KODE-4

Sunday, July 15, 2007

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007

Berladang di Punggung Budaya

OLEH Nasrul Azwar

Gendang Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 telah ditabuh. Penabuhnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, walau tampak kacau balau dan penuh kepanikan di wajah panitia pelaksana, tapi, sejak Minggu, 8 Juli 2007 alek yang disebut sebagai revitalisasi budaya tradisi Minangkabau ini, resmi dibuka. Bersamaan dengan itu pula, dicanangkan Hari Permainan Anak Nusantara.

Surat kabar lokal menyebut, Pekan Budaya Sumatera Barat 2007 merupakan Pekan Budaya yang ke-X (sepuluh). Dari cerita tokoh-tokoh yang pernah terlibat langsung dengan Pekan Budaya di Sumatra Barat, mengatakan iven ini dimulai sejak tahun 1982. Namun, jangan berharap banyak jika ingin menelusuri bukti-bukti tertulis berupa buku acara atau dokumen lainnya, kliping-kliping media cetak atau media audio visual yang berkaitan dengan perjalanan Pekan Budaya itu. Kita tidak akan menemukannya, malah di institusi atau badan yang relevan dengan kearsipan sekalipun. Hal itu jauh api dari rokok. Bahwa etnis Minang sangat kental dengan tradisi lisan (niraksara) mendapatkan pembenarannya di sini. Kita hanya bercerita saja, tidak mau menuliskannya.

Jika Anda berniat mendokumentasikan, menyusun, dan selanjutnya, misalnya, menuliskannya menjadi sebuah buku atau berupa skiripsi, Anda mungkin layak menerima penghargaan dari Gunernur Sumatra Barat (itupun jika dia punya apresiasi yang sungguh-sungguh terhadap karya Anda). Sebab, Andalah yang orang pertama di ranah Minang ini yang mampu menulis tentang itu: Sebuah iven budaya yang cukup penting di negeri ini, yang melibatkan banyak pihak dan sudah menelan dana yang besar, terwujud berupa karya tulis.

Sejenak kita lupakan itu dulu. Kembali ke Pekan Budaya yang kini sedang bakatuntang di Taman Budaya Sumatra Barat sampai tanggal 14 Juli 2007. Ini Pekan Budaya ketiga sejak reformasi tahun 1999 yang digelar di tempat seniman dan budayawan Sumatra Barat berkumpul itu. Dulu, Pekan Budaya digelar di kota dan kabupaten di Sumatra Barat: Kabupaten 50 Kota/Kota Payaklumbuh, Kota Bukittinggi dan Agam, dan Kabupaten Tanahdatar, pernah merasakan suka duka sebagai sipangka dalam alek Pekan Budaya itu. Kini, pola seperti arisan itu tak ada lagi. Peran sepenuhnya diambil Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Maka, beruntunglah Pemerintah Kota Padang sebagai ibukota provinsi, karena setiap tahun Pekan Budaya dilaksanakan di “rumah”nya tanpa perlu mengalokasikan anggaran dalam APBD-nya.

Sementara itu, 6 kota dan 12 kabupaten yang berada di luar Kota Padang sangat mengesankan sekali sebagai pelengkap penderita dan sekaligus peramai alek belaka, malah secara pemerintahan mereka telah dilecehkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Mengapa tidak, di depan undang-undang otonomi daerah sesungguhnya posisi pemerintahan kota dan kabupaten sejajar. Tak ada yang istimewa. Pertanyaannya, apa alasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk memilih Kota Padang tempat digelarnya Pekan Budaya Sumatra Barat secara berturut-turut sejak tahun 2004? Alasan karena ibukota provinsi, saya kira bukan alasan yang realistis pada saat sekarang. Karena fasilitas di pertunjukan seni Kota Padang lebih lengkap, itu pun tak masuk akal. Untuk itu, sudah saatnya wali kota dan bupati yang di Provinsi Sumatra Barat mempertanyakan hal itu kepada gubernur.

Sebab, salamo hiduang ditampuah anggok, iven Pekan Budaya tak akan pernah menghadirkan tontonan seni yang membutuhkan gedung dengan akustik yang bagus, lampu yang lengkap, dan alat musik yang jernih dan kuat. Pekan Budaya Sumatra Barat sejak dulunya memang sudah diorientasikan sebagai sebuah pakan, atau pasa. Maka, yang hadir setiap iven ini digelar adalah hamparan lapak-lapak dagangan para penggelas dengan seribu cara menarik perhatian tamu yang datang.

Lalu, jangan pula kita heran saat datang ke arena ini, mendengar secara bersamaan suara saluang dan pedendang, suara anak randai yang sedang membawakan tokoh Anggun nan Tongga, suara ginset, suara biduan orgen tunggal, dan teriakan pedagang pakaian anak-anak dengan kalimat terkenal di kaki lima “tigo saribu, tigo saribu!”

