KODE-4

Tuesday, May 15, 2007

SYAHRUL TARUN YUSUF

Popularitas Lagu Minang

Pada suatu masa, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, lagu-lagu Minang pernah berjaya dan menjadi lagu populer di Tanah Air. Penggemarnya tidak hanya orang Minang, tetapi juga warga etnik lain, bahkan penduduk negara tetangga Malaysia.

Sampai sekarang, lagu-lagu Minang masih terdengar diputar di mana-mana. Menyebut nama Elly Kasim, Erni Djohan, Nuskan Syarief, Lily Syarief, Tiar Ramon, misalnya, banyak orang pasti hafal syair-syair lagu Minang yang pernah mereka populerkan.

Kalau ada lagu-lagu Minang yang bertahan dan po-puler lebih 30 tahun, dibawakan oleh beberapa penya-nyi dan direkam berkali-kali, hingga syairnya dihafal oleh banyak orang, pasti itu karya Tarun, atau leng-kapnya Syahrul Tarun Yusuf (sering juga disingkat Satayu).

“Lagu-lagu yang diciptakan Tarun tahun 1960 sampai 1970-an kini sudah menjadi lagu Minang kla-sik, tetap disukai masyarakat,” kata budayawan Edy Utama, Senin, 28 Januari 2002, di Padang.

Menurut Edy Utama yang juga Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), ada dua alasan me-ngapa lagu-lagu ciptaan Tarun bertahan puluhan ta-hun dan menjadi lagu Minang klasik. Pertama; ia sa-ngat menghayati dan memahami budaya Minang-kabau. Ia dengan cerdas belajar dari alam, mengambil simbol-simbol alam sebagai kekuatan karyanya. Kedua: dalam lagu-lagu Minang ciptaannya ia menggambar-kan dengan sangat kuat perasaan kolektif masyarakat Minang. Tak heran lagu-lagunya menjadi dekat dan berkesan sekali dengan banyak orang.

“Komponis lagu Minang sekarang tak mampu mela-kukan hal itu. Wajar saja tidak ada lagu-lagu Minang yang populer, kecuali karya-karya Tarun,” tambahnya.

Penilaian senada diungkapkan Syuhendri, seniman yang juga seorang ninik mamak bergelar datuk, yang dihubungi terpisah di Nagari Balingka, Kabupaten Agam. Katanya, “Syair-syair lagu Tarun kaya dengan pengalaman batin banyak orang, yang diungkapkan dengan nilai sastra yang kuat, sehingga berkesan dan disukai banyak orang.”

Menurut Syuhendri, penyanyi Elly Kasim bisa po-puler dan bertahan menjadi penyanyi Minang adalah karena karya-karya Tarun.

Bagi Tarun, adalah suatu yang tak diduga, bila lebih seratus lagu ciptaannya, menjadi lagu-lagu yang po-puler, menjadi lagu Minang klasik dan abadi di masya-rakat hingga kini.

“Saya menganut prinsip kehati-hatian, tidak asal jadi dalam mencipta lagu. Saya banyak belajar dari alam dan budaya Minangkabau. Ditambah pengalaman, be-gitu datang feeling, jadilah lagu,” ungkapnya di ru-mahnya di Nagari Balingka, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Ia mengungkapkan, sampai sekarang masih ada pu-luhan syair yang masih tersimpan dan, menurut dia, belum bisa dijadikan lagu. “Lagu-lagu Minang yang sudah jadi ada lebih kurang 300 lagu. Yang belum jadi sekitar 100,” kata Tarun, seraya memperlihatkan daftar lagu, tahun dibuat, penyanyi yang mempopulerkan, dan produsen rekaman, yang dikeluarkan Yayasan Karya Cipta Indonesia.

Lagu ciptaannya antara lain “Bugih Lamo”, “Kasiah Tak Sampai”, “Bapisah Bukannyo Bacarai”, “Ampun Mande”, “Ranah Balingka”, “Gasiang Tangkurak”, “Roda Padati”, “Kabau Padati”, “Batu Tagak”, “Aia Mato Mande”, “Ayah”, “Bungo Cinto”, “Bungo Bapaga”, “Kumbang Batali”, “Di Taluak Bayua”, “Samalam di India”, “Takuik”, “Tinggalah Kampuang”, “Oto Triarga”, “Alang Bangkeh”, “Angin Sarugo”, “Buyuang Boneh”, “Cak Sarak Cak Suruik”, “Caraikan Denai”, “Hujan”, “Kanai Sijundai”, “Minang Maimbau I”, “Minang Maimbau II”, “Bagaluik”, “Saputiah Hati”, “Karam di Lauik Cinto”, “Jatuah Tapai”, “Balam Tigo Gayo”, dan “Pakiah Geleang”.

Lagu-lagu ciptaan Tarun lebih banyak dipopulerkan oleh penyanyi Elly Kasim dan Lily Syarief. Sebagian kecil oleh Erni Djohan, Tiar Ramon, Kardi Tanjung, Edi Cotok, dan juga pernah dipopulerkan penyanyi serba bisa, Hetty Koes Endang. Syair-syair lagu ciptaannya, karena saking populer, melegenda, dan dinilai klasik, menjadi bahan kajian untuk skripsi sejumlah maha-siswa dari Universitas Andalas, Padang. Juga jadi bahan telaah pengikut ajaran tasawuf.

Dalam mencipta, Tarun tak jarang meneliti ke lapa-ngan dan belajar khusus. Untuk mencipta lagu “Gasiang Tangkurak”, misalnya, ia mendatangi orang pandai (dukun) untuk menimba ilmu gasing tengkorak, pergi ke hutan dan bertapa. Kalau ia mau mencu-kupkan syarat, yakni memutar gasing tengkorak, “tembus”-lah ilmu yang ia tuntut. “Syarat yang satu itu tidak saya lakukan, karena dari awal niat saya untuk kebaikan. Lagu “Gasiang Tangkurak” dan “Kanai Sijundai”, yang saya ciptakan berdasarkan pengalaman itu tujuannya agar masyarakat, khusus-nya kalangan anak muda, tidak melakukan hal itu,” jelas Tarun.

Nilai sastra dari lagu-lagu itu ia angkat dari mantra-mantra sang dukun, disesuaikan dengan alam, kemu-dian irama lagunya dibuat. Tambahnya, “Semula, lagu tersebut saya buatkan untuk dibawakan penyanyi Tiar Ramon, tetapi Elly Kasim meminta karena suka dan merasa cocok. Setelah dipopulerkan penyanyi Elly Kasim, kini lagu tersebut dipopulerkan kembali oleh penyanyi Andi Mulia.”

Untuk tujuan komersial, sejumlah pencipta lain “menggunting” syair dan irama lagu-lagu ciptaan Tarun. Harusnya, menurut Tarun, pencipta atau pemu-sik generasi sekarang bisa mencari kosakata atau ung-kapan baru, tetapi punya makna yang sama.

“Lagu juga menjadi jati diri penciptanya. Daripada disebut pengekor, peniru, penjiplak, dan sebagainya, lebih baik ciptakanlah syair-syair baru, meski mak-nanya sama dengan yang lama,” ujarnya.

Satu hal yang membuat Tarun, putra Balingka ke-lahiran 12 Maret 1942, prihatin adalah banyaknya lagu-lagu pop yang syairnya diubah ke dalam bahasa Minang, yang dikenal Pop Minang. Harusnya, seniman musik ranah Minang berpikir bagaimana membuat lagu Minang populer, lagu yang bisa dinyanyikan/dipopulerkan oleh semua orang.

Menyelesaikan SR di Balingka dan pernah duduk di bangku SMP, SMEP, dan INS Kayutanam, serta me-nyelesaikan SMA di Bukittinggi, Tarun yang mengaku gemar menciptakan puisi-puisi Minang dan me-nonton kesenian saluang dengan dendang, dalam mencipta karyanya dibolak-balik berkali-kali, agar jangan sampai ada persamaan dengan karya orang lain, baik syair mau pun iramanya. Dalam proses mencipta, ia sering berdendang-dendang dulu baru mencari syairnya, atau sebaliknya menciptakan syair dulu baru kemudian mencari iramanya.

Lagu ciptaan Tarun yang pertama direkam adalah “Bugih Lamo”, yang sampai sekarang sudah 11 kali di-rekam. Tahun 1996, lagu itu mengantarnya meraih Anugerah HDX. Lagu tersebut sampai sekarang menjadi populer di Malaysia dan Brunei Darussalam, dengan syair yang dialihkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diganti judul “Lagu Lama”.

Senang karya-karyanya “bernilai jual” dan “meng-hidupi” orang lain, Tarun memegang prinsip tak mau merendah dengan karya-karyanya. Merendah, menu-rut dia, akan membuat Tuhan marah, karena ide-ide dalam mencipta lagu Dia-lah yang memberikan.

Oleh karena sudah berbuat banyak untuk kesenian Minang, tahun 2001 ayah tujuh anak dari hasil perka-winannya dengan Misnani yang asal Makassar dan ka-kek dari tiga cucu ini meraih Anugerah Pedati dari Pemerintah Kota Wisata Bukittinggi.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Kamis, 31 Januari 2002

MUSRA DAHRIZAL KATIK RAJO MANGKUTO

“Ruh” Seni Randai

Arena laga-laga Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat di Jalan Diponegoro, Padang, Selasa, 27 Agustus 2002, pagi, dipadati pengunjung tak seperti biasanya. Sekelompok pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) berpakaian tradisional tengah bersiap menampilkan randai, salah satu seni tradisi Minangkabau. Ada festival randai pelajar SLTP se-Sumatra Barat, rupanya. Melalui pengeras suara, panitia memanggil-manggil nama. “Tuo Randai kita, Mak Katik, mohon sangat kehadirannya.”

Mak Katik adalah nama keseharian Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto. Setiap ada barandai (pertunjukan randai) di mana pun, lelaki berkumis dan berjambang lebat itu selalu hadir.

“Semalam saya tidur dini hari, sekitar pukul 02.00. Ada anak-anak barandai. Pagi ini, saya dipercaya jadi juri festival randai. Ini sesuatu yang perlu kita sokong dan kita bantu,” katanya.

Suatu kali, dini hari usai pertunjukan randai Ke-lompok Tungku Tigo Sajarangan pada awal Agustus 2002 di Pauh, dini hari seusai pertunjukan, Mak Katik memberi kesan dan pesannya.

