KODE-4

Friday, March 2, 2007

Menonton Televisi Bersama Keluarga

Aku tak mampu tikamkan belati saat tabir kusimbah di atas derai tangis bayi-bayi,
dan pengamen tiupkan bunyi amarah di pintu rumah, real estat, dan jejak penguasa,
mata belati singkirkan bara, tak bisa padamkan dendam yang dibalut besi baja, semen, tanah, hutan, kertas, jas, dan dasi.

aku lontarkan dosa-dosa, keluh-kesal, pes, sampar, malaria, aids, kemiskinan, telenovela, opera sabun, kuis, perang, demonstrasi, amplop, sinetron, pidato, rasa kantuk, dan makana lezat,
ke meja-meja dan mimbar gedung korban tak lagi diceritakan

terus dilanjutkan dengan talk show, temu wicara, asah terampil, ke safari ramadhan, kunjungan kenegaraan, hingga seorang nenek diperkosa ramai-ramai.
Tak henti ia datang ke keluargaku.


Padang, 1990-2003

Kalam

tuju sepi tepi bumi
puja tari barbar
darah pentas marmar ini
telanjang sambungraga di bui

sia-sia
aku pelihata tuan-nyonya
leher pada ujung keris
telan daging tulang papa

wabah-wabah
lempas slogan kotak-kotak
pasung sejuta kakitangan
kebiri cium nanah mimbar

kalam-kalam
tak bermakna dara
tiap inci
lulur tangan di ranjang tahta
aliri saksi
kedip mata
seterusnya, kalam-kalam tak berjiwa

Padang, 1992-2002

X

untai urat
di upacara gajah
anak bumi terumbang upah gaji
lolongnya terpa kain kapan putih

tuba jadi tugu tumbal tunggul
hitam pada nasib unjuk pantat
suntik hati terpangkas panjar

intai upah
dikasak-kusuk
angka-angka

kita yang berpayung tak hujan
lorotkan semua atribut siang
kado mana yang akan dipersembahkan
: tulang pembungkus pijit sendi

tala sumbang tolak talak tak bertaklim
lemparkan murka tiap tiang yang membentur pampas
talam penampung tunggu darah mengucur di andasan
lalu, iris segenap daging yang melekat jadikan senada
mulut kita terngangak beku. pencong.

Bukittinggi, 1995-2003

Seorang Wanita Telanjang Melekat di KTP-ku

terkencing pun aku tak bisa
walau daging telah kembali ke toko emas

esok pagi kubuka jendela

semua kabut menyerbu bibirku

lalu, pesan saja seleramu di mana-mana
agar tangis tak tumpah di piring

aku menyita seluruh musik
biar puas menyetubuhi kerak bumi

“pada lapis mana yang paling nikmat!” kata wanita itu


Padang, 1997-2003

Apologia Mantan Pengkhianat

I. Tahun 1966

memang, hidup mesti dijatah: dari surga hingga bibir neraka
tapi pada sikap, kita menelentangkan siksa tapak kaki jika rumit dibagi
sealir diri pada garis halus dan nisbi
tak selamanya terpuasi
sebeda apapun cara berdiri
ia ada pada pusar angin: tercipta

II. Tahun 1977

saksi tak wujud: memangkas apa yang berdiri dalam makna
kadang ia gagap dipinggir buku
dalam tanah aku membaca kembali
yang sudah-sudah: sebatas itu saja. tak lebih
:“tapi ada kelemahan yang harus disertakan.”

III. Tahun 1988

luka pada realitas
tidak tersembuhkan saat matahari berjanji tidak terbit
menduga-duga apa yang dibisikkan
seolah melenturkan urat yang dimakan usia


IV. Tahun 1999

ketentuan yang kita cakapkan tentang labirin
telah terjawab tadi pagi
tapi itu seperti yang kubayangkan
meletihkan jiwa
eh, kadang ia jadi kekuatan dalam bias gumpal
ia selimuti luka-luka
tapi tak pernah menyudahi salam yang terberi
sampai di situ: apa yang tidak bisa dimaafkan?

V. Tahun …

tadi pagi ia diseret ke rumah sakit
memenggal labirin-labirin pendosa
untuk membangun gundukan tanah


Padang, 17 Agustus 1999-2002

Ke alat

tak ada ranjang
mati
bumi kembar
dalam monitor
bergetar sampai
saat benih
bayi-bayi
layar kaca
cumbu sembur
tabung reaksi
kunjungi kami
online: http://www.puisi.com
E-mail: puisi@puisi.com
coba lagi
hempaskan nafsu
anak zina
di ujung jari
perempuan-perempuan
bungkus kecemasan
dalam bahasa
tunggal nada
pada bulatan
tanah manusia
dalam tabung


Padang, 1992-1997-2003

Selamat Malam, Jiwa

setengah nafas menyita janji sebelum fajar dibelah-belah waktu
di antara ambang yang tidak pernah ditulis
aku membentang tujuh samudera agung
agar dipahatkan di puncak paling luhur
di ujung sujudku tak mudah kutemui fanaul fana
sebagai semua jiwa retak dan aku di dalamnya
jauh dari bashirah
lalu aku melakukan keberpalinganku
orang-orang yang ad-dlalin
mengurung langkah-langkah lurusku
sambil menghunus hawa nafsu
kesesatan di pintu neraka
tuan rumah tamah menyilakan masuk
selamat malam!
Dan selamat malam!