Inilah yang namanya Pekan Budaya Sumatra Barat. Iven “budaya dan seni” yang mengatasnamakan seni dan budaya (Minangkabau) Sumatra Barat. Seni dan budaya tradisi yang tumbuh dan berkembang di nagari-nagari yang dibesarkan oleh anak-anak nagari, yang dalam pikiran para pejabat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi, belum dikenal masyarakat luas, telah dijadikan alasan pembenaran untuk dengan mudahnya menghamburkan uang sebasar Rp 1,2 milyar. Uang sebanyak itu, dalam logika paling sederhana, sepeser pun tak akan pernah dirasakan para seniman tradisi yang tampil mewakili kota dan kabupatennya. Malah, semua kebutuhan transportasi, akomodasi, honor, dan lain sebagainya ditanggung pemerintah masing-masing. Panitia Pekan Budaya tak bertanggung jawab menyangkut biaya dan dana. Dan, malah untuk memperagakan keunggulan dareah di stand-stand yang disediakan, mereka mesti bayar listrik ke panitia. Konon, untuk stand di dalam komplek Taman Budaya sebesar Rp 300.000/selama acara, dan di luar mereka bayar Rp 400.000/selama acara. Lalu buat apa uang yang dialokasikan dari APBD Sumatra Barat sebesar Rp 1,2 milyar itu, jika para peserta dari kota atau kabupaten tetap membayar?

Pekan Budaya tahun 2007 tak jauh beda dengan yang sudah-sudah. Materi acarapun berkisar di situ-situ juga: ada lomba ada festival. Saluang jo dendang dilombakan, randai juga. Ada lomba lagu pop Minang, memakai baju kurung, mewarnai dan baca puisi. Pesertanya sudah dapat diduga: rata-rata 10 orang/kelompok. Untuk mewarnai hanya diikuti 9 orang.

Dari jumlah peserta itu, pelaksanaan dan pola kerja Pekan Budaya jelas sangat memprihatinkan. Selain itu pula, iven yang dianggap penting ini tidak pula menyediakan buku acara atau buku panduan yang bisa dijadikan pedoman bagi para pengunjung. Kalau ada alasan sudah ditulis dalam undangan, tentu tidak semua mendapat undangan. Inilah satu-satunya di atas muka bumi, sebuah acara yang dibuka resmi oleh orang nomo 2 di Indonesia tidak mengeluarkan atau mencetak buku. “Alah kanai ota se masyarakaik ko tamasuak rang sumando awak tu,” kata teman saya.

Inilah sebuah peristiwa budaya yang dirancang jauh-jauh hari tanpa tujuan yang jelas. Tak jelas capaian apa yang dikehendaki. Jika dicium acara ini kental dengan aroma proyek. Satu lagi bertambah deretan-deretan “iven budaya” dengan mengatasnamakan seni dan budaya tradisi Minangkabau, dan ternyata mereka berladang di punggung seni dan budaya itu. ***

Saturday, July 7, 2007

Konser Musik Kua Etnika


"Raised From The Roots, Breakthrough Borders"

Graha bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli 2007, pukul 20.00 WIB Sebelum menampilkan karya terbaru mereka di Festival Nusantara,Brisbane, Australia, Agustus mendatang, pemusik Djaduk Ferianto bersama grupnya, Kua Etnika, akan menampilkan karya-karyanya di depan publik Jakarta. Setelah dipentaskan untuk menandai kegiatan Yayasan Bagong Kussudiardja, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, akhir Mei lalu, Konser Musikbertajuk “Raised From The Roots, Breakthrough Borders” ini akan dipangungkan di Graha Bhakti Budaya TIM, Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli, pukul 20.00 WIB mendatang....

Dalam
konser yang menggunakan aneka macam instrumen etnik ini, Djaduk menyajikan 11 repertoar dengan dukungan vokalis Trie Utami. Seperti biasanya, dalam bermusik Djaduk berangkat dari semangat mengolah seni tradisi dan modern. Karya komposisinya merupakan pertemuan perjalanan musikalitas yang berusaha menautkan kutub-kutub aliran, gaya, dan genre. Kua Etnika mengolah dan mengambil inspirasi dari berbagai khasanah tradisi, sembari terus mempertemukannya dengan berbagai bentuk cara ungkap kontemporer. Menurut Djaduk, yang mendasari kerja kreatif mereka adalah keterbukaan musik etnik di Indonesia terhadap berbagai kemungkinan baru, baik instrumen, melodi, maupun iramanya. Termasuk di dalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari khasanah musik Nusantara.

Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik. Melalui seluruh reportoar garapan terbaru mereka, Kua Etnika, Djaduk Ferianto dan Trie Utami akan membagi perjalanan mereka. Perjalanan yang mendasari dirinya dari gamelan Jawa, Sunda, Bali, dan khasanah musik tradisi, untuk menemukan daya ungkapnya dalam musikalitas hari ini.

Suatu perjalanan yang,
menilik judulnya, berangkat dari suatu akar untuk mencapai dan kemudian menembus batas-batas, penuh percobaan teknik dan gaya dari berbagai sumber inspirasi. Namun, alih-alih menjadi rumit, mereka bersetia untuk lugas, sederhana, dan pada saat yang sama, menghadirkannya dalam suasana yang akrab dan hangat, hampir seperti tanpa pretensi.Selama dua jam penuh, penonton akan mereka ajak untuk bersama-sama menempuh perjalanan musikalitas mereka,menempuh pertemuan-pertemuan antar bunyi dan budaya. Tiket bisa diperoleh di 021-3154087 atau Pak Isa 081317028139. ***

Thursday, June 28, 2007

Lomba Karya Tulis Pemuda Tk Nasional dan Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan

Dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda ke-79, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena (FLP menyelenggarakan Lomba Karya Tulis Pemuda Tingkat Nasional Dan Penghargaan Untuk Penulis Artikel Kepemudaan. Berhadiah Total: Rp 30 juta!

