KODE-4

Monday, August 6, 2007

Membaca Sejarah dari Tafsir “Pa.no.ra.ma”



Pameran Lukisan di Bukittinggi

OLEH Nasrul Azwar

Seratus lima puluh yang lalu, sejarah seni lukis modern di Sumatra Barat (Nusantara) diawali di kota yang diapit dua gunung ini: Singgalang dan Merapi, dan lembah Ngarai Sianok, dengan ditandai berdirinya Kweek School pada 1 April 1856. Seni lukis modern, yang awal-awal kehadirannya lebih kerap disebut menggambar/melukis, kecenderungan corak naturalistik mendominasi karya-karya lukis yang hadir saat itu, utamanya di Sumatra Tengah.

Pelukis Wakidi (1890-1979) adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan dari kenderungan corak seni lukis naturalis di negeri ini. Wakidi alumni Kweek Shcool pada tahun 1908. Wakidi, dalam sejarah kesenilukisan merupakan juga salah seorang tokoh-tokoh seni lukis naturalis, setelah Raden Saleh dipertengahan abad ke-19, Abdullah Suryosubroto (1878-1914), dan Mas Pimgadi (1865-1936). Selanjutnya mereka ini disebut dengan Mooi Indie (Indonesia jelita). Pelukis lebih mengedepankan panorama secara kontekstual (Ady Rosa, 2006).

Kini, sejarah seni lukis seolah mau menorehkan lagi “garisnya” di Kota Bukittinggi. Sejarah ingin berulang. Selama 10 hari, 21 Juli–3 Agustus 2007, 48 pelukis dari Bukittinggi, Padang, Jogjakarta, dan Pekanbaru, membentangkan karya mereka di sebuah gedung peninggalan Belanda di Kota Bukittingggi.

Pemeran mengusung tema “Pa.no.ra.ma” yang diprakarsai Sighi Art Gallery Bukittinggi sekaligus juga peresmian galeri ini, tidak serta merta menghadirkan panaroma dalam arti verbal. Lukisan panaroma hadir dengan interpretasi dan representasi sebagai identitas-subjektivitas pelukis.

Kurator pameran, Mikke Susanto dan Erianto Anas, menuliskan, pameran diasumsikan sebagai sebuah gambaran kecil mengenai satu irisan modal geografis yang ada di Tanah Air. Dari situ, diharapkan ditemukan satu dari sekian rangkaian cerita, kisah dan sejarah perkembangan seni lukis pemandangan yang terjadi di Indonesia, meskipun bukan dalam pengertian yang melulu konvensional apalagi tradisional, melainkan dalam pengertian yang terbuka dan berkembang, baik teknik maupun konsep penggarapan.

Maka, dari itu pula, penulisan kata “pa.no.ra.ma dengan menggunakan tanda baca titik (.), dimaknai sebagai simbol adanya keterpisahan, perbedaan, dan keragaman dari berbagai daerah (serta suku dan budaya) yang terbentang di seantero Tanah Air.

Tema-tema pameran lukisan yang terkait dengan panorama dan keindahan alam, memang bukan hal baru dalam dunia seni rupa Sumatra Barat. Pada tahun 2006, di kota yang sama pernah digelar pameran dengan tema “Ngarai Sianok Differenza in Dentro uno Passa”. Pameren ini digelar untuk memperingati 150 tahun seni rupa Sumatra Barat. Ngarai, lembah, dan pemandangan alam lainnya mendominasi karya-karya yang tampil.

***

Di gedung tua peninggalan Belanda itu, yang dan juga digunakan sebagai kantor Sighi Art Gallery, lukisan-lukisan dipajang dalam deretan yang kadang “lari” dari arti kata panorama. Panaroma bukan lagi menjadi sebuah identitas yang kasat mata tentang alam. Tapi, panorama telah diberi makna baru tentang identitas kultural yang subjektif: “teks” baru yang melewati reduksionisme dan juga mungkin komodifikasi.

Maka, lihatlah panaroma di mata Darvies Rasyidin, pelukis asal Sumatra Barat yang kini bermukim di Jogjakarta, yang berjudul “Negeri Indah Nan Sepi”, Hendra Sardi berjudul “Dalam Jangkauan Masa Depan” dan Iswandi dengan judul “Terjerat”, untuk sekadar menyebut beberapa karya yang tampil, adalah representasi dari akumulasi penciptaan makna yang melintasi teks-teks lain yang bukan sekadar hanya memaknai apa arti “panorama”.

Tak banyak, memang lukisan-lukisan yang hadir sebagai representasi panaroma dalam arti harfiah. Maka, apa yang menjadi konsep kuratorial pameran ini, tampaknya mencapai apa yang dituju. Paling tidak, tafsir tentang “panorama” telah membuka sebagian identitas kuktural Minangkabau, yang memang tak mungkin lepas dari alamnya: Alam terkembang jadi guru.

Masyarakat Kota Bukittinggi, sepanjang sepuluh hari pemeran itu, telah disuguhkan dengan beragam bentuk “panorama” dalam pemaknaan baru perupa Indonesia. Paling tidak, menikmati karya-karya perupa Amrianis, Herisman Tojes, Roni Sarwni, Iswandi, Hendra Sardi, Stevan Buana, Tomi Wondra, Yon Indra, Yunizar, Yetmon Emier, Zulkarnaini, dan lain sebagainya, seperti membaca sejarah saat dimulainya gerakan seni rupa di Kota Bukittinggi 150 tahun silam.***

No comments:

Post a Comment