Padang-1998-2003

Eksekusi Dinihari

dan pada malam itu
cerita mengalir seperti angin
disaksikan cerita lain pula,
kelelawar menari di kepala sembilan algojo
seperti kabut malam
: semua ramah kepadaku
tapi ada sebutir kata yang tidak pernah kutelan

dan pada malam itu
nafasku bermain 17 tahun ke belakang
kusibak rambut yang mengganggu
ada sejuta tangan yang melambai-lambai
: semua cinta kepadaku
tapi ada sepasang tangan yang tidak pernah kumaafkan

dan pada malam itu
kulepas nyawa ke lima tahun yang akan datang
seperti sebuah opera
mereka melepas busana
: telanjang
ada ribuan tubuh bugil bercerita masa lalu
: semua benci kepadaku
tapi petir begitu cepat mengoyak dada kiriku

jakarta-padang 1995-2003

Pada Malam Kutitipkan Gelap

sebatas apa sejarah dalam ruang dan waktu
saat usia jadi pengukur
semisal skuas pada batas bibir gelas
dan aku menaruhkan masa lalu di pangkal gelap
adakah kepastian yang dipastikan mengunci tanya
sementara kita menakik bayang-bayang
mengipas nalar dan rasa
mengikat kuasa dan tawa
untuk warnai hari tua
dengan kain kapan putih, daging, atau sumpah sekalipun
aku ragu pada rahasia
sebab gazirah tidak kuat membingkai masa lalu

Padang, 1998-2002

THE DEATH OF BANTAQIAH

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—

Di blang meurandeh sejumput harap ditabur dikicauan canda anak-anak mengaji --kupiah yang agak teleng – dua anak lelaki melompat ke atas balai bambu: lantunkan isi alquran, begitu fasihnya.

Sementara teungku bantaqiah mengangguk: “esok lusa kamu khatam,” ujarnya seraya luruskan kupiah muridnya. Lalu dua lelaki itu peluk sang guru tercinta, mata terpejam teduh. Ada airmata – tentunya – mengalir tenang sedenting riak sungai beutong, desau batang ilalang di sudut taman dayah babul mukkaramah.

Kemuning bias mentari tertatih bawa airmata dan lalat hijau menapak 100.000 ribu pengungsi:
“Oh tidak, Kita yakin, pengungsi itu akan kembali ke rumahnya. Mereka nggak tahan sengsara. Ini bermotif politik,” ujar seorang panglima tentara sambil terbahak-bahak, sementara seorang bayi mengerang nyawanya dalam dekapan ibunya, di sebelah panglima itu.

Seekor lalat hijau mengawasi di kejauhan, matanya merah menebar ulir-ulir sadis. Anak-anak berlari pucat, dan menghempaskan kepalanya di dada ibunya.

Seratus lalat hijau merayap-rayap, lalu tangis bersahutan: allahu akbar membelah kemuning mentari, memerahkan sungai beutong, dan lalat kian ramai: hijau, loreng, belang, hitam, lalu sepi.

Amis darah singgah di meja-meja, catatan-catatan, dan apologia para eksekutor anak bangsa.

Pagi, siang, dan malam tetap saja menyayat.
Tanpa interval berpesta di atas mayat-mayat yang dikubur hanya setengah meter
Dan angin tak pernah bisa dihentikan: mereka ada didemarkasi.


Padang, 1998-1999-2002


Thursday, March 1, 2007

Pertunjukan Teater Komunitas Hitam-Putih Padangpanjang


Aktor (Bukan) Segala-galanya

OLEH Nasrul Azwar

“Tugas kita ditunggu, tugas Dogot menunggu. Itu saja. Perut itu kan urusanmu.”

“Apa urusanmu cuma otak, tak pakai perut? Apa Dogot, saudaramu itu tak punya perut tapi punya otak? Begitu? Kau saudaranya ‘kan? Seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jual tiket dan tukang gali selokan. Dogot itu saudaramu ‘kan? Kalau bukan mengapa kau tutup-tutupi?...”

Sepenggal teks di atas tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang ganjil. Sama halnya dengan teks tulisan ini. Akan tetapi, ia terasa sangat berbeda ketika roh lakon ditiupkan ke dalamnya. Ia berdaging dan bernyawa. Demikianlah teater. Demikianlah peristiwa teater dibangun dari teks yang “mati” menjadi “hidup” di atas panggung. Dan inilah yang membedakan secara signifikans antara teks sastra dangan teks teater.

Pilihan teks sastra berupa cerpen yang diproyeksikan menjadi teks teater yang dilakukan komunitas seni Hitam Putih Padangpanjang dengan sutradara Kurniasih Zaitun, memang memperlihatkan semacam antiesensialisme. “Ditunggu Dogot” semula berupa cerpen karya Sapardi Djoko Damono, yang pada 1 Juli 2006 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat diaudivisualkan seperti mempertegas ruang relasi antarsutradara, pengarang, pelakon, dan penonton. Pada malam itu berlangsung apa yang disebut diaspora dan brikolase teater. “Ditunggu Dogot” dalam tataran yang positif berhasil penata ulang dan memadukan objek-objek penanda yang sebelumnya—taruhlah tidak saling terkait—untuk menghasilkan makna-makna baru dalam konteks yang baru.

Intertekstualitas dengan pengertian akumulasi dan penciptaan makna lintas teks di mana semua makna saling tergantung pada makna yang lain. Pengutipan secara sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi dan kesadaran kutural yang makin besar. Paling tidak, teks sama yang terkoneksi dalam satu kerangka tafsir yang memberi dan membuka luas demokratisasi dalam menjelajah teks. Posisi sutradara dengan segenap pendukungnya telah berhasil mengompilasikan berbagai elemen yang pantas dihadirkan di atas pentas. Maka, dengan demikian, pertunjukan teater “Ditunggu Dogot” tidak menjelma seperti kutbah yang menyebalkan, yang kerap dilakukan oleh banyak kelompok teater di Kota Padang selama ini.

Proses Sungguh-sungguh

Cerpen “Ditunggu Dogot” karya Sapardi Djoko Damono yang diadaptasi menjadi karya teater di atas panggung, memang tidak serta merta melepaskan dirinya demikian saja dengan teks yang telah terbentuk dalam ingatan publik. Paling tidak, referensi pertama muncul dari memori publik adalah “Menunggu Godot” karya Samuel Becket. Relasi teks yang terbangun dengan sendirinya, selanjutnya menemukan “pembenaran” saat persoalan absurdisme kehidupan manusia menjadi perkara penting dalam teks pertunjukan “Ditunggu Dogot”.

Pada batas ini, barangkali apa yang disebut dengan intertekstualitas menemukan legitimasinya. Sapardi Djoko Damono sebagai pengarang “Ditunggu Dogot” dan Kurniasih Zaitun sebagai sutradara menempatkan kode kuktural sebagai pintu masuk demi menjelajah ruang-ruang, konteks, dan narasi kanaifan manusia itu sendiri.