Persyaratan Lomba Karya Tulis:

  1. Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
  2. Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
  3. Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
  4. Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
  5. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
  6. Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
  7. Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
  8. Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
  9. Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar naskah
  10. Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).

Persyaratan Penghargaan Penulis:

1. Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Januari - September 2007 yang bertema Kepemudaan.

2. Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak tiga rangkap.

3. Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)

4. Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.

5. Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.

Persyaratan Teknis:

Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail) Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke: Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis d.a Rumah Cahaya FLP Jl. Keadilan Raya No 13 Blok XVI Depok Timur 16418.

Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 3 Oktober 2007

HADIAH

Lomba Karya Tulis Pemuda

Untuk masing-masing kategori:

1. Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku

2. Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku

3. Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku

4. 3 pemenang hiburan @ Rp 500.000 + paket hadiah buku

Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan

  1. Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
  2. Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
  3. Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku

Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlingkarpena.net dan http://forumlingkarpena.multiply.com pada 18 Oktober 2007. Pemenang pertama Lomba Karya Tulis dari setiap kategori dan pemenang utama Penghargaan Penulis yang berdomisili di Indonesia akan diundang ke Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2007 dengan biaya kedatangan ditanggung panitia. Acara ini diselenggarakan oleh : Deputi Bidang Pemberdayaan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena Didukung oleh: Majalah Remaja Annida. Lingkar Pena Publishing House DAR Mizan

Keterangan lebih lanjut hubungi Lisa: (021) 573-8158 Koko: 0813-67675459 Denny: 0888-1425763 Dee: 0813-82828440

Lomba Menulis “Perangi Narkoba dan Menang”

Badan Narkotika Nasional

Dalam rangka memperingati Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) yang jatuh pada tanggal 26 Juni 2007, Badan Narkotika Nasional mengajak para Profesional (Dosen, Guru, Akademisi, Praktisi), Wartawan, Mahasiswi dan Pelajar untuk berpartisipasi dalam Lomba Menulis Karangan. Penulisan yang dimaksud adalah sebuah karangan bebas (khusus bagi wartawan berupa Feature).

Tema Karangan “Perangi Terus Narkoba Dan Menang”

Kriteria Khusus Bagi Wartawan:

  • Tulisan berbentuk Feature.
  • Pernah dimuat di media cetak antara tanggal 1 Januari s/d 30 Juni 2007
  • Karya tulis yang akan dikirimkan, belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan serupa.
  • Maksimal tulisan sepanjang 1/2 halaman koran atau 1 (satu) halaman Tabloid.

Kriteria Khusus Bagi Profesional & Mahasiswa / Pelajar:

  • Tulisan sebanyak 10-15 halaman.
  • Bentuk tulisan bebas.
  • Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  • Belum pernah dipublikasikan.
  • Mencantumkan referensi (Jika ada).


Ketentuan Teknis :

Teknis pengetikan: huruf Arial ukuran 12, spasi 1/2 margin kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas dan bawah 3 cm,menggunakan kertas kwarto (A4). Lampirkan identitas peserta (fotokopi KTP atau bukti diri lainnya) serta nomor hand phone/telepon yang dapat dihubungi. Bila melalui e-mail, data identitas dan nomor telephone dapat diketik dibawah karangan.
Karya tuls diterima oleh panitia paling lambat tanggal 30 Juni 2007.

Butir penilaian: Materi / isi tulisan Bahasa yang digunakan

Struktur tulisan
Originalitas
Semua karya tulis menjadi hak milik BNN.
Pemenang akan diumumkan melalui Harian Media Indonesia, RRI dan Website BNN.
Karya Tulisan dapat dikirim atau dibawa langsung ke alamat:
KABAG HUMAS BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) d/a GEDUNG BNN
JL. MT. HARYONO NO.11 CAWANG - JAKARTA TIMUR Telp. 021-80871566, 80871567 Ext.117 & 130 Fax. 021-80885225, 80871591, 80871632. lamat e-mail: c : denicarmel@bnn.go.id,humas@bnn.go.id
Fonna_999@yahoo.com
PEMENANG :
a. Juara 1, 2 dan 3 serta Harapan 1 dan 2 Bagi Wartawan
b. Juara 1, 2 dan 3 serta Harapan 1 dan 2 Bagi Profesional
c. Juara 1, 2 dan 3 serta Harapan 1 dan 2 Bagi Mahasiswa/Pelajar

HADIAH :

  • Juara 1 hadiah : sepeda motor dan sertifikat
  • Juara 2 hadiah : uang tunai Rp 4.000.000,- dan sertifikat
  • Juara 3 hadiah : uang tunai Rp 2.000.000,- dan sertifikat
  • Juara harapan 1 dan 2 : masing-masing uang tunai Rp 1.000.000,- dan sertifikat. www.bnn.go.id

Wednesday, June 27, 2007

Teater Kosong Jakarta


1 HARI 11 MATA DI KEPALA

Naskah/sutradara RADHAR PANCA DAHANA

Tanggal 6 - Juli 2007 pukul 19.45 wib
Teater Studio Taman Ismail Marzuki Jl.Raya Cikini 73 Jakarta Pusat


PENGANTAR:

Setelah menjalani masa vakum cukup panjang dari panggung teater, kecuali beberapa pertunjukan dramatik sastra (terakhir pentas Lalu Batu, di Gedung Kesenian jakarta dan 5 kota di Jawa, 2004), Radhar Panca Dahana akhirnya melakukan come back lewat sebuah pertunjukan teater yang ia tulis, sutradarai dan mainkan sendiri. Bersama sejawat-sejawatnya di Teater Kosong (angkatan ke-7), ia akan membawakan sebuah suguhan yang mengintegrasikan seluruh kekuatan artistik seni lainnya, dari mulai fotografi hingga arsitektur, dari akting hingga sinematografi, di atas panggung.

