KODE-4

Tuesday, December 8, 2009

Pertunjukan di Indonesia: Sebuah Abstraksi

Oleh Indra Utama
Bilamana kita bersepakat dengan Richard Schechner (2002:2-19) yang menyatakan bahwa pertunjukan (performance) mesti dipahami sebagai spectrum yang luas daripada rangkaian kesatuan aksi manusia, seperti upacara, permainan, olahraga, pertunjukan popular, pertunjukan seni, dan penampilan kehidupan sosial sehari-hari sebagai profesional, gender, bangsa, dan lain-lainnya, maka diskusi tentang pertunjukan pun akan menjadi lebih luas karena ianya berkait dengan aksi dan perilaku manusia yang memiliki hubungan intercultural antara sesamanya. Dengan demikian, pertunjukanpun akan menjadi bidang kajian yang menarik pula karena dapat mengintegrasikan persoalan-persoalan teater dan antropologi, folklore dan sosiologi, sejarah dan performance theory, kajian gender dan psikoanalisis, serta performativity dan peritiwa pertunjukan itu sendiri.

Berdasarkan kepada pemahaman terhadap istilah pertunjukan yang sangat luas itu, kemudian kita ingin berdiskusi dengan tema ‘pertunjukan di Indonesia’. Tema simposium ini seperti ingin menggiring kita kepada persoalan-persoalan pertunjukan yang berlaku di Indonesia dengan muatan ke-Indonesia-an. Artinya, ada identitas ‘Indonesia’ yang ingin diungkap melalui berbagai bentuk pertunjukannya. Apalagi simposium ini pun diarahkan untuk berdiskusi mengenai pertunjukan di Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir sesudah bergulirnya proses reformasi tahun 1998. Dengan demikian lengkaplah bahwa apa yang ingin kita bicarakan adalah mengenai rangkaian kesatuan aksi dan perilaku manusia Indonesia di dalam konteks pertunjukan dalam masa 10 tahun terakhir.
Untuk menuntun diskusi menjadi lebih terarah, panitiapun telah memberikan hantaran kata bahwa persoalan pertunjukan di Indonesia saat sekarang boleh jadi berhubungan dengan perubahan pada peta politik di Indonesia sesudah reformasi 1998. Dalam hal ini, mungkin ditemukan adanya tanda-tanda bahwa pertunjukan-pertunjukan di Indonesia pasca-reformasi telah memunculkan suatu fenomena tersendiri sehingga diperlukan membuat sebuah pemetaan baru tentang pertunjukan di Indonesia agar ianya memiliki kejelasan dari segi bentuk, struktur dan gaya, untuk dapat disebut sebagai pertunjukan yang bernuansakan ke-Indonesia-an.
Meskipun kebanyakan daripada masyarakat kita tidak begitu memahami secara jujur apa makna reformasi, namun akibat yang ditimbulkannya sudah sangat terasa, salah satunya adalah semakin terbukanya peluang bagi setiap individu Indonesia untuk berekspresi secara individual dan sosial melalui media pertunjukannya. Kenyataan demikian, sepertimana disinggung di dalam Term of Reference simposium ini, dapat dilihat dari berbagai bentuk pertunjukan di tengah kehidupan masyarakat seperti kampanye politik, perhelatan olahraga, forum dakwah, demonstrasi, dan lain sebagainya.
Tidak dipungkiri bahwa proses reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 itu, telah membuka peluang untuk setiap manusia Indonesia mempertunjukkan dirinya di ruang publik melalui berbagai media yang dipilihnya. Terdapat kesan bahwa kebebasan individu dan kelompok yang wujud melalui berbagai bentuk pertunjukan sejak satu dekade terakhir merupakan perilaku yang merujuk kepada hak-hak dan kebebasan individu ataupun kelompok masyarakat itu sendiri. Kenyataan demikian, sepertimana anggapan kaum post-modern adalah bermuara kepada persoalan moralitas dengan mengusung permasalahan perilaku yang dikembalikan kepada bentuk naturalnya (restored behavior), di mana setiap manusia mempunyai hak dasar untuk mempresentasikan pemikiran dan jatidirinya melalui pertunjukan yang mereka buat. Kenyataan ini berhubungan pula dengan pemikiran bahwa hakekatnya setiap manusia memiliki potensi tersendiri untuk menyatakan keberadaan dirinya di ruang publik. Potensi diri (being atau self existence) tersebut dapat di-perform-kan dalam berbagai bentuk laku (doing atau activity), dan oleh karenanya ia disebut pertunjukan (Schechner, 2002:28). Berkait dengan alasan itu, berbagai bentuk pertunjukan pun muncul beragam berdasarkan alasan yang berkait dengan hak-hak dan kebebasan individu, egalitarian, proletariat dan bonjour, di mana semuanya itu telah menjadi issue populer masyarakat Indonesia saat ini di dalam berbagai bentuk pertunjukannya.
Kemunculan berbagai-ragam pertunjukan di Indonesia yang mempresentasikan kebebasan individu dan kelompok itu, bagaimanapun berkait-erat pula dengan adanya perubahan pada kehidupan masyarakat Indonesia di mana ianya disokong oleh limpahan sarana informasi komunikasi dengan bujukan-bujukan yang mempesona melalui pertunjukan media cetak dan elektronik. Kesan-kesan visual dan auditif, sepertimana disampaikan Edi Sedyawati (2008:19), yang lalu-lalang di udara itu ternyata lebih mampu menggoreskan kesan yang bertahan lama dibanding kalimat-kalimat panjang yang bergerak di dalam ranah pemaknaan kehidupan yang berlandaskan kepada etika, moral dan estetika.