Sudah menjadi catatan tersendiri, bahwa karya Samuel Beckett menginspirasi setidaknya 100 buku dan ribuan karya di muka bumi ini, serta karya-karyanya menjadi bahan studi yang tak habis-habisnya. Bukan hanya “Manunggu Godot”, juga karya lainnya seperti “Endgame” menjadi master drama Becket. Memang, yang terpilih sebagai karya pemenang Nobel Sastra adalah “Menunggu Godot” pada tahun 1969.

Sejauh ini, akhirnya memang untuk mementaskan sebuah lakon, berarti menafsir pula naskah tersebut. Tafsir yang dilakukan Kurniasih Zaitun terhadap “Ditunggu Dogot” pantas diapresiasi positif. Hal demikian terlihat dari gaya dan titik-titik kelekatan berupa investasi emosional yang bersifat kontingen (kesementaraan), dan dituangkan dalam fantasi yang secara parsial menyatukan berbagai wacana dan kekuatan psikis lakon. Pelakon yang disebut “Laki-laki” dan “Perempuan” merupakan identitas kesementaraan manusia yang mencoba mengonstruksi narasi-narasi diri yang kian keropos kepercayaan subjektivitasnya. Dua identitas ini menjadi fokus cerita untuk membangun konflik, dan juga efek visual.

Jika pada naskah “Menunggu Godot” dialog lakon menjadi perdebatan filosofis yang panjang, dan jika tak sabar memang sangat melelahkan, maka pada naskah “Ditunggu Dogot” lebih menekankan pada aktualisasai kondisi kekinian, dan bukan perdebatan filosofis. Maka, konsekuensi garapan dan kehadiran properti di atas panggung menjadi sangat penting.

Cerita “Ditunggu Dogot” diawali seorang lelaki dan perempuan memacu sepedanya untuk menemui Dogot. Karena kedua mereka sedang ditunggu Dogot. Dogot memberi syarat bahwa kepada kedua orang ini untuk tidak boleh terlambat dan juga tak boleh terlalu cepat, harus tepat waktu. Persoalan muncul saat mengayuh sepeda itu: jika terlalu kencang atau lambat menjadi perkara ditujuan. Sesuai perjanjian, mereka harus tepat waktu. Pertengkaran tak bisa dihindarkan, dan juga gugatan menyangkut identitas Dogot yang sedang menunggu. Tapi di dalam pertengkaran itu juga muncul kemesraan dan rasa romantis kedua anak manusia ini. Naluri paling purba bagi manusia lain jenis pun muncul, yaitu seks. Dan apa dan siapa sesungguhnya Dogot yang sedang menunggu mereka, akhirnya memang menjadi identitas jamak dan juga identitas kultural. Tapi manusia sangat mendambakan identitas seperti Dogot.

Tokoh “Perempuan” yang diperankan Ika Trisnawati malam itu memang menghidupkan imaji tentang “perempuan” yang sesungguhnya. Akting yang tidak nyinyir dan terkesan natural mampu mengimbangi “Laki-laki” yang dilakonkan Ashadi. Dari kedua lakon inilah cerita dieksplorasi, didedahkan, lalu dibangun dengan stabilisasi permainan yang tetap berada dalam frame yang tidak terlihat adanya pengulangan-pengulangan seperti banyak dilakukan kelompok-kelompok teater di daerah ini. Sehingga, tontonan jadi menarik, komunikatif, efektif, dan mencengangkan. Estimasi pertunjukan tak lebih 40 menit membuat penonton terpesona di kursinya. Bagi saya, mengatur tempo permainan, menggunakan seefesien mungkin waktu, dan juga kemampuan memungsionalisasikan properti, adalah sesuatu keniscayaan bagi pertunjukan teater. Dan itu telah dilakukan oleh komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang.

Selain itu, satu hal yang membuat pertunjukan “Ditunggu Dogot” agak beda dengan pertunjukan teater lainnya di Sumatra Barat adalah telah muncul kesadaran tentang fungsi dan manfaat teknologi serta kemampuan menyinergikannya dengan kebutuhan pertunjukan. Kahadiran layar di dinding pentas dengan menayangkan gambar-gambar yang terkoneksi dengan aktivitas dan peristiwa yang dibangun kedua aktor itu, jelas mempertegas efek-efek yang dicapai. Juga, menghadirkan panggung yang bergerak, terasa memperlengkap keutuhan pertunjukan itu.

Capaian menuju ke arah demikian itu, bagi saya bukan perkara gampang, dan juga bukan soal yang menyangkut berteater tersebab adanya undangan dari pihak lain, lalu beramai-ramai main teater. Paling tidak, ada kesesungguhan di dalamnya. Ada proses dan pencarian bentuk ungkap panggung yang inovatif. Kerja dan aktivitas teater seperti ini memang tidak pernah diributkan orang. Komunitas seni Hitam-Putih mungkin satu dari sekian banyak komunitas teater yang bergerak dengan partisipasi dan ketegaran dalam mencari dan terus mengasah kamampuan serta sensitivitas pikiran dan perasaan. Mereka berjalan dalam identitas dan militansinya.

Maka, apa yang pernah ditulis Peter Brook, pada batas demikian menjadi sangat benar: Teater harus merefleksikan keterkaitan yang khas dari tanda kehidupan. Perbedaan yang memisahkan antara kebenaran dan realitas bukanlah pada tingkat perbedaannya, namun pada persamaannya yang dapat dibaca melalui kumpulan pemikiran yang berhati-hati.

“Ditunggu Dogot” membuka ruang interpretasi yang luas dan kontekstual, namun secara historis, ia menjadi ahistoris. Keterkaitan dan relevansinya dengan kehidupan sosial diimplementasikan dalam aktualisasi tema, dan content. Dialog dan konflik yang dikedepankan memungkinkan untuk mencapai penyatuan artikulasi dan determinasi logika dalam ranah ruang dan waktu. Namun, karena studi yang kurang mendalam tentang absurdisme, eksistensialisme, dan psikologi Freud, maka pertunjukan “Ditunggu Dogot” kurang berhasil pada tingkat eksplorasi kejiwaan. Tokoh-tokoh bermain masih dalam subjektivitas-ego, kelonggaran karakter terbaca dengan jelas, dan detil-detil karakter masing-masing belum tergarap. Tapi, satu hal yang sangat terjaga adalah tempo permainan yang stabil, dan pencapaian alur cerita yang tepat.