Sejak pertaqma kali terlibat dalam pertunjukan teater bersama Teater Gombong sebagai Roberta dalam drama Jack dan Penyerahan (GR Bulungan, 1979) bersama grupnya—termasuk yang terdahulu, Teater Aquilla dan teater Telaga—radhar sudah memenataskan 30-an panggung teater. Termasuk eksperimen laboratorisnya di Depok selama lima tahun bersam 15-an anggota kelompoknya.

Belakangan ia menerbitkan beberapa bukunya tentang teater. Mendirikan dan memimpin Federasi Teater Indonesia sambil menuliskan pengamatan dekatnya pada perkembangan teater Indonesia mutakhir. Dari semua jejak itulah, ia setahun belakangan mempersiapkan gagasan pertunjukan anyarnya, sebagai sebuah “surprise” (apa maksud tersembunyi di balik ini) kepada para kolega, rekan-rekan pekerja teater dan masyarakat umumnya.

Inilah hasil perenungannya setelah aktip dalam hidup kesenian sepanjang hampir 30 tahun: sebuah pandangan yang coba memberi alternatif bagi pemahaman atau cara pandang kita melihat manusia dan hidup di sekitarnya. Sebuah drama yang mengubah panggung bukan lagi sebagai mimesis atau representasi kenyataan belaka, tapi membentuknya kembali dan realitas barunya yang berlapis-lapis.

SINOPSIS:

Banyak tragedi, ironi juga komedi.Bukan cuma bagi dan dalam manusia. Tapi semua yang ada: sayur, kursi, kecoa, air susu yang tumpah atau sekedar nafsu seks yang gelap. Ini bisa di satu tempat atau sekaligus di berbagai tempat.

DI RUANG TIDUR: Hajjira, pekerja toko, juga pekerja seks komersial, melihat ruang tidurnya setiap hari selalu berubah. Hal itu membuatnya cukup tenteram, karena dunia luar yang dijalaninya telah membuat ia seperti angkotan kota yang ditilang begitu keluar dari jalur atau line-nya. Hingga satu kali ia melihat tikus mati di lubang wastafelnya: segalanya berubah. Ruang tidur itu tak lagi berubah namun selalu berada dalam cuaca yang sama: kecemasan bahkan ketakutan, suatu saat Hajjira akan menemukan dirinya tersesat dalam lubang wastafel dan ia tak mampu mengubah dunia dalam kepalanya: lorong wastafel itu, untuk selamanya. Ruang tidur menjadi neraka monotoni dan dunia luar hanya ilusi.

DI DAPUR: Mari, penari balet yang menikah dengan seorang pegawai kantor kepolisian. Suaminya mati karena salah tembak, disangka polisi hanya karena jaket yang dikenakannya. Setelah itu, mari selalu berusaha di dapur, menyibukkan diri, menyiapkan segala hal untuk suaminya yang akan berangkat pergi atau pulang dari kantor. Ia bersih-bersih, mencuci, memasak dan bicara, seakan suaminya ada di dapur, meruang bahkan adalah dapur itu sendiri.

DI WARUNG: Solar dan sonar duduk di sebuah warung kopi, yang satu menikmati kopi, satu menikmati yang sedang menikmati kopi. Yang satu menghisap rokok, satunya menikmati yang menghisap rokok. Yang satu bicara, yang satu bicara tentang yang sedang bicara. Satu lelaki satu perempuan. Keduanya bertukar sapa, mengaku sumai dan istri. Yang satu duduk satu pergi. Yang satu pergi satu duduk. Mereka bertemu. Mereka tak pernah bertemu.

Lalu kejadian berlangsung dimana-mana. Dimana ruang tercipta dan waktu “bermain” di dalamnya. Tak ada aktor, karena semua adalah pelaku, pelakon (manusia, bangku, cahaya lampu atau tikus di wastafel). Semua bisa berjuktaposisi, bisa beroposisi, bisa berkontemplasi, bisa apa saja. Dalam sebuah panggung yang memungkinkan apa pun yang diinginkan terjadi. Dan ada tak ada relasi, bukan soal lagi. Semua berrelasi sekaligus mengingkarinya.

KONSEP PERTUNJUKAN:

Pertunjukan ini dikreasi berdasarkan pemahaman teater kini tidak lagi dapat mewakili realitas secara apa adanya. Bahkan sebenarnya ia tak mewakili realitas itu sama sekali. Tidak terjadi mimesis sebagaimana secara klasik dipahami oleh sejarah teater terutama oksidental selama ini.

Bukan karena teater itu berubah atau terdapat kesalahan pemaknaan. Tapi karena realitas itu sendiri yang berubah. Dan seni, sebagaimana terjadi sejak dulu adalah anjing setia yang mengikuti kemanapun hidup itu pergi. Hidup itu berubah. Lebih tepatnya diubah. Ia tidak lagi dalam pemaknaan tradisionalnya. Setiap hidup, dalam jengkal ruang manapun, tidak lagi memiliki makna sebagaimana yang ada di dalamnya sendiri, sebagaimana yang ia kehendaki.