“Kesenian Minang hidup dan berkembang, serta me-narik dan dikagumi banyak orang dari berbagai etnis dan negara karena kesenian itu sendiri punya ruh; se-hingga dia hidup dan memberikan kesan mendalam bagi pengunjung.”

Menurut dia, kesenian Minang apa pun jenisnya, termasuk randai, harus memperhatikan penontonnya, kalau perlu melibatkan penonton. Pertunjukan kese-nian randai, misalnya, baru bisa dikatakan berhasil bila orientasinya untuk tiga kategori penonton: Orang buta, dengan kekuatan dialog, dendang, dan musik, ia seolah melihat langsung mimik para pemain. Pe-nonton yang tuli, tetapi mata nyalang, seolah men-dengarkan dan mengerti apa yang diucapkan pemain. Kemudian, penonton yang normal, cukup mata dan te-linga, juga mendapat kesan mendalam dari per-tunjukan itu.

Bila Anda menonton randai, perwatakan tokoh da-lam penampilan randai tidak diungkapkan melalui tata rias, tetapi disampaikan lewat dendang (gurindam) ber-bahasa Minang. Kemudian, yang menjadi musik selain tepuk galembong, juga tepuk tangan, tepuk kaki, tepuk siku, petikan jari, hentakan kaki, dan teriakan-teriakan “hep...ta...ti.. hai” oleh tukang gore, dan nyanyian atau dendang yang dilakukan para pemain sambil mela-kukan gerakan-gerakan galembong, gerakan silat.

Sudah banyak peneliti yang menjadikan Mak Katik sebagai narasumber untuk kajian randai, antara lain peneliti dari University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, Kirsten Panka, menjadi doktor karena randai.

Bahkan, ketika Mak Katik menampilkan randai dengan melibatkan mahasiswa asing dari delapan ne-gara menjadi pemain, pemusik, dan pendendang untuk cerita “Umbuik Mudo” yang dialihbahasakan dari bahasa Minang ke bahasa Inggris, seorang profesor dari University of Hawaii dengan spontan menyatakan kekagumannya. Dia sampai empat kali menonton.

Mak Katik diundang University of Hawaii menjadi pengajar selama enam bulan pada tahun 2000/2001, mewakili kesenian Asia. Ada 53 mahasiswa berbagai negara mengikuti pelajaran randai.

Menurut catatan Dewan Kesenian Sumatra Barat, saat Mak Katik jadi dosen tamu di University of Hawaii, Manoa, AS, itulah kali pertama kesenian randai tampil dan jadi bahan studi di luar negeri.

Sukses dalam 12 kali penampilan di empat tempat, antara lain di Kennedy Theatre, Amerika Serikat, Mak Katik yang juga menguasai seni silat, saluang, dan petatah-petitih Minang yang semuanya terpakai dalam pertunjukan randai, dengan Kelompok Singo Barantai mendapat undangan tampil beberapa kali di Jepang. Terakhir dia tampil di Melaka, Malaysia. Akhir tahun 2002, Mak Katik ada kemungkinan tampil di Brunei Darussalam.

Pergumulan Mak Katik secara intens dengan randai sudah sejak 43 tahun lalu. Tak heran ia dipanggil Tuo Randai”, panggilan kehormatan dalam sistem kebu-dayaan Minang yang sejajar dengan sebutan guru besar atau pakar dalam sistem pendidikan Indonesia. Bedanya, seorang yang dianggap Tuo Randai tidak hanya sekadar ahli dan sangat menguasai, tetapi juga sekaligus pelestari.

Menurut Mak Katik, kesenian randai disukai dan dikagumi antara lain karena di balik dialog, di balik gerak silat, sarat filosofi adat dan agama yang menjadi dasar kehidupan. Ia melukiskan, di balik semua ge-rakan silat randai, filosofinya sama. Dalam proses ke-budayaan Minang ada proses yang harus dilakukan. Bila dibawakan ke kehidupan, itu warna kehidupan, karakter hidup.

Dalam dialog randai, filosofinya ia lukiskan seperti sapakaik hati jo jantuang, sakato budi jo aka, budi manimpo ilimu, baso basisiah paham dalam batin. Bila dikaji terus, larinya bisa ke tasawuf. “Persoalannya, tidak seberapa orang randai yang pengetahuan dan pemahamannya sampai ke tingkat (tasawuf) itu,” ujarnya. Begadang setiap malam untuk kesenian randai, bagi Mak Katik itu konsekuensi dari pilihan hidup. Dilahirkan di Subang Anak, Nagari Batipuah tanggal 18 Agustus 1949, pada usia 10 tahun Mak Katik belajar randai dari pamannya, Kabun Rangkayo Batuah. Bersamaan dengan itu ia juga belajar silat dan saluang. Tiga tahun kemudian ia belajar petatah-petitih Minang. Sebagai pemain randai, Mak Katik kecil sudah tampil di berbagai daerah di Sumatra Barat.

Tahun 1976, ia membentuk sendiri kelompok ran-dai Talago Gunuang di Padang. Mak Katik langsung se-bagai pelatih. Pemainnya orang Cina dan Nias. Randai tersebut sempat terkenal dan bertahan lebih kurang delapan tahun. Kini, sekitar 52 kelompok randai di Kota Padang, Mak Katik salah seorang pembinanya. Tidak hanya di Padang, pada hampir seluruh daerah di Sumatra Barat, Mak Katik terlibat sebagai pelatih atau pembina.

“Untuk mengurus randai sampai tahun 1986, sudah satu mobil dan satu sepeda motor cair (tandas-red). Bagi ambo — begitu ia menyebut ke dirinya — tak ada pamrih. Melatih randai, silat, dan saluang, tidak untuk mencari makan, tetapi mengembangkan kesenian tra-disi dan menjalin tali silaturahmi. Sudah seluruh pelo-sok daerah di Sumatra Barat dikunjungi untuk mema-jukan kesenian randai. Sampai sekarang tali silatu-rahmi dengan masyarakat tempat randai itu hidup dan berkembang, tetap jalan,” papar seorang pembinanya.

Tidak hanya di Padang, pada hampir seluruh daerah di Sumatra Barat, Mak Katik terlibat sebagai pelatih atau pembina.

Untuk kebutuhan hidup dan membiayai istri dan empat anaknya, Mak Katik sejak tahun 1974 sudah punya usaha percetakan di Padang yang dijalankan adiknya.

Karena alasan tanpa pamrih melestarikan dan me-ngembangkan kesenian tradisi itu, ia tidak pernah memberi tahu bahwa ia punya usaha percetakan dan tidak pernah meminta proyek kepada pejabat-pejabat (Wali Kota/Bupati, dan Gubernur) yang pernah dekat dengannya.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Selasa, 29 Agustus 2002

MURSAL ESTEN

Fenomena Datuak Maringgih

Masih ingat potret tipikal tokoh kontroversial Datuk Meringgih dalam roman Sitti Nurbaya (juga di sinema televisi dengan judul sama yang diperankan dengan amat bagus oleh HIM Damsjik) karya Marah Rusli? Ia terbilang tokoh kontroversial. Bergelar “Datuk”, tetapi tidak tahu asal-usul ke-”Datuk”-annya. Ia dikesankan sebagai tokoh jahat dan berkarakter buruk, tetapi di sisi lain ia pulalah yang menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.

Bagi Prof Dr Mursal Esten (59)—tokoh budaya dari tanah Minang, yang justru dikenal lebih banyak mengritik perilaku orang Minang itu sendiri—karakter dan sosok Datuk Meringgih sangat multidimensional. Sebagai pedagang ia kaya-raya. Dengan kekayaannya itu ia lalu membabat saingan-saingan bisnisnya, se-hingga bisa melakukan praktik monopoli. Dengan ke-kayaannya itu pula ia dapat dengan mudah menggaet wanita-wanita cantik untuk diperistri, tak terkecuali si cantik Sitti Nurbaya.

Dalam tataran inilah Datuk Meringgih tampil sebagai sebuah fenomena menarik. Sosok tipikal Datuk Meringgih yang dibangun Marah Rusli di awal 1920-an itu, pada hakikatnya adalah potret dari perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam masyarakat Minang-kabau khususnya di Kota Padang yang ketika itu te-ngah berkembang menjadi bandar perniagaan pada saat roman Sitti Nurbaya ditulis.

“Akan tetapi, jangan lupa, tokoh seperti Datuk Meringgih ini ternyata tetap hadir di dalam berbagai zaman: dahulu dan sekarang,” kata Mursal, lelaki kela-hiran 5 September 1941 di Kacang, suatu daerah di pinggiran Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatra Barat.

Saat meluncurkan dua buku terbarunya tentang ke-budayaan, Desentralisasi Kebudayaan dan Kajian Transformasi Budaya, di Padang akhir tahun lalu, de-ngan gaya sinis Mursal Esten menguraikan kaitan so-siologis munculnya kelompok “masyarakat baru” Mi-nangkabau yang tak lagi takluk kepada nilai-nilai tra-disi yang selama ini dijunjung tinggi di satu pihak, dengan fenomena munculnya sosok Datuk Meringgih masa kini.

Menurut dia, “masyarakat baru” Minangkabau se-perti itulah yang kemudian melahirkan orang-orang seperti Datuk Meringgih. Para datuk yang tak jelas asal-usulnya ini memiliki kenalan amat luas, bahkan bisa mempengaruhi kebijakan yang diambil penguasa. Di masa Orde Baru lalu ia jadi tokoh yang amat dihormati, bahkan dianggap juru selamat rakyat. “Di Sumatra Barat ini ia jauh lebih dimuliakan daripada datuk-datuk se-benarnya. Jika ia datang dari rantau (baca: Jakarta), di bandara ia dijemput oleh Gubernur atau pejabat-pejabat negara. Saya kira di daerah-daerah lain hal itu juga dilakukan,” katanya.

Sosok Datuk (datuk-datuk) Meringgih baru itu be-rubah menjadi sosok yang baik dan dermawan. Daerah-daerah, desa atau kota, menjadi berkilau oleh keha-diran mereka. Jika tokoh-tokoh tersebut belum bergelar datuk akan diupayakan dicarikan asal-usul yang me-mungkinkan mereka mendapat gelar tersebut. Mereka bisa tampil menjadi Menteri atau menjadi wakil rakyat di DPR.