Demikianlah “Ditunggu Dogot”. Ia akan mengemasi dirinya sendiri dengan tawaran-tawaran partisipatif dan imajinatifnya kepada publik, dan sesungguhnya teater bukan sekadar aktor yang menjadi properti yang dilukis sutradara di atas pentas, aktor adalah “pencipta” di atas panggung. ***

Randai, Seni Tradisi Minangkabau

PEMERINTAHAN desa gaya Orde Baru berganti kembali menjadi nagari, dan seni randai bangkit lagi. Hal itulah yang terkesan oleh banyaknya pertunjukan randai, dan tumbuh pesatnya grup-grup seni tradisi Minangkabau ini. Selain di pelosok, Kota Padang juga menjadi saksi dari tingginya gairah menjaga warisan tradisi ini, seperti terlihat pada Kamis (1/8) malam di Pauh, Kota Padang. Tampil di sana grup randai Tungku Tigo Sajarangan yang dikoordinatori sekaligus guru randai, Rusydi Pandeka Sutan. Grup ini dua hari sebelumnya pun telah melakukan rekaman untuk penampilannya di TVRI Padang.
Islamidar

Maestro Musik Tradisi Minang

Nama: Islamidar

Tempat dan Tanggal Lahir: Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 16 Juli 1941
Pekerjaan: Penjaga sekolah dasar yang difungsikan sebagai kesenian
Pendidikan: Sekolah Rakyat



Karya dan Pengalaman Seni

: Di Indonesia misalnya, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa kali, di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa kali, dan di Surabaya.

Di luar negeri, misalnya di Malaysia 9 (sembilan) kali, di Eropa 5 kali: Belanda, Yunani, Jerman, dan Spanyol. Di Asia selain Malaysia, pernah tampil Brunei, Singapura, dan Jepang.

Suaranya merintih lirih namun merdu kala melantunkan syair/ lagu dendang sampelong yang diiringi saluang bansi yang mengalun. Dialah Islamidar yang akrab disapa Tuen oleh penduduk kampung sekitar. Tuen lahir pada 16 Juli 1941 di Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Kota. Di nagari itu pula ia tinggal hingga hari ini. Tuen adalah pewaris dan penjaga seni sampelong, salah satu seni tradisi Minang yang masih eksis sampai saat ini. Sejarah hidup Tuen identik dengan perkembangan sampelong itu sendiri.

Tuen memang berasal dari keluarga yang berdarah seni. Ibunya adalah pelantun dendang sampelong yang juga pandai memainkan gendang. Sedang sang ayah adalah seorang qari yang mahir membaca ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama yang enak di telinga. Kakeknya adalah seorang pemain gambus. Begitu pula etek dan mamaknya.

Irama sampelong adalah irama yang dimainkan dengan saluang sejenis bansi. Dulunya, sampelong adalah sejenis irama musik yang dinyanyikan pada saat menggampo gambir. Saat itu sampelong tak pakai dendang. Kalaupun ada dendang berirama sampelong, tapi musik pengiringnya adalah talempong. Baru sejak tahun 1965, sampelong pakai dendang. Syair/lagu dendang sampelong lebih banyak berkisah tentang kepahitan hidup, keperihan nasib, kegagalan cinta, kemiskinan dan segala kenestapaan lainnya. Lirik-lirik sampelong adalah elegi: nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri.

Sampelong, sebagaimana dituturkan Tuen sudah ada di Minangkabau sebelum kedatangan Islam ke ranah ini. Nada sampelong adalah nada-nada lagu Budha. Ini dibuktikan dengan kesamaannya dengan nada yang ada di Thailand—sebuah bangsa yang kebudayaan dan seninya berakar pada agama Budha dan juga di Palembang—daerah yang pernah menjadi tempat berkembangnya agama Budha.

Sampelong berbeda dengan basirompak, baik alat yang yang digunakan maupun lagu yang dimainkan. Basirompak dimainkan dengan saluang biasa dengan syair lagu-lagu dendang yang berupa mantra-mantra jahat yang dulunya merupakan alat penyampai guna-guna. Namun sekarang, kata Tuen, basirompak juga bisa dialihkan ke seni yang bernilai baik dan enak didengar.

Sejak kecil, Tuen sudah akrab dengan musik tradisi Minang. Pada usia enam tahun ia sudah diajarkan oleh neneknya memainkan talempong. Hingga dewasa, Tuen tak hanya trampil memainkan talempong (talempong pacik) dan berdendang sampelong, tapi ia juga mampu memainkan akordeon dan pianika. Di samping itu, ia juga bisa memainkan seni musik dikia (seni musik Islam). Tak ketinggalan, Tuen juga bisa berdendang basijobang—sejenis dendang yang diiringi musik yang bersumber dari hentakan kotak korek api yang berkisah tentang Anggun Nan Tongga dan Putri Gondoriah. Menurut Tuen, sebutan Basijobang berasal dari gelar Anggun Nan Tungga yaitu Magek Jabang (jadilah Basijobang).

Tuen, sang maestro seni musik tradisi ini berumah tangga pada tahun 1969. Hingga sekarang ia mempunyai lima orang anak—yang salah seorang dari putranya juga meneruskan bakat seni yang diwariskannya. Sebagai seorang seniman, sejak tahun 1970-an Tuen sudah sering tampil di acara-acara resepsi pernikahan atau baralek. Ia mulai tampil ke publik yang lebih luas pertama kali pada acara Pekan Budaya Minang di Payakumbuh. Sejak itu, berbagai pentas seni budaya sering ia ikuti. Sejak beberapa tahun belakangan, di setiap Selasa malam dan Sabtu malam, ia tampil di Bukittinggi.

