Oleh Nasrul Azwar Dalam banyak hal, pemerintah Indonesia memang selalu telat bertindak apalagi berpikir. Salah satu buktinya adalah ribut-ribut tentang pembajakan lagu “Rasa Sayange” yang berasal dari Maluku, oleh Pemerintah Malaysia untuk promosi wisatanya, dan lagu dari ranah Minang, “Indang Sungai Garinggiang” yang digunakan tanpa ada penjelasan dalam sebuah iven budaya Asia Festival 2007 di Osaka, Jepang ( Singgalang , 27/10/2007).
Sekait dengan itu, barulah pemerintah merespons. Menko Polhukam Widodo A.S. pada akhir pekan Oktober lalu, mengadakan Rapat Koordinasi Tim Nasional Kekayaan Intelektual yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Mendagri Mardiyanto, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri ( Jawa Pos , 25/10/2007).
Hasil rapat itu sepakat membentuk tim nasional kekayaan intelektual. Walau terlambat, karena sebelum ini, sudah banyak pula negara lain yang mengklaim kekayaan bangsa Indonesia sebagai miliknya, tindakan pemerintah dinilai cukup bagus. Biarlah telat daripada tidak bertindak sama sekali.
Dalam rapat itu disepakati, pemerintah segera mendata atau menginventaris seluruh karya bangsa agar tidak diklaim atau dibajak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, pemerintah akan mendata ulang seluruh lagu, makanan khas daerah, kesenian, dan cerita-cerita rakyat. Selama ini, banyak karya yang menjadi milik bangsa dan tidak dikenal penciptanya (anonim) sehingga rawan terhadap klaim atau pembajakan dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Andi menyatakan telah meminta bantuan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik untuk mempercepat pendataan. "Nanti, di Depkum HAM, prosesnya akan dipermudah juga supaya tidak ada yang menilai pemerintah justru menghambat," katanya.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir Jero Wacik mengharapkan pemerintah daerah untuk segera mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual. "Kami himbau kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia agar rajin-rajin mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual," kata Menbudpar, Ir Jero Wacik di Nusa Dua, Bali ( Jawa Pos , 18/10/2007).
Bagaimana di Sumatra Barat? Sejauh ini, reaksi dari pejabat di daerah ini belum terdengar. Entah belum tahu, entah tidak menyimak perkembangan informasi. Tak ada respons menyangkut “Indang Sungai Garinggiang”, karya anak nagarinya, yang kini dibajak negeri jiran itu, misalnya, oleh Gubernur Sumatra Barat atau paling tidak dari Dinas Parsenibud Sumbar. Tampaknya, sikap pejabat di Sumatra Barat ini bertolak belakang dengan motto PT Semen Padang: kami telah berbuat sebelum orang lain memikirkannya.
Reaksi kecil memang muncul dari beberapa budayawan Sumatra Barat menyangkut pembajakan lagu yang dipopulerkan seniman Tiar Ramon itu ( Singgalang , 31/10/2007). Namun, reaksi itu masih sebatas tataran wacana, belum menyentuh substansi persoalan yang sesungguhnya.
Persoalan sebenarnya adalah bagaimana langkah dan strategi yang mesti dilakukan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan seni itu sendiri, misalnya, UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat, Museum Negeri Adityawarman Provinsi Sumatra Barat, Balai Bahasa Padang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Sumatra Barat, Dekranasda, Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), dan lain sebagainya.
Institusi-institusi itu, terutama Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB adalah lembaga yang sangat bertanggung jawab terhadap perlindungan dan hak cipta seniman, baik kontemporer dan maupun tradisi. Lembaga ini semestinya memprakarsai agar-agar karya-karya seniman itu terdaftar secara hukum. Untuk kasus lagu, “Indang Sungai Garinggiang”, misalnya, seharusnya lembaga ini tidak menunggu wartawan mewawancarai baru membuat peryataan.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana teknis seni dan budaya, yang bukan semata hanya menampilkan karya seniman belaka, tentu Taman Budaya Sumatra Barat bertanggung jawab juga mengadvokasi karya-karya seniman daerah ini jika muncul perkara seperti pembajakan lagu itu. Tapi hal ini tidak dilakukan lembaga ini.
Sama halnya dengan DKSB, seharusnya lembaga seni semi pemerintah ini juga melakukan hal yang sama dengan Taman Budaya Sumatra Barat. DKSB mestinya memberikan tanggapan resmi dan memberikan advokasi. Paling tidak memunculkan secara resmi tanggapan dan pandangan yang jelas ke publik. Ternyata idem ditto.
Karya seni anak nagari Minang memang rentan dan rawan untuk dibajak, terutama oleh negara-negara yang punya hubungan historis dan kultural yang erat dengan Minangkabau: Malaysia salah satu saja.
Sejarah sudah mencatat, setiap nagari di Minangkabau punya kekayaan seni dan tradisinya. Dan jumlahnya sangat banyak dan beragam. Kekuatan nagari adalah dipermainan anak nagari itu. Permainan itu banyak terkait dengan seni: ada lagu, pantun, kaba, cerita rakyat, masakan khas, tari tradisi, alat musik, pidato adat, seni pertunjukan (peran), seni lukis, motif, kaligrafi, ukir, kerajinan tangan, arsitektur, tumbuhan, dan lain sebagainya yang jumlahnya banyak dengan berbagai variasi dan versi. Belum lagi karya seniman kontemporer, tentu, akan berderet-deret panjangnya.
Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab untuk mendaftarkan ke instansi terkait agar karya itu terproteksi secara hukum? Jawaban tentu saja Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB. Karena lembaga ini tidak bisa dilepaskan dengan dunia seni dan budaya. Menyangkut soal teknis pendaftaran karya-karya, itu soal lain.
Namun demikian, karena sebagian besar masyarakat seni dan lembaga seni masih belum memahami benar prosedur dan mekanisme pendaftaran hak cipta itu, maka upaya yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengundang Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan penjelasan, prosedur, mekanisme, dan lain-lainnya menyangkut hak kekayaan intelektual (HKI) itu. Dan diharapkan program ini melibatkan semau pihak yang terkait dengan masalah ini. Program itu bisa berbentuk seminar sehari, lokakarya, dan lain sebagainya.
Taman Budaya dan DKSB dapat bersinergi melakukan ini. Dan soal “sinergian”, bagi kedua lembaga ini bukan soal besar. Karena sudah sering dilakukan, walau sembunyi-sembunyi. Maka, untuk itu, program ini dipandang sangat mendesak untuk dilakukan. Jika tidak sekarang, ya besoklah. Tapi jangan seperti kalimat awal di atas: lamban berindak telat berpikir. Semua ini dilakukan mengingat sudah berangsur-angsur kekayaan seni dan budaya kita dialih orang lain. Kalau bukan kita yang memikirkan, siapa lagi? Seniman. Oh biarkan saja mereka berkarya. Tak ada waktu bagi mereka mengurus yang macam begini. Bagaimana, Bung?***
SUMBER: http://www.hariansinggalang.co.id/komentar.html
Harian Singgalang, Selasa, 6 November 2007 (Rubrik Komentar)