Tapi ia ada dan bermakna sejauh mata yang memandang, hati yang merasakan, dan akal yang merumuskannya. Realitas adalah mata. Barangkali realitasnya itu-itu saja, hanya satu,tapi ada sejuta mata yang melihatnya: maka iapun berubah menjadi sejuta. Setiap keadaan (waktu yang memuai susutkan ruang) kepentingan, latar sosio-kultural, dunia pikiran hingga cita rasa kuliner, bisa menggubah kenyataannya sendiri-sendiri, dari satui hidup yang tunggal.

Hidup adalah doublu double burger dengan sekian lapisan kenikamatan, yang sayang junk dan artifisial. Jangan mencoba menelannya sekaligus, jika tak kemudian anda menjadi makhluk dengan kepenuhan kontaminasi.

Dalam situasi itulah manusia melangkahkan perginya. Teater menrjemahkan dirinya. Menerjemahkan hidup yang tak pernah selesai ditafsirkan. Memberi manusia sekian (bahkan terlalu banyak) pilihan, dan seseorang hanya dapat mengambilnya satu-dua. Yang lainnya tinggal sebagai obskuritas bahkan chaos. Dan panggung teater adalah chaos (signikansi) itu.

Jika Anda tetap akan meraih signifikansi itu, lakukanlah tanpa dengan jiwa dan pikiran tertekan. Nikmatilah seperti anda menikmati segelas anggur, sup yang sedap plus alunan bossas yang meringankan badan. Nikmati pertunjukan.

ARTISTIK:

Pemain : Krisniati Marchelllina, Yudarria, Jeffry Djakatara
Panggung: Nobon
Cahaya: Reno Azwir
Musik: Jalu G.Pratridina
Kostum:Yudarria
Tata rias:Ratna Kosong
Stage manager: Anto Ristagi
Karya/sutradara: Radhar Panca Dahana

PRODUKSI:

Sekretariat: Yulisza Ristargi
Keuangan: Krisniati Marchellina
Publikasi/humas: Khumaidi
Dokumentasi: Fajar Irawan
Desain dan cetak:Edi hartanto
Konsumsi:Mei Han
Umum/peralatan: Karsimin
Petit fete:Endang Suwardi, Tya Rangkas
Produser: Edi Hartanto

Informasi:

1.Radhar Panca Dahana 081 6 19 48 365
Email:radhardahana@ yahoo.com, ftiindonesia@ yahoo.com

2.Lisa, sekretariat, 08569 22 33 849
Emaillisa_cerminart @yahoo.com

Absurdisme Delire A Deux

OLEH SAHRUL N
Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Kesenian Tradisi Indonesia dalam Wacana Kebinnekaan

(Catatan Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003)
OLEH SAHRUL N
Wilayah Indonesia yang kaya dengan pulau-pulau serta suku-suku bangsa, juga kaya dengan jenis-jenis kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang telah mapan dan sangat erat hubungannya dengan tradisinya merupakan kesenian yang kekuatan daya hidupnya tergantung dengan kebesaran budaya dan tata masyarakat dan budaya yang mendukungnya. Kesenian tradisional (traditional arts) tak lepas dari lingkungan yang menghidupinya. Khasanah pertunjukannya adalah rakyat setempat dan mitologi yang berkembang di daerah yang bersangkutan. Sikap sosial para pendukungnya masih dipengaruhi kultur lingkungan, kepercayaan-kepercayaan kepada leluhur dan sebagainya.

Indonesia: Sophisme Yang Merajalela


OLEH SAHRUL N
Memahami Indonesia hari ini adalah memahami sesuatu yang absurd, yang tercerai berai oleh sistem yang tak jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki Presiden sebagai orang nomor satu dengan demokrasi Pancasila sebagai ideologinya.

Pertunjukan Tari Ali Sukri: Penganten Ombak: Ikonitas Kultur yang Terbelah

OLEH SAHRUL N
Pertunjukan tari Ali Sukri yang berjudul “Penganten Ombak” merupakan pembelahan budaya lewat ikon-ikon gerak yang diuniversalkan. Properti sedemikian rupa membentuk alur-alur kehidupan yang senantiasa bergerak tanpa henti dan menuju berbagai makna tentang hidup manusia. Hanya lewat selembar plastik besar, pertunjukan ini sarat dengan konflik bathin manusia, terutama manusia yang sedang dilanda bencana. Dalam hal ini tragedi Aceh menjadi inspirasi utama pertunjukan ini. Perang saudara belum berakhir datang lagi bencana yang hampir tidak menyisakan apa-apa. Akan tetapi ini semua ada hikmahnya. Tuhan seakan tidak tega melihat derita rakyat Aceh akibat perang yang tak pernah usai. Tuhan meminangnya dan menjauhkannya dari arena perang.

Membaca Seni Ritual Mentawai Versus Seni Minangkabau dalam Wacana Intra-Kultural


OLEH SAHRUL N., S.S., M.Si, pengajar STSI Padangpanjang
I
Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.

Tuesday, June 26, 2007

Islamidar dan Seni "Sampelong"

KOMPAS, Rabu, 13 Juni 2007





Oleh Mahdi Muhammad

"Mungkin ada yang masih bisa memainkan alat musik ini. Tetapi, mereka entah di mana sekarang. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang bisa memainkan kesenian ini. Ini yang menjadi kekhawatiran kami," ungkap Islamidar (66), pertengahan Mei 2007. (Selengkapnya...)


