KODE-4

Saturday, August 4, 2007

Ditunggu Dogot: Menunggu, Merenung, Pasrah...


Samuel Beckett menggambarkan manusia hanya bisa pasrah.Namun,Komunitas Seni Hitam Putih memaknai berbeda dalam pementasan Ditunggu Dogot. Sepasang manusia –lelaki (Rudyaso) dan perempuan (Elisza)— asyik meluncur dengan sepeda kayuh.

Mula-mula keduanya santai menelusuri jalan berkelok-kelok yang hening.Mereka menuju suatu tempat, hendak menjumpai orang yang menunggu mereka. Identitas orang yang hendak mereka temui belum diketahui. Pun tempat, di mana mereka ditunggui juga tidak jelas.Hanya ada satu keyakinan bahwa mereka sedang ditunggu.


“Pokoknya, kita tiba harus tepat waktu,juga jangan terlalu cepat. Harus setepat-tepatnya. Dogot tak senang dengan orang yang tidak tepat waktu,” kata lelaki itu memecah keheningan. “Tapi apa kamu sudah tahu siapa Dogot itu.Kalau kita ketemu, bagaimana kita mengetahuinya,” sahut perempuan yang menempel di belakang punggungnya. “Siapa itu Dogot, bukan urusan kita.Yang penting bagi kita adalah tepat waktu,” jawab si lelaki.

Begitulah dialog awal keduanya menyulut konflik. Sepanjang perjalanan hanya ada konflik mengenai identitas Dogot dan diri mereka sebagai yang ditunggu. “Tapi kenapa ditunggu?Apa pentingnya kita ditunggu?”lanjut si perempuan yang penuh penasaran dengan perjalanan tanpa kepastian itu.

Bagi si perempuan,perjalanan itu sia-sia karena tidak dibekali pengetahuan yang cukup mengenai data diri Dogot.Bagaimana mungkin pertemuan itu bisa terjadi kalau antara yang menunggu dan yang ditunggu belum saling mengenal. Bagaimana mungkin perjalanan itu akan sampai ke suatu titik yang dituju kalau tidak mengetahui persis lokasinya, sebuah petualangan yang serba absurd.

Adegan-adegan tersebut merupakan pentas Komunitas Seni Hitam Putih asal Sumatera Barat yang mengangkat karya bertajuk Ditunggu Dogot di Sanggar Baru Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (27/7). Lakon yang diangkat dari cerpen Ditunggu Dogot karya Sapardi Djoko Damono ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan, yang sedang ditunggu Dogot.

Sapardi tentu terinspirasi naskah karya dramawan asal Irlandia,Samuel Beckett, yang bertajuk Menunggu Godot.Dalam karya Beckett,berjudul asli En Attendant Godot ditulis pada 1948–1949 itu, ditonjolkan absurditas manusia dalam menjalani kehidupan.Manusia digambarkan sebagai makhluk yang tak bisa berbuat apa-apa ketika menghadapi persoalan yang mengancam hidupnya.Manusia digambarkan Beckett hanya bisa pasrah,menunggu,merenung, dan melakukan sesuatu berulang-ulang tanpa makna.

Namun,menurut sutradara Kurniasih Zaitun, pesan paling penting dari teks yang ditampilkan komunitasnya bukan pada absurditas yang ditimpakan pada manusia.Yang mau ditonjolkan di sini, bahwa di muka bumi ini selalu berpasang-pasangan.“

Bagaimana persoalan menunggu tidak lengkap kalau tidak ada yang ditunggu.Semua yang di muka bumi ini berpasangan, jauh-dekat, tinggirendah, langit-bumi, laki-perempuan, menunggu-ditunggu,” kata Titun,panggilan akrab Kurniasih Zaitun. (donatus nador)

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/budaya/menunggu-merenung-pasrah-2.html

No comments:

Post a Comment