Demikianlah citra mereka di saat faktor ekonomi dan industri menjadi Panglima. Akan tetapi, sewaktu ekonomi ambruk, citra mereka pudar, apalagi ternyata datuk-datuk itu kaya karena KKN. Watak dan perangai aslinya pun mulai terbuka. Ternyata, mereka lebih buruk dari Datuk Meringgih yang ada di roman Sitti Nurbaya.

“Tokoh Datuk Meringgih ini sampai sekarang tetap aktual dan kontekstual. Bukankah tokoh-tokoh seperti itu dapat mengerahkan massa dengan dana yang dimi-likinya? Bukankah menjelang dan sewaktu kampanye Pemilu lalu mereka juga dengan ‘ikhlas’ menyum-bangkan dana dalam jumlah ratusan juta rupiah ke-pada rakyat? Bukankah praktik-praktik seperti itu juga yang dilakukan Datuk Meringgih, yakni (istilah men-terengnya) money politics? Kalau Datuk Meringgih dulu melakukannya untuk melawan Belanda, tetapi se-karang untuk apa?”

Bagi sementara orang Minang, kritik dan gugatan seperti yang kerap diucapkan Mursal ini terdengar ke-ras, jauh dari gambaran ideal orang Minang sebagai-mana ajaran, nilai budaya, dan tradisi setempat. Dalam tradisi Minang, seseorang baru ideal sebagai manusia bila selalu tampil low profile. Sikap rendah hati tersebut, menurut cerpenis Harris Effendi Thahar, tergambar da-lam pepatah: “kok bakato, di bawah-bawah; kok mandi, di baruah-baruah.”

Mursal tidak begitu. Dalam pandangan Harris, Mursal adalah lelaki Minang modern yang tak lagi me-nempatkan diri di balik mitos-mitos kebesaran Minang-kabau masa lalu. Oleh karena itu, seorang Mursal Esten tidak akan berkata di bawah-bawah, tetapi sesuai kon-teks dan proporsinya. Ia juga tidak akan mandi di ba-ruah-baruah, melainkan akan ‘memandikan’ orang lain kalau memang mitra bicaranya itu perlu dimandikan.

“Oleh karena itu, tak heran kalau sebagian teman sejawat menilainya arogan,” kata Harris mengomentari posisi Mursal, yang kini dipercaya memimpin Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang dan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Sarjana Kesusaste-raan Indonesia.

Tidak aneh pula bila dalam kesempatan lain Mursal dianggap sebagai Malin Kundang yang hidup di alam modern. Tekadnya mengubah orientasi keilmuan STSI Padangpanjang dari “hanya” sebagai pusat kajian tra-disi Minangkabau menjadi pusat kajian Melayu, di-tanggapi oleh sebagian orang Minang sebagai bentuk lain dari “pengingkaran” Mursal terhadap tradisi yang membesarkannya.

Di dunia intelektual ia bahkan dituduh sekuler. Per-nyataannya tentang sikap Islami seseorang tidak di-tentukan oleh kepatuhannya terhadap segala bentuk ritual ibadah, tetapi oleh sikapnya yang selalu mem-pertanyakan dengan akal pikiran yang diberikan Tuhan kepada manusia, sempat mengundang tanda tanya di antara sejawatnya. Bahkan isu sekuler ini pula yang (konon) membuat ia gagal pada tahap akhir pe-milihan Rektor Universitas Negeri Padang (UNP; sebe-lumnya IKIP Padang-red) beberapa waktu lalu.

Adanya berbagai tudingan tersebut tak membuat Mursal surut. Terhadap isu dirinya penganut paham sekuler, ia cuma berujar ringan. “Kalau dunia aka-demik tidak sekuler, lalu bagaimana mungkin ia bisa berkembang?” Sedangkan menyangkut kebiasaannya melakukan semacam otokritik terhadap perilaku orang Minang, Mursal juga punya jawaban sendiri. “Di dalam alam dan adat Minangkabau, tokoh-tokoh yang dihargai adalah orang-orang yang ‘memberontak’, berpikir kri-tis dan kreatif, meskipun itu terhadap alam dan adatnya sendiri.”


Menyelesaikan program doktor di Universitas Indo-nesia (1990), Mursal kini tercatat sebagai guru besar pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UNP, serta Ketua STSI Padangpanjang. Ia juga menjadi Ketua Pusat Kesenian Padang (1974-1979), Kepala Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat (1979-1989), Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Padang (1986-sekarang), selain sebagai Ketua Pengu-rus Pusat Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia sejak tahun 1997.

Di samping menjadi staf pengajar di UNP, Mursal te-tap produktif menulis artikel tentang sastra, kesenian, dan kebudayaan di berbagai media massa nasional dan majalah terbitan Kualalumpur, Malaysia. Suami dari Ny Tati Mursal dan bapak dari Eka Anugraha, Aria Natalia, dan Triyana Citra ini juga sering melakukan penelitian dan banyak menulis buku. Selain dua buku terbarunya yang diluncurkan akhir 1999 lalu, ia telah melahirkan sejumlah buku, di antaranya Kesusastraan, Pengantar Teori dan Sejarah (1979), Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur (1981), Kritik Sastra Indonesia (1984), Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Mambaca Puisi (1987), Apresiasi Sastra Indonesia (1987), Sastra Jalur Kedua (1987), dan editor buku Menjelang Teori dan Kritik Susastra yang Relevan (1988). Mursal Esten meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 2003 di Padang.

Guru yang Tak Pernah Merasa Lelah


KETIKA pagi itu saya memasang bendera di depan rumah untuk merayakan HUT ke-58 RI, Minggu 17 Agustus 2003, bendera itu jatuh ke tanah dengan tiangnya meski rasanya sudah saya ikat erat-erat ke pagar. Di saat yang sama, handphone berdering, cuma SMS: Mursal Esten meninggal, pukul 06.15 pagi ini. Innalillahi wa ina ilahi rojiun. Telah kembali ke kampung asal seorang tokoh nasional, budayawan, kritikus sastra, mahaguru, teman sejawat, yang namanya sering disebut-sebut teman sejawat karena beberapa bulan belakangan ia sudah berkali-kali keluar masuk rumah sakit akibat diabetes melitus yang dideritanya sejak lama.

Sekitar enam bulan lalu, kami berdua bermobil dari Maninjau ke Padang (sekitar 90 km) sehabis seminar sehari "Budaya Melayu" dengan dua orang pembicara pakar dari Malaysia. Dan, Mursal Esten adalah salah seorang pembicara dari pihak Indonesia untuk sesi pertama dan saya moderatornya. Waktu itu ia sudah mulai sakit, cepat lelah, tapi ia menolak ketika saya menawarkan diri jadi sopir. Alasannya, justru kalau sedang mengemudi, ia jadi lupa bahwa ia sakit. "Mengemudi termasuk hobi saya," tambahnya.

Ia memilih tampil pada sesi pertama karena ia ingin mengajak saya makan siang di Kota Pariaman yang terkenal dengan gulai ikan lautnya yang segar. Meski masih sesi pertama, justru pada babak diskusi Mursal Esten berlangsung seru. Mursal terkesan begitu keras "memandikan" seorang datuk yang getol mengatakan bahwa semua orang Melayu harus pakai jilbab karena Melayu identik dengan Islam.

"Saya justru tidak percaya pada atribut-atribut luar. Untuk Anda ketahui, Perda Kota Padang Panjang- tempat STSI yang saya pimpin berada-mewajibkan semua pegawai negeri wanitanya memakai jilbab. Tapi, kok skandal seks di sana yang paling banyak diekspos pers? Kalau Anda memang seorang datuk, lebih baik mengurus perilaku anak-kemenakan. Bukan mengurus jilbab."

Dalam perjalanan menuju Pariaman, menjelang siang itu, kami masih membicarakan suasana seminar di tepi Danau Maninjau yang permai itu. Saya katakan, "Sikap Pak Mursal menjawab datuk tadi itu semakin meyakinkan sebagian orang-orang di ranah Minang ini bahwa Pak Mursal Esten itu sekuler."
Konon, tahun 1999 lalu, Mursal Esten kalah bersaing dengan Prof Dr A Muri Yusuf untuk kursi rektor Universitas Negeri Padang (UNP, dulu IKIP Padang) adalah lantaran isu sekuler yang diembuskan pihak "lawan" ke senat universitas. Akhirnya, semula diramalkan Mursal menang, suara berbalik dan mengalahkan dia. Bahkan, nama Mursal Esten ditolak masuk dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Sumatera Barat (Sumbar) lantaran isu itu juga. Dua bulan setelah pemilihan rektor UNP, ia diangkat sebagai Ketua STSI Padang Panjang-yang sebelumnya ASKI Padang Panjang-yang juga dipimpin Prof Dr Mursal Esten sejak 1994. Perubahan status dari akademi ke sekolah tinggi itu berkat perjuangan Mursal. Semua orang di Sumatera Barat tahu itu. Dan, Mursal Esten jugalah yang mengundang Wakil Presiden Megawati (waktu itu) berkunjung ke STSI Padang Panjang dan berhasil mendapatkan hadiah tiga bus baru untuk angkutan kampus yang sejuk itu, setelah Megawati jadi presiden beberapa bulan kemudian. Hingga hari-hari terakhir menjelang kepergiannya, ia masih Ketua STSI Padang Panjang.

Mursal Esten termasuk orang yang "ditakuti" kalangan pemangku adat yang berhimpun dalam Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) di Sumbar karena kesinisannya terhadap lembaga itu. "Tuan-tuan yang datuk-datuk ini sebenarnya mengerjakan apa sih? Dari dulu hingga sekarang fungsi LKAAM ini tidak lebih dari sekadar untuk pelengkap acara seremonial, selebihnya apa? Mengapa tidak mengurus anak kemenakan agar menjadi anak Minang yang berbudi luhur? Menurut saya, LKAAM ini tak perlu ada, bubarkan saja!" katanya dalam suatu seminar. Padahal, waktu itu yang menjadi Ketua LKAAM adalah Gubernur (Hasan Basri Durin, Dt Rajo Nan Kuniang).

Dalam perjalanan menuju Pariaman, Mursal Esten bilang pada saya tentang keinginannya menunaikan ibadah haji tahun 2004 ini. Sayang, dokter yang merawatnya melarang karena kesehatannya yang tak meyakinkan. "Apakah agar supaya Pak Mursal jangan dianggap orang sekuler lagi?" tanya saya.
"Karena dari segi ekonomi saya sudah mampu," jawabnya.
"Tunggulah, kalau Pak Mursal sudah benar-benar sembuh," bujuk saya.