KOMPAS, Rabu, 13 Juni 2007

Penjaga Sekolah Sekaligus Guru

Islamidar tak pernah mengecap pendidikan formal yang tinggi. Saat menginjak kelas I Sekolah Menengah Pertama, suami Tati Afrida ini terpaksa keluar karena mata kirinya mengalami kebutaan. Hingga saat ini, Islamidar hanya menggunakan mata kanannya untuk membaca atau untuk kegiatan lainnya. (Selengkapnya...)

Feminisme, Impian Perempuan Jadi Laki-laki

OLEH SAHRUL N, dosen di STSI Padangpanjang
Menyinggung persoalan seks, Helena Cixous memberikan gambaran bagaimana Zeus dan Hera menikmati hubungan seksual mereka. Ketika ditanya "Di antara laki-laki dan perempuan, siapa yang menikmati kesenangan yang lebih besar?". Untuk menjawab pertanyaan ini baik Zeus maupun Hera sama-sama tidak bisa memberikan jawaban.

Teater Sumatra Barat:



Mayat Hidup yang Ditangisi

OLEH Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)

Keinginan melihat pertunjukan teater di Sumatra Barat yang berbobot, agaknya harus dipupus. Sejak tahun 2000-2007 pertunjukan teater di Sumatra Barat jumlahnya mungkin mencapai ratusan, dan sebanyak itu pula repertoar yang sudah diangkat ke atas pentas. Tapi, nyatanya, kuantitas pertunjukan tidak menjamin kualitas pertunjukan. Problem utamanya tak jauh dari seputaran: berkesenian (berteater) dilakukan karena adanya iven atau memenuhi undangan atau dalam rangka. Artinya pula, teater di Sumatra Barat telah kehilangan substansi dan hakekatnya. Maka, jika menyebut konstelasi dan peta perteateran mutakhir di Indonesia, jangan berharap banyak Sumatra Barat menjadi salah satu simpul. Teater di Sumatra Barat tidak dianggap penting dalam kancah dan arah perkembangan teater di Indonesia. Pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang ini, tak lebih sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri: narsisisme. Malah, minus referensi perkembangan teater mutakhir. Mereka ini kurang membaca.

Sebelum era itu, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang. Pijakan tradisi randai dan juga teks-teks kaba melahirkan sebuah "tradisi baru" dalam teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat. Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an dan 80-90-an adalah sebagai representasi praktik-praktik pemaknaan yang bermaian dalam aktivitas-aktivitas penciptaan makna. Produksi dan pertukaran tanda yang bernilai yang menghasilkan makna dan pemahaman baru tentang teater. Proses urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan ke kultur teks visual panggung berlangsung secara ketat. Tema-tema dan konsep penyutradaraan kerap dibasiskan pada tradisi lokal.

Sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra Barat itu pula, kontribusi yang paling berarti bagi jagad teater di Indonesia dapat dikatakan cukup signifikans. Saat itu, kehidupan teater di Sumatra, tampaknya cerita dengan basis kultural Minang menjadi primadona. Naskah-naskah yang berbasis tradisi dan kultur Minangkabau dirayakan dengan sangat semarak. Era tahun 70-80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.

Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa. Tahun 90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditenggarai bahwa para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90-an terjadi “kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di Sumatra Barat. Beberapa iven pertemuan teater dari berskala lokal hingga regional pernah dilangsungkan di daerah ini.

Festival teater yang pernah digelar di Sumatra Barat semenjak tahun 70-an hingga 2007 (dan ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus) sudah sering dilaksanakan. Tujuan utama festival mengakomodasi kelompok-kelompok teater yang ada di Sumatra Barat dan juga menawarkan tontonan alternatif bagi publik. Namun kondisi kehidupan teater di Sumatra Barat tidak juga sehat. Belum lagi jika dihitung iven-iven yang digelar lembaga-lembaga kesenian, perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang terkait dengan kehadiran teater, juga tak terhitung jumlahnya.

Sebagian pemerhati teater menyebutkan, puncak pertumbuhan seni teater di Sumatra Barat berlangsung pada era 1980-an sampai awal tahun 1990-an. Fakta demikian memang dapat dibuktikan dari jumlah peserta dalam Festival Teater Sumatra Barat yang dilaksanakan tahun 1980 dan 1985 yang masing-masing berjumlah 13 kelompok teater. Dan jika ditilik dari asal kelompok teater yang ikut festival, tampak merata dari berbagai daerah di Sumatra Barat—semenjak dari Maninjau, Pelembayan di Agam, Pariaman sampai ke Payakumbuh. Dari gambaran peserta ini, pertumbuhan teater pada saat itu tidak terpusat di Padang saja.

Kini, Festival Teater Sumatra Barat akan digelar. Jika tak ada aral melintang, bulan Agustus 2007 sebuah peristiwa teater yang bertendensi festival akan memunculkan “puncak-puncak” dari sebagian elemen teater: kelompok teater terbaik, aktor dan aktris, sutradara, artisitik, dan musik. Namun, sepanjang informasi yangt didapat, belum jelas benar apa tema besar Festival Teater Sumatra Barat 2007 ini. Jika tak ada tema, katakanlah tema itu untuk meletakkan frame sebuah festival, tentu dapat menyulitkan arah dan tujuan penilaian festival ini, juga tak menutup kemungkinan peserta festival juga akan kehilangan arah.

