KODE-4

Showing posts with label SAMUIKLADO. Show all posts
Showing posts with label SAMUIKLADO. Show all posts

Sunday, February 18, 2007

Tiga Peristiwa yang Membingungkan

OLEH Nasrul Azwar

Sepekan terakhir, paling tidak perhatian masyarakat Sumatra Barat tertuju pada: Pertama, Universitas Andalas memberikan gelar doktor honoris kausa kepada Presiden, dan ini pertama kali universitas tertua di luar Pulau Jawa memberikan gelar HC kepada orang lain. Tapi, jika Anda mau mengamati lebih dalam prosesi upacara pemberian gelar Dr (HC) itu, ada kalimat yang tertulis di selempang warna hijau (warna khas Unand) yang dikenakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bagi orang-orang yang selalu berurusan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, terasa ganjil. Kalimat di selempang tertulis seperti ini: DOCTOR. H.C

Tanyalah ke Balai Bahasa Padang, misalnya, apakah tanda baca “titik” setelah “Doctor” itu telah sesuai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Jika tak sempat menanyakan itu, coba buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihatlah bagaimana menuliskan tanda baca (.) yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Hal-hal yang kecil seperti itu, memang dianggap remeh dan tidak menjadi perhatian serius, tapi bagi akan jadi sangat serius jika penggunaan tanda baca yang salah itu melekat di tubuh orang nomor satu di negeri ini. Semua mata mengarah ke satu titik ini. Dan ironis sekali hal ini dilakukan oleh dunia perguruan tinggi.

Kedua, pemberian gala sangsako adat Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Puan Puti Ambun Suri kepada Ny. Ani Yudhoyono. Pro-kontra pemberian gelar adat itu pun mengiringi perjalanan “sejarah” budaya Minangkabau.

Jika disingkap dalam pandangan kajian kultural, menurut Jordan dan Weedon (1995) membahasakannya dalam politik kebudayaan seperti ini: kekuasaan untuk memberi nama; kekuasaan untuk merepresentasi akal sehat; kekuasaan untuk menciptakan “versi-versi resmi”, dan kekuasaan untuk merepresentasi dunai sosial yang sah. Di sini, ranah budaya publik didominasi dan diklaim oleh kekusaan yang sah. Klaim dan dan penciptaan yang dihasilkan oleh kekuasaan itu menjadi kebenaran.

Dalam pandangan budaya Gramscian, menyatakan bahwa ada suatu blok historis dan faksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas-kelas sosial yang dipinggirkan dengan cara merebut persetujuan. Kekuasaan selalu melibatkan basis-basis sosial yang bersetuju dengannya, dan pemberian gelar adat oleh hegemoni kepada hegemoni lainnya menjadi pilihan dalam pengendalian sosial.

Ketiga, pencanangan gerakan pengentasan kemiskinan berbasis nagari oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Yang Dipertuan Maharajo Pamuncak Sari Alam, di Parikmalintang, Padangpariaman. Bagi saya, program ini terkesan sangat naif malah sebuah pelecehan terhadap otoritas nagari di Minangkabau. Kita tahu, nagari merupakan satu sisi perkembangan sejarah yang relatif panjang selama berabad-abad.

Prof Dr Abdul Aziz Saleh (1990) menyebutkan, sejarah nagari di Minangkabau jauh lebih panjang daripada masyarakat perkotaan. Kehidupan masyarakatnya berlandaskan kepada struktur sosial dan nilai budaya, dan pola interaksi sosial yang dimapankan dalam tradisi dan adat. Semua ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan (1) distribusi kekuasaan, teramasuk distribusi wewenang dan tanggung jawab (distrubution of authority and responsibility), dan proses dan mekanisme pengambilan keputusan, (2) distribusi kemakmuran (distrubution of wealth), termasuk proses dan mekanisasi serta distribusi informasi, dan (3) distribusi penghargaan kekuasaan, menentukan posisi dan status seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

Selain itu, dalam mamangan adat Minangkabau tentang nagari juga disebutkan seperti ini: sawah balantak basupadan/ladang diagiah bintalak/bukik dibari bakaratau/rimba diagiah bajiliung. Secara sederhana, kandungan makna dari mamangan itu adalah bagaimana nagari mendistribuksikan potensi alamnya secara ekonomis. Secara sistemik, nagari tidak memberi, atau meminimalisir, ruang kemiskinan, dan ketidakadilan dalam memperoleh kemakmuran bersama lewat konsep distribusi di atas. Pendek kata, tak ada kemiskinan di dalam nagari.

Maka, apa yang disebut dengan “mengentaskan kemiskinan berbasis nagari” yang dicanangkan pemerintah dan sebagai model pengentasan kemiskinan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kembali ke pemerintahan nagari di Sumatra Barat yang diemban Perda No 9/2001, gagal total. Paling tidak, dengan kalimat “mengentaskan kemiskinan berbasis nagari”, dapat diasumsikan angka kemiskinan telah meningkat di tingkat nagari, maka pemerintah perlu mengetaskannya.

Anehnya, hingga kini angka kemiskinan masyarakat di tingkat nagari tak pernah diketahui. Jika pun ada masyarakat yang miskin di Sumatra Barat, maka angka itu berkisar di perkotaan atau masyarakat urban. Untuk Kota Padang, misalnya, konon angka kemiskinannya hampir mencapai 150 ribu jiwa.

Namun pada tingkat nagari—yang dijadikan basis pengentasan kemiskinan—tampak jelas bahwa Pemerintah Provinsi Sumatra Barat belum memahami secara mendalam esensi masyakakat nagari di Minangkabau. Paling tidak, program yang dicanangkan pemerintah adalah gambaran ketidakmengertian itu. ***


Friday, February 16, 2007

FSUA, Katak di bawah Gelas

OLEH Nasrul Azwar

Tiga edisi harian Singgalang, tangga19, 26, 28 Februari 2006, menurunkan artikel yang ditulis Ade Efdira, Melda Riani, dan Chandra Antoni. Ketiganya “orang dalam” yang pernah menerima “serat ilmu” di kampus Fakultas Sastra Universitas Andalas (FSUA). Inti pemikiran yang dituangkan Ade Efdira adalah kekecewaan yang telah terakumulasi sejak pantatnya pertama kali terhenyak di bangku FSUA sampai menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak mendapatkan apa-apa dari kampus itu selain deretan nilai yang akan diadu dengan lulusan fakultas sejenis di tempat lain. Tulisan Ade Efdira provokatif sekaligus menggugat. Melda Riani tak lebih penekanan kepada apa yang telah diucapkan Ade Efdira dengan bahasa yang persuasif. Sedangkan Chandra Antoni sebagian besar ditekankan pada penolakan terhadap apa yang ditulis Ade Efdira. Tapi, terlepas dari itu, apa yang disampaikan ketiga orang ini tetap berada dalam frame mempertanyakan posisi, fungsi, kontribusi, dan kemampuan akademis serta intelektualitas para penghuni kampus FSUA itu.

Bagi saya, apa yang ditulis ketiga orang itu bukan perkara main-main. Dan, tentu, diharapkan juga tulisan itu tidak dipandang dari sudut siapa yang menulis, tetapi mestinya dipahami dari sudut dan perspektif content yang disampaikan. Ini perlu saya sampaikan karena informasi yang saya peroleh, beberapa orang pengajar di FSUA seperti kebakaran jenggot membaca tulisan Ade Efdira, dan memvonis tulisan itu kekanak-kanakan. Mereka melayangkan short messages service (SMS) ke radaktur Singgalang, yang isinya menyayangkan mengapa tulisan seperti itu dimuat. Informasi itu saya terima sembari mengatakan malah mereka itu yang tampak kekanak-kanakan. Sempit, kerdil, dan naif.