Kesungguhan dan kepiawaian dalam berkesenian mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ia diminta mengajar di sekolah dasar di kampungnya. Namun karena hanya berijazah Sekolah Rakyat (sekolah dasar), Tuen resminya hanya diangkat sebagai pegawai penjaga sekolah, namun fungsinya adalah sebagai seorang guru. Di SD Negeri 02 Talang Maua, Tuen mengajar kesenian sampai saat ini. Namun ternyata, karena kemampuannya—Tuen jadinya tak hanya mengajarkan kesenian, tapi juga mengajar matematika dan pendidikan agama. Untuk materi pendidikan agama, Tuen menciptakan lagu-lagu yang berisikan kisah-kisah kehidupan para rasul dan nabi. Ia juga menciptakan lagu tentang Rukun Islam dan Rukun Iman. Lagu-lagu yang berisikan pendidikan agama untuk sekolah dasar ini sudah ada yang diproduksi dalam bentuk kaset rekaman.

Hari-hari Tuen dIjalani dengan penuh kesibukan. Bangun setiap subuh. Usai salat ia membuka kedai dan kemudian bersiap untuk berangkat mengajar ke sekolah pada jam tujuh pagi. Setelah pulang dari sekolah sekitar jam 13.30, Tuen menghabiskan waktunya duduk di kedai miliknya sampai jam 10.00 malam. Di samping melayani pembeli, Tuen mengisi waktu dengan memeriksa tugas-tugas sekolah murid-muridnya. Di saat-saat itu pula Tuen menciptakan lagu sambil terus mendendangkannya. Pada setiap Jumat malam, Tuen berlatih dengan kelompoknya untuk persiapan tampil di Bukittinggi besok harinya. Selesai salat Ashar setiap Selasa dan Sabtu, Tuen bersiap untuk berangkat ke Bukittinggi. Sering ia hanya berjalan kaki sejauh delapan kilometer sampai ke Mungka, dari sini baru ia naik bus menuju Bukittinggi

Di samping mampu berdendang dan memainkan alat musik, Tuen juga mempunyai kemampuan sebagai seorang akademisi. Ia bisa menciptakan lagu disertai not balok. Penglihatannya yang sudah terganggu sejak usia muda tak menghalanginya untuk mencipta. Layaknya seorang seniman sejati yang juga punya talenta sebagai akademisi, Tuen memiliki pengalaman, pemahaman dan pengetahuan yang kaya tentang seni tradisi. Ia layak menjadi narasumber yang tak pernah kering untuk digali.

Sebagai seorang seniman yang bertalenta akademisi, Tuen juga menyampaikan kritik yang cukup tajam terhadap perguruan tinggi seni. Ia menilai, seni musik tradisi hampir tak berkembang di perguruan tinggi seni, lebih sering hanya memainkan lagu itu ke itu saja. Ia mencontohkan permainan talempong, hanya berputar pada Cak Din-din dan Tigo Duo. Ia juga menyayangkan, anak-anak muda kini yang enggan untuk meneruskan seni tradisi yang berakar dari negeri ini sendiri.

Begitulah seorang Tuen, hidupnya terus mengalir, ia berkarya tak pernah henti. Sejarah menakdirkannya sebagai seorang seniman sejati, pewaris, penjaga dan pelestari seni tradisi.


Transkripsi hasil wawancara dengan Bapak Islamidar
Pada 4 Mei 2002 di Padang Jopang,
Kabupaten Limo Puluh Kota , Sumatra Barat

Bermusik seperti Mencintai Manusia

Wawancara dengan Islamidar dilakukan oleh Yusriwal, salah seorang staf pangajar Fakultas Sastra Universitas Andalas (kini Yusriwal telah berpulang kerahmatullah pada 16 Januari 2005 akibat kecelakaan). Berikut wawancara itu.

Bagaimana Bapak belajar sampelong?

Tidak sengaja diturunkan. Cuma, karena sudah umum semua orang tua-tua pandai memankan alat musik sampelong, dengan sendirinya kita bisa saja. Asal ada bakat, bisa pandai. Waktu kecil, saya dininabobokan, dibuai oleh ibu dengan lagu seperti itu (lagu-lagu berirama sampelong—red):

lolok lah sayang (tidur lah sayang)

lolok lah lolok (tidur lah tidur)

(Islamidar menyayikannya)

Saya dibesarkan dengan dendangan seperti itu. Hal itu betul-betul meresap dalam jiwa, sehingga tidak perlu dipelajari secara khusus.

Selain lagu-lagu, Bapak juga membawakan kaba dengan alat musik sampelong, bagaimana cara belajarnya?

Hanya dengan mendengar saja. Dengarkan tukang kaba bercerita, kita cobakan. Artrinya, tidak disengaja berguru atau belajar.

Kalau ada anak muda yang ingin belajar, bagaimana prosesnya sampai mahir memainkan sampelong?

Begitu juga. Dicoba saja. Jika urang tua, mereka diminta mendengarkan dam memberi kritikan. Seprti itu, tidak diajar khusus. Dicoba, ditanyakan ke orang tua: “sudah bagus atau belum.”

Dulu, sampelong berkaitan dengan unsur magis. Kalau ada yang ingin melihat, bisa Bapak tampilkan?

Tidak bisa. Sebab, untuk meaminkannya harus dalam sebuah tim: seorang tukang sampelong, tukang dendang, tukang gasiang (gasing), dan seorang yang memerankan sesuai dengan efek yang diinginkan. Jika pemeran merobek baju, yang dituju akan merobek baju pula. Begitu seterusnya.

Seperti apa syair-syair yang digunakan untuk sampelong magis?

Karena tak pernah lagi dimainkan, sudah banyak yang lupa. Pokoknya syair tersebut ditujukan ke seseorang:

kok lolok tolong jagoan (kalau tertidur tolong bangunkan)

kok jago suruah ka iko (kalau bangun suruh ke sini)

suruah…(suruh…)

Ada irama khusus Pak?

Iyo, umbuik mudo.

Selama Bapak main sampelong, pernahkan Bapak menggunakan unsur magis tersebut?

Tidak, sebab haram hukumnya. Hal itu pula yang menyebabkan kesenian ini dilarang oleh para ulama. Kini, karena usur magis itu sudah dihilangkan, tidak dilarang lagi.

Bapak tidak belajar secara khusus?