***

Teater di Indonesia lahir dari urbanisasi. Perpindahan yang terus berlangsung tak pernah henti. Perpindahan dalam bentuk apa saja. Maka dengan demikian, dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam urban-urban yang menyuarakan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal. Proses urbanisasi itu yang kemudian membentuk kata-kata, sakigus ideologi. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.

Seperti menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.

Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Ada penonton yang menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang berbeda pula. Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.

Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen. Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.

Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater. Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”

Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.

Dari sekian banyak perjalanan kehidupan kesenian di Indonesia, utamanya teater, memang tidak bisa tidak, belenggu utama yang mengikat teater menjadi terpuruk adalah biaya produksi, selain tentu saja kemampuan intelektual pegiat teater itu sendiri. Kini, di Sumatra Barat, seperti sudah disebut di atas bahwa teater di daerah ini mengalami masa kelam dan berada pada titik nadir yang mencemaskan.

Memang, kondisi demikian terasa sangat ironis ketika kondisi zaman telah sangat maju, canggih, akses informasi yang demikian mudah, dan membina jejaring dengan komunitas sejenis tidak lagi sulit (karena teknologi informasi membuka peluang untuk itu). Selain itu pula, tantangan hidup kesenian itu sendiri pada saat sekarang sangat besar dan beragam, misal, begitu terbuka berbagai kemungkinan untuk berhadapan dengan penonton (publik), tantangan yang berada dalam lingkaran seniman itu sendiri: kerusakan lingkungan hidup yang demikian parahnya, ekologis, ketidakadilan sosial, politik yang banal, kemisklinan, dan konflik antaretnis, serta kebohongan yang kerap dilakukan para politisi. Kondisi-kondisi demikian itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi dalam era-era pertumbuhan teater sebelumnya, walau beberapa pola dan substansinya sama.

Teater, tentu saja dalam berbagai perspektif dan elemennya, akan tampak menyibak dengan lembut kemungkinan-kemungkinan kontemplatif deari semua persoalan manusia itu. Namun demikian, sayang sekali, pegiat teater di Sumatra Barat tak mampu membaca soal itu dan mereka kurang merenung, tampaknya. ***

Monday, June 25, 2007

Pentas Teater Nyai Ontosoroh

Kisah perlawanan perempuan bernama Sanikem. Zaman kolonial Belanda gadis-gadis dijual, diserahkan kepada pembesar-pembesar Belanda dijadikan gundik, atau Nyai. Jaman penjajahan Jepang perempuan dijual dan dipaksa dijadikan Jugun Ianfu. Zaman sekarang perempuan-perempuan dijual oleh keluarga, olehnegara, dijadikan TKW, menjadi budak rumah tangga, kadang dipaksa atau ditipu dijadikan pekerja seks demi devisa, jadi pahlawan sehari, kemudian dilupakan. Sudah waktunya perempuan harus melawan, melawan sehormat-hormatnya. Pengarang tersohor Indonesia , Pramoedya Ananta Toer mengajarkan tentang perlawanan perempuan dan pembentukan karakter, dalam novelnya yang paling popular Bumi Manusia. Tahun ini untuk pertama kalinya sosok perempuan pelawan, gundik dan perempuan terpelajar sekaligus, Nyai Ontosoroh, muncul di atas panggung.

Adaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: "Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya. .."

Naskah : Faiza Mardzoeki, Sutradara : Wawan Sofwan
Tempat Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki,Jakarta (12, 13, 14 Agustus 2007)

AKTOR Salma, Rudi Wowor Restu Sinaga, Ayu Diah Pasha, Madina Wowor, Temmy, Sita"RSD" Nursanti, William Bivers, M Hendrayanto, Teuku Rifnu Wikana,Nuansa Ayu, Felencia Hutabarat, Antony Ayes, Temmy H, Rusman, Joint,Bowo GP, Syaeful Amri-Ari-, Rusman, Pipien Putri, Rebecca Henscke

  • TIM ARTISTIK
    Direktur Artistik : Dolorosa Sinaga
    Co Penata Artistik: Gallis A.S
    Penata Musik : Fahmi Alatas
    Penata Busana : Merdi Sihombing,
    Penata Lampu : Aziz Dying & Sari
    Sound Engineer : Mogan Pasaribu
    Koreografer: Pipien Putri
    Ticket:
    VIP Rp 100.000,00
    Wings Rp 75.000,00
    Balkon Rp 30.000,00

    Nonton Hemat khusus Mahasiswa dan pelajar pada pertunjukan Hari Senin
    13 Agustus 2007) mendapat diskon 20%, dengan menunjukan kartu mahasiswa/ pelajar
  • Tiket dibeli pada bulan Awal Juli 2007
  • Namun, untuk lebih aman dan pasti anda mendapatkan ticket, bisa menghubungi sekarang juga untuk booking ke : Miranda Putri di: 021-70764004 dan 081808701099 atau ke Sekretariat: Jl. Tebet Barat Dalam II D NO. 21, Jakarta, Indonesia 12810 Telp/fax : (62-21) 8302028. Atau kontak ke: Dewi Djaja 08159787838, 021-68592885 dan Efriza di 08155006450 Email: nyaiontosorohtheatr e@yahoo.co. id, Multiply : http://nyaiontosorohtheatre.multiply.com

Sunday, June 24, 2007

Etnisitas Minangkabau dalam Film Dog's Life


OLEH SAHRUL N
Saya pernah mendapat beberapa pertanyaan dari orang di luar etnis Minangkabau, seperti, “Kenapa orang Minang suka berburu babi?”, “Kenapa orang Minang suka pada anjing, padahal orang Minang itu Islam?”, “Kenapa babi harus dibunuh, padahal ia hanya hidup di hutan?”, dan pertanyaan lain yang sejenis dengan itu. Waktu itu saya menjawabnya dengan logika-logika seadanya yang tentu saja tidak akan memuaskan penanya tersebut.