Memasuki minggu kedua, artikel itu memang tidak tampak menuai respons berupa tulisan dari para pangajar di FSUA, selain berupa “gunjingan” di kantor jurusan masing-masing dan tentunya kafe di sekitar sana. Respons dengan caranya masing-masing datang dari mahasiswa-mahasiswa FSUA. Kita tak mengetahui apa alasan mereka membiarkan demikian saja tudingan yang diarahkan ke “dapur” mereka itu. Paling tidak, kita masih berharap adanya penjelasan yang elegan dan dewasa dari pihak terkait dari kampus FSUA, jika tidak mau dikatakan sebagai sekumpulan manusia bertitel yang paling cuek di muka bumi.

Menara Gading Limau Manih

Kahadiran Fakultas Sastra semenjak tahun 1982 dalam lingkungan Universitas Andalas—yang kini usianya telah memasuki seperempat abad—bukan berorientasi sepenuhnya untuk menghasilkan praktisi di area, taruhlah sastrawan, wartawan, teaterawan, hartawan, pesilat, pedendang, pemain randai, datuk-datuk, penerjemah, pelaku sejarah, penulis naskah kuno, dan kamerawan, misalnya. Jika pun kelak ada yang memasuki area itu, tak lebih tersebab kemauan diri sendiri dan sangat personalitif. FSUA punya visi dan misi keilmuan dan kajian yang memusatkan perhatiannya pada perkembangan ilmu yang relevan selanjutnya sebagai pertanggungjawaban keilmuan, hasil studi itu dipublikasikan ke tengah masyarakat dan jaringan-jaringan lainnya. Tujuan demikian yang sesungguhnya menjadi prioritas sebuah fakultas dalam lingkungan universitas.

Sepanjang dua puluh empat tahun keberadaan FSUA, visi dan misi yang tampak sederhana itu, terasa sangat berat direalisasikan. Dan FSUA seperti kehilangan orientasi, arah, dan tanggungjawab kulturalnya sebagai masyarakat ilmiah. Para pangajar, yang sebagian besar adalah alumni fakultas itu sendiri, tidak lagi memperlihatkan vitalitas, semangat—yang saat jadi mahasiswa mampu berbuat sesuatu yang berarti dalam kondisi yang memprihatinkan sekalipun—seolah berada dalam “sistem” yang mereka pelihara sendiri untuk membelenggu dan memborgolnya. Akhirnya, yang menarik untuk didiskusikan saat berada di kampus adalah bagaimana memiliki mobil, rumah yang besar, dan proyek-proyek ini-itu. Tidak ada lagi sensitivitas keilmuan untuk merespons fenomena dan isu yang berkembang di tengah-tengah kian rimbunnya perkembangan karya sastra Indonesia mutakhir, tentang kontroversi Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (RKK) yang memutuskan pertanggungjawaban negara terhadap korban kekerasan negara di saat meletusnya PRRI, pelurusan sejarah tentang Presiden Indonesia, RUU Pornografi dan Pornoaksi, Ranperda Tanah Ulayat, RUU Ketertiban Berbahasa Indonesia yang isinya pelarangan menggunakan bahasa asing (termasuk bahasa Inggris), tentang Pemerintah Kota Pariaman yang tidak mau menyelenggarakan iven budaya Oyak Tabuik baru-baru ini yang akhirnya dapat juga digelar dengan cara badoncek oleh masyarakat sekitar, atau bentuk evaluasi terhadap pelaksanaan Perda No 9/2000 tentang kembali ke nagari yang pelaksanaannya tampak menyingkirkan posisi tungku tigo sajarangan di nagari-nagari di Sumatra Barat, dan banyak lagi jika ditambahkan.

Hal di atas baru disebut menyangkut fungsi dan peran FSUA sebagai salah satu institusi ilmiah, belum lagi mengenai jaringan untuk membuka diri dalam komunikasi dan pergalaulan yang lebih luas. Untuk lingkungan Sumatra Barat saja, kita tidak pernah menyaksikan sebuah penandatangan kesepakatan kerja sama, misalnya, dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat perihal tanah ulayat, dan lain-lainnya, dengan Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) tentang upaya penerbitan buku dan hasil penelitian, dengan Pusat Dokumentasi Informasi dan Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) menyangkut pertukaran informasi dan studi, dengan Balai Bahasa Padang mengenai upaya untuk meyakinkan bagi pihak-pihak yang tidak tertib menggunakan bahasa Indonesia, dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi, dengan media massa, dan lain sebagainya. Untuk luar Sumatra Barat misalnya, dengan British Council, dengan Yayasan Kelola, universitas-universitas, komitas-komunitas budaya, atau dengan lembaga-lembaga yang menyediakan dana hibah, dan lain sebagainya. Dan tidak perlu dipaparkan untuk wilayah internasional.

Selain itu, untuk internal FSUA sendiri, menyangkut pemanfaatan teknologi informasi jelas jauh tercecer dengan perguruan tinggi lainnya. Sebagian besar manusia di atas bumi ini menyadari pentingnya arti dan manfaat teknologi komputer dan aspek-aspek yang mengikuti perkembangannya. Namun, tampaknya tidak demikian dengan FSUA, dan juga Universitas Andalas sendiri. Jika pun Unand telah memiliki sebuah portal dengan server sendiri, tapi belum menunjukkan signifikansi kegunaan dari sebuah portal. Yang ditampilkan sebagai content situs hanya berkisar hal-hal seremonial yang dilakukan pihak petinggi Unand, release kegiatan mahasiswa dan staf pangajar, dan lainnya yang justru sangat tidak berguna bagi pihak-pihak yang ingin memperoleh data-data dan informasi yang lebih dalam tentang ilmu pengetahuan. Selain itu, content situs pun di update tidak berketentuan jadwalnya. Tidak konsisten. Belum lagi bentuk dan format situs yang statis dan membosankan.

Untuk FSUA sendiri, walau ada link sub-domain di portal Unand, justru tampak lebih parah lagi. Tidak ditemukan dalam content yang dapat memenuhi kebutuhan bagi para pengguna internet, misalnya, tentang penelitian sejarah orang-orang rantai di Sawahlunto, sejarah bangunan tua di Sumatra Barat, sejarah dan asal-usul nagari tertentu di Minangkabau, bahasa dan dialek di Minangkabau, sejarah silat, tentang AA Navis, Wisran Hadi, tentang seniman tradisi Islamidar, pernaskahan, sejarah teater modern dan tradisi di Sumatra Barat, karya-karya terjemahan, kritik sastra, pidato pasambahan Minangkabau, kaba-kaba, dan lain-lainnya. Padahal, hasil penelitian yang berkaitan dengan hal di atas, saya kira, FSUA memilikinya, atau paling tidak sebagian besar data-data awal telah dipunyai. Tapi, apa mau dikata, kegagapan akan teknologi dan enggan mau belajar, serta tidak rela membuka diri untuk memanfaatkan jaringan yang telah tersedia, maka seperti inilah FSUA adanya; seperti katak di bawah gelas.

