KODE-4

Wednesday, July 25, 2007

Catatan Pementasan "Tangga" Hitam-Putih Indonesia


Menggugat Demokrasi Minangkabau
Oleh Sahrul N

“dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras dua lelaki yang berbeda pikiran, orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang bagai lukisan perdamaian”
Dialog demokrasi tak bernama inilah yang diusung dalam pementasan teater yang berjudul “Tangga” sutradara Yusril dari Komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang Sumatra Barat. Pementasan yang berdurasi sekitar satu jam ini ditampilkan di STSI Padangpanjang tanggal 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 2007. Karya seni teater ini terinspirasi dari dua karya sebelumnya yaitu puisi “Tangga” karya Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T.


Berjenjang naik, bertangga turun, merupakan sistem pemerintahan di Minangkabau yang dicanangkan oleh Datuk Katumanggungan atau yang lebih dikenal dengan kelarasan Koto Piliang. Sistem ini memakai pola top down atau segala sesuatunya ditentukan oleh pemimpin kekuasaan. Seperti dialgog “hitam kataku hitam, putih kataku putih”. Suau keputusan yang tidak lagi bisa diganggu gugat.

Berbeda halnya dengan kata-kata Duduk sehamparan, tegak sepematang, yang merupakan kata-kata dalam sistem pemerintahan di Minangkabau yang dicanangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang atau yang lebih dikenal dengan kelarasan Bodi Caniago. Sistem ini memakai pola segala sesuatunya ditentukan oleh musyawarah dan mufakat.

Kedua sistem ini tumbuh dan berjalan dalam waktu yang sama dari dulu sampai sekarang. Masyarakat Minangkabau tidak mempersoalkan perbedaan diantara keduanya, tetapi mengkolaborasikan keduanya atau berjalan beriringan dan saling membantu. Dua sistem yang bertolak belakang namun saling membantu menimbulkan pertanyaan, demokrasi apakah yang yakini oleh masyarakat Minangkabau?

Kolaborasi sistem pemerintahan ini diwujudkan dalam bentuk teater kontemporer dengan konsep akting distorsi dimana tubuh tidak lagi menjadi tubuh yang sebenarnya. Tubuh aktor adalah tubuh tanpa jenis kelamin, dia bisa menjadi tubuh sosial, tubuh budaya, tubuh akrobatik, tubuh tak terhingga dan tubuh ikonitas. Tubuh ini menciptakan ruang makna yang beragam dalam diri masing-masing aktor. Keinginan untuk setiap bagian tubuh bicara banyak makna merupakan hal yang sangat menentukan. Namun sayang, dialog puitis yang menjadi arah peristiwa kadang-kadang diucapkan oleh aktor tanpa tendensi makna, sehingga kata tersebut berlalu begitu saja.

Lewat bantuan properti tangga yang jumlahnya sebanyak jumlah aktor (delapan), pencarian ekspresi tidak dalam bentuk datar namun meruang ke segala arah. Lantai pentas bisa ada dimana-mana, tidak hanya horizontal namun juga vertikal. Properti dari kayu ini menciptakan ruang makna yang tak terhingga dan diekplorasi sedemikian rupa menjadi ikon-ikon yang menupang ikon-ikon tubuh aktor. Tangga bisa menjadi pentas itu sendiri, bisa juga menjadi penjara, menara, pembatas, jembatan, beban, keranda, dan sebagainya. Akan tetapi pencarian eksplorasi properti ini pada bagian-bagian tertentu bisa menjadi verbal dan tanpa ikonitas.

Begitu juga dengan peristiwa yang diambil dari mitos Minangkabau ini hanya sebagai alat untuk mengungkap sesuatu yang lebih universal. Peristiwa demokrasi tanpa judul ini diaktualisakan dengan demokrasi secara menyeluruh yang ada di bumi ini. Peristiwa perang dengan segala akibatnya dan penjajahan peradaban oleh negara maju terhadap negara berkembang dan terbelakang, menjadi sorotan kemanusiaan karya ini. Bisa dilihat dalam dialog “di timur matahari akan terbit” bisa menjadi indikasi bahwa ada perlawanan keras terhadap hegemoni barat.

Ikon-ikon Minangkabau menjadi referensi penting dalam pertunjukan ini. Gerakan silat, bahasa, carano (tempat sirih) dan lain-lain dalam seluruh peristiwa adalah ikatan tematik yang coba dipertahankan oleh sutradara dalam rangka memadukan struktur. Boleh saja bicara lokal, namun makna yang ingin disampaikan tidak lagi lokal. Hal ini merupakan upaya untuk pencarian makna yang melampaui realitas.

Pembesaran makna dari peristiwa mitologi Minangkabau ini, kadangkala membuyarkan identitas persoalan yang sebenarnya. Klip-klip peristiwa memang diusahakan semaksimal mungkin memiliki hubungan struktur yang padu, akan tetapi sering pula terputus. Atau memang ini yang diinginkan Yusril? Sesuatu yang seluruhnya distorsi? ***
Sahrul N., S.S., M.Si., adalah dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang.

No comments:

Post a Comment