Oleh Sahrul N
Wacana multikulturalisme telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari persoalan politik, sosial, rasa kebangsaan, kebudayaan, sampai pada persoalan kesenian yang salah satunya adalah teater. Multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisan, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Arahnya adalah keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.
Menyikapi persoalan multikultural, Jurusan Teater STSI Padangpanjang mengusung tema besar tersebut untuk kepentingan dunia kesenian yaitu teater Indonesia. Multikulturalisme kelihatannya tepat dalam usaha mencapai pertukaran dialektis antar budaya. Istilah ini tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa ia mengandung dua budaya yang berbeda yang saling bersentuhan di dalamnya, tetapi ia dapat memiliki lebih dua budaya yang berbeda yang berinteraksi, merangsang dan menjawab pertanyaan seseorang terhadap orang lain. Dengan wacana multikulturalisme, rencananya Jurusan Teater STSI Padangpanjang akan mengadakan Pekan Apresiasi Teater 2003 (PAT-2003) yang akan dilaksanakan pada tanggal 15-21 Mei 2003.
Multikulturalisme merupakan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Multikulturalisme merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Taufik Rahzen berpendapat bahwa persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi.
Teater sebagai bagian dari kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan bentuk teater. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan bentuk teater yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin diterimanya teater bangsa asing sehingga terjadi perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Pembahasan mengenai adanya interaksi unsur-unsur kebudayaan secara umum di dunia sebenarnya sudah mengambil tempat dalam diskursus kebudayaan sejak zaman Yunani. Wacana mengebai hal ini sudah muncul sejak Plato hingga George Lucas, sejak Asrul Sani hingga Ikranegara. Akan tetapi diskursus kebudayaan seperti ini belum dapat mengungkap secara jelas bagaimana menifestasinya di dalam teater Indonesia.
Teater masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan secara umum. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam teater tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah komunitas teater mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan teater itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks teater yang ada. Perubahan teater dapat berjalan dengan lamban, agak lama, dan cepat.
Teater di Indonesia saat ini merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis menghalangi perkembangan teater yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena keberagaman budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda. Sebagian ada yang menjadikan teater tradisi (etnis tertentu) sebagai basic untuk mengungkapkan idiom-idiom hari ini. Pada bagian yang lain ada yang menjadikan teater sebagai ungkapan yang universal, sehingga etnisitas tidak begitu menonjol atau hampir hilang sama sekali.
Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan teater, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik baru, tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu perlu adanya pembaharuan sudut pandang dalam mengamati teater sebagai seni pertunjukan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada pertunjukan teater Garasi Yogyakarta yang mengusung karya Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah) beberapa waktu yang lalu. Teater Garasi mencoba mendampingkan idiom-idiom mitologi dan sejarah untuk kepentingan teater masa kini. Tradisi dan modernitas hanyalah alat untuk mengukur jangkauan kreativitas seniman dalam melahirkan karya teater.
Masa kini, dalam memandang teater Indonesia diperlukan cara berpikir bahwa teater tradisi dan modern ataupun kontemporer sebagai suatu rangkaian kesatuan atau kontinuum (continuum). Memasuki milinium ketiga batas pemisah antara kesenian tradisi dengan modern ataupun kontemporer akan semakin tidak jelas (kabur). Akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk teater), baik antar bangsa (inter-cultural) maupun antar suku bangsa (intra-cultural), menjadi semakin akrab sehingga perbedaan-perbedaan teater yang biasanya dipertentangan antar tradisi, modern, maupun kontemporer, yang telah banyak menimbulkan kontroversi kreativitas, akan tergusur oleh interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh perkawinan berbagai unsur seni budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Kasim Ahmad bahwa suatu saat nanti (sekarang dalam proses), akan lahir teater Indonesia yang dapat mencerminkan identitas budaya bangsa yang bersumber dari kebhinekaan budaya yang dimiliki.
Teater tradisi di Indonesia memiliki identitasnya sendiri dalam menuangkan ekspresinya. Ia adalah milik masyarakatnya yang mendukung keberadaan teater tersebut. Teater tradisi dramagong adalah milik dan mendapat dukungan dari masyarakat Bali. Randai adalah teater tradisi Minangkabau yang menjadi milik masyarakat Minangkabau. Begitu juga dengan teater-teater tradisional di daerah lain yang mendapat dukungan dari komunitasnya.
Teater realisme yang datang dari dunia lain yang disebut teater Barat, juga memiliki identitas dan konsep yang jelas. Dramaturgi yang dikembangkan oleh teater Barat menjadi model tersendiri yang banyak dipakai teater-teater lain di dunia. Konsep Ibsen, Chekov, Molliere, dan lain-lain menjadi konsep yang menjadi rujukan bagi teater-teater konvensional.