Jika demikian adanya, maka kekecewaan, gugatan, dan sejenis itu terhadap FSUA, mendapat pembenaran dan pantas. ***

Tragedi Si Penipu atau Anggota Dewan

OLEH Nasrul Azwar

Surbat kini telah kaya raya. Jika diukur, mungkin Surbatlah yang terkaya di kampungnya. Rumah bertingkat tiga, punya sawah luas, sapi ternaknya tidak sedikit jumlahnya, dan juga sudah punya heler dua, angkutan desa 6 buah, serta anjing untuk berburu 4 ekor. Pokoknya, tiga tahun terakhir, kekayaan Surbat melejit 1000 kali lipat. Orang kampung tidak pernah berpikir, dari mana Surbat dapat uang. Bagi orang kampung, Surbat adalah pahlawan yang telah melambungkan nama kampungnya. Pokonya Surbat-lah yang paling hebat di mata mereka. Dan Surbat sendiri tidak pernah tinggal di kampugnya tiga tahun terakhir. Dengan kata lain, semenjak Surbat terpilih jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat tahun 1999. Ia hanya mengirim uang untuk membangun rumahnya, beli ini-itu, dan lain sebagainya. Yang ada di kampung hanya orangtuanya, serta ditambah adik-adiknya. Untuk menjaga keamanan rumah yang mewah itu, setahun terakhir, Surbat menaruh Satpam di dekat pintu masuk. Tak mudah masuk ke rumah itu, walau itu di kampung. Bagi orang kampung, hal itu tidak jadi soal. Karena Surbat pantas diperlakukan demikian. Disebabkan Surbat, kampung mereka jadi terkenal.

Adalah Surbat yang kini duduk sebagai anggota DPRD Sumatra Barat. Kantornya di Padang. Ia terpilih sebagai anggota DPRD Sumatra Barat dari salah satu partai baru dalam hasil pemilu 1999 — hasil sisa suara yang digabungkan. Alangkah bangganya orang kampungnya saat nama Surbat disebut sebagai anggota DPRD Sumatra Barat, dan bahkan ada sebagian orang kampungya yang meneteskan airmata saat Surbat dilantik sebagai wakil rakyat. Mereka terharu. Namun ada juga yang sinis, dan bertanya; kok bisa ya?

Pertanyaan sinis itu jadi sangat maklum, tentu saja jika dilihat latar belakang hidup dan kerja Surbat sendiri sebelum ia jadi wakil rakyat yang terhormat itu. Sebab, Surbat sendiri – sebelum jadi “orang”—memang tak punya kerjaan yang tetap; kadang ia jadi kontraktor siluman dan dadakan ketika musim proyek, kadang kala jadi sales kendaraan second, juga HP second – jika ada ‘lawan’ –dilalukannya juga. Pokoknya, ia kerja tak berketetapan. Untuk bicara, memang Surbat jagonya. Hampir setiap malam di lapau kampungnya, masyarakat semenjak dari usia bujang tanggung sampai orang tua-tua rela menghentikan koa atau dominonya, hanya menyimak ota Surbat. Ada saja yang baru dibawakan dalam ceritanya. Kadang ota itu tidak benar adanya, dan selalu saja menyalahkan orang lain. Akan tetapi, bagi orang kampung, kehadiran Surbat untuk dianggap pelamak minum kawa saja. Anehnya, rang-orang pun akan merasa kehilangan dan bertanya-tanya, jika Surbat tidak muncul di lapau.

Ternyata reformasi dan kejatuhan Orde Baru, serta diiringi dengan tumbuhnya partai-partai baru, membawa berkah bagi Surbat. Reformasi telah merubah jalan hidupnya. Kini, berkah itu terlihat dari harta dan kekayaannya di kampung, belum lagi rumahnya di Padang dan Jakarta. Orang kampung yang hanya menganggap Surbat palamak ota saja, kini pandangan itu telah bergeser drastis. Surbat memang hebat. Dan Surbat sendiri sangat paham tentang hal itu. Maka, semenjak ia jadi anggota wakil rakyat itu, tak sedikit dana yang dialirkannya ke kampung, dan kampung itu sendiri berubah 100 persen pembangunannya. Bupati daerah itu mengalihkan beberapa mata anggaran APBD – sebelumnya tidak ada tercantum -- untuk kampung Surbat. Bupati segan kepada Surbat.

Menyangkut dana yang mengalir atas nama Surbat, bagi orang kampung tak jadi soal dari mana asal usul uang itu didapat Surbat. Yang jelas masjid yang selama ini tidak ada air PAM-nya, kini telah masuk, teras masjid yang masih terbengkalai bangunannya, kini sudah siap dan pakai marmar. Pemuda kampung yang selama ini sulit mendapat bantuan dana untuk kegiatan pertandingan olah raga, dengan terpilihnya Surbat sebagai anggota DPR, kini menjadi sangat lancar dan bahkan beberapa perusahaan berebutan mengambil hati pemuda-pemuda kampung. Kampung itu kini jadi hidup. Itulah Surbat, sosok wakil rakyat yang berkedudukan di Padang. Surbat pun – dalam jadwal tertentu — melepas hobinya berburu babi. Datang pagi dengan mobil volvo terbarunya, sore berangkat lagi ke Padang, usai buru babi.

Selain itu, dalam beberapa kebijakan daerah di mana kampungnya berada, Surbat kerap melayangkan surat berupa, “surat sakti”, memo dan rekomendasi untuk dewan di daerah dan juga Kepala Daerah-nya. Dalamnya selalu surat sakti – entah apa lagi namannya, mungkin “sabda”, secara langsung ditegaskan Surbat, “agar dilaksanakan segera”. Dan anehnya hal ini tidak pernah dipersoalkan pejabat di daerah itu. Surbat semakin meyakini bahwa dirinya memang ditakuti pejabat daerah.

Suatu kali, dalam sebuah investigasi yang mendalam sebuah media massa terungkap dugaan korupsi yang dilakukan Surbat. Dari hasil investigasi itu, Surbat terbukti memeras beberapa perusahaan di daerah dan pusat, dan sering meminta komisi jika suatu tender dilakukan. Dan juga, dalam penyusunan mata anggaran untuk “DPRD”-nya, anggota ini telah menyalahi terang-terangan ketentuan dan undang-undang yang berlaku. Artinya, secara jurudis formal, anggota DPRD Sumatra Barat – di mana Surbat ada di dalamnya – telah dengan sadar melakukan tindakan korupsi, dan itu merugikan rakyat dan negara. Semua hasil investigasi itu dipaparkan secara terbuka di majalah itu. Dan tak ketinggalan, foto Surbat tengah bernegosiasi dengan salah seorang direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis. Majalah itu juga memuat salinan kwitansi dan transfer uang ke rekening Surbat dari beberapa buah perusahaan.

Selain lembaga swadaya masyarakat serta elemen masyarakat juga menggugat lembaga ini. Dan memaparkannya secara sistematis apa saja tindakan korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sumatra Barat. Lengkaplah data, fakta, dan bukti bahwa anggota DPRD Sumatra Barat memang secara sadar dan terang-terangan membohongi publik, termasuk Surbat yang terlanjur jadi orang hebat di kampungnya.