Perubahan yang sangat cepat di Indonesia, sepertimana dijelaskan Sairin (2002:50-51), yang didukung perangkat media komunikasi tersebut, menyebabkan terjadinya pergulatan sistem nilai di dalam kehidupan masyarakat di mana ianya telah meyeret pula kepada terbentuknya krisis nilai. Krisis nilai tersebut pada gilirannya menyeret pula kepada krisis orientasi nilai yang memperangkap orang kepada situasi transisional di mana ianya mengarah kepada satu situasi yang disebut ”galau budaya” yang ambiguistis. Kenyataan demikian, oleh Victor Turner (1969:95) disebut sebagai fenomena liminaliti, iaitu suatu keadaan di mana masyarakat tidak berada di dalam situasi yang sebelumnya mereka miliki, sekaligus belum pula bergabung sebagai masyarakat yang baru.
Dalam keadaan kehidupan sosial masyarakat sedang mengalami situasi ‘galau budaya’ yang ambiguistis itu, sepertimana dijelaskan lagi oleh Sairin lagi (2002:173-174), muncul empat kelompok masyarakat yang mem-pertunjuk-kan karakternya masing-masing sesuai pemahaman yang terserap di dalam kehidupannya. Pertama, adalah mereka yang tetap bertahan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lama di dalam kehidupan mereka. Munculnya kelompok-kelompok messianisme di dalam kehidupan masyarakat Indonesia boleh jadi merupakan kaum yang ingin bertahan untuk mengaktualisasikan budaya lama mereka anut. Kedua, adalah mereka yang cenderung memungut simbol-simbol budaya masyarakat industri maju sebagai model acuan yang mereka pakai di dalam kehidupannya. Dalam hal ini, munculnya kaum metrosexual di kota-kota besar dengan berbagai corak dan gaya pertunjukannya boleh jadi merupakan masyarakat yang tergolong di dalam kategori kelompok ini. Ketiga, adalah mereka yang mampu memadukan dengan serasi kedua gagasan yang berbeda itu secara fungsional di dalam kehidupannya. Biasanya, kelompok masyarakat ini terdiri dari orang-orang yang memahami secara sadar bahwa mereka sedang berada di dalam keadaan liminal di mana dua kekuatan sedang mempengaruhi kehidupannya, seperti seniman, budayawan dan intelektual. Dan keempat, adalah kelompok masyarakat yang cenderung mengambil secara sepotong-sepotong unsur-unsur budaya lama dan budaya baru secara bersamaan untuk kepentingan sesaat itu saja. Orang-orang yang tergolong kepada kelompok masyarakat ini, sepertimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1969) disebut sebagai orang-orang yang memiliki perilaku ‘nrabas’, iaitu orang-orang yang selalunya menghindari kerja keras, menghindari disiplin dan kurang bertanggungjawab terhadap tugas yang dibebankan kepadanya.
Di dalam konteks pertunjukan, ekspresi daripada keempat kelompok masyarakat di atas dapat dilihat melalui berbagai bentuk pertunjukannya yang menampilkan ke-ciri-an karakternya masing-masing sesuai sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang terserap dari kenyataan ambiguistis di atas.
Pertunjukan-pertunjukan yang berlaku sesudah bergulirnya proses reformasi, agaknya memang tidak terlepas dari kenyataan liminaliti yang menyebabkan masyarakat berada pada posisi ambiguistis. Sekalipun pertunjukannya bersifat performative, namun tetap saja memunculkan performativity yang mencerminkan keadaan Indonesia saat ini. Uniknya, pertunjukan-pertunjukan yang mempertunjukkan kenyataan liminal itu ditampilkan secara vulgar nyaris seperti mengumbar syahwat dan mengenyampingkan rasa malu. Barangkali ke-vulgar-an pertunjukan tersebut juga merupakan kenyataan dari keadaan liminal dan ambiguistis di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berlangsung di mana ianya didukung pula oleh peluang yang semakin terbuka sesudah bergulirnya proses reformasi. Masa sekarang, pertunjukan-pertunjukan yang bernuansakan narcissism diri pribadi seperti pertunjukan pada masa kampanye politik, pertunjukan yang mempertunjukkan konflik terbuka antara kekuatan-kekuatan perorangan dan lembaga di berbagai media, pertunjukan kebrutalan penonton sepakbola di berbagai pertandingan, pertunjukan yang mengumbar penyimpangan perilaku artis di infotainment, pertunjukan-pertunjukan yang menampilkan pertarungan dua lembaga hukum Indonesia di pengadilan, atau pertunjukan-pertunjukan yang menampilkan kekerasan dan sex melalui sinetron, filem dan karya seni, sudah menjadi materi pertunjukan yang sering ditonton oleh masyarakat Indonesia. pertunjukan-pertunjukan demikian terlihat lebih marak di tengah kehidupan masyarakat Indonesia dibanding pertunjukan-pertunjukan yang mem-performativity-kan etika dan estetika budaya Indonesia melalui performative ke-Indonesia-an yang sebelumnya terbina dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Oleh karenanya, tidak heran kalau saat sekarang, performativity Indonesia pun muncul dalam kategori keterbukaan, kekerasan, individual, hak-hak dan kebebasan sebagai akibat dari terbukanya ruang pertunjukan yang lebih bebas dan seolah lepas kontrol.

2 comments:

  1. apa yang saya cari, terima kasih

    ReplyDelete
  2. Terima kasih atas informasi menarik

    ReplyDelete