Negara Indonesia memiliki banyak teater tradisional yang berkembang dan hidup sampai hari ini. Masing-masing etnis di Indonesia mempunyai teater-teater dan mendapat dukungan yang besar dari etnis masing-masing tersebut. Keragaman teater tradisional Indonesia membuat identitas untuk teater nasional sangat sulit untuk didefinisikan. Satu sisi, teater tradisional etnis tertentu tidak akan merasa dimiliki oleh etnis yang lain dalam wilayah Indonesia. Randai yang menjadi milik masyarakat Minangkabau terasa asing ketika ditonton oleh masyarakat di luar Minangkabau. Pada sisi yang lain, pengaruh modernisme yang berkembang di Indonesia memungkinkan masuknya bentuk teater yang lain dari belahan dunia yang lain. Akan tetapi bentuk teater dari belahan dunia lain inipun merupakan bentuk yang asing bagi masyarakat Indonesia. Persoalan kebudayaan sangat dominan dalam mempengaruhi seni pertunjukan, sehingga teater yang datang dari belahan dunia lain menjadi asing dan berjarak dengan komunitas tersebut.
Melihat perkembangan teater, seniman-seniman teater Indonesia mencoba mencari idiom-idiom yang universal yang bisa mewakili seluruh etnis, sehingga ia menjadi milik semua etnis. Bentuk teater seperti itu telah dilakukan oleh teaterawan-teaterawan Indonesia. Putu Wijaya, Wisran Hadi, Arifin C. Noer, Noorca M. Massardi, dan lain-lain mengolah kesenian tradisi Indonesia untuk sebuah pertunjukan yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi muatan tradisi yang begitu menonjol, terutama pada persoalan-persoalan yang diangkat menjadikan bentuk seperti itu oleh sebagian penonton belum mewakili kehidupan masyarakat yang kontemporer. Akibatnya lahir bentuk baru yang mencoba meminimalkan unsur tradisi dan bahkan tidak kelihatan sama sekali, sehingga yang ada adalah ungkapan universal total. Tidak hanya mewakili seluruh etnis di Indonesia, tapi juga mewakili dunia. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya Boedi S. Otong, Dindon, Yusril, dan lain-lain.
Bentuk baru teater telah menjadi satu identitas baru. Perubahan identitas ini tidak dalam pengertian membunuh identitas yang telah ada, akan tetapi justru menambah identitas. Teater tradisi tetap jalan dengan identitasnya sendiri, begitu juga dengan teater modern. Sebagai identitas baru, teater bentuk baru ini juga menapak jalannya sendiri dalam memperkenalkan konsep-konsepnya.
Perubahan identitas teater juga merubah konsep identitas kebudayaan. Hadirnya teater baru yang kontemporer membuka peluang untuk merevisi definisi kebudayaan yang selama ini ada. Kalau definisi kebudayaan di Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah di Indonesia, maka dengan tumbuhnya bentuk baru menjadikan definisi tersebut harus ditambah dengan mengikutsertakan seni-seni yang universal. Hal ini tidak untuk menyalahkan konsep yang telah ada hanya menambah dan memperbaharui.
Perubahan dimensi waktu dan jarak bukan saja mempertinggi tingkat keseringan dalam perkunjungan tetapi lebih penting lagi mengecilkan rasa keasingan. Artinya perbedaan antara mana yang kita dan mana yang mereka makin mengabur. Dalam suasana seperti ini, ketika komunikasi telah berjalan lebih lancar bukanlah hal yang terlalu aneh, dan ini merupakan akulturalisme yang memberi makna keberagaman.
Makna dari keberagaman yang diakibatkan oleh perubahan identitas teater ini adalah makna dari interaksi budaya yang berbeda sehingga menjadi bentuk baru yang berbeda dengan budaya dari masing-masing yang berinteraksi. Munculnya makna baru dalam teater akan melengkapi pencarian identitas terhadap teater nasional. Teater tradisi yang diwakili etnis-etnis di wilayah Indonesia belum bisa menjadi teater nasional, karena teater tradisi diciptakan oleh kelompok etnis tertentu yang berbicara tentang komunitasnya sendiri. Bahasa yang dipakai juga bahasa komunitas tersebut yang sulit untuk dinikmati oleh komunitas lain. Komunitas lain akan merasa bahwa teater tradisi komunitas tertentu bukan miliknya karena mereka merasa tidak terlibat.
Wacana multikulturalisme bukanlah otonom. Bukan pula sebuah permainan yang adil, yang sejauh ini pada prakteknya dimungkinkan lewat pertukaran dengan dasar yang tidak adil. Sampai hari ini multikulturalisme berlanjut untuk dijadikan teori, retorika, konsep, kerangka, dan peta, hampir di seluruh dunia. Akankah bisa, ajang yang dilakoni Jurusan Teater STSI Padangpanjang tersebut bisa terwujudkan?***
No comments:
Post a Comment