Tidak, tapi diwariskan secara alamiah. Mereka yang mau belajar akan pandai, yang tidak mau tidak akan pandai.

Proses pembuatan sampelong melalui cara-cara dan tahapan-tahapan tertentu. Talang yang digunakan harus yang tumbuh di tempat sakral dan lain sebagainya. Kalau sekadar belajar, apakah harus mengikuti cara dan tahapan tertentu tersebut?

Tidak. Sampelong ada dua macam: khusus untuk guna-guna dan sebagai alat tiup biasa. Kalau untuk yang kedua, tidak dperlukan tata cara tahapan tertentu tersebut. Bisa saja dgunakan bambu untuk mengambil kelapa atau bambu yang telah digunakan sebagai jemuran kain. Dulu, kalau ada orang meninggal, meratapi orang meninggal pun digunakan irama sampelong:

ondeh nak ei bajalan sonjo kau nak ei (onde berjalan di senja hari anak ei)

umah godang sia nan kamaunyi nak ei (rumah gadang siapa yang akan menghuninya)

Para istri yang ditinggal suami pun, kalau bernyayi akan menggunakan irama itu. Namun, orang sekarang tidak tahu lagi dengan irama tersebut

Di Tolang, apakah ada perempuan yang mahir memainkan sampelong?

Dulu ada, sekarang tidak. Untuk main biasa, bukan untuk guna-guna.

Dalam penampilan, bisakah sampelong digabung dengan alat musik lain?

Hanya bisa dengan gendang dan biasanya pada lagu-lau yang berirama gembira. Bisa juga dalam menyampaikan hikayat atau kaba. Gendang yang dipakai adalah rebana. Irama lagu-lagu sampelong dapat diketogorikan:

Sedih:

· Kubang Balambak

· Mudiak Manguih

· Lobuah Lengkok

· Maalau Kobau

· Batu Putiah

· Mudiak Likih

Gembira:

· Ontak Tabuang

· Kayu Dalok

Khusus:

· Umbuik Mudo – untuk simbabau dan sjundai

· Puti Talayang – untuk membawakan kaba

Irama Umbuik Mudo:

· tuan tun kotik dongkak

· Tun kotik nan panjang ongok

· Langkah nan batingkah-tingkah

· Balari nan batingkah duo

· Obuak nan panjang di balakang

· Obuak tagerai di kuduak o ….

· Dimano lobuah nan golong

· Tuan lah balari di situ

· Dima pasea nan rami tuan lah tibo di situ

· Hancua luluah di batang agam

Irama Puti Talayang:

Ado kapado suatu hari, Puti Talayang, inyo bakato bakeh kakaknyo, nan banamo si Ganjo Erah, “ Oi kakak si Ganjo Erah kak ei…., poi lah kito poi mandi, etan ka sumua tigo rono.”

Mandonga kato nan baitu, jadi manyauik e Ganjo erah, “ Adiak e Puti Talayang……”

Untuk kaba, iramanya itu saja. Orang akan terfokus pada cerita bukan pada irama. Tidak pakai alat musik pun iramanya tetap seperti itu.

Bagamana tanggapan masyarakat?

Kini, kesenian ini tidak begitu diminati. Sudah menjadi barang langka. Tidak ada minat dari masyarakat untuk mengembangkan atau belajar. Dapat dikatakan minat mereka sudah mati.

Apakah kesenian ini pernah diajarkan di sekolah?

Bagiaman mana mau mengajarkannya kepada anak SD? Kurikulum untuk itu tidak ada. Waktu yang disediakan untuk kesenian hanya dua jam untuk empat mata pelajaran: seni suara, rupa, tari, dan keterampilan. Mengajar anak-anak kesenian tradisional tidak sulit. Tangga nada sampelong la do re mi. Daerah di Nusantara yang mempunyai kemiripan dengan sampelong adalah: Dayak, Toraja, Tengger, Kubu, dan Semang (Malaysia). Nada ini dipengaurhi oleh agama Budha. Setelah Islam masuk, ia tetap tinggal di daerah pedalaman. Di Muangthai saya menumukan juga irama yang sama. Secara tidak sengaja saya pernah mendengar di radio sana, sebuah lagu yang diiringi dengan irama seperti ini.

Adakah perbedaan tangga nada sampelong dengan laras pelog dan selendro?

Nada sampelong mirip dengan selendro, cuma ada dua nada yang turun seperempat (1/4). Tangga nadanya sol la do re mi, la dan mi turun seperempat. Selendro jarak antara la dan do rapat, sampelong jarang karena la turu dan mi turun. Pelog: do mi fa sol si du, jauh sekali bedanya dengan sampelong. Irama Pasaman diatonik, dibandingkan diatonik, sampelong tidak memiliki nada si dan fa.

Sejak kapan Anda menyukai musik?

Kalau suka dengan musik, mungkin sejak dari lahir. Mengapa? Masih kuat dalam ingatan saya, mungkin masih berumur setahun, Pobo (kakaknya) saja mungkin tidak ingat, ketika Etek saya kawin dengan Mak Kutea, saya tidur menelentang, bantal di sisi kiri, kain di sisi kanan, sebuah gramofon didupkan:

tong kak-tong kak tum, tong kak- ton kak tum (menirukan bunyi rebana dipukul)

talipuak layua nan dondam, lai anak rang Tolang (menyanyi).

Penyanyinya Kinah dan Naimah. Saya sudah ingat walau umur saya masih satu tahun. Mulai main musik tradisional umur 5 (lima) atau 6 (enam) tahun. Pada waktu itu tangan saya dituntun oleh almarhum Andek (nenek).

Siapa yang mengajar Anda pertama sekali?

Mandiang Andek, ibu dari ibu.

Kalau dari orang tua?

Kami sekeluarga boleh dikatakan keluarga pemusik: Pak Etek tukang dikia, Ibu pemain gambus, Etek tukang gambus, kakek pemain talempong, nenek pemain talompok, bapak pemain biola. Akibatnya, musik bagi kami bukanlah sesuatu yang asing.

Apa alat musik yang bisa Anda mainkan?