Ia tak menjawab, seperti sedang mempertimbangkan kata-kata saya itu. Meski demikian, ia toh masih terbang ke sana-ke mari, sesuai tugas yang diembannya sejak ia menjabat sebagai Ketua HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) hingga Ketua Paguyuban Pimpinan Perguruan Tinggi Seni, Anggota Steering Committee Kongres Bahasa Indonesia 2003, mengajar dan menguji mahasiswa program pascasarjana UNP, belum lagi waktunya untuk STSI yang kabarnya sedang diusahakan meningkatkan statusnya menjadi Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Ia pun, sejak tiga tahun lalu, telah merintis pembentukan Pusat Kajian Melayu di STSI PadangPanjang yang banyak mendapat sokongan dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia.

Konon, di Sumatra Barat, ia termasuk tokoh pelobi nomor satu. Seolah-olah ia tak peduli dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

MINGGU PAGI itu, cuaca redup, seperti hendak turun hujan. Di rumah duka, sekitar pukul sepuluh siang menjelang jenazah dimandikan, begitu ramai oleh pelayat datang. Tidak terbilang provinsi, pemerintahan kota, instansi, legislatif, kalangan perguruan tinggi tentu saja. Kalangan muda, terutama mahasiswa sastra dari tiga universitas (UNP, Unand, Universitas Bung Hatta) generasi muda pencinta dan pekerja seni hadir melayat, memperlihatkan rasa kehilangan yang dalam.

Sejak muda, Mursal memang peduli pada anak-anak muda yang aktif berkesenian, terutama sastra dan teater. Ia lebih suka menyumbang daripada dibayar apabila ada kelompok-kelompok diskusi sastra dan teater yang mengundangnya menjadi pembicara. Bahkan, ia tak segan-segan menyumbang penerbitan buku puisi anak-anak muda yang berbakat.

Ketika pertama kali Kota Padang memiliki sebuah Pusat Kesenian yang didirikan di atas lahan bekas Padang Fair tahun 1975, Mursal Esten ditunjuk sebagai Ketua Pusat Kesenian Padang (PKP). Sejak itu, seniman di Kota Padang merasa memiliki "rumah" tempat berekspresi. Ternyata Mursal mampu menghidupkan kesenian dan menyatukan seniman di Padang yang terkenal suka bertengkar itu. Sanggar-sanggar teater, seni rupa, sastra, dan tari bermunculan. PKP jadi hidup ketika itu karena didukung oleh tokoh-tokoh seniman seperti Alm AA Navis, Alm Chairul Harun, Leon Agusta, Abrar Yusra, Wisran Hadi, Hamid Jabbar, Darman Moenir, Upita Agustine, Alm Asneli Luthan, BHR Tanjung, Bagindo Fahmi, dan lainnya.

PKP akhirnya dikukuhkan menjadi Taman Budaya Sumatera Barat di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan 1979 dan Mursal Esten langsung menjadi Kepala Taman Budaya. Kesenian di Padang menjadi hidup. Malah banyak di antara seniman-seniman di luar Sumatera Barat ingin diundang datang ke Taman Budaya Sumbar di Padang pada masa itu. Bagi seniman Sumatera Barat waktu itu, kalau sudah mentas di Taman Budaya seperti telah merasa "disahkan" jadi seniman.

Pamor Taman Budaya mulai redup ketika Mursal Esten mundur dari jabatannya selaku Kepala Taman Budaya Sumbar karena harus berangkat ke Leiden (Belanda) menyelesaikan program studi doktornya, kerja sana dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia di bidang Sastra, tahun 1988.

Meski ia telah menyandang gelar akademis Doktor dua tahun setelah itu (satu-satunya Doktor Sastra di Sumatera saat itu), penampilan Mursal tidak pernah berubah. Masih tetap sebagai guru (dosen) favorit, lebih banyak tersenyum, dan suka membantu mahasiswa dengan buku-buku. Malah ia dengan senang hati memberikan buku yang ditulisnya secara gratis untuk mahasiswa yang tidak mampu. Kalau ada mahasiswanya yang menulis puisi, cerpen, atau esai kesenian di koran, ia sempatkan diri memberi semangat, kalau perlu dengan mentraktirnya minum kopi di kantin sambil berdiskusi. Saya termasuk orang yang mengalami hal itu dengan Pak Mursal ketika saya menjadi mahasiswa di tahun-tahun awal.

Di bulan-bulan terakhir sebelum kepergiannya, saat sakitnya mulai parah, ia masih menyempatkan diri datang ke ruang sidang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS UNP, "habitat"-nya, mengendarai mobil sendiri meski hanya untuk silaturahmi. Banyak teman sejawat menyarankannya agar lebih baik beristirahat di rumah, dan kalau rindu telepon saja kami. Tapi ia langsung menjawab, "Saya tidak bisa istirahat!"

Kini, ia betul-betul telah beristirahat untuk selama-lamanya. Sebelum meninggal, ia minta dikuburkan di kaki kuburan ibunya di Kacang, Solok. Ia meninggal dalam usia hampir 62 tahun (lahir di Bireuen, Aceh, 5 September 1941), meninggalkan seorang istri, tiga putra, dan dua menantu. Semoga Tuhan mengasihinya dan memberinya tempat yang indah.*

SUMBER (Yurnaldi/Kenedi Nurhan), Kompas, Senin, 24 Januari 2000

Harris Effendi Thahar, Staf Pengajar FBSS-UNP, Kompas. Minggu, 31 Agustus 2003

ERY MEFRI

Menyatukan Rasa dalam Tari

Ketika menemukan kenyataan yang menyakitkan, di mana manusia seolah tidak bisa memaafkan diri sendiri, koreografer Ery Mefri (45) memu-tuskan berhenti menari. Anak yang begitu ia cintai me-ninggal karena tifus, ketika Ery mengikuti American Dance Festival di Durham, North Carolina, dan New York, Amerika Serikat, tahun 1994.

“Dua jam sebelum meninggal ia masih sempat tele-pon saya dan mengatakan sedang latihan menari di Taman Budaya Padang. Katanya, ayah lanjutkan saja mengikuti festival di Amerika,” tutur Ery ketika di-temui, Selasa, 17 Juni 2003, sesaat menjelang pemen-tasan beberapa karya tarinya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Lelaki yang kini bertubuh tambun itu, dan karena tubuhnya itu banyak yang menduga ia tak cocok seba-gai koreografer, sejak itu pula berhenti menari. Bahkan kenyataan pahit itu hampir saja mengubah jalan hi-dupnya.

“Saya memutuskan berhenti menari. Sepulang dari Amerika, saya mencipta tari berjudul “Tunggal”, khu-sus buat anak kedua saya yang waktu meninggalnya pun saya tidak tahu. Tapi, sejak itu, setiap saya menari, selalu ingat dia. Maka saya putuskan berhenti saja.... Saya hanya akan mencipta saja,” kata Ery sembari me-nyedot rokoknya dalam-dalam. Kelihatan koreografer yang pernah menjadi penata tari dan musik terbaik se-Sumatra Barat tahun 1984 itu masih terpukul meng-ingat kejadian itu.

Saat meninggal, Refi Mefri berusia 10 tahun. Pada usia itu, menurut Ery, anaknya selalu berlatih di Ta-man Budaya Sumatra Barat, tempat Ery bekerja. “Waktu dia menelepon saya itu, dia sudah berada di rumah sakit,” kata dia terbata.

Momentum itu menjadi begitu penting bagi perja-lanan Ery sebagai koreografer. Sejak itulah ia menjadi lebih percaya bahwa yang terpenting dari seluruh ba-ngunan yang bernama tari itu adalah penyatuan rasa. Meski ia tidak langsung bergerak ketika menata tari, seluruh muridnya seolah sudah mengerti apa yang dia kehendaki.

“Tari Bundo Kanduang” yang diciptakannya tahun 2000, dan malam itu ditarikan Angga Djamar dan Afrizal di GKJ, barangkali menjadi contoh paling pen-ting bagi pandangan Ery tentang tarian.

Dalam keheningan suasana, karena tanpa musik, Angga dan Afrizal terlihat begitu fasih dan padu meng-ekspresikan setiap gerakan. Mereka seperti dua ekor ular yang licin dan lentur. Kondisi saling mengerti se-perti itu, kata Ery, tidak akan tercapai dalam waktu satu atau dua tahun.

“Angga sudah ikut saya lebih dari 10 tahun, semen-tara Afrizal tujuh tahun. Penyatuan rasa itu memang membutuhkan waktu. Maka, murid saya tak pernah lebih dari 10 orang,” ujar Ery.

Pada rentang waktu itulah terjadi “sublimasi” rasa antara guru dan murid serta antarsesama murid. Dalam kondisi seperti itu, Ery tidak merasa perlu harus bergerak untuk sekadar memberi contoh gerakan. Seluruh spirit tari yang menggelegak di dalam dada Ery seperti ditransformasikan lewat rasa kepada para muridnya.Ery Mefri, yang lahir pada 23 Juni 1958 ini, belajar menari dari ayahnya, Djamin Manti Jo Sutan (84), pada usia tiga tahun. “Saya ingat tari yang saya pelajari pertama kali adalah “Tari Piring”. Agar piringnya tak pecah, saya sampai belajar di atas kasur tempat tidur ayah, ha-ha-ha...,” ujarnya.

Sebenarnya, tambah Ery, dasar dari seluruh tarian Minang adalah gerakan-gerakan silat. Sejak kecil, se-bagaimana lelaki Minang yang senantiasa tidur di su-rau, Ery belajar silat dari seorang guru.

“Nah, saat istirahat belajar silat itulah kami juga mempraktikkan seni randai. Spontan saja, sembari me-nyanyikan tembang-tembang tradisi, kami semua membawakan lakon-lakon yang diambil dari mitologi,” tutur ayah dari Rio, Gebi, Intan, dan Ririn Mefri ini. (Meski menyebut nama-nama anaknya, Ery tetap me-nolak memberi tahu nama istrinya).

Pada masa kecil itu, menurut Ery, orang Minang se-perti punya prinsip, “Kalau bapaknya penari, masa anaknya tidak bisa. Malu kita.”

Sebelum akhirnya belajar di Sekolah Menengah Ka-rawitan Indonesia (SMKI) di Padangpanjang, Sumatra Barat, Ery sesungguhnya telah menguasai tarian tradisi secara otodidak. “Saya tamat dari SMKI tahun 1981 dan tahun 1982 mulai mencipta tari sendiri,” tutur dia.