Orang kampung terpana. Mereka ingat dengan masjid yang dibangun dengan uang itu. Mereka ingat sapi korban tahun lalu, di mana Surbat ikut berkorban 6 ekor sapi. Dan masih banyak lagi. Dan kini Surbat berada di tahanan polisi. Surbat tentu tidak lagi hebat, tapi bejat.***

Merampok Uang Rakyat dengan Cara Halus

OLEH Nasrul Azwar

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Komunikasi Intensif dan Operasional Anggota DPRD, yang dikeluarkan pemerintah dipengujung tahun 2006, memicu berbagai reaksi dari pelbagai kalangan masyarakat, mahasiswa, dan LSM. Penetapan anggaran itu bervariasi masing-masing daerah sesuai dengan keinginan penguasa setempat. Walau ada juga pemerintah daerah yang menolak PP itu, tapi banyak juga yang menerima dan berdiam diri saja. Paling tidak, alasan menolak karena dana itu dibebankan kepada anggaran belanja daerah, dan dihitung semenjak bulan 1 Januari 2006. Artinya, masing-masing anggota DPRD menerima rapel terhitung selama 1 tahun. Jumlahnya sangat luar biasa, sehingga banyak daerah-daerah yang pendapatan aslinya kecil, kelisimpansingan memenuhi regulasi yang tidak memihak pada rakyat itu. Sebelum PP No 37/2006 keluar, anggota DPRD sudah menerima gaji yang cukup besar juga. Kini, rata-rata penghasilan anggota DPRD minimal 10-15 juta rupiah setiap bulan ditambah dengan santunan untuk keluarga. Ironisnya lagi, pajak penghasilan yang diterima anggota DPRD itu dibebankan lagi ke APBD.

PP Nomor 37 Tahun 2006 juga mengatur penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, menunjukkan angka yang luar biasa besarnya. Selain karena besarnya uang tunjangan, juga karena pada beberapa item tertentu diberlakukan secara surut mulai 1 Januari 2006. Di Yogyakarta misalnya, satu orang Pimpinan DPRD Propinsi dapat memperoleh tambahan pendapatan (kurang lebih) 250 juta rupiah. Dalam beberapa data yang diperoleh di Provinsi Sulawesi Selatan, beberapa menunjukkan defisit anggaran akibat semua PAD habis untuk tambahan penghasilan akibat PP ini.

Demikian, secuil fakta bagaimana negeri ini dirampok, diperas, dan ditodong dengan sistem regulasi yang rapi. Peraturan dibuat untuk mengumpulkan kekayaan.

Gejala-gelaja demikian bukan lagi sebatas “keinginan” yang tersembunyi bagi anggota dewan, akan tetapi gejala itu telah menjelma menjadi tujuan dan target bagi anggota dewan itu sendiri. Indikator demikian, bukan semata sebagai letupan kegembiraan dengan berubahnya posisi legislatif sebagai mitra pemerintah serta euforia penerapan UU No 32/2004, tetapi dapat dinilai sebagai sebuah tabiat yang sangat memalukan.

Ironi dan paradoks. Kebohongan dan kemunafikan. Jika diamati lebih jauh, memperkaya diri bagi anggota DPRD dengan mengeruk uang rakyat dengan cara sistematis, menjadi kaharusan. Sikap dan indikasi negatif itu sebenarnya bukan saja berjangkit di dalam jajaran legislatif saja, juga telah merambah ke para politisi lokal, pemda dan juga kalangan aktivis partai. Sikap demikian, jelas sangat bertentangan sekali dengan sikap positivisme. Jika positivisme dimaknai sebagai suatu pandangan dan sikap manusia yang bertumpu dan berdasarkan pada aliran yang hanya mengakui kebenaran hukum yang kontekstual, maka sikap negativisme merupakan kebalikannya. Negativisme mengakui keberadaan hukum secara kontekstual, namun penafsiran dan penerapannya berdasarkan dan mengacu pada latar belakang kepentingan sendiri atau kelompoknya, dan tidak diletakkan dalam konteks keterkaitan dengan hukum lain yang lebih tinggi atau relevan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Sikap demikian ini lebih cenderung bertentangan dengan isi, jiwa dan semangat dari suatu hukum yang berlaku.

Perilaku dan sikap itu kini menjadi tren bagi kalangan legislatif dan juga eksekutif. Lihat saja, tak ada yang tidak kontroversial setiap tahun dalam penyusunan anggaran. Jika diasumsikan, indikasi dan gejala latar belakang terjadinya sikap-sikap demikian, tampaknya disebabkan era otonomi dan reformasi ditafsirkan dan dimaknai secara berlebihan dan otonomi daerah dimaknai sebagai legitimasi penguatan kekuasaan di daerah. Artinya, penguasa daerah adalah “raja kecil”.

Mitra sejajar legislatif dan eksekutif juga diartikan sama dengan kalamak paruik anggota legislatif. Rembesannya, belanja legislatif juga disejajarkan jumlahnya dengan eksekutif. Maka, penyusunan anggaran belanja anggota legislatif setiap tahunnya seiring jumlahnya dengan anggaran eksekutif. Dan tampaknya, permintaan anggaran legislatif selalu dikabulkan eksekutif, dan jarang terdengar seorang Kepala Daerah di Indonesia ini – termasuk Gubernur Sumatra Barat dan juga Wali Kota serta Bupati di daerah-daerah Sumatra Barat-- yang mempertanyakan anggaran legislatif, dan ini juga terjadi di tingkat pusat, tak pernah Presiden mempersoalakan belanja DPR.

Selain itu, sikap arogansi anggota legislatif juga mencuat kepermukaan. Perkembangan dan informasi yang mutakhir terlihat bagaimana arogansinya DPR (D) itu, ialah sikap yang tidak memperlihatkan sebagai wakil rakyat, ketika salah seorang Wakil Ketua DPRD Sumatra Barat memperlakukan secara tidak wajar salah seorang wartawan harian yang terbit di Kota Padang. Wartawan bersangkutan dihardik karena memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sumatra Barat.

Selain itu arogansi anggota legislatif juga terjadi dengan meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara dengan eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah, kapling tanah, asuransi, dan fasilitas naik haji, serta lain sebagainya, yang jelas sekali tidak memperhitungkan kepatutan, norma, dan kemampuan anggaran.

Gambaran nyata demikian, merupakan sifat kamuflase bagi anggota legislatif. Stigma sebagai wakil rakyat hanya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Sementara, sudah hampir 3 tahun perjalanan anggota DPR (D), tak dapat dipungkiri, ternyata tak banyak yang diberikan untuk rakyat, hanya rakyatlah yang banyak memberi untuk anggota DPR (D) itu. Paling tidak, rakyat telah memberi, bukan meminta. ***

Kongres Mencari Ketiak Ular

OLEH Nasrul Azwar

Tanggal 28-30 November 2006, budayawan, intelektual, cendekiawan, dan aktivis budaya Minangkabau—dan jika Tuhan memberi mereka umur panjang—berkumpul selama 3 hari di sebuah hotel di Kota Padang untuk membincangkan kebudayaan dan adat Minangkabau. Nama acaranya: “Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau”. Alasan diadakan kongres ini, mengutip Darman Moenir, karena belum adanya tolok ukur yang kuat dan proporsional untuk dijadikan modal dan model ideal—kebudayaan Minangkabau.

Aduh, lewat alasan yang terkesan ilmiah—tapi juga mengada-ada ini—agaknya ada sebuah motif yang disurukkan. Namun, sebelum menelisik apa motif itu, yang pertama terlihat, dari lasan itu, ialah cara berpikir yang terkilir. Kebudayaan (Minangkabau) kembali hendak dikonstruksi oleh segelintir orang yang sering merasa dirinya paling terdidik dan cerdas dibandingkan mayoritas kita yang kaum badarai ini. Elitisme ini, dengan sendirinya, menjadikan kebudayaan (Minangkabau) yang hendak dikonstruksi itu elite—atau bisa digolongkan bagian dari produk “feodalisme baru”. Tanpa harus bertele-tela, jelas konstruksi kebudayaan yang akan dihasilkan itu jadi bertabrakan dengan konseptual keminangkabauan yang demokratis dan egaliter.