Alat tradisonal yang saya kuasai adalah talempong, Gendang. Alat tiup krang dikuasai, namun kalau gendang, jenis apa pun, bisa saya mainkan. Seni tradisional saya bisa memainkan akordion, harmonium, dan pianika.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap musik Minangkabau sekarang?

Musik Minangkabau saat ini: pencipta melahirkan musik yang bagus, namun selera penikmat bukan ingin musik bagus, tetapi ingin goyangnya bagus. Akibatnya lagu sedih dimainkan dengn musik gembira. Jika lagu Zalmon yang dinyanyikan, kita yang mendengar tidak merasakan kepedihan yang ada dalam lagu tersebut. Jadi sasaran yang diinginkan pencipta tidak tercapai. Itu yang menyebab lagu-lagu tersebut tidak bertahan. Lain halnya dengan lagu Minangkabau dulu. Lagu tari payuang misalnya, tidak pernah berubah.Makin diolah makin bagus.

Anda bisa membaca not balok, sedangkan penusik tradisi tidak ada yang bisa…

Anda jangan marah kepada saya. ASKI (sekarang STSI) tidak bisa mengolah not balok. Sekolah apa itu (nada bicaranya tinggi). Mestinya semuanya dengan not: talempong dengan not, beduk saja bisa dibuat not baloknya. Tamatan ASKI dikasih not balok, tidak bisa baca. Akademi apa namanya yang seperti itu. Tamatan akademi musik tapi tidak bisa membaca not balok.

Dengan siapa Anda pertama belajar not balok?

Pertama sekali dengan Syahril, di Koto Kociek, anak mamak saya. Setelah mulai bisa, saya melanjutkannya sendiri. Kemudian berlanjut ketika saya bertemu dengan Nizam, Pak Cap (Yusaf Rachman-red), dan beberapa orang lain.

Mengapa Anda merasa perlu belajar not balok?

Agar mudah menerima dan memberikan musik. Apa saja yang didengar saya bisa menyimpan dalam bentuk not balok, walaupun yang didengar itu hanya suara gendang misalnya. Kalau tidak bisa not balok tidak bisa menuliskan bagaima bunyi gendang, misanya: tum tak tumtak-tak tum, tak tum tak-tak tum. Bagaimana menuliskan bunyi seperti itu kalau tidak pakai not balok. Kalau dengan not angka tidak akan bisa.

Selama ini kita diperbodoh oleh si Panjang Hidung, Belanda. Mereka yang mengajar kita not angka sehingga buta dengan not balok. Di luar negeri tak satu pun orang yang memakai not angka. Orang Amerika memakai not balok ditambah kode untuk motif. Dengan demikian not balok amerika sangat fleksibel. Jika dipakai untuk vokal pakai kode vokal, untuk gendang pakai kode gendang, dst.

Dengan not balok kita cepat dapat memainkan suatu alat dan cepat menentukan tinggi rendahnya sebuah nada.

Mengenai pendidikan musik di sekolah, apakah kurikulum musik kita yang salah?

Tidak. Dalam kurikulum 75, not angka hampir tidak diajarkan lagi. Namun, dalam pelaksanaannya not angka masih diajarkan. Selain itu, penerbit buku. Mereka tidak paham dengan musik tapi menulis buku musik, yang ditulis bukan not balok tapi not angka.

Guru pun mencampurkan pengajaran not angka dengan not balok. Maksud kurikulum adalah bahwa angka hanya dipakai menandai nomor jari, bukan untuk dibaca.

Bisakah orang yang sama sekali tidak mengenal not angka bisa belajar not balok?

Bisa, bahkan orang yang buta dengan angka pun bisa. Kalau sudah kenal motif kemana saja bisa: untuk vokal beri kode vokal, untuk gendang beri dum dan tak. Persoalan lain adalah, ada nilai yang tidak sama antara not balok dengan not angka. Kalau diberikan keduanya kan anak didik jadi bingung. Nilai titik pada not angka sama dengan nilai not itu sedangkan pada not balok titik nilainya setengah.

Menurut anda adakah kaitan antara musik dengan menyikapi hidup?

Banyak. Main dalam suatu kelompok misalnya, kita harus menjaga kebersamaan, bagaimana kita terangkat secara bersama. Ini akan mengurangi kalau tidak sama sekali menghilangkan sikap egois. Begitulah kita dalam bernasyarakat.

Kemudian disiplin. Kita harus taat aturan. Ketinggalan sedikit saja, nada akan menjadi sumbang. Ktukan harus pas, tidak boleh lebih atau kurang.

Dalam disiplin ini, berapa ketukan kesalahan yang bisa ditolerir?

Tidak dapat ditolerir seperseribu ketukan pun.

Anda bisa akordion, pianika, keduanya bukan alat musik Minangkabau? Mengapa Anda mau memainkannya? Adakah pengaruh musik tersebut ke musik tradisi Minangkabau?

Ada. Akordion sudah lama di pakai dalam musik-musik tradisi Minangkabau. Gamad dan gambus memakai akordeon. Akordeon bukan lagi alat musik modern tapi semi modern atau atau semi tradisi di Minangkabau. Akordeon banyak membawa musik-musik bernafaskan Islam. Lagu-lagu kasidah dan gambus tidak bisa dibawakan dengan Saluang.

Kalau belajar piano Anda mau?

Tidak. Untuk apa saya belajar piano? Alat ini tidak bisa digunakan untuk musik tradisi. Lagi, karena tangan saya sudah bisa dengan tradisi, tidak lentur lagi untuk bisa memainkan piano. Susunan talempong saya agak aneh, nada tinggi terletak di tengah, sedangkan piano, nada rendah di kiri dan nada tinggi di kanan. Susunan nada talempong saya: do mi sol si du la fa re sedangkan nada piano do re mi fa sol la si du.

Susunan nada talompong seperti itu memungkinkan saya dapat memainkan melodi dengan cepat. Grup lain sekarang sudah banyak yang menggunakan susunan talompong seperti itu.

Siapa saja yang pernah belajar dengan Anda?

Kalau di kampung, ya anak-anak di kampung saya, guru-guru di Padang. Orang asing juga ada, ada orang Amerika sekarang kawin dengan orang Yogyakarta dan tinggal di sana dan David dari Australia.

Di mana saja Anda pernah tampil?