Justru saat dia mulai mencipta tari sendiri itulah yang banyak menimbulkan kontroversi.

“Banyak sekali orang Minang yang menganggap saya merusak tari minang karena saya adaptasi dengan tari kontemporer. Mereka tidak mengerti bahwa sampai sekarang, di mana sudah 36 karya yang saya hasilkan, spirit semuanya tetap tradisi. Saya selalu berangkat dari tradisi,” kata Ery.

Karya Ery terbaru yang berjudul “Tiang Nagari”, yang dipentaskan pula di GKJ, memang masih jelas berupaya mengadaptasi gerakan-gerakan silat Minang ke dalam gagasan terkini. Tari ini juga berangkat dari filosofi orang Minang yang terjemahannya berbunyi, “Mene-puk air di dulang, tepercik muka sendiri. Mencabik baju di dada, mempermalukan diri sendiri”.

Kenyataan sekarang, ujar Ery, begitu banyak orang yang mempermalukan diri sendiri dengan berbagai per-buatan melanggar etika dan hukum. “Ini spirit barunya, tetapi spirit tradisinya saya tetap mengambil Minang.”

Pendapat Ery, jikalau ia mengambil tradisi secara fisik, maka tradisi yang sudah dipelihara beratus-ratus tahun akan rusak. “Maka, tradisi bagi saya hanya pe-rangsang untuk mencipta,” tuturnya.

Ketika menamatkan pelajaran di SMKI, Ery men-dirikan kelompok tari bernama Nan Jombang Group. Kata ini sebenarnya berasal dari judul karya tari Ery yang ia ciptakan pertama kali. “Dan, ayah saya juga sering dipanggil Nan Jombang, orang yang gagah se-kali, tapi nakal. Jadi, waktu mencipta itu juga saya ter-ingat ayah,” katanya mengenang.

Lelaki kelahiran Saningbakar, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, ini barangkali menjadi salah satu penari yang masih menganggap tari sebagai sebuah “ritual”. Karena itu, gerakan-gerakan yang dimainkan tubuh hanyalah bentuk-bentuk ekspresi yang sesungguhnya terjadi di dalam batin. Dia lebih berupa olah rasa, yang kemudian tervisualisasi di dalam gerak.

Bisa dimengerti kemudian jika sejak tahun 1985, ketika ia berjumpa dengan pemusik Rizal D Siagian, Ery tidak memanfaatkan musik secara visual untuk mementaskan tariannya.

“Rizal mengatakan kepada saya, musik yang baik adalah musik yang tak terdengar betapa kerasnya pun kamu mengukur. Ini saya kira pernyataan inti dari mu-sik itu sendiri. Sejak itu, musik selalu terintegrasi ke dalam tari-tari yang saya ciptakan,” tutur Ery. Kalau toh di dalam koreografi Ery memerlukan musik, ia, mi-salnya, hanya memasukkan hal-hal yang lumrah ada di dalam seni tradisi Minang. Dalam tari “Adat Salingka Nagari 2”, Ery memanfaatkan celana galembong, celana silat Minang, yang kemudian dipukul-pukul pada ba-gian selangkangan kaki. Selain itu, dalam tari “Tiang Nagari”, Ery hanya memasukkan nampan logam yang terinspirasi “Tari Piring”. Nampan itu pun hanya dipu-kul-pukul sesekali.

“Musik itu sudah ada di sini,” ujar Ery sembari menunjuk dadanya. Dan itu, tambahnya, harus ada da-lam setiap penari. “Memadukan ini yang tersulit. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memperoleh rasa yang sama sehingga gerakan-gerakan jadi padu,” kata dia.

Itulah, mengapa dalam setiap pementasan tari karya Ery selalu tercipta suasana hening. Gerakan-gerakan adalah sebuah upaya untuk mencapai tahap meditasi, bukan sebuah atraksi yang mengeksploitasi kekuatan fisik. *

SUMBER (Putu Fajar Arcana) Kompas, Sabtu, 21 Juni 2003

ELIZAR KOTO

Musik “Pengusir” Tupai

Sudah lama ia mengumpulkan kaleng bekas makanan. Ia menumpuknya di sebuah ruang. Bekas wadah susu bubuk bayi ikut terkumpul di sana sejak anak pertamanya lahir. Kini, anak itu sudah dua tahun, sehingga tumpukan kaleng pun kian bertam-bah.

Sempat istrinya bertanya akan kesukaannya me-nyimpan barang bekas itu. Ia sering menyahut seka-darnya, namun tetap menegaskan bahwa biarpun be-kas, barang-barang itu perlu disimpan. Jawabannya yang lebih jelas berupa aksi: sebuah karya musik lahir dari sampah dapur tersebut. Komposisi berjudul “Di-alog Tanpa Tema” (Ma-o-ta) itu ia tampilkan dalam “Pe-kan Komponis X” yang berlangsung 23-26 Februari 2000 di Bandung. Penonton terkesima, dan memberi tepuk berkepanjangan.

“Barang-barang bekas itu membantu mewujudkan gagasan saya,” kata Elizar Koto seusai pementasan kar-ya yang ia siapkan bersama rekannya, Edi Junaidi.

Semula kaleng-kaleng itu akan ia biarkan lengkap dengan merek dagangnya, namun akhirnya ia memu-tuskan untuk menutup permukaannya dengan cat warna perak. Ia memanfaatkan efek gaung dari rong-ganya, ketika terbentur atau tergetar oleh dawai dari logam, yang dikejut atau dihentak. Dalam hal ini ia mengaku terilhami oleh musik Vietnam yang dide-ngarnya dari kaset; yang menampilkan efek bunyi me-liuk dan “dalam”.

Kelekatannya dengan kaleng tampak pula dari beberapa karyanya sebelum ini. Sebutlah itu komposisi-nya untuk hajatan budaya “Sacred Rhythm” di Bali akhir tahun lalu. Sebut pula karyanya yang tampil di dalam acara “Temu September” dua tahun lalu di Solo. Ia menggunakan kaleng seperti instrumen genta, dengan menambahi lidah-lidah dari logam di dalam-nya. Kelonengan bersuara cempreng itulah yang men-jadi modal pokok karya-karyanya.

Di dalam “Temu Budaya” di Padang Sumatra Barat beberapa tahun lalu, ia memanfaatkan kaleng dengan cara agak berbeda. Ia membentangkan tali-tali yang digantungi kaleng-kaleng bermodel genta melintasi ruang penonton ke arah panggung, dan mengendali-kannya dari ruang operator di arah belakang penonton. Kaleng-kaleng bekas wadah biskuit itu seketika ber-bunyi bersahutan setiap kali ia menariknya, membuat seisi gedung seperti berada di arena penuh bunyi yang berasal dari segala sudut. Ternyata ia mengambil ga-gasannya dari bunyi-bunyian pengusir burung di sawah, atau pengusir tupai di kampung-kampung.

Tupai? Di kampung kelahirannya di Bungotanjusng, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanahdatar, Sumatra Barat, lazimnya orang mengusir tupai dengan cara se-perti itu. Tupai-tupai itu selalu mengincar buah durian. Maka kaleng-kaleng berisi gantungan alat logam itu digantungkan di atas pohon dan diberi tali sampai se-dikit di atas tanah. Setiap kali lewat, orang wajib menarik talinya dari bawah, dengan harapan sang hama durian kabur.

“Kami punya tiga pohon durian. Saya suka memain-kannya dulu, senang saja, rasanya asyik. Sesungguh-nya saya tidak tahu apakah benar tupai itu akan lari atau cuma menghindar sebentar, tetapi lega kalau sudah menariknya setiap kali lewat,” tutur bungsu dari lima bersaudara keluarga Mustafa, pensiunan anggota TNI yang kemudian bertani ini.

Menurut Elizar, musuh durian yang tak kalah hebat adalah kalong, yang datang berbondong-bondong mengisap bunganya. Untung tak semua bunga ludes oleh kawanan kalong, sehingga selalu ada yang tersisa untuk si pemilik pohon. Memang, melawan kalong itu tampaknya manusia hilang akal. Kalau tidak, bisa jadi bakal lahir musik baru dari peralatan tradisional pengusir kalong.

Ia juga suka ikut mengusir burung-burung pelahap padi. Suaranya yang riuh menyenangkan hatinya, meski saat itu ia tidak membayangkan suatu saat bakal ia manfaatkan untuk musiknya.

“Saya memang senang membuat yang baru dari barang-barang yang tidak terpakai. Bunyi kaleng peng-usir tupai itu ‘kan sebenarnya musikal, meski mungkin saat kecil saya tidak menyadarinya. Pengalaman saya mengajari bahwa hal-hal yang belum kita sadari, kelak bisa jadi akan berguna,” tambahnya.

Dengan membuat musik kaleng, Elizar Koto tidak merasa lari dari tradisi musik yang membesarkannya. Ia tumbuh dan terdidik ketat di dalam tradisi karawitan Minangkabau. Lulusan Akademi Seni Karawitan Indo-nesia-ASKI (kini Sekolah Tinggi Seni Indonesia-STSI) Padangpanjang tahun 1986 ini giat mempelajari ber-bagai ragam musik dari latar budaya lain. Tahun 1989 sampai 1991 ia belajar secara formal di STSI Denpasar untuk bidang studi komposisi musik.

“Namun terdidik secara formal tidak dengan sendi-rinya mencetak seseorang untuk menjadi komponis. Membuat musik itu jangan hanya dari kepala, tetapi utamanya dari sini,” katanya, sambil menunjuk ke arah dada.

Ia mengaku selalu berusaha melepaskan diri dari teori-teori apa pun yang telanjur diserapnya, selagi menciptakan musik. Tak selalu ia mampu benar-benar “kosong” (dan katanya, “Apa itu mungkin?”) namun setidaknya ia punya ukuran-ukuran. Katanya, “Saya tahu akan bagus kalau terasa kena di hati.”

Ia sadar bahwa karya-karyanya menunjukkan jejak latihan dan pendidikan yang ia peroleh. Sebuah karyanya yang padahal sama sekali tidak menggu-nakan instrumen apa pun yang bersentuhan dengan tradisi Minang, ditunjuk oleh seorang komponis se-bagai “sangat Minang”. Komponis yang berasal dari latar budaya Cirebon itu, Embie C Noor, tidak silau oleh bentuk yang muncul, namun melihat langsung esensi sajian musik kalengnya.