Satu lagi, alasan tentang tiadanya “tolok ukur” terkesan alasan yang dicari-cari. Namun, terlepas dari itu, ketika “kaum priyayi” baru itu mulai memikirkan tentang sebuah “tolok ukur”, maka seiring itu mereka sesungguhnya sedang menggagas satu model uniformitas, sebentuk penyeragaman dan sejenis pengebirian. Kebudayaan sudah harusnya dibiarkan hidup dalam keberagaman “tolok ukur”, terkecuali kalau kita masih hidup dalam era istana sentris, era di mana segala hal memusat di satu tangan.

Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau ini, dilihat dari jadwal yang telah disusun, tidak menawarkan sesuatu gagasan yang baru yang dapat ditawarkan dalam kebudayaan Minangkabau. Meski terkesan bombastis dan penuh slogan, tema-tema yang diangkat dalam panel kongres masih terkesan normatif. Saya berangggapan, kongres ini, seperti kongres-kongres yang lain, tidak lebih dari pada sebuah upaya legitimasi bagi kepentingan-kepentingan yang tersuruk. Tanpa mengurangi rasa hormat pada penyaji makalah, tema-tema yang akan dibentangkan dalam kertas kerja ini memang berusaha untuk mencari arah perkembangan, semacam obsesi yang tak kunjung datang.

Tulisan Darman Moenir yang dimuat Harian Singgalang (Minggu, 12 November 2006)—mempertegas kesan bahwa pemegang teguh kebudayaan Minangkabau adalah perantau, sebaliknya masyarakat yang berada di Sumatra Barat, cenderung dinilai tidak lagi berada dalam konstruksi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Maka, kongres diharapkan memberikan solusi yang ideal menyangkut soal ini. Pola dan cara memberi stigma—dengan sangat kentara melemahkan posisi dan peran anak nagari di Minangkabau—membesarkan dan menghebatkan urang rantau sebagai pemegang teguh budaya dan adat Minangkabau. Simpul budaya dan adat Minangkabau membesar karena kuatnya posisi nagari-nagari di Minangkabau, bukan posisi keberadaan perantau Minang. Pengecilan makna dan posisi nagari seperti itu jelas sebuah cara berpikir yang sangat keliru.

Namun apa yang sebenarnya akan dicari? Atau inilah kongres mencari ketiak ular itu. Mencari yang tak jelas keberadaannya, atau memang tak pernah ada. Apa yang tidak ada itu, mungkin saja konsepsi, orientasi, diskontinuitas, dan praktik budaya Minangkabau. Inilah kondisi zaman kini, kongres yang diperuntukkan mempertemukan para fungsionaris ninik mamak, alim ulama, dan pengamat budaya/agama), yang difasilitasi dengan baik oleh pemerintah dengan segala fasilitasnya. Mungkin agak berbeda dengan “kongres” yang diadakan oleh para peneruka adat dan budaya Minangkabau dulu. Sekadar untuk membandingkan, semoga saja para peserta kongres ini teringat pada ‘kongres-kongres’ yang pernah dilakukan dulu. Tidak hanya sekadar ikut merayakan fasilitas dan kucuran dana dari pemerintah.***

Ribut Prakongres Kebudayaan Minangkabau

OLEH Nasrul Azwar

Pada tanggal 18 Juli 2005, Penjabat Gubernur Sumatra Barat, M Thamrin, mengeluarkan surat keputusan (SK) tentang pembentukan tim persiapan dialog/kongres kebudayaan Minangkabau 2005 bernomor surat 430-246-2005. Surat itu memutuskan sejumlah 36 orang sebagai tim untuk persiapan kongres kebudayaan Minangkabau itu. Tercantum Dr. Nusyirwan Effendi, MA sebagai ketua pelaksana yang juga menjabat Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang (BKSNT) dan Darman Moenir sebagai sekretaris dari sastrawan Museum Negeri Padang (sesuai yang tertulis dalam SK itu). Posisi ketua dan sekretaris—sebagai mana umumnya organisasi atau panitia yang dibentuk—merupakan posisi yang strategis dan decision maker. Artinya, kedua orang ini adalah orang “dapur” dan “tuan rumah” yang akan menentukan menu apa yang mesti disajikan untuk para “tamu” dan sekaligus siapa saja yang mesti diundang untuk menyantap sajiannya.

SK penjabat gubernur Sumatra Barat telah diterbitkan. Dalam SK itu memuat 2 poin pertimbangan, 8 poin mengingat yang mengacu pada Undang-undang, peraturan-peraturan, dan keputusan Gubernur Sumatra Barat, serta 5 poin sebagai ketetapan. Masyarakat tidak pernah mengetahui bagaimana proses dan mekanisme terbitnya SK itu. Apakah SK itu diterbitkan berdasarkan pertemuan, diskusi, atau seminar sekalipun yang difasilitasi institusi terkait Pemerintah Provinsi Sumatra Barat dengan melibatkan semua insitusi yang terkait serta budayawan dan seniman yang ada di daerah ini, sebagian besar tidak pernah mengetahuinya. Padahal, dalam SK itu dicantumkan dalam poin keempat menyangkut ketetapan bahwa segala pembiayaan yang ditimbulkan sebagai akibat SK itu dibebankan kepada APBD Provinsi Sumatra Barat tahun anggaran 2005. Pertanyaan tentang berapa alokasi dana yang dikucurkan untuk kongres, itu yang belum kita ketahui? Dalam SK tersebut, kongres ini merupakan proyek dari Kegiatan Pengembangan dan Sosialisasi Nilai Tradisional Bahasa dan Kesusastraan Daerah. Artinya, ini merupakan proyek dari Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi Sumatra Barat. Maka, 50% dari nama-nama yang tercantum dalam SK itu adalah pegawai instansi tersebut dan ditambah 3 orang yang berada dalam instansi UPTD Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, seperti Taman Budaya dan Museum.

Lalu apa sih yang ingin dicapai dari Kongres Kebudayaan Minangkabau 2005 itu? Apakah kita masih ingat ketika Kongres Kebudayaan V yang digelar pada 19-23 Oktober 2003 di Bukittinggi menuai kritik keras karena dinilai telah melecehkan budayawan dan seniman yang ada di Sumatra Barat dengan alasan tidak dilibatkan, baik dalam proses dan mekanismenya maupun sebagai pembicara. Saat itu seniman dan budayawan—terutama Darman Moenir sendiri—meregang mariah sekuat-kuatnya melontarkan kritikan, termasuk di depan Fachri Ahmad, Wakil Gubernur Sumatra Barat saat itu, yang bersangkutan menyoal nama yang salah ketik dalam undangan pertemuan juga mengenai . Tak sampai di situ, lontaran itu juga dimuat di suratkabar dan juga dunia maya. Lantas, apakah hal serupa bakal terjadi lagi di Kongres Kebudayaan Minangkabau 2005, yang menurut Darman Moenir, Sekretaris Tim, belum ditetapkan jadwalnya? (Saya belum dapat informasi apakah rapat tim pada tanggal 3 Agustus 2005 termasuk mengagendakan jadwal ini).

