KODE-4

Thursday, March 1, 2007

Randai, Seni Tradisi Minangkabau

PEMERINTAHAN desa gaya Orde Baru berganti kembali menjadi nagari, dan seni randai bangkit lagi. Hal itulah yang terkesan oleh banyaknya pertunjukan randai, dan tumbuh pesatnya grup-grup seni tradisi Minangkabau ini. Selain di pelosok, Kota Padang juga menjadi saksi dari tingginya gairah menjaga warisan tradisi ini, seperti terlihat pada Kamis (1/8) malam di Pauh, Kota Padang. Tampil di sana grup randai Tungku Tigo Sajarangan yang dikoordinatori sekaligus guru randai, Rusydi Pandeka Sutan. Grup ini dua hari sebelumnya pun telah melakukan rekaman untuk penampilannya di TVRI Padang.
Disaksikan ratusan pasang mata, 12 muda-mudi berpakaian tradisional Minangkabau membentuk lingkaran di tengah arena. Lima pemain lain, duduk di pinggir arena. Para pemain randai (anak randai) bergerak melingkar dan sesekali melakukan galombang randai secara serempak, yang pada dasarnya bersumber pada gerakan-gerakan silat atau seni pencak silat.
"Hep... ta...," terdengar teriakan seorang di antaranya (tukang gore), dibarengi dengan tapuak galembong (menepuk celana) yang bunyinya tingkah-meningkah. Setiap anak randai punya gaya sendiri dalam gerak dan menepuk celana yang didesain khusus-mempunyai pisak yang dalam, sehingga menghasilkan bunyi beragam waktu ditepuk, tapi serempak. "Hep...ta... Dugudung-dak-dik-dung."
Cerita yang diangkat dari kaba Kasiah Putuih Dandam Tak Sudah (Kasih Putus Dendam Tak Sudah) pun dimulai, terjadi dialog dan akting. Kemudian diikuti saluang dan dendang (nyanyian).
Penampilan anak randai penuh pesona dan seru. Tontonan sekitar tiga jam itu sering membuat penonton (segala usia; dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga kakek-nenek) tertawa riang.
Dialog jeda sejenak, anak randai kembali ber-hepta-hepti diiringi cerita yang didendangkan (gurindam) dan diiringi saluang. Cerita bergulir, mengisahkan anak gadis (Sari Banilai) menolak keinginan orangtuanya (Datuk Tumanggung Tuo) untuk dinikahkan dengan bako-kemenakan Datuk Tumanggung Tuo-bernama Malendo Alam.
Oleh mamaknya, Lelo Manjo, Sari Banilai dinikahkan dengan bekas teman sekolahnya, Rambun Sati. Dendam Datuk Tumanggung Kayo dan kemenakannya Malendo Alam pun bergejolak. Ketika Sari Banilai pindah ke Kota Medan, rumah yang ditinggalkannya dibakar oleh Malendo Alam. Keinginan ayak/mamak untuk menyelamatkan "Sako dan Pusako" lenyap sudah, karena mengikuti kehendak hawa nafsu.
Sebagai salah satu grup randai terbaik-berdiri tahun 1965, vakum selepas peristiwa G30S, dan berkiprah lagi sejak tahun 1985 sampai sekarang-Tungku Tigo Sajarangan sudah tampil di berbagai kota dan diundang pentas untuk kegiatan-kegiatan Pemerintahan Kota Padang dan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatra Barat.
KHUSUS di Kota Padang, Dewan Kesenian Padang (DKP) bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kota Padang, setiap malam minggu menampilkan kesenian randai untuk masyarakat dan wisatawan di kawasan obyek wisata Pantai Padang. "Sekarang program Galanggang Randai sudah memasuki tahun kedua," kata Ery Mefri, Sekretaris DKP, Kamis.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang, Indra Catri, pertunjukan randai sekali seminggu di Pantai Padang berdampak kepada pertumbuhan grup-grup randai. Grup randai siuman kembali. Sasaran (arena tempat bermain randai dan belajar silat) kembali digerakkan.
"Sejak satu tahun terakhir, menyusul dicanangkannya Sumatra Barat kembali ke sistem pemerintahan nagari (sebagai pemerintahan terendah menggantikan desa/kelurahan), kesenian yang bertumpu kepada komunitasnya bergairah kembali. Banyak orang dari daerah lain berlatih randai di sasaran-sasaran di Kota Padang," jelas Indra.
Data DKP menyebutkan saat ini terdapat peningkatan yang berarti grup randai di Kota Padang, dari 36 buah pada tahun 2001 menjadi 60 grup. Tarian tradisi dan juga silat kembali tumbuh berkembang.
Untuk Sumatra Barat, menurut Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, salah seorang ahli dan pelestari randai, sedikitnya terdapat 300 grup kesenian randai. Beberapa di antara grup randai tersebut sudah tampil di luar negeri. Misalnya, Grup Palito Nyalo, tampil dalam Pesta Gendang Nusantara di Malaka, Malaysia, 11-16 April 2002. Akhir tahun 2002, ada pula tawaran dari Brunei Darussalam untuk menampilkan kesenian randai.