Dzikrullah: Spirit Islam dalam Musik Elizar Koto


OLEH SAHRUL N, dosen STSI Padangpanjang
Bahasa membicarakan manusia dan manusia membicarakan bahasa. Maksudnya, karena bahasa di dunia ini banyak dan khas serta berbeda-beda, maka bahasa menjadi tanda dan gejala terpenting dalam kehidupan, gejala utama dalam dinamika manusia, dan akar terpokok dalam ilmu pengetahuan. Musik merupakan salah satu media bahasa manusia, saat ini mulai menggeser subjek masalah sebelumnya yaitu alam (kosmosentris), agama (teosentris), dan manusia (antroposentris). Ketiga unsur ini menjadi menyatu dalam bahasa musik yang akan dihadirkan Elizar Koto (sang komposer) pada Minggu tanggal 4 Mei 2003 di sebuah desa yang bernama Pitalah Bungo Tanjung Padangpanjang.

Perjumpaan Dua Etnis Pedagang


OLEH NELTI ANGGRAINI
DATA BUKU
Judul: Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat
Penulis: Erniwati
Halaman: xvi + 175 halaman

Penerbit: Penerbit Ombak

Cetakan: Pertama, Januari 2007
Tionghoa—salah satu etnis yang identik punya naluri bisnis yang kuat—berjumpa dengan etnis Minang dengan etos dagang yang tak kalah pekat, apa jadinya? Sejarawan Universitas Negeri Padang juga kandidat doktor Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang cukup intens dan fokus melakukan kajian tentang etnis Tionghoa, Erniwati, mencoba memotret keberadaan dan perkembangan komunitas Tionghoa di Ranah Minang, dan bagaimana mereka berinteraksi dan membaur dengan penduduk pribumi Minangkabau. Dalam kajian dan pendekatan historis, ia memaparkanya dalam buku Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatra Barat.

Thursday, June 21, 2007

Waktu Batu: Tradisi Teater Rangkap Tiga


Pementasan Teater Garasi Yogyakarta
OLEH SAHRUL N
Bicara tentang identitas teater Indonesia hari ini, maka kita akan bicara tentang tiga tradisi teater, yaitu tradisi Timur, tradisi Barat, dan tradisi Timur Barat. Masing-masing tradisi teater ini memiliki bentuk dan konsep sendiri dalam menyampaikan gagasan di panggung pertunjukan. Tradisi Timur dan tradisi Barat memiliki pakem yang jelas dan terstruktur dengan baik serta memiliki penonton yang jelas. Sementara tradisi Timur Barat bisa diolah dalam bentuk eksperimentasi-eksperimentasi, sehingga daya ungkapnya lebih universal. Akan tetapi bagi Teater Garasi Yogyakarta yang melakukan pementasan di STSI Padangpanjang pada tanggal 31 Maret 2003 dengan judul “Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah?)” mencoba menghilangkan dikotomi Barat dan Timur dan identitas hanyalah proses untuk menuju pada ketegangan kreativitas. Semua bentuk adalah tradisi. Masa lalu, masa kini, masa datang adalah tradisi dan Waktu Batu adalah tradisi rangkap tiga.

Wednesday, June 20, 2007

Dito Natura dan Wakidi


OLEH BUDIMAN
Pameran seni lukis yang berlangsung di Hotel Bumiminang Padang tanggal 14 – 31 Desember ini oleh kelompok Dito Natura adalah semacam bentuk kristalisasi mengenang 116 tahun sang maestro Wakidi. Karena orang-orang kelompok Dito Natura ; Ar. Nizar, Firman Ismail, Jhaya, Idran Wakidi, Yose Rizal dan Yazid mereka semua merupakan murid-murid Wakidi yang telah banyak belajar perihal melukis dan perjalanan sang guru sendiri sebagai pelukis. Jadi pameran ini merupakan akumulasi rasa kecintaan yang tinggi dan mendalam mereka semua terhadap Wakidi yang dianggap telah berjasa besar tidak saja pada muridnya tapi juga pada perjalanan seni lukis di Sumatera Barat.

Komunitas SAGA : Solusi Atasi Krisis Penulis Seni Rupa


OLEH BUDIMAN
Komunitas Saga merupakan komunitas yang terbentuk dari kegiatan workshop kritik seni rupa yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sumbar pada tanggal 11-13 Februari 2007 yang lalu di FBSS UNP Padang. Komunitas Saga berdiri dimaksudkan untuk mewadahi para penulis/kritikus seni rupa yang bergerak di daerah Sumbar. Komunitas ini diketuai oleh Syofyan Ali Munir (Parsenibud), wakil ketua Minda Sari (guru SMKN 7 Padang), Sekretaris : Budiman (penulis) dan bendahara : Abdita (guru SKKN 4 Padang) dengan jumlah anggotanya sebanyak 30 orang yang terdiri dari berbagai kalangan seperti dosen seni rupa, penulis seni, guru seni rupa, dll. Komunitas Saga bersekretariat di Jurusan Seni Rupa FBSS UNP Padang.