Di Indonesia misalnya, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa kali, di Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa kali, dan di Surabaya. Di luar negeri, misalnya di Malaysia 9 (sembilan) kali, di Eropa 5 kali: Belanda, Yunani, Jerman, dan Spanyol. Di Asia selain Malaysia, pernah tampil Brunei, Singapura, dan Jepang.

Anda mengatakan bahwa sampelong adalah peninggalan Budha. Ada indikasi lain, selain di musik yang dapat dikatakan sebagai peninggalan Budha?

Ada. Banyak sekali. Contohnya: tidak sah berdoa kalau tidak membakar kemenyan; kalau orang meninggal harus diperaingati 3 hari, 7 hari, 21 hari, sampai 100 hari; percaya kepada tempat-tempat sakti; takut terhadap pohon-pohon besar; adanya nama negeri seperti Biaro; mantra-mantra yang digunakan.

Berkaitan dengan mantra ini, saya masih ingat antra yang sering dibaca nenek saya:

handu sonsang, Quran sonsang, barih isilam, manuriuh katarayo
datang ongkau dari aua bose, pulang ongkau ka aua bosea
datang onkau dari baringin sati pulang ongkau ka baringin sati
kalau ongkau indak poi, kau konai sumpah dek Bataro Guru

Siapa itu Bataro Guru?

Hal lain dapat pula dilihat pada orang yang sedang piturunan (kesurupan). Biasanya mereka menggigau seperti bernyanyi:

urang gunuang

urang gunuang

urang gunuang

urang gunuang

nan diam di Piobang

nan basarang di katapian godang

kami lah tibo pulo

(dilagukan)

Nadanya kan si la do re mi, itu Budha. Padahal, orang yang kena pituruan ini sehari-seharinya tidak bisa sama sekali menyanyi. Kalau di suruh ulang, dia tidak bisa mengulangnya lagi. (Abel Tasman dan Almarhum Yusriwal)


Wednesday, February 28, 2007

Seni Tanpa Kata Padangpanjang


Kecenderungan berteater-tanpa-kata tampak menonjol di dalam satu minggu hajatan seni kontemporer di Sumatra Barat. Tentu saja tanpa kata itu relatif, karena terkadang masih dibutuhkan sejumlah kata, namun pada dasarnya kebanyakan informasi mereka sampaikan lewat cara-cara lain: gestur, gerak-gerik, vokal, atau potongan musik maupun lagu yang asosiatif dengan pemahaman tertentu.
Sedikitnya ada enam kelompok teater setempat yang tampil di dalam "Pekan Seni III/2002" yang berlangsung 26-31 Oktober di Kampus STSI Padangpanjang tersebut. Penyelenggaranya Dewan Kesenian Sumatra Barat menyebutkan mereka inilah yang diketahui masih giat bekerja.

Tradisi Minang, Seni Baru


PARA perempuan yang mengawali, mereka pula yang meneruskan. Sebuah pementasan tari dan musik karya perempuan seniman, Sabtu (26/10/2002), berlangsung di Padangpanjang, Sumatra Barat. Pementasan itu bertempat di gedung bernama Huriah Adam, perempuan yang berjasa dalam membuka wilayah-wilayah baru ungkapan seni, terutama di ranah budaya Minang. Tampil empat tarian dan satu komposisi, sebagian masih kental rasa maupun wujud tradisinya dan sebagian mengisikan rasa seasal ke dalam wadah dan bentuk baru.
Huriah Adam adalah seorang seniman tari yang sekitar 30 tahun lalu mengguncang jagat tradisi dengan pernyataan-pernyataan estetik yang pada saat itu terkesan kontroversial. Para penggiat seni maupun masyarakatnya di awal abad baru ini tidak mudah membayangkan betapa sulit ia bergerak karena setiap perubahan bisa ditafsir sebagai ancaman terhadap bangunan tradisi yang kokoh.

Pentas Seni Kontemporer Minangkabau


PADANG (Media): Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) menyelenggarakan Pentas Seni Kontemporer Minangkabau di Padang, Sumatra Barat (Sumbar), 26-31 Oktober 2002. Pentas Seni ini akan diisi oleh berbagai jenis kesenian, mulai dari seni tari, musik, sampai teater.

Ia Menangis Pagi-pagi saat Kepala Kakaknya Bersua di Tepi Ladang

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—


Malam.
Dongeng berganti cerita ketakutan
“Cobalah pejamkan mata, gelap akan bergayut halus.
Sejak kapan kamu benci sejarah?” tanya kakaknya.
“Sejak aku tak mampu lagi picingkan mata, darah membakar kelopak mataku.
Sejak kapan kakak suka sejarah?” tanya adiknya.
“mungkin esok.”

ada ngeri di daun pintu, juga dalam mimpi
lalu, subuh terkapar sambil hela fajar pagi
loreng-loreng membunuh matahari
hijau-hijau mengikir rembulan
senjata mengikis santri-santri
membenamkan sakit hati

lalu mereka tertawa seraya bersihkah mulut bedil
yang lain menyemir sepatu dan mandi
selanjutnya mereka tegus bir
melayang di dedaunan ganja
menikmati kejantanan

melampiaskan sperma yang terpendam

berulang-ulang
lalu perta lagi
“ini kepala kakakku?”


Padang, 1998-2002

Mereka: Episode yang Dipenggal

jauh sebelum garis peta diberi garis – untuk siapa?—
mereka ungkai tafsir-tafsir butir darah
senyampang asab bedil kabut tipis
tak lebih hanya sebatas pembeda: kau dan aku
teriak dan bungkam sekalipun di ujung rencong
kami bersikap: tak lebih karena itulah sikap
lalu semua berjalan masing-masing dengan nyawanya
sang sakti tak mengais di sarung rencong
mulut sipangkalan cibir detak jantung tamu
dan menebar kematian dini – untuk siapa?—
rencong menitis dendam
tak juga kembali ke sarung
di sana orang berbisa
beri catatan yang tewas
di depan televisi mereka basahi dengan darah bintang empat di bahu
:senyinyir-nyinyirnya berdalih, di matanya sejuta anak menangis
siapa orang itu?


Padang 17 Agustus 1999-2002