Bahwa ia tidak lari dari tradisi yang membesarkan-nya tampak dari kegiatannya yang lebih banyak sebagai penjaga tradisi musik Minangkabau. Ia aktif di Ke-lompok Talago Buni, sebuah kelompok musik yang ber-tekad meneruskan dan mengembangkan tradisi ter-sebut. Sebuah rekaman CD berisi beberapa komposisi tradisional yang ia garap seperti “Bapilin Tigo” dan “Bakucindan” telah diluncurkan di Jerman. Pen-dukung rekaman itu antara lain juga Muhammad Halim dan Asril. Bersama beberapa pemusik lain seperti Halim dan Hanefi, ia menampilkan musik tradisi tersebut di Jerman tahun lalu.

Melihat potensi yang dimiliknya, Elizar Koto ter-masuk kurang beruntung dibanding beberapa rekan seniman lain. Salah satu sebabnya adalah, ia tak punya jaringan kerja seni global yang bisa dimanfaatkan untuk memasarkan karya ke festival atau hajatan seni di berbagai negeri. Juga belum ada yayasan atau badan-badan internasional yang memberinya kesem-patan memperluas wawasan atau belajar formal di luar negeri.

Lelaki ramah kelahiran 14 November 1962 ini meng-akui bahwa para pemusik seperti dirinya memang harus menjadi pengajar tetap di perguruan tinggi seni. Hal itu akan menjawab soal ekonomi rumah tangga karena berpenghasilan tetap. Pada sisi lain, hal itu sekaligus memenuhi kebutuhan akan iklim berkesenian, karena selalu berada di dalam lingkungan yang kreatif.

Ia tak ingat berapa hari dalam satu minggu harus mengajar (mata kuliah komposisi dan gambus Riau). Mungkin sebenarnya ia tidak hirau benar, karena pada dasarnya waktunya yang terpakai hanya sampai pukul empat sore.

“Lagi pula para mahasiswa akan senang kalau kita libatkan di dalam proses penjadian sebuah karya,” tutur suami dari Linda yang juga seorang penari, dan ayah dari Gaung ini. *

sumber (Nasrullah Nara/Efix Mulyadi), Kompas, Senin, 6 Maret 2000

EDY UTAMA

Menduniakan Musik Tradisi Minang

Tidak banyak orang yang menggeluti riset musik tradisi rakyat Minangkabau, apalagi yang serius. Dari sekitar 4,4 juta jiwa penduduk Sumatra Barat, pelaku-pelaku musik tradisional di kampung-kampung di daerah itu, sepertinya hanya kenal satu nama; Edy Utama.

Yang ia lakukan sejak dua dasawarsa terakhir tidak hanya sekadar riset, tetapi juga pendokumentasian melalui foto, video, dan buku. Sekaligus ia juga menumbuhkembangkan musik tradisi Minangkabau melalui Kelompok Talago Buni, memperkenalkannya ke dunia internasional melalui video compact disc (VCD), pameran etnografi dan pertunjukan keliling di mancanegara.

“Edy Utama sudah memberikan sesuatu yang sangat berarti dalam pelestarian dan perkembangan musik tradisi Minang yang selama ini terabaikan. Pada saat kesenian tradisi dipinggirkan dan juga tenggelam oleh hiruk pikuk budaya pop dan budaya pasar karena globalisasi, bahkan terancam punah, ia mendoku-mentasikan, mengembangkan dan memperkenal-kannya ke dunia internasional,” kata Prof Dr Mursal Esten, budayawan yang kini Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang.

Senada dengan itu pengamat kesenian Yusrizal KW di tempat terpisah mengatakan, apa yang tidak dilakukan orang atau pemerintah melalui lembaga semacam Taman Budaya Propinsi Sumbar, misalnya, Edy Utama melakukannya.

“Dari dulu ia punya perhatian yang serius kepada musik tradisi yang tumbuh dan berkembang di Minangkabau. Santiang (hebat)-nya lagi, ia mampu menggaet donatur-donatur asing yang punya perhatian pada kesenian, terutama seni tradisi,” jelasnya.

Karena keseriusannya itu, sejak lima tahun terakhir Edy Utama acapkali diundang berpentas musik tradisi Minang, mengikuti festival, berpameran keliling, kunjungan kebudayaan antara lain ke Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan Perancis. Terakhir, Januari-Februari 2000 lalu ia menggelar pameran foto tentang kehidupan teater rakyat Minangkabau, randai, di University of Hawaii at Manoa.

“Sejak 40 tahun terakhir kesenian tradisi hanya menjadi lip service, alat legitimasi kepentingan pemerintah, tanpa mempertimbangkan spirit dalam tradisi itu sendiri. Akibatnya seni tradisi tidak berkembang. Kesenian tradisi tidak mendapat penghar-gaan memadai,” kata Edy Utama, pekan lalu.

Ketika pemerintah yang lebih memperjuangkan kepentingan politik kekuasaan mengaitkan kepen-tingannya dengan kehidupan budaya dan seni pertunjukan rakyat Minangkabau, maka di situlah dinamika budaya rakyat tersebut mulai lumpuh. Bahkan hubungan ini mampu mempengaruhi dan mengubah orientasi serta filosofi budaya rakyat yang pada awalnya cukup demokratis menjadi feodal dan sentralistis. Pengaruh ini ternyata tidak memberikan daya hidup yang cukup berkesinambungan bagi aktivitas budaya dan seni pertunjukan rakyat Minang-kabau.

Edy dengan Kelompok Talago Buni yang dipimpinnya, berhasil memadukan potensi seniman musik akade-mik, seniman tradisional, dan seni pertunjukan. Lebih dari itu, ia dengan Kelompok Talago Buni juga berhasil menciptakan alat musik baru yang sampai sekarang belum diberi nama, terbuat dari bambu-dawai, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik musik Minang-kabau.

“Pada saat kebudayaan dunia hampir seragam, tampilnya budaya lokal seperti kesenian kontemporer musik tradisi Minangkabau mendapat sambutan luar biasa di mancanegara. Kemampuan seni tradisi Minangkabau dinilai banyak pihak di luar negeri sangat komunikatif dan dianggap unik. Ia berbeda dari seni klasik yang mempengaruhi budaya industri pop yang berkembang selama ini,” jelas Edy.

Musik tradisi Minangkabau diterima banyak pihak di luar negeri karena penuh dinamika, tegas, dan kaya improvisasi. Melodinya sangat unik. Kekuatan melodi yang ada pada musik tradisi itu sendiri merupakan sumber penciptaan.VCD musik tradisi Minang Kelom-pok Talago Buni bertajuk “Bagurau” yang laris manis di banyak negara, diproduksi orang Jerman. Di Indonesia VCD tersebut belum beredar. Sejumlah VCD lagi siap diproduksi. Maret 2001, Kelompok Talago Buni diundang tampil di Perancis. “Oktober tahun ini, dua musisi Senegal selama satu bulan akan melakukan kolaborasi dengan Kelompok Talago Buni, di Padang, sebelum membuat VCD yang diproduksi orang Jerman,” tambah Edy.

Lewat Lembaga Komunikasi Budaya, Edy menggagas dan menggelar “Padang Multikultural Festival” pada 4-7 Agustus 2000. Di situ, selain pertunjukan kesenian etnis Cina, Keling, Minangkabau, dan Nias, juga ada seminar dengan pembicara Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ketua LIPI Prof Dr Taufik Abdullah, pengamat politik Dr Daniel Dhakidae, dan Ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Dr Endo Suanda.

“Konsep ini barangkali bisa dipakai untuk menyele-saikan konflik antaretnis di Indonesia. Etnis lain juga harus diberi kesempatan berekspresi dalam kesenian. Selama ini, hak-hak mereka tak diakui. Dalam konsep Minang, kompetisi yang sehat memperkuat asal berjalan secara dialogis,” jelasnya. Rencananya, tahun 2001 kegiatan akan diperluas dengan mengundang praktisi musik etnis berbagai negara.

Kehidupan budaya dan seni pertunjukan rakyat di mana pun tetap merupakan ekspresi obyektif masya-rakat pendukungnya dan merupakan media dialog bagi peningkatan solidaritas kultural di antara pendukung-nya. Oleh sebab itu, kata Edy, memberi kesempatan berarti menciptakan ruangan lebih lega bagi pertum-buhan budaya dan seni pertunjukan rakyat itu sendiri, terutama yang berasal dari tradisi budaya etnis di Indonesia.

Dilahirkan di Lubuksikaping, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, 41 tahun lalu, Edy Utama pernah kuliah selama tiga tahun di Institut Kesenian Jakarta sambil aktif di Teater SAE. Tahun 1982 ia pindah ke Padang dan menjadi sutradara di kelompok Teater Kita.

Ia menyutradarai pementasan “Kereta Kencana” (1982) karya Iogene Ionesco, “Caligula” (1983) karya Albert Camus, “Dongeng Hari Esok” (1985) karya Edy Utama, “Macbeth” (1997) karya William Shakespeare, Pertemuan, kolaborasi dengan kelompok Healing Teater dari Jerman, “Opera Bagurau: Sirkus Manusia” (1998) kolaborasi dengan seniman musik instalasi dari Kota Basel, Swiss, Dr Boeery Benhard Batzchelet.

Edy pernah menjadi redaktur kebudayaan di harian Singgalang, Padang (1982-1984), penulis freelance di Malaysia (1985-1986), dan redaktur budaya harian Semangat (kini Semangat Baru) Padang (1986-1987). Sejak tahun 1995, Edy Utama menjadi ketua penyun-ting Jurnal Kebudayaan Genta Budaya Sumatra Barat dan sekarang anggota dewan redaksi Harian Mimbar Minang, Padang.

Dalam kegiatan organisasi kesenian, Edy Utama yang ikut menulis buku Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 ini pernah pula dipercaya sebagai/Ketua Pelaksana Dewan Kesenian Sumatra Barat (1993-1995), anggota Dewan Pertimbangan Pekan Budaya Sumatra Barat (1989-1993), Sekretaris Pelaksana Yayasan Genta Budaya Sumatra Barat (1988-1998), dan Direktur Lembaga Komunikasi Budaya (1998-sekarang), yang bertujuan mendinamisasi kehidupan seni pertunjukan rakyat Minangkabau menghadapi perubahan dunia akibat globalisasi. Ia juga menjadi koordinator kelompok diskusi Saluang Balega, yang membahas berbagai persoalan kontemporer kebuda-yaan dan masyarakat Minangkabau. Ia juga pimpinan Kelompok Talago Buni.

