KODE-4

Thursday, August 2, 2007

Pembakaran Buku dan Politik Iliterasi

OLEH Nurani Soyomukti


Belakangan ini panggung budaya kita diwarnai dengan adanya razia buku-buku sejarah yang dianggap “menyesatkan”. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Negeri Kota Depok memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004. Bahkan secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).

Berawal pada tanggal 9 Maret 2007, saat Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.

Tindakan merazia dan men-sweeping buku yang dianggap melanggar hukum tersebut terjadi secara meluas di berbagai daerah. Yang perlu dicatat, kejadian semacam ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bangsa kita. Pelarangan, pembakaran, dan represi terhadap aktivitas menerbitkan buku atau terbitan lain selalu terulang-ulang. Apalagi, pada saat masyarakat kita saat ini tengah dihegemoni oleh budaya tonton (terutama didominasi acara sinetron, telenovela, dan gosip), keberadaan buku sebagai bacaan yang mencerahkan masyarakat begitu tentan untuk terancam. Pongahnya jaksa agung mengeluarkan larangan tersebut salah satunya juga karena ketidakpedulian masyarakat terhadap dunia buku dan budaya baca-tulis, karena budaya tonton bagai penjara yang memasung naluri kritis dan kesadaran demokrasi.

Kemunduran Budaya Literer

Buku adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah Negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Ketidakproduktifan masyarakat Indonesia memang berkaitan dengan sejarahnya. Sebelum modernisasi masuk, budaya baca-tulis tidak terbangun karena rakyat hanya menerima dan memberi informasi dan pengetahuan berdasarkan dongeng-dongeng yang tersebar, yang melekat pada pemahaman yang membodohi rakyat dan menguntungkan kaealang raja-raja (bangsawan). Melalui dongeng rakyat harus menerima pemahaman bahwa raja adalah gusti (wakil Tuhan/Dewa), yang harus dituruti perintahnya. Ini menunjukkan bahwa budaya oral (lisan) di mana budaya baca-tulis tidak hidup, sebuah masyarakat bukan hanya tidak dapat maju, tetapi juga diwarnai hubungan penindasan dan penipuan.

Asumsi tentang masyarakat literer dan modernisasi dapat kita pahami dari studi ilmu-ilmu sosial seperti dalam studi Daniel Learner yang mempelajari tradisi, transisi, dan modernisasi di enam Negara Timur Tengah. Dalam bukunya The Passing of Traditional Society: Modernizing The Middle East, Learner menerapkan asumsi ketat bahwa perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern ditandai oleh akses kepada tulisan atau aksara (baik buku maupun koran) dan kepada media komunikasi massa lainnya seperti radio.

Masyarakat modern Indonesia yang dicangkokkan oleh penjajah Belanda melalui kolonialisme juga dengan sendirinya melahirkan masyarakat literer modern. Untuk mempercepat eksploitasi kapitalisme, maka harus ada infrastruktur politik dan budaya yang mendukungnya. Kapitalisme, berbeda dengan feodalisme kerajaan, membutuhkan masyarakat yang mengenal tulisan dalam tujuannya untuk menciptakan tenaga kerja yang modern seperti administrasi rasional yang membutuhkan dokumentasi dan publikasi, pekerja-pekerjanya yang membutuhkan kerja-kerja menulis (mulai juru ketik hingga akhirnya juga muncul penerbitan-penerbit an koran dan buku-buku).

Tak diragukan, kemunduran budaya literer barangkali terjadi ketika Orde Baru bercokol sebagai rejim yang takut pada kata-kata dan suara-suara dari rakyatnya. Setiap suara kritis dibungkam dan dikambing hitamkan. Membawa buku ditangkap, menulis ditangkap, dan menerbitkan koran dan majalah juga tidak aman.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah sejak ketuntuhan Orde Baru budaya literer kita meningkat? Modernisasi pasca-Soeharto membawa lompatan kualitas modernisasi di bawah payung sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal. Basis kebudayaan dihiasi dengan liberalisme, kebebasan untuk mengontestasikan ekspresi budaya yang salah satunya munculnya banyak penerbit media cetak baru, salah satunya juga penerbitan buku. Tetapi meragukan apakah menjamurnya penerbitan tersebut dapat berpengaruh pada cara masyarakat kita bersikap memandang realitas. Jika banyak orang yang menulis buku, banyak terbitan, bahkan banyak artis-artis yang menulis buku, ternyata dengan serta merta budaya literer juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat—sebagaimana jaman pergerakan kekuatan baca-tulis sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran rakyat.

Budaya baca-tulispun masih belum dapat mengalahkan saingannya dalam ranah budaya, yaitu budaya menonton (TV) yang juga sekaligus meningkatkan budaya oral seperti semaraknya acara infoteinmen (gosip). Kebiasaan gosip peranh jaya pada masa kegelapan jaman kerajaan di mana rakyat hanya menerima kabar dan perkembangan social dari getok-tular mulut dan dongeng. Budaya oral ini lebih banyak tidak objektifnya dan banyak manipulasinya. Selain itu budaya menonton tidak memicu produktifitas dan kreatifitas (imajinasi) otak. Berbeda dengan budaya baca-tulis yang membentuk kualitas pribadi, selain memasok dan mentransfer pengetahuan dan ideologi.

Masyarakat yang didominasi budaya tonton pastilah hanya memperbanyak generasi yang berpikir dan bertindak secara—apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai—“satu dimensi” (one-dimensional man). Mereka hanya bisa meniru dan lahirlah masyarakat permisif dan konsumtif—tidak produktif dan kreatif. Pada hal, untuk membangun bangsa ini kita butuh manusia yang berkarakter yang punya gairah untuk memahami persoalan dan memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencipta.

Mau tak mau, masyarakat literer harus dirumuskan pembangunannya. Bagaimana strateg-taktik untuk menciptakan masyarakat literer tentu saja membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Pemerintah harus mendukungnya, lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, dan penerbitan memiliki peran yang strategis. Selain itu juga komunitas-komunitas baca tulis yang kini semakin banyak bermunculan juga menandai adanya harapan bahwa masyarakat literer masih dapat diharapkan untuk mendukung pembangunan bangsa yang terseok-seok karena makna aksaranya sendiri.***

Nurani Soyomukti, Penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL”; berkhidmat di JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta

No comments:

Post a Comment