Manyuruak di Lalang Salai

Jika kita mau merunut ke belakang, sebenarnya banyak hal yang sangat aneh, ganjil, dan malah lucu-lucu menyangkut komentar-komentar yang muncul saat hiruk pikuk penyelenggaraan Kongres Kebudayaan V itu, termasuk—tentu saja—komentar-komentar orang-orang yang merasa berkepentingan di dalamnya tetapi tidak disertakan. Saat itu mencuat stigma budayawan “plat merah”.

Kini, Kongres kebudayaan Minangkabau 2005 namanya, akan dilaksanakan di Sumatra Barat. Dari proses pembentukan dan terbitnya SK Penjabat Gubernur Sumatra Barat itu, bagi saya, tidak jauh beda dengan pola dan mekanistik serta cara kerja Kongres kebudayaan V. Kongres Kebudayaan V yang dituding, dikecam, dan dikritik oleh para budayawan, seniman, dan sastrawan daerah ini saat itu serta merta menyentakkan naluri purba manusia saat persoalan serupa juga tengah berlangsung dalam proses pembentukan tim Kongres Kebudayaan Minangkabau 2005. Nama-nama yang tertera dalam SK adalah sebagian dari orang-orang yang saat Kongres Kebudayaan V digelar, berteriak lantang, keras, dan mengeluarkan pelbagai kecaman yang dihadapkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatra Barat dan juga panitia.

Terbitnya SK itu sudah dapat dipastikan berawal dari masukan atau usulan dari segelintir—malah mungkin satu atau dua orang saja yang mengatasnamakan budayawan, seniman, akedemisi, atau institusi terkait—ke Penjabat Gubernur Sumatra Barat. Usulan inilah—dugaan saya—yang dijadikan acuan bagi Penjabat Gubernur Sumatra Barat untuk mengeluarkan SK itu. Di sinilah duduk perkaranya!

Alangkah sangat naifnya jika proses pembentukan tim itu tidak pernah disosialisasikan secara transparan, terbuka, dan terarah, dan cuma barangkali diketahui tak lebih 5 orang saja. Yang pasti, beberapa lembaga terkait atau individu yang selama ini bertungkus lumus dengan persoalan kebudayaan Minangkabau—sepanjang informasi yang saya dapat—tidak mengetahui akan digelarnya Kongres Kebudayaan Minangkabau 2005 ini. Melihat gejala-gejala seperti ini, pertanyaannya adalah tentu saja dapat dikatakan bahwa proses pembentukan tim itu telah salah jalan, tidak beres, dan pantas digugat kembali.

Karena salah jalan dan tidak beres itu pula—saya memperoleh informasi—dua orang yang namanya tercantum telah menyatakan tidak bersedia ikut dalam tim yang di-SK-an itu. Ketidakbersediaan dua orang ini merupakan indikator memperkuat dugaan saya bahwa memang pembentukan tim ini tidak selaras proses yang sebenarnya. Tepatnya, memang tidak beres.

Memang pada akhirnya, semua hal yang menyangkut publik tidak bisa dilakukan dengan menyuruak di lalang salai, karena lalang salai tak mampu menyembunyikan tubuh manusia yang besar. Kini, semua akan terlihat jelas siapa yang sesungguhnya bersembunyi di balik lalang (baca: SK) itu. Entahlah, atau mungkin juga dia akan berpindah manyuruak ka batang beringin yang rimbun.***

Thursday, February 15, 2007

Kamuflase Legislatif

OLEH Nasrul Azwar

Penetapan anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daerah, yang dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional/Daerah (APBN/D) dan besarnya diambil dari pendapatan asli suatu daerah, kini memang telah menjadi realitas publik. Hampir semua lembaga legislatif di negara ini tak pernah lepas dari kontorversi penetapan anggaran legislatif itu sendiri.

Gejala-gelaja demikian bukan lagi sebatas “keinginan” yang tersembunyi bagi anggota dewan, akan tetapi gejala itu telah menjelma menjadi tujuan dan target bagi anggota dewan itu sendiri. Indikator demikian, bukan semata sebagai letupan kegembiraan dengan berubahnya posisi legislatif sebagai mitra pemerintah serta euforia penerapan UU No 22/1999, tetapi dapat diinilai sebagai indikator yang sangat-sangat negatif.

Jika diamati lebih jauh, maka indikator yang menguatkan kesan sangat-sangat negatif itu adalah; menyangkut sikap lembaga legislatif — termasuk di Sumatra Barat — sangat bertolak belakang dengan hakiki dan prinsip makna dari otonomi daerah itu sendiri. Buktinya, indikasi penafsiaran otonomi daerah mengarah pada ancaman keutuhan negara kesatuan Indonesia (simak Maklumat DPRD Sumatra Barat tentang Spin-off Semen Padang); juga tentu saja gejala dan sikap anggota legislatif menutupi kemungkinan pemberantasan korupsi kolusi, dan nepotisme. Bagaimana akan memberantas KKN, sementara anggota DPRD Sumatra Barat saja, kini sedang dalam penyelidikan Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat, karena dugaan korupsi dalam penetapan anggaran mereka, misalnya?

Sikap dan indikasi negatif itu sebenarnya bukan saja berjangkit di dalam jajaran legislatif saja, juga telah merambah ke para politisi lokal, pemda dan juga kalangan aktivis partai. Sikap demikian, jelas sangat bertentangan sekali dengan sikap positivisme. Jika positivisme dimaknai sebagai suatu pandangan dan sikap manusia yang bertumpu dan berdasarkan pada aliran yang hanya mengakui kebenaran hukum yang kontekstual, maka sikap negativisme merupakan kebalikannya. Negativisme mengakui keberadaan hukum secara kontekstual, namun penafsiran dan penerapannya berdasarkan dan mengacu pada latar belakang kepentingan sendiri atau kelompoknya, dan tidak diletakkan dalam konteks keterkaitan dengan hukum lain yang lebih tinggi atau relevan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Sikap demikian ini lebih cenderung bertentangan dengan isi, jiwa dan semangat dari suatu hukum yang berlaku (Bambang Yudoyono, 2001).

Perilaku dan sikap itu kini menjadi tren bagi kalangan legislatif dan juga eksekutif. Lihat saja, tak ada yang tidak kontroversial setiap tahun dalam penyusunan anggaran. Jika diasumsikan, indikasi dan gejala latar belakang terjadinya sikap-sikap demikian, tampaknya disebabkan era otonomi dan reformasi ditafsirkan dan dimaknai secara berlebihan dan otonomi daerah dimaknai sebagai legitimasi penguatan kekuasaan di daerah. Artinya, penguasa daerah adalah “raja kecil”. Sehingga, berakibatnya penafsiran terhadap peraturan yang berlaku menjadi seenak perutnya saja. Ini terjadi pada penafsiran PP 110/2000.

Mitra sejajar legislatif dan eksekutif juga diartikan sama dengan kalamak paruik anggota legislatif. Rembesannya, belanja legislatif juga disejajarkan jumlahnya dengan eksekutif. Maka, penyusunan anggaran belanja anggota legislatif setiap tahunnya seiring jumlahnya dengan anggaran eksekutif. Dan tampaknya, permintaan anggaran legislatif selalu dikabulkan eksekutif, dan jarang terdengar seorang Kepala Daerah di Indonesia ini – termasuk Gubernur Sumatra Barat dan juga Wali Kota serta Bupati di daerah-daerah Sumatra Barat -- yang mempertanyakan anggaran legislatif, dan ini juga terjadi di tingkat pusat, tak pernah Presiden mempersoalakan belanja DPR.