Hasil risetnya sejak dua tahun terakhir tentang kehidupan musik tradisi Minangkabau yaitu saluang (flute) dan dendang (nyanyian), tengah disusun menjadi sebuah paket pameran etnografi foto dan buku. *

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Jumat, 19 Mei 2000

ADY ROSA

Jenderal Tato
Tato atau lukisan pada tubuh, belakangan ini makin menjadi mode. Bila semula tato merupakan bagian budaya ritual etnik tradisio-nal, kini berkembang menjadi bagian kebudayaan pop. Pada saat tato tradisional terancam punah, tato yang menjadi bagian kebudayaan pop semakin tertera di tubuh-tubuh manusia modern, semakin digandrungi.

Friday, May 11, 2007

Diskusi tentang Syekh Siti Jenar di TUK

Diskusi SITI JENAR: PERTARUNGAN AJARAN DAN KEKUASAAN Selasa, 15 Mei 2007, 19:00 WIB Narasumber: Agus Sunyoto & Achmad Chodjim.


Siti Jenar selama ini dikenal lebih banyak sebagai legenda, bukan tokoh sejarah. Sekian babad, serat, kitab, dan buku tentang Siti Jenar memiliki versi sendiri-sendiri mengenai sosok, ajaran, hingga akhir hayatnya yang tragis.


Konon, ia dihukum pancung, karena menyebarkan ajaran yang dianggap menyimpang, atau ia juga seorang pemimpin sebuah gerakan yang mengancam kekuasaan. Sebagai tokoh sufi, ia adalah Al-Hallaj-nya tanah Jawa—karena kematiannya persis seperti tokoh sufi Al-Hallaj yang dieksekusi di
Baghdad akibat tuduhan menebarkan ajaran sesat.


Namun, ada yang memahami Siti Jenar sebagai tumbal dalam pertarungan “Islam Jawa” yang dibelanya, dengan “Islam Arab” yang dikehendaki “Dewan Wali”. Siti Jenar tetap mewariskan kontroversi hingga kini.


Agus Sunyoto, penulis buku Syaikh Siti Jenar (LKiS) sebanyak tujuh jilid, melalui 300 naskah kuno, mencoba menelusuri perjalanan ruhani, perjuangan, ajaran, konflik dan penyimpangan ajaran Siti Jenar.


Sedangkan Achmad Codjim, penulis buku laris Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (Serambi), menyuguhkan sosok Siti Jenar yang lihai dalam meramu pandangan sufistik Islam dengan mistik Jawa.
Tidak dipungut biaya.Untuk informasi lebih lengkap kunjungi www.utankayu. org.*

Mohamad Guntur Romli
Kurator Diskusi di Komunitas Utan Kayu/Relis

Komunitas Paragraf Diskusi tentang BM Syam

Dalam khasanah sastra Riau, nama BM Syamsuddin, menempati posisi yang harum. Meski terbilang “terlambat” terjun di dunia sastra, namun hingga akhir hayatnya, lelaki kelahiran Natuna (Kepulauan Riau) ini menjadi cerpenis paling produktif dari Riau di eranya. Hingga saat ini, belum ada cerpenis Riau yang mampu menandingi produktivitasnya, juga pencapaian estetikanya.

Untuk mengenang salah satu cerpenis penting Indonesia seangkatan AA Navis ini, Komunitas Paragraf Pekanbaru akan menyelenggarakan acara “Mengenang BM Syamsuddin” di Galeri Ibrahim Sattah Kompleks Bandar Serai Pekanbaru, pada Ahad (13/5/2007) pukul 19.00 WIB. Acara ini akan diisi dengan pembacaan cerpen-cerpen BM Syam oleh beberapa sastrawan dan seniman Riau seperti Marhalim Zaini, Hang Kafrawi, Syaukani Alkarim dan yang lainnya; pembacaan perjalanan kepengarangannya dan diskusi karya-karyanya yang akan menampilkan dua budayawan Riau, Al Azhar dan Elmustian Rahman, sebagai pembicara.

“Harus diakui, posisi BM Syam sangat penting dalam dunia sastra Indonesia, khususnya Riau. Ketika masih produktif menulis sebelum meninggal, hampir tak ada media yang “berani” menolak cerpen-cerpen BM Syam,” jelas Marhalim Zaini, Koordinator Komunitas Paragraf.

Menurut Olyrinson, salah seorang penggagas acara yang juga anggota Komunitas Paragraf, karya-karya BM Syam memiliki kekuatan lokalitas Melayu yang kental, dan sangat dekat dengan persoalan sehari-hari masyarakat Melayu yang terpinggirkan. “Memang, BM Syam agak terlambat berkarya dibandingkan AA Navis dari Sumbar atau nama-nama cerpenis lainnya seangkatannya di Indonesia, tetapi karya-karyanya telah memberi pengaruh besar dalam sastra Riau dan Indonesia,” kata penulis novel Gadis Kunang-kunang (DAR-Mizan 2004) ini.

Untuk itu, baik Marhalim maupun Olyrinson, berharap para pecinta sastra, mahasiswa, siswa, guru bahasa dan sastra dan mereka yang suka dengan sastra, bisa hadir dalam acara ini. “Bisa dikatakan, selain Soeman Hs, BM Syam adalah seorang “guru” cerpen di Riau,” kata Budy Utamy, Sekretaris Komunitas Paragraf.

Menurut Kazzaini Ks dalam pengantar buku kumpulan cerpen BM Syam, Jiro San, Tak Elok Menangis (Yayasan Sagang, 1997), hingga akhir hayatnya Bm Syam adalah cerpenis Indonesia yang cukup produktif dari tahun 1980-an hingga dekade 1990-an. Kompas --selain Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, Riau Pos dan beberapa media lainnya--adalah media yang paling sering memuat karyanya sehingga beberapa teman BM Syam pernah berseloroh, “Apa redaktur koran itu tak bosan dengan cerpen BM Syam?”

Diperkirakan, saking produktifnya, sudah lebih 100 cerpen yang lahir dari tangannya. Sebelum kumpulan cerpen yang diterbitkan Yayasan Sagang tersebut, belum ada kumpulan cerpen yang khusus memuat karya BM Syam. Cerpen-cerpennya hanya dimuat dibeberapa antologi seperti Kado Istimewa (Kumpulan Cerpen Kompas tahun 1992) dan Pertemuan Kedua (Kumpulan Cerpen Pengarang Johor, Singapura dan Riau yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustakan Malaysia 1992).

Yang menarik, menurut Hasan Junus (seperti dikutip Kazzaini Ks), pada mulanya BM Syam tidak dikenal sebagai seorang penulis cerpen, melainkan roman dan novel. Beberapa roman/novelnya dimuat sebagai cerita bersambung di Haluan (Padang), karena ketika itu di Riau belum ada koran harian. Roman/novel BM Syam yangs sudah diterbitkan oleh Balai Bahasa adalah Damak dan Jalak (1983), Braim Panglima Kasu Barat (1984), Tun Biadjid I (1984) dan Tun Biajid II (1984). BM Syam mengaku tak bisa menulis cerita pendek, karena sudah 30 halaman ketikannya, katanya, belum berbentuk cerita. Namun, di ujung-ujung usianya, BM Syam sangat produktif menulis cerpen dan menjadi penulis cerpen Riau yang paling produktif di media ibukota.

Dilahirkan di Natuna, Kepulauan Riau pada 10 Mei 1935, BM Syam memang memiliki bakat menulis sejak kecil. Cerpen pertamanya dimuat di Majalah Merah Putih pada tahun 1956 dengan nama samaran Dinas Syams. Karya-karya BM Syam tak hanya sebatas novel dan cerpen, tetapi juga esai, kritik, dan artikel kebudayaan, juga pernah menjadi wartawan untuk Haluan dan Riau Pos menjelang akhir hayatnya.

Pendidikan guru yang ditempuhnya, menjadikan dia seorang pendidik yang tangguh dan sepanjang tahun 1955-1981, BM Syam menjadi guru SD dan SMP di beberapa tempat di Riau, juga pernah menjadi dosen di FKIP UIR (1988-1994). Semangat menulisnya tak pernah padam sebelum akhirnya meninggal dunia di RS Ahmad Mochtar, Bukittinggi pada 21 Februari 1997, setelah dirawat cukup lama di Pekanbaru. Keinginan menulis yang begitu kuat, selalu keluar dari mulutnya, bahkan di saat berbaring di rumah sakit.

Salah satu cerpen BM Syam yang sangat dikenal adalah “Jiro San, Tak Elok Menangis”. Cerita yang dituturkan Bujang (yang kemudian namanya diganti menjadi Jiro San oleh guru Jepang) tentang seorang guru bernama Engku Jauhar pada masa pendudukan Jepang di Natuna, adalah sebuah kisah yang mengharu-biru tentang buruknya kondisi masyarakat di Natuna ketika itu. Cerpen lainnya, “Cengkeh pun Berbunga di Natuna” juga salah satu cerpen BM Syam yang banyak dikenal luas di masyarakat Riau, yang menceritakan tentang kondisi masyarakat Natuna ketika perkebunan cengkeh ditebang oleh kapitalis dan kemudian diganti tanaman sawit.

“Tak banyak cerpenis Riau dan Indonesia sekarang yang mau menulis tentang persoalan sosial masyarakatnya. BM Syam sangat komit dengan persoalan sosial masyarakatnya,” kata Marhalim mengakhiri.* **Relis

Thursday, May 10, 2007

Bedah Buku Kumpulan Cerpen "PERANTAU" Gus tf Sakai

Kumpulan cerpen terbaru Gus tf Sakai berjudul PERANTAU (Gramedia Pustaka Utama) akan didiskusikan dalam acara rutin sebulan dua kali, Apresiasi Reboan, di FIB UI, Rabu, 16 Mei 2007, pukul 13.00-15.00. Pembahas dalam diskusi kali ini adalah Sunu Wasono dan Ibnu Wahyudi. Sementara Gus tf Sakai, peraih SEA Write Award 2004, akan hadir untuk membincangkan pengalaman berkarya dalam dunia kreatifnya selama ini.

Acara ini terbuka untuk umum, karena itu silakan datang di Ruang Serbaguna II (Ruang 4101) FIB UI.