Jauh sebelumnya, Musra Dahrizal, sempat mengajarkan randai di University of Manoa, Hawaii, selama enam bulan dan bersama mahasiswa mementaskan randai dengan cerita Umbuik Mudo yang dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Profesor di sana menilai bahwa kesenian randai tak kalah hebat dan mengagumkan. "Kekagumannya sama besar dengan kekagumam kepada karya Williams Shakespeare," kata Musra, mengutip Dr Christine Pauka, yang tesisnya tentang randai di Minangkabau.
Yang menarik dan mengagumkan, perwatakan tokoh dalam penampilan randai tidak diungkapkan melalui tata rias, tetapi disampaikan lewat dendang (gurindam). Kemudian, yang menjadi musik selain tepuk galembong, juga tepuk tangan, tepuk kaki, tepuk siku, petikan jari, hentakan kaki, dan teriakan-teriakan "hep... ta...ti... hai" oleh tukang gore, dan nyanyian atau dendang yang dilakukan oleh para pemain sambil melakukan gerakan-gerakan galembong.
MENURUT budayawan Edy Utama, kesenian randai sebagai teater rakyat di Minangkabau cukup diminati berbagai kalangan. Ia sering ditampilkan pada acara-acara seperti pesta panen, helat perkawinan, helat batagak penghulu, dan pesta-pesta rakyat lainnya.
"Kehadiran randai dalam upacara-upacara dan acara-acara tersebut selain mempertebal rasa ketradisian juga memberi kesempurnaan terhadap adat istiadat Minangkabau itu sendiri. Kuat dan lemahnya lembaga adat Minangkabau menentukan bangkit dan tenggelamnya kesenian randai," papar Edy.
Randai dalam bentuknya yang sekarang, merupakan hasil dari suatu proses akulturasi yang panjang antara tradisi kesenian Minangkabau dengan bentuk-bentuk sandiwara modern seperti tonil, yang mulai dikenal masyarakat Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Ia menambahkan, jika kita melihat unsur utama dalam randai, misalnya tarian randai yang disebut bagalombang, pada randai-randai yang lebih klasik pada umumnya adalah gerak silat atau pencak silat yang diolah secara kreatif, dan diiringi dengan lagu-lagu dendang yang memang banyak sekali terdapat di dalam masyarakat Minangkabau, karena merupakan bagian dari tradisi seni budaya musik seperti saluang dan dendang, atau seni tutur seperti bakaba, barabab, dan basijobang.
"Karena kebudayaan Minangkabau adalah kebudayaan yang dinamis, terbuka terhadap inovasi, maka perkembangan randai dewasa ini cukup beragam. Ada unsur-unsur gerak dan musik baru yang diadaptasi ke dalam randai, yang umumnya berasal dari lagu-lagu melayu (joget), bahkan juga dari musik dangdut. Idiom-idiom baru ini antara lain diadaptasi untuk membuat pertunjukkan randai tetap relevan dengan perkembangan masyarakat dan zamannya," jelas Edy Utama, yang juga Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatra Barat.
Semasa Orde Baru berkuasa kesenian randai nyaris tenggelam, setelah pemerintahan nagari digantikan oleh pemerintahan desa. Kini, dengan kembalinya ke sistem pemerintahan nagari, kesenian randai kembali tumbuh. Setiap nagari memiliki sedikitnya 10 grup randai.
Hal lain yang menarik dari tradisi randai adalah, semangat kolektif dan partisipasi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Organisasi dan manajemen pengelolaan randai bertumpu kepada semangat kebersamaan tersebut. Lingkungan masyarakat tempat randai tersebut tumbuh, merasa berkewajiban memelihara dan mengembangkannya. Tanpa dukungan mereka -termasuk finansial- tak mungkin randai bisa berkembang. Sampai kini kegiatan pertunjukan lebih bersifat sosial, kecuali ada perubahan pola organisasi pada pemilikan kelompok atau individu yang sudah mulai ada sekarang ini.
RANDAI sebagai teater rakyat Minangkabau sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Dalam perjalanannya, banyak kesenian-kesenian lain, seperti tari yang terinspirasi dari pola geraknya atau pola dialog pada randai. Para seniman atau koreografer tari mengusung randai ke dalam karya tari sesuai dengan persepsi dan harapan-harapannya.
"Sebelum randai menjadi semacam teater seperti yang berkembang saat ini, dulunya adalah tari randai. Tari randai dipelihara dalam perguruan silat yang mengajarkan Ulua Ambek terutama di daerah pesisir (Padang Pariaman). Tak heran tari-tari Minang kontemporer dewasa ini, ada yang pola gerak dan pola dialog seperti randai," jelas koreografer Ery Mefri. Ia mengakui mengakui, karyanya seperti Adat Salingka Nagari, yang terakhir ditampilkan di Teater Utan Kayu Jakarta 20-21 Juni 2002, terilhami dari randai.
Ery tidak sendirian, karena banyak seniman lain yang juga menggarap atau terinspirasi oleh randai, seperti sejumlah karya tari Gusmiati Suid, Boy G Sakti, dan Cilay. *** Yurnaldi /Kompas, 3 Agustus 2002

No comments:

Post a Comment