KODE-4

Thursday, August 9, 2007

Pemusnahan Peradaban

Oleh Nasrul Azwar

Minggu pertama bulan ini, dunia perbukuaan Indonesia, terutama buku pelajaran untuk SLTP dan SLTA, sedikit gerah. Kejaksaan di berbagai kota melakukan razia dan penyitaan buku-buku yang dinilai lembaga ini “menyesatkan”.

Di Kota Padang, (Singgalang, 4/8), Kejaksaan Negeri, Poltabes, Satpol PP, dan Dinas Pendidikan Kota Padang berhasil menyita 25 buku sejarah hasil sweeping ke pelbagai toko buku di kota ini.

Di Kota Depok, Jawa Barat, aparat terkait telah memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004 dengan cara dibakar (Koran Tempo, 21/7).

Cerita pemusnahan buku-buku di negeri ini bukan barang baru lagi. Buku-buku yang dinilai bermasalah oleh penguasa, apakah terkait dengan fakta, pemikiran, atau pun ideologi, seperti sudah menjadi tradisi setiap rezim yang berkuasa. Kayaknya, setiap rezim, termasuk rezim penjajah, berkehendak membuat sejarahnya sendiri.

Razia dan sweeping yang digelar aparat baru-baru ini berangkat Surat Keputusan (SK) Kejaksaan Agung No 19/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007, sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata “PKI” dalam penulisan G 30 S.

Dalam sejarah larang-melarang buku ini, buku yang berbau “PKI” atau “komunis” yang paling banyak dilarang, terutama dalam masa Orde Baru. Namun, semenjak Orde Baru tambin pada 21 Mei 1998, kebijakan pelaranga mulai agak mencair. Masyarakat, sekadar menyebut contoh, sudah bebas menikmati karya-karya Pramoedya Ananta Toer di toko-toko buku, yang dulu akan menjadi perkara besar jika kita memilikinya. Selain itu pula, publik Indonesia dengan mudahnya dapat mengakses dan sekaligus “berselancar” di mesin mencari google.com, yahoo.com dengan hanya mengetik “partai komunis indonesia”, “g 30 s/pki” atau “karl marx” dan lain sebagainya. Teknologi sangat memudahkan kita itu.

Kini, siswa setingkat SLTP dan SLTA sudah mahir berselancar di dunia maya itu. Dan jangan pula heran, masing-masing mereka sudah punya blog, semacam catatan harian yang berbasis web, tentu bukan hal lagi yang aneh dalam dunianya. Yang aneh mungkin bagi orang-orang tua yang tidak memahami apa itu internet.

Maka, dari itu pula, terasa mengada-ada dan terkesan ironis jika beberapa judul buku pelajaran mereka dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya semata karena dianggap mengaburkan fakta sejarah bangsa ini.

Mengapa saya katakan seperti itu?

Pertama, pelarangan dengan alasan demikian itu malah akan menumpulkan daya kritis siswa dan mengesankan lebih mentolerir tontonan sinetron dan gosip di televisi kita yang justru sangat memengaruhi mental dan cara berpikir anak didik itu.

Kedua, larangan itu mempertegas bahwa bangsa ini sangat tidak menghargai karya-karya intelektual anak bangsanya sendiri. Jika pun ada yang dinilai “keliru”, tentu sangat elegan jika “diluruskan” lagi dengan karya intelektual berupa buku pula. Bukan dengan cara dibakar.

Ketiga, ketakutan anak didik akan salah memaknai sejarah bangsanya juga bukan alasan yang cerdas. Siswa sekarang sudah punya alternatif mencari sumber pengetahuan lainnya. Mereka punya sumber-sumber, seperti disinggung di atas, selain buku teks sekolahnya. Kita tak bisa melarang mereka menjelajahi dunia maya yang penuh informasi dan pengetahuan itu. Dari situ mereka akan bisa secara kritis membandingkan dan menilai: mana fakta yang dikaburkan mana yang jelas.

Keempat, menyita dan selanjutnya membakar buku-buku itu jelas kerja yang merugikan: Kita bisa bayangkan, berapa dana dihabiskan untuk melahirkan sebuah buku, dan berapa pula dana yang hanyut sia-sia untuk melakukan rasia dan sweeping itu?

Buku, kata Nurani Soyomukti, seorang penulis buku, adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Untuk Minangkabau, budaya baca dan turunan dari itu, tidak perlu diulang-ulang kehebatannya. Baratus-ratus tokoh dengan latar kemampuan yang berbeda telah memberikan pemikiran, gagasan, dan darahnya untuk perjalanan bangsa Indonesia. Dan semuanya itu tak lepas karena mereka membaca, menulis buku, dan punya sikap yang jelas terhadap pengetahuan, bermacam aliran, dan ideologi.

Lalu, sekarang, kita melakukan hal yang sebenarnya memasung sebuah peradaban manusia, atau mungkin yang kita lakukan adalah peradaban itu sendiri.***

No comments:

Post a Comment