wilayah masing-masing. Selain itu, dalam undangan juga tertera top pimpinan DKJ sebagai steering comitte (SC) sekaligus menetapkan tema musyawarahnya, yaitu ”Posisi Kebudayaan dalam Pembangunan Indonesia ke Depan”.

Waktu terus berputar. Sembilan bulan setelah surat pertama diterima, pada 17 Juli 2005, DKSB kembali menerima surat undangan dari DKJ. Surat undangan kedua ini substansinya berbeda dengan surat pertama. Perbedaan paling mencolok adalah berubahnya subtansi dan tujuannya.

Surat pertama mengundang DK untuk ikut serta dalam Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia, sedangkan surat kedua mengundang DK untuk ikut serta dalam Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Surat kedua itu disertai lampiran proposal, agenda dan materi acara, serta susunan kepanitiaan. Menyangkut jadwal dan tempat tidak ada perubahan. Surat undangan masih tetap ditandatangani orang yang sama.

Rekayasa

Perubahan dari musyawarah ke kongres, sepanjang informasi yang saya dapat, tidak pernah dijelaskan pihak DKJ maupun DKTP sebagai penyelenggara. Padahal, posisi beberapa pengurus DKJ yang menjadi SC sudah seharusnya menjelaskan perubahan yang sangat prinsip itu. Jika dipelajari lebih jauh, kesimpulan saya, dua surat yang dikirimkan itu memang sangat kontradiktif dan mengarah pada perbuatan manipulasi terhadap fakta yang sebenarnya, serta penuh dengan rekayasa.

Isi kedua surat itu dapat membuktikan bahwa DKJ sebagai SC telah ”mengatur” permainan menuju DKI itu. Pada surat pertama secara jelas tertulis akan digelar Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia 2005 seperti yang diamanatkan dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia V yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 3-7 Maret 1999. Musyawarah ini dilakukan berkala. Sedangkan surat kedua-di sinilah bermula manipulasi dan rekayasa itu-amanat di Yogyakarta itu bertukar dengan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Tema pertemuan pun bertukar dengan ”Seni untuk Semua”.

Untuk itu pula, DK yang hadir di Jayapura, pada sidang pleno pertama mempertanyakan perubahan dari musyawarah ke kongres. Pertanyaan yang mendasar ini dijawab bahwa selama ini DKJ merasa sangat terbebani sebagai Badan Kontak Dewan Kesenian se-Indonesia yang diamanatkan dalam musyawarah di Yogjakarta, maka perlu kiranya dibentuk lembaga atau institusi yang dapat memayungi semua DK di Indonesia.

Jawaban itu jelas tidak memuaskan peserta. Seperti kongres partai politik, sidang diskors 30 menit. Akhirnya didapat kesepakatan, 10 utusan DK memilih nama kongres, 2 memilih nama musyawarah, dan 1 memilih keduanya. Maka, selanjutnya digunakan nama Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia.

Kondisi saat itu memang sangat dilematis dengan segerobak pertimbangan. Satu sisi para peserta harus menghormati kerja keras tuan rumah untuk mempersiapkan sedemikian rupa acara itu yang telanjur disosialisasikan dengan nama kongres. Dan rasanya sangat tidak menghargai mereka, tiba-tiba semuanya ditukar dengan nama musyawarah.

Sisi lain, sikap ”sepakat” menerima nama kongres seolah berkompromi dengan fakta yang telah dimanipulasi. Hasil bincang-bincang dengan kawan-kawan peserta, hampir semua beralasan memilih nama kongres karena pertimbangan kebersamaan, menghormati, dan menghargai DKTP dan masyarakat Papua sebagai tuan rumah.

Pertimbangan demikian memang memiliki efek dan konsekuensi. Paling tidak, keberadaan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia seolah ”legitimed” dan keputusan yang dihasilkan juga diandai-andaikan berasal dari keinginan peserta kongres. Padahal, kondisi dilematis yang demikian itu dapat diraba sebagai upaya yang sengaja diciptakan demikian rupa yang memaksa peserta tidak punya pilihan lain.

Untuk yang satu ini, harus diakui, SC dan juga kelompok yang mendukungnya sangat cerdik dan lihai mem-plot kongres seolah terlegitimasi. Memang, harus dikatakan, peserta kongres telah dikelabui dan dimanipulasi.

Maka, apa yang dicurigai Arie F Batubara (Kompas, 19 September 2005) tentang keterlibatan DKJ atau sejumlah oknum anggotanya menyangkut plotting kongres itu menemukan pembenaran. Menurut dia, keterlibatan DKJ atau sejumlah oknum anggotanya, yang secara terang-terangan membawa nama DKJ sebagai sebuah lembaga, adalah tindakan yang bersifat manipulatif. Dalam hal ini, peserta kongres yang lain—yang bisa jadi hadir dengan membawa mandat resmi dari daerahnya—sesungguhnya bisa dikatakan sudah terkelabui.

Untuk itu pula, penelusuran lebih lanjut sangat dimungkinkan untuk membaca kembali hasil Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1999 itu. Paling tidak untuk memastikan apakah benar musyawarah itu menghasilkan butir tentang Kongres Dewan Kesenian seperti yang tertulis dalam surat kedua itu. Jika ditemukan yang sebaliknya, rumusan yang dihasilkan di Jayapura dapat dianggap tidak ada, termasuk pembentukan DKI itu. Karena semua berawal dari fakta menuju rekayasa.***

Klik Kompas, Senin, 26 September 2005

No comments:

Post a Comment