Sekilas tentang Kumpulan Cerpen PERANTAU

Di sebuah kampung di tanah air, merantau adalah keharusan bagi seorang laki-laki dewasa. "Pergilah merantau, Nak." adalah kalimat yang lazim diucapkan seorang ibu di daerah itu. Namun apakah arti sesunguhnya merantau? Dalam cerpen 'Perantau', Gus tf Sakai bercerita dengan indah tentang makna dan harapan yang dicari oleh para perantau.

Pada beberapa cerpen lainnya, Gus tf Sakai mengemukakan kritik sosial dengan gaya bercerita yang metaforis dan tertata dengan saksama. Misalnya cerpen "Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas" mengungkapkan kritik terhadap pemerintah pusat tentang eksploitasi kekayaan bumi daerah. Cerpen "Belatung" mengisahkan tentang kesulitan ekonomi yang memaksa seorang perempuan menjadi pelacur. Cerpen "Kami Lepas Anak Kami" mengemukakan masalah kurikulum pendidikan anak yang tidak proporsional.

Cerpen-cerpen dalam buku ini telah terbit di berbagai media massa terkemuka seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison dan Padang Ekspress. Perantau adalah kumpulan cerpen Gus tf Sakai yang ke-4, setelah Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), dan Laba-laba (2003). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta memenangi Hadiah Sastra Lontar 2001 dan penghargaan sastra Pusat Bahasa 2002, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh The Lontar Foundation dengan judul The Barber (2002). Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta juga menerima SEA Write Award 2004.

Tentang Gus tf Sakai

Gus tf Sakai, lahir pada tanggal 13 Agustus 1965 di Payakumbuh Sumatera Barat. Ia menamatkan studinya di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang. Mulai menulis prosa pada usia 13 tahun sejak sebuah cerpennya memenangkan hadiah pertama pada sebuah lomba penulisan cerpen. Hingga sekarang ia telah menyelesaikan 2 novel, 7 novelet, dan 18 cerpennya memperoleh penghargaan yang diselenggarakan oleh berbagai media seperti majalah Anita, Femina, Gadis, Hai, Kartini, Matra dan harian Kompas. Dua bukunya yang diterbitkan oleh Gramedia berjudul Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999) dan Tiga Cinta, ibu (2002)

ARBY SAMAH

Kesetiaan Pematung Abstrak

Di usia lanjut gairah kesenimanannya masih tinggi. Tanggal 1 April 2002 ia akan genap 69 tahun, tetapi ia masih cekatan memainkan pahat dan palu di atas potongan kayu mahoni. Kata orang, karya patungnya bergaya abstrak.

Bila menyebut patung abstrak, orang lantas teringat Arby Samah. Kesetiaannya berkiprah, dan komitmen-nya terhadap gaya patungnya di tengah pasar seni yang semakin kompetitif, tak pernah luntur.

“Sekali abstrak tetap abstrak. Itulah eksistensi seorang Arby Samah,” ujarnya bangga, kepada Kompas, Jumat, 7 Desember 2001, malam.

Meski karyanya pernah dicaci-maki oleh kalangan seniman di tahun 1955-1957, yang waktu itu marak dengan aliran realisme-sosialis, Arby Samah tidak pa-tah arang. Ia bergeming walau Presiden Soekarno me-nyatakan tak suka patung abstrak, ketika membuka pameran seni rupa se-Indonesia. Arby tidak berpaling ke gaya yang lain.

“Meski dicaci-maki dan tak disukai Presiden, tekad saya sudah bulat; apa pun kendala akan dihadapi dan tetap setia dengan gaya abstrak, dan itu berlangsung sampai sekarang,” jelas seniman kelahiran Pandai-sikek, Sumatra Barat ini.

Pernah juga kemudian Arby mencoba-coba mena-warkan karyanya ke Presiden Soeharto, sekitar tahun 1997, yang didapatnya juga penolakan. Alasannya tetap sama, abstrak!

Menurut Arby, ia berkarya bukan untuk Presiden, tetapi ingin menunjukkan kepada publik pencinta kesenian di Tanah Air.

Kualitas dan kreativitas sosok Arby Samah seperti terwakili dalam karya-karyanya, yang sempat menjadi momentum tersendiri bagi perkembangan seni patung di Indonesia. Ia, ketika itu, terkenal sebagai “menara seni patung modern Indonesia”.

Ada yang menarik dan spesifik dari patung-patung karya Arby Samah ini. Dari judul-judul patungnya, seperti “Gadis Desa”, “Ibu dan Anak”, “Gadis Kota”, “Gadis dan Anak”, “Sejoli”, “Wanita Kupang”, “Gadis di Bukit Karang”, “Tetesan Bunda”, “Dua Gadis” dan “Mulanya Terjadi”, bisa ditebak betapa kaum perempuan mendapat tempat betul dalam karya-karyanya.

Apa karena ia punya lima anak perempuan, yang kini semua sudah sarjana dan memberinya lima orang cucu?

“Tidak, karena itu,” jawab Arby. “Tetapi lebih karena melihat dan menyelami kehidupan manusia, terutama perempuan, yang perannya sangat luar biasa, lebih-lebih setelah berumah tangga dan bahkan dalam bebe-rapa hal tidak tergantikan.”

Menurut alumnus INS Kayutanam dan ASRI Yog-yakarta ini, pemahamannya terhadap perempuan, se-cara simbolik dan filosofis bisa dicermati dari karya-karyanya yang terkesan lembut, tidak eksotik. Dalam karya-karya Arby, perempuan lebih dominan dimaknai sebagai subyek daripada obyek.

Arby menyebutkan, patung karyanya merupakan perpaduan hati nurani, imajinasi, dan pikiran.

“Saya mempunyai keyakinan, bahwa seorang seni-man itu harus mempunyai imajinasi dan daya visuali-sasi yang kuat. Kemudian hal ini dipadukan dengan hati nurani dan pikiran, sehingga melahirkan karya yang sarat makna dalam berbagai dimensi,” ung-kapnya.

Sewaktu semua temannya asyik dalam suasana seni realisme, justru Arby adalah semangatnya untuk memulai sesuatu yang “baru”. Ia menyadari, pilihan-nya terhadap gaya yang abstrak, yang “baru” itu mengandung risiko tidak disenangi orang, karena agak sulit dimengerti, sulit dijual, dan sebagainya. Namun, tekadnya bulat.

Semangatnya semakin menggebu-gebu, ketika ada yang menawari untuk berpameran tunggal dan ber-sama. Tahun 2001, ia sudah tiga kali berpameran, yakni di Galeri Lontar, Jakarta (11-31 Agustus), di Duta Fine Art Foundation, Kemang, Jakarta (6-30 Sep-tember), dan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (20 November-4 Desember). Tahun 2002 ia akan berpa-meran tunggal lagi di Duta Fine Art Foundation.

Menurut dia, sambutan publik sudah agak berubah. Cita rasa masyarakat terhadap gaya patung-patung Arby Samah sudah jauh bergerak ke depan meninggalkan konvensi-konvensi yang sudah mapan.

“Jika dulu patung-patung saya dianggap menara seni patung modern Indonesia, sekarang menara itu tidak terlalu tinggi lagi, karena ada menara-menara baru yang dibangun orang lain. Satu hal yang meng-gembirakan, seniman patung yang dulunya berse-berangan dengan saya karena beraliran sosialis-realisme, kini sudah cenderung pula bergaya abstrak,” tambah Arby Samah.

Karya-karya patungnya kini menjadi incaran dan banyak dikoleksi oleh berbagai instansi, museum, mau pun perseorangan. Bahkan, Bung Karno yang pada mu-lanya terus terang menyatakan tak suka patung abstrak, diam-diam mengoleksi salah satu patung karyanya.

Kekuatan karya Arby Samah yang mantan Kepala Bidang Kesenian di Kanwil Depdikbud Sumatra Barat (1971-1989) dan mantan Kepala SMSR Negeri Padang (1989-1993), menurut seniman dan budayawan Wisran Hadi, bukan terletak pada konsepsi keindahan yang serba tematis, halus sampai mendetail. Akan te-tapi, pada gagasan, ide, ekspresi, pengolahan bentuk-bentuk, atau keliaran-keliaran garis pada pahatnya. Arby sudah menghasilkan sekitar 200 buah patung.

“Kini masih banyak patung yang belum terealisasi. Ide dan gagasan sudah saya tuangkan dalam bentuk sket-sket di kertas, tinggal memindahkan ke bahan kayu (mahoni atau cempedak),” jelas suami Hj Murtina Arby ini.

Arby Samah yang lengkapnya bernama H Arby Samah Datuk Majo Indo, selama ini lebih dikenal seba-gai pematung daripada pelukis. Padahal, kegiatan me-matung dan melukis, sedari dulu sampai sekarang te-tap berjalan beriring.

Ketika belajar di Yogya, Arby mendapat ilmu melukis dan sketsa dari Hendra Gunawan. Ia pernah menjadi pelukis jalanan di Malioboro dan Stasiun Tugu. Ma-nusia yang sibuk lalu lalang, serta orang-orang yang sedang bekerja mengganti api batu bara lokomotif, waktu itu, adalah obyek yang paling banyak diker-jakannya. Karya-karyanya terhitung realis pada waktu itu, disenangi dan dipuji oleh Hendra, Sudarso, Widayat, dan Trubus. Keempatnya kelak dianggap sebagai tokoh-tokoh seni Indonesia.

Sebelum belajar ke ASRI Yogya tahun 1953, tahun 1948-1950 ia ikut angkat senjata sebagai tentara pe-lajar, divisi INS Kayu Tanam. Belakangan ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia di Solok Selatan.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1950, Arby menjadi guru sekolah agama di Padangpanjang dan Bukittinggi. Ia juga bekerja sebagai tenaga sukarela pada Gedung Kebudayaan Sumatra Tengah di Padang-panjang. Antara tahun 1960-1993 sejumlah pekerjaan ia jalani, antara lain menjadi pegawai pada Museum Angkatan Darat di Yogyakarta, pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan di Jakarta.

Kemudian, Arby balik ke Sumatra Barat sebagai Kepala Bidang Kesenian Kanwil Dikbud Sumatra Barat, terakhir menjadi Kepala SMSR Padang. Setelah men-jalani masa pensiun tahun 1993, Arby kembali aktif berpameran patung dan lukis. Rumahnya di Padang pun dijadikan galeri.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Senin, 10 Desember 2001