Istilah “Sastra Minangkabau Modern” muncul dalam SMS yang saya terima dari Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Dra. Adriyetti Amir, SU, yang memberitahukan bahwa kiriman off-print artikel saya, “Vernacular Intelligence: Colonial Pedagogy and the Language Question in Minangkabau” (Indonesia and the Malay World 34:100, 2006: 315-44) telah beliau terima. “Saya minta Suryadi juga menulis sesuatu tentang Sastra Minang Modern. Itu diperlukan untuk bahan pelajaran di Jurusan Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra UNAND,” kata Dra. Adriyetti Amir, SU dalam SMS-nya kepada saya.
Sudah sejak beberapa tahun yang lalu saya berencana menulis satu artikel untuk konsumsi internasional – kalaulah tidak akan menghasilkan sebuah buku – tentang fenomena dan perkembangan Bahasa dan Sastra Minangkabau sejak tahun 1970-an sampai tahun 2000-an. Namun karena kesibukan sehari-hari mengajar di Universitas Leiden , rencana itu agak terbengkalai. Hal itu menjadi terpikirkan kembali setelah saya menerima SMS Dekan Fakultas Sastra UNAND itu.
Artikel pendek ini lebih merupakan ajakan kepada akademikus di Sumatra Barat untuk memperkatakan Sastra Minangkabau Modern. Sebuah disksusi budaya atau seminar ilmiah mengenai hal ini kiranya patut diadakan dalam rangka memikirkan masa depan Bahasa, Sastra, dan Budaya Minangkabau. Di sini saya mencoba menyampaikan pemikiran saya tentang Sastra Minangkabau Modern berdasarkan bahan-bahan yang sudah saya kumpulkan dan berdasarkan penelusuran kepustakaan yang sudah dan sedang saya lakukan.
Sejauh yang saya ketahui belum ada penelitian yang mendalam tentang fenomena dan perkembangan Sastra Minangkabau sepanjang seperempat terakhir abad ke-20 dan dekade pertama abad ke-21 yang sedang kita jalani ini, dalam artian bagaimana fenomena Sastra (dan Bahasa) Minangkabau itu dalam hubungannya dengan budaya cetak dan media pandang-dengar modern yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari orang Minang sekarang. Apakah Sastra Minang berkembang mengikuti perubahan sosial masyarakat Minangkabau sendiri?
Satu di antara amat sedikit peneliti yang pernah mengamati perkembangan Sastra Minangkabau tahun 1970-an dan 1980-an, lisan maupun tulisan, adalah Nigel Phillips. Beliau telah menulis beberapa artikel mengenai hal ini, yaitu “Notes on Modern Literature in West Sumatra” (Indonesia Circle 12,1977: 12-20); “’Kotaku Sayang, Wahai Kotaku’: A Poem by Rusli Marzuki Saria, Introduced and Translated by Nigel Phillips (Indonesia Circle 13, 1977: 26-32); “Minangkabau Languages and Literature”. In E. Ulrich Kratz (ed.), Southeast Asian Languages and Literature: A Bibliographical Guide to Burmese, Cambodian, Indonesian, Javanese, Malay, Minangkabau, Thai and Vietnamese. London : I.B. Tauris, 1996, pp. 291-308; dan “Two Minangkabau Short Stories by Nasrul Siddik, introduced and translated by Nigel Phillips” (Indonesia and the Malay World 77, 1999: 64-71).
Nigel Phillips juga mengamati tema-tema baru dalam beberapa kaba Minang yang diceritakan dalam tradisi rabab Pasisia (gaya baru) dan dendang Pauah serta pengaruh hubungan tukang kaba (storyteller; singer) dan khalayak (audience) terhadap teks cerita (kaba), seperti dapat dikesan misalnya dalam artikelnya “Some Ideas Expressed in Minangkabau Oral Story” (Tenggara 21/22, 1988: 171-84); “Two variant Forms of Minangkabau Kaba”. In J.J. Ras and S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literature in Honour of A.Teeuw (Leiden: KITLV Press, 1991: 73-86); “A Note on the Relationship between Singer and Audience in West Sumatran Story-telling” (Indonesia Circle 58, 1992: 67-70); dan “Perhubungan antara Tukang Rebab ‘Gaya Baru’ dengan Pendengarnya”. Dalam Sahlan Mohamad Saman (ed.), Pengarang, Teks dan Khalayak (Kuala Lumpur: DBP, 1994, hlm. 196-202). Selain itu, ada satu artikel dari Edwin Wieringa, “The Kaba Zamzami jo Marlaini: Continuity, Adaptation, and Change in Minangkabau Storytelling” (Indonesia and the Malay World 73, 1997: 235-51) yang didasarkan atas transliterasi kaba itu yang dikerjakan oleh Suryadi (1993; lihat di bawah).
Menurut pendapat saya yang daif, Sastra Minang Modern, dalam artian bentuk ekspresi sastra yang eksis dalam tulisan, baik berupa novel, cerpen, atau bentuk-bentuk ekspresi lainnya (cerita bersambung, esai, komik, dll.) kurang berkembang. Ia antara ada dan tiada, atau kalau memakai ungkapan Minang: taraso lai, tampak indak. Terbitnya satu buku baru-baru ini dalam Bahasa Minang yang dapat dikategorikan sebagai karya ‘sastra’, yaitu Tigo Carito Randai oleh Musra Darizal Katik & Mangkuto (Padang: Dewan Kesenian Sumatra Barat, 2007), misalnya, tak dapat dijadikan indikator bahwa Sastra Minang Modern eksis.
Walhasil, agak sulit melihat hasil nyata produk Sastra Minang mutakhir yang muncul dalam bentuk tulisan.Bentuk-bentuk ekspresi dalam Bahasa Minang ragam tulis hanya terbatas pada kolom-kolom kritik dan refleksi pendek yang terbit dalam edisi Minggu beberapa koran terbitan Sumatra Barat seperti Haluan, Singgalang, dan sekarang Padang Ekspres (Lihat dua kolom kritik dengan tokoh Jila dan Atang dan Sabai dan Mangkutak oleh Wisran Hadi yang cukup rutin muncul dan rubrik Ciloteh Minang oleh Viveri Yudy yang sayangnya sekarang sudah berhenti pula terbit). Selain Wisran Hadi yang dikenal sebagai sastrawan dan budayawan di tingkat nasional, penulis-penulis lain kolom-kolom seperti itu, seperti Papasi Candra (saya kira ini pseudonym: ayahnya Si Chandra), Cui Indra, dan Sawir Pribadi, lebih dikenal sebagai wartawan dan penulis lokal. Seperti saya katakan, hakekat tulisan-tulisan seperti itu adalah refleksi budaya dan kritik sosial ringan sambil bagarah (juga mengandung cimeeh). Sesekali muncul dalam bentuk cerpen yang sedehana sekali. Sebelum tahun 1980-an keadaannya relatif sama: ada beberapa rubrik seperti itu dalam koran-koran yang terbit di Padang . Malah dulu setiap koran memiliki feulleton (cerbung), tapi ditulis dