Pementasan Ditunggu Dogot
''Kita harus tepat waktu, tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang,'' ungkap seorang pria sambil mengendarai ontel. Kayuhan kakinya semakin kencang menyusuri lorong-lorong yang ada di depannya. Tak perlu peta. Layaknya sebuah kehidupan, ia lebih banyak menggunakan naluri kemana harus belok ke kiri atau kanan, lurus, dan berhenti. Karena, tujuan perjalanannya pun memang tidak jelas.
Putaran ban sepeda tiba-tiba terhenti. Si pria menatap wanita yang diboncengnya dengan terbengong. 'Kita harus tepat waktu, tidak boleh terlambat, apalagi terlalu cepat datang, kita ditunggu Dogot,'' katanya lagi. Dengan gerakan cepat, wanita itu berinisiatif mengambil alih kemudi. ''Kalau begitu kita harus bergegas, kita ditunggu Dogot, jangan sampai terlambat,'' ungkap wanita itu mengayuh sepeda dengan sangat cepat.
Sepeda kembali direm. Kali ini dalam waktu yang cukup lama. Mereka berdua terlibat dalam percakapan sangat serius tentang Dogot. Karena rupanya mereka tidak kenal siapa Dogot. Bahkan, rupa, asal-usul, identitas Dogot pun tidak diketahuinya. Perdebatan pun terjadi seputar menunggu-ditunggu.
Sesuai dengan konteksnya dalam kehidupan, ketika ada yang menunggu pasti ada yang ditunggu. Semua yang ada di dunia ini pun berpasangan. Jauh-dekat, tinggi-rendah, langit-bumi, laki-laki-perempuan, dan menunggu-ditunggu. Namun, tak semua itu bisa disatukan. Cerita ini pun menafsirkan perjalanan hidup manusia tidak pernah bisa ditebak. Namun, kehidupan bisa dirasakan, dijalani, dan dinikmati.
Di tengah kegalauan siapa Dogot, mereka berdua menafsirkan perjalanan harus terus dilanjutkan. Walaupun mungkin, perjalanan tersebut tidak tahu akan berakhir di mana. Akhirnya, mereka pun mengayuh sepedanya dengan menggunakan naluri. Mereka kembali bertekad untuk datang tepat waktu, tidak terlambat, apalagi datang terlalu cepat.
Pementasan Ditunggu Dogot ini diangkat dari cerpen karya Sapardi Djoko Damono. Cerpen itu kemudian digubah dalam bentuk teater. Seperti naskah aslinya, cerita tentang Ditunggu Dogot ini memang sulit dimengerti secara langsung. Perlu penelaahan lebih lanjut soal-soal cerita yang sarat penuh makna filosofis.
''Ini cerita gila,'' ujar Agus Bebeng, salah satu penonton. Dalam kehidupan nyata, bagaimana rasanya menunggu atau ditunggu adalah sesuatu hal yang tulit diketahui. Namun, dalam cerita ini lebih tidak jelas lagi, siapa yang menunggu dan ditunggu.
Meskipun cerita ini agak sulit dicerna, namun percakapan kedua seniman dalam pertunjukan teater ini bisa membantu menafsirkan soal kehidupan manusia, khususnya ditunggu-menunggu.
Hanya 45 menit
Panggung teater yang dimainkan oleh Komunitas Hitam-Putih ini disutradarai oleh Kurniasih Zaitun (Tintun) dan hanya berlangsung sekitar 45 menit. Mereka menafsirkan ceritanya lewat perjalanan sebuah sepeda. Kedua aktor dalam cerita ini, Meria Eliza dan Rudi M, menyuguhkan percakapan yang menarik dengan intonasi yang berbeda, walau terkadang terdengar lepas.
Teater ini disajikan dengan sangat sederhana, namun sarat makna. Di atas panggung hanya ada sepeda ontel dan dua orang aktor. Karena itu, kepiawaian pemain sangat menentukan cerita ini agar tidak membosankan. Dan, kedua pemain tersebut cukup sukses melakukan peran dan dialog-dialog.
Agar sebuah perjalanan yang dilakukan sesuai dengan aslinya, mereka meletakkan sebuah in focus. Lewat in focus ini, digambarkan sebuah lorong, jalanan berliku, datar, menaik, dan menurun. Untuk itu, sepasang pemain tersebut memiliki kelenturan tubuh, termasuk saat dibonceng sepeda dengan sapuan angin. Badan pemain condong ke depan dan belakang, layaknya bersepeda seperti biasa. Selain itu, sepeda disimpan di atas papan yang berputar.
Cerpen karya Supardi Djoko Damono ini pernah beberapa kali dipentaskan dalam bentuk teater. Meski demikian, penampilan Komunitas Hitam-Putih Indonesia tersebut, tetap menyajikannya dalam bentuk yang berbeda, walaupun para penonton bingung memaknai pertunjukan.***
Republika, 02 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment