KODE-4

Wednesday, July 25, 2007

Meramu Mimpi Teater Indonesia Atawa Selamat Pagi

Oleh Sahrul N
Kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya kebudayaan asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakukan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia
(Haviland, 1988:251).

Teater sebagai bagian dari kebudayaan pada masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan yang mempengaruhinya. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam teater tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks kebudayaan yang ada. Perubahan bentuk teater dapat berjalan secara lamban, agak lama, dan cepat.
Seni di Indonesia menurut Claire Holt[1] merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis mengalangi perkembangan seni yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan kehidupan yang berbeda. Sebagian nampak kuna tetapi masih tetap vital; pada bagian yang lain tampil tua dan sudah nampak akan punah atau mengalami transformasi-transformasi yang radikal; sedangkan bagian yang lain lagi lahir baru serta tumbuh dengan hebat dan pesat.
Manusia telah membaca dan mengetahui bahwa perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet telah selesai. Patung Lenin telah tumbang, tembok Berlin telah runtuh, dan sebuah ideologi besar telah hancur. Saddam Husein telah keluar dari istananya dan patung kebesarannya telah ditumbangkan di Irak. Manusia membaca dan mengetahui bahwa di Jerman pernah lahir Hitler, Napoleon pernah ada di Perancis, Musssolini jadi tiran di Italia, dan persoalan-persoalan dunia lainnya. Manusia membaca dan mengetahuinya perubahan tersebut lewat buku-buku sejarah dan media massa. Sejarah dan media massa menjadi wahana dari peristiwa-peristiwa.
Sejarah juga mencatat ketika teater modern muncul dengan fenomena yang berbeda dengan teater etnik (tradisional), maka perubahan kebudayaan juga melanda dunia teater. Pola pertunjukan yang dipengaruhi Barat telah terjadi. Tapi teater baru ini, seperti halnya bangsa ini sendiri, harus melewati berbagai fase dan menyonsong berbagai masalah sebelum tiba ke suatu idiom atau gaya mereka sendiri. Ia lahir bukan dari ketiadaan. Sudah ada beragam teater etnik dan satu teater multik-etnik. Teater etnik memakai bahasa, gambaran-gambaran dan simbol-simbol etnik yang kebanyakan hanya sangat bermakna bagi anggota-anggota kelompok etnik. Ide-ide dan aspirasi-aspirasi nasionalis juga diekspresikan lewat kesusastraan dan teater etnik, tetapi ketika bahasa dan berbagai simbol hanya dapat dipahami para anggota kelompok etnik, kesenian itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai kesenian nasional atau Indonesia.
Bentuk baru teater dalam impian seniman teater Indonesia menuju satu identitas baru. Perubahan identitas ini tidak dalam pengertian membunuh identitas yang telah ada, akan tetapi justru menambah identitas. Teater tradisi tetap jalan dengan identitasnya sendiri dan begitu juga dengan teater Barat yang dengan konsepnya sendiri menempuh jalurnya. Sebagai identitas baru --masih dalam kerangka mimpi seniman teater Indonesia --, teater bentuk baru ini juga menapak jalannya sendiri dalam memperkenalkan konsep-konsepnya.
“Selamat pagi teater baru Indonesia”, mungkin itu ucapan yang pantas untuk perkembangan teater Indonesia. Teater yang baru bangun dari tidur panjangnya mencoba mencari posisi untuk bisa duduk sejajar dan kalau perlu sedikit di atas konsep teater yang telah ada. Teater eksperimental, teater eksplorasi, dan banyak nama (identitas?) yang muncul di Indonesia sedang minum secangkir kopi di pagi hari. Belum sempat mandi dan berdandan, tapi dari wajahnya sudah ada tersirat keyakinan bahwa ia akan berbuat sesuatu. Sesuatu yang berbeda, sesuatu yang entah, sesuatu yang multikulturalisme.
Wacana multikulturalisme menurut Hartiningsih[2] masih relatif baru. Australia dan Kanada merupakan dua negara penting selama dua dekade terakhir ini secara sistematik dan komprehensif menerapkan pendekatan multikulturalisme melalui berbagai hal berkaitan dengan pendidikan, bahasa, ekonomi dan komponen-komponen sosial serta mekanisme institusional.
Bagus[3] menilai bahwa untuk istilah multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisannya, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Jadi arah yang dikemukakan Bagus merupakan keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.
Perubahan identitas teater menuju multikultural juga merubah konsep identitas kebudayaan. Hadirnya teater dengan bentuk baru (masih dengan harga perkenalan) membuka peluang untuk merevisi definisi kebudayaan yang selama ini ada. Perubahan dimensi waktu dan jarak bukan saja mempertinggi tingkat keseringan dalam perkunjungan tetapi lebih penting lagi mengecilkan rasa keasingan. Artinya perbedaan antara mana yang kita dan mana yang mereka makin mengabur. Dalam suasana seperti ini, ketika komunikasi telah berjalan lebih lancar bukanlah hal yang terlalu aneh kalau teater Indonesia muncul dengan wajah barunya.
Akan tetapi dalam proses menuju identitas baru atau menuju sesuatu yang tanpa identitas merupakan pekerjaan tak mudah. Banyak rintangan yang harus dilewati terutama yang berkaitan dengan penonton atau masyarakat yang menilai kesenian. Banyak peristiwa-peristiwa terjadi diakibatkan putusnya komunikasi dalam menanggapi dan menilai teater.[4] Sartre memberikan sebuah catatan tentang pementasan teater Uncle Tom’s Cabin di Amerika Serikat bagian Selatan, sekitar tahun 1860-an dan di depan penonton kulit putih (Junus, 1981:141). Dikatakannya, bahwa warga kulit putih mungkin saja terharu melihat pementasan, tetapi mereka belum tentu akan membebaskan budak Negro yang mereka miliki. Ini disebabkan oleh perbedaan pentas yang mereka tonton dengan dunia kehidupan nyata sehari-sehari. Dunia yang ditonton adalah sesuatu yang dapat dilupakan dalam kehidupan nyata. Hal ini merupakan kendala kreatif yang juga akan melanda konsep baru teater Indonesia.
Teater dengan konsep baru hanya akan terwujud jika pendukungnya dengan berani dapat melepaskan diri dari kefanatikan daerah dan juga kefanatikan Barat. Teater tradisi dan teater Barat hanyalah ciri fisikal yang bisa memperkaya suatu penampilan pentas, akan tetapi bukan tujuan dan bukan pula syarat. Sebab identitas akan tampil dari isi dan arti. Perwujudan konsep baru juga harus memikirkan sesuatu untuk masa depan. Pertanyaannya adalah “apakah mampu konsep baru ini bertahan lama?” Diyakini bahwa karya seni yang baik adalah karya yang mampu bertahan dan selalu aktual pada setiap zaman (Esten (ed.), 1989:90). Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa karya-karya yang besar mampu masuk dalam wilayah apa saja dan dalam dunia mana saja. Fakta-fakta yang tercermin dalam karya yang telah hadir beberapa tahun yang lalu bisa dihubungkan dan diaktualisasi dengan kondisi hari ini. Tidak hanya pada kebudayaan yang mendukung karya itu lahir namun juga pada kondisi budaya yang lain.
Teater dengan konsep baru atau identitas baru atau tanpa identitas memang sedang menghirup secangkir kopi pada pagi hari sambil menghisap sebatang rokok dan berpikir langkah yang akan disiapkan. Mimpi mereka pada waktu tidur ingin diwujudkan dalam karya-karya yang monumental. Akankah?***