Enggannya Presiden/Kepala Daerah mengurusi dan mempersoalkan mata anggaran legislatif tentu dapat saja dimaklumi. Sebab, jika permintaan itu tidak dikabulkan/atau katakanlah terjadi penyusutan, maka jangan harap laporan pertanggungjawaban seorang Presiden/Kepala Daerah diterima oleh legislatif dengan mulus. Dan inilah yang menjadi senjata bagi legislatif (DPR) D, untuk memeras eksekutif.

Selain itu, sikap arogansi anggota legislatif juga mencuat kepermukaan. Perkembangan dan informasi yang mutakhir terlihat bagaimana arogansinya DPR (D) itu, ialah sikap yang tidak memperlihatkan sebagai wakil rakyat, ketika salah seorang Wakil Ketua DPRD Sumatra Barat memperlakukan secara tidak wajar salah seorang wartawan harian Singgalang. Wartawan bersangkutan dihardik karena memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sumatra Barat.

Selain itu arogansi anggota legislatif juga terjadi dengan meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara dengan eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah, kapling tanah, asuransi, dan fasilitas naik haji, serta lain sebagainya, yang jelas sekali tidak memperhitungkan kepatutan, norma, dan kemampuan anggaran.

Gambaran nyata demikian, merupakan sifat kamuflase bagi anggota legislatif. Stigma sebagai wakil rakyat hanya sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Sementara, sudah hampir 3 tahun perjalanan anggota DPR (D), tak dapat dipungkiri, ternyata tak banyak yang diberikan untuk rakyat, hanya rakyatlah yang banyak memberi untuk anggota DPR (D) itu. Paling tidak, rakyat telah memberi, bukan meminta. ***

Tukang Sampah dan Pedagang Kecil

OLEH Nasrul Azwar

Tukang sapu, kuli PU
besar jasamu, oh kawan
Dengan sapu
dengan sampah dan debu

Untuk sesuap makan
hari panas, hari hujan
memang tantangan,
siapa bilang bukan
namun tugas tetap jalan,
absen gaji melayang
maklum kuli harian
pernah kah tuan pikirkan jasa mereka?
pernah kah tuan renungkan harga keringanya?

Tukang sapu bawa sapu
masuk ke kantor bersihkan yang kotor
cukung kotor mandor kotor semua yang kotor
awas kena sensor

Tukang sapu bawa sapu
Juga disapu
Kok bisa begitu
Istri iri lihat tetangga punya barang baru
Aku pun begitu

Inilah manusia
Dengan segala macam warna hidupnya
Untuk mencapai bahagia
Semua jalan ditempuhnya


Syair lagu di atas berjudul “Sapuku, Sapumu, Sapu-Sapu” dalam album “Opini” yang sangat poluper era 90-an yang diciptakan dan dinyayikan Iwan Fals. Walau lagu itu sudah hampir dua dasawarsa usianya, namun maknanya masih sangat aktual sampai sekarang. Lagu itu bercerita tentang nasib dan derita penyapu jalan. Penyapu jalan yang sering disebut media pers dengan “pasukan kuning” yang hadir menunaikan tanggung jawabnya setiap hari di pelbagai kota di Sumatra Barat.. Entah apa maksudnya, hampir setiap kota di Sumatra Barat, penyapu jalan ini berseragam kuning tua (tak jelas apa kaitannya dengan warna salah satu partai politik di negeri ini).

Kini, tahun 2005 ini, di Sumatra Barat, ada tiga kota yang mendapat Piala Adipura, semacam penghargaan dari Presiden Republik Indonesia untuk kategori kota bersih, yaitu Kota Padang, Solok, dan Padangpanjang. Sepanjang sejarah Piala Adipura ini—salah satu warisan Orde Baru yang kini masih dilestarikan—sudah tujuh kota di Sumatra Barat yang pernah meraih Adipura itu. Selain yang tiga di atas adalah Kota Bukittinggi, Payakumbuh, Pariaman, dan Batusangkar. Setiap kota yang maraih piala itu selalu diiringi dengan pengarakan Piala Adipura keliling kota. Tak cukup sampai pengarakan saja, ia akan diikuti lagi dengan membangun tugu di setiap kota yang pernah meraihnya sebagai petanda bahwa kota bersangkutan pernah mendapat juara kota bersih antarkota se-Indonesia.

Untuk Kota Padang, menurut Fauzi Bahar, sosok nomor satu di kota ini alias wali kota, perolehan Piala Adipura merupakan tradisi semenjak Wali Kota Padang Syahrul Ujud hingga dirinya. Untung saja tidak setiap orang yang menjadi wali kota di Kota Padang mendirikan tugu Piala Adipura. Jika itu terjadi, maka Kota Padang akan penuh dengan tugu-tugu Piala Adipura.

Tugu dan Piala Adipura tak lebih “pencintraan” kekuasan terhadap opini publik. Bersihnya sebuah kota diartikulasikan dan digariskan oleh negara, pemerintah yang berkuasa. Pemaknaan kota bersih berada di tangan negara. Sebaliknya, publik kota dipaksa menerima “artikulasi” yang diteriakkan negara dengan merepresentasikan simbol dan lambang yang dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah kota mengondisikan warga kotanya. Pada batas demikian, sesungguhnya publik kota berada pada posisi yang secara sistematis telah “dimatikan” negara dan penguasa artikulatornya, suaranya, dan ruang ekspesinya. Daya kritis publik/warga terhadap kota yang dihuninya telah direbut negara, pemerintah, dan kekuasaan.

Dengan demikian, pemaknaan Piala Adipura hanya berlaku bagi penguasa, pemerintah kota, wali kota, dan jajaran DPRD Kotanya. Sebaliknya, bagi publik/warga kota—misalnya Kota Padang—lebih detil lagi pedagang kaki lima, pedagang kecil di trotoar jalan-jalan, pedagang ketengan, supir angkutan kota, dan warga kota yang mencari makan untuk bisa bertahan hidup di kota ini, Piala Adipura merupakan malapetaka bagi mereka. Sebab, setiap ada penilaian menyangkut kebersihan kota, mereka akan digusur, diusir, dan malah dipukuli oleh Sat Pol PP.

Sisi lain, tentu menjadi sesuatu hal yang sangat ironis dan memilukan bagi para penyapu jalan di Kota Padang yang bekerja tanpa mengenal waktu dengan imbalan yang diterima dari Pemerintah Kota Padang jauh di bawah upah yang ditetapkan. Sungguh sangat menyakitkan pagi “pasukan kuning” ini tentunya, saat gegap gempita Piala Adipiru diarak keliling kota, mereka menerima kenyataan hidup dengan dibayar Rp 420.000 sebulan dari Pemerintah Kota Padang. Dari itu pula, syair lagu Iwan Fals di atas menemukan pembenaran dan sangat relevan dengan kondisi yang terjadi di Kota Padang saat ini.

Ada yang mengatakan, mempertahankan sesuatu yang diraih lebih sukar daripada meraihnya. Maka, mempertahankan Piala Adipura bagi Kota Padang akan memuat konsekuensi yang ujung-ujungnya merupakan derita panjang bagi masyarakat kecil di kota ini. Pemerintah Kota Padang dengan perangkat Satpol PP-nya akan “menggila” lagi menggusur dan malah menghacurkan lapak-lapak dagang mereka. Dari pemberitaan pers dikatakan, Kota Padang akan ikut dalam lomba kota bersih se- ASEAN tahun 2005 ini. Keikutsertaan ini bagi Pemko Padang adalah gengsi, wibawa, dan nilai tertentu karena bertaraf internasional. Akibatnya ada “pemaksaan kehendak” di dalamnya.