  1. Dalam Buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Prof. Dr. R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. 2000.
  2. Maria Hartiningsih dalam tulisan "Asimilasionisme vs Multikulturalisme". Kompas, Rabu 14 Maret 2001. Jakarta.
  3. I Gusti Ngurah Bagus dalam tulisan "Reformasi, Multikulturalisme, dan Masalah Politik Bahasa di Indonesia". Makalah Seminar di Program Studi S2 dan S3 Kajian Linguistik Universitas Udayana Denpasar-Bali pada tanggal 25 Mei 2001.
  4. Banyak terjadi pencekalan terhadap pertunjukan teater di Indonesia seperti pertunjukan Ratna Sarumpaet, Wisran Hadi, Rendra dan lain-lain. Begitu juga dengan tanggapan masyarakat terhadap teater yang tidak akomodatif seperti yang dikatakan Hayakawa (dalam Mulyana dan Rakhmat (ed.), 1998: 100-101) menberi contoh bahwa seorang aktor yang memainkan peranan seorang penjahat dalam sebuah teater keliling, dalam suatu adegan yang menegangkan, pernah ditembak oleh seorang penonton yang buruk. Paul Muni, setelah memainkan Clerance Darrow dalam Inherit the Wind, diundang untuk memberikan pidato di hadapan Asosiasi Bar Amerika, Ralph Bellamy, setelah memainkan peranan Franklin D. Roosevelt dalam Sunrise at Campobello, diundang oleh beberapa universitas untuk berpidato tentang Roosevelt. Juga ada patriot-patriot yang tergesa-gesa ke kantor-kantor perekrutan untuk mempertahankan negara ketika pada tanggal 30 Oktober 1938, Amerika Serikat “diinvasi” oleh “orang-orang Mars” dalam sebuah drama radio.

No comments:

Post a Comment