Untuk mencapai kehendak itu, tentu saja perangkat kota, seperti Satpol PP Kota Padang, Pertamanan dan lain sebagainya akan bertingkah lebih ganas lagi memberangus pedagang kecil itu. Ujung tombaknya adalah petugas Satpol PP—yang pada batas-batas tertentu Satpol PP ini lebih militer dan militer sesungguhnya—melakukan pelbagai razia, mengusiran, penutupan, dan malah penghancuran diikuti dengan penangkapan bagi pedagang kecil dan lain sebagainya yang dinilai mereka mengganggu ketertiban dan keindahan kota.

Dari itu pula, perolehan Piala Adipura bagi Kota Padang sesungguhnya momok bagi masyarakat kecil, bukan kebanggaan. Yang bangga itu tentu saja yang gila dengan kebanggaan. Siapa? ***


Ironi Kemerdekaan dan Bung Hatta

OLEH Nasrul Azwar

Barangkali, jika saja Bung Hatta hidup pada saat kini, dan menyaksikan kondisi rakyat di negeri ini, pasti saja Hatta menagis. Paling tidak sesaat Hatta akan menggeleng-gelengkan kepalanya, dan airmatanya berderai-derai bercucuran. Tentu saja, karena kondisi sebagian besar rakyat Indonesia kini masih didera kemiskinan dan kesengsaraan. Sepertinya, apa yang diperjuangkan selama hayatnya, berhenti sia-sia. Dan sementara itu anggota legislatif (DPR) D hanya berteriak terus agar gajinya ditingkatkan. Hal demikian diilustrasikan jika Bung Hatta lahir di tahun 40-an misalnya. Ternyata Hatta lahir bukan di tahun itu. Ia lahir seabad yang lalu. Kita masih bisa bersyukur, Hatta tidak menyaksikan hal itu.

Setahun terakhir, tokoh-tokoh dari pelbagai kalangan – semenjak dari Pusat hingga daerah -- merancang Peringatan 100 tahun Bung Hatta. Puncak dari serangkaian kegiatan, yang cenderung jauh dari nilai-nilai kerakyatan itu, berlangsung klimaks pada tanggal 12 Agustus 2002 lalu.

Konon, untuk daerah Sumatra Barat, juga dibentuk panitia untuk Peringatan 100 Tahun Bung Hatta ini, yang sudah tentu di-SK-an Gubernur Sumatra Barat. Dan sudah pasti pula, anggaran dana untuk kesuksesan dan kelancaran program Peringatan 100 tahun Bung Hatta dikucurkan dari pundi-pundi APBD Sumatra Barat. Kabarnya – dari informasi yang beredar – hampir mencapai Rp 350 juta.

Tentu dana sebesar itu, bagi seorang Hatta cukup banyak. Dan menjadi sangat ironis sekali jika dana sebesar itu, jika dikaitkan dengan motto Peringatan 100 Tahun Bung Hatta: hemat, santun, dan jujur. Kita dapat mengatakan bahwa Bung Hatta tidak akan setuju uang rakyat dihambur-hamburkan hanya semata memperingati 100 Tahun Bung Hatta dengan pola seremonial dan upacara-upacaraan para pejabat, dan bisa juga sebaliknya Hatta hanya diam-diam saja melihat hal demikian.

Inilah ironi sebuah bangsa saat kehilangan sosok kepemimpinan yang dipercayanya. Ada kerinduan di dalamnya, dan juga kamuflase. Paling tidak, inilah gambar yang terpotret dari prosesi Peringatan 100 Tahun Bung Hatta yang berlangsung di negeri ini. Dan ada ironi, yang kadang sangat menyakitkan, ketika masyarakat Batuhampa dan juga Auatajungkang tidak tahu bahwa Bung Hatta akan diperingati secara besar-besaran.

Jika soal ketidakterlibatan dan tak kesertaan masyarakat dalam Peringatan 100 Tahun Bung Hatta ditelusuri lebih dalam, ada cerita yang cukup tragis dari Batuhampa. Ceritanya begini. Dalam falsafah Minangkabu, ada yang disebut milik dan punya. Bung Hatta memang milik bangsa Indonesia, tetapi Bung Hatta itu punya masyakat Batuhampa. Akan tetapi, ketika akan dilaksanakan Peringatan 100 tahun Bung Hatta sebagai “program” nasional, tak satupun dari pihak keluarga Bung Hatta di Batuhampa yang dibawa serta, atau paling tidak diajak berunding. Inilah ironi yang tentu saja menyakitkan bagi pihak keluarga dan keturunan Bung Hatta di Batuhampa dan juga di Auatajungkang.

Kini Peringatan 100 tahun Bung Hatta telah berlalu. Hattta sendiri barangkali tidak tahu ia diperingati dan dirayakan besar-besaran? Dan ia sendiri mungkin gembira, karena orang-orang yang ditinggalkannya masih mengenangnya, atau bisa juga Hatta akan bertanya: untuk apa ia diperingati jika rakyat yang ia perjuangkan selama hayatnya tidak pernah merasakannya? Dan juga Hatta akan berpikir seribu kali untuk melakukan kerja menghamburkan uang dan terlihat ria itu?

Kini kita akan saksikan lagi, drama terakhir Peringatan 100 Tahun Bung Hatta dengan penurunan spanduk dan poster-poster. Sebelumnya, terutama Kota Padang, setiap pojok dan sudut kota spanduk-spanduk bergantung dengan tema yang seragam dan kalimat yang seragam: santun, jujur dan hemat. Tentu, kini spanduk-spanduk itu sudah kadaluarsa. Kalimat-kalimat yang tertera di spanduk itupun tidak ada lagi artinya. Peringatan itu telah berlalu. Dan orang-orang yang lalu-lalang di bawah spanduk-spanduk itu tak akan ingat lagi, apa arti dari kalimat-kalimat yang ditulis di spanduk itu. Demikian juga dengan pejabat-pejabat yang di daerah dan juga pusat, tentu akan mencari siapa lagi tokoh yang pantas diperingati untuk kelahirannya 100 tahun.

Sepintas memang ada krisis figur dan sosok dalam perjalanan bangsa ini, sehingga ada semacam kelatahan dan “kerinduan” untuk mengingat dan merayakan figur yang telah tiada. Namun, kelatahan itu cenderung menghilangkan makna dari sisi perjuangan serta komitmen pada rakyat. Dan kelatahan ini merayap di benak para pejabat dan politisi negeri ini. Maka, kita tak perlu heran jika sepanjang tahun akan ada peringatan-peringatan 100 tahunan, dan dirayakan besar-besaran.

Peringatan 100 tahun Bung Hatta yang baru usai dirayakan pejabat-pejabat, bukan rakyat, tentu hanya menjadi sebuah proyek yang berarti bagi panitia saja dan pejabat, sekali lagi bukan bagi rakyat. Pola penyelenggaraan yang cenderung dari kemauan yang di atas, memang tidak ada artinya bagi masyarakat bawah. Penyelenggara Peringatan 100 Tahun Bung Hatta telah melakukan kesalahan besar, karena tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan tidak mengajak rakyat secara transparan. Dan pola ini seperti mencerabutkan pikiran kerakyatan Bung Hatta secara sistematis, dan tentu menjauhkan Bung Hatta dari rakyat Indonesia. Ini perlu dikritisi dan perlu dihentikan pola yang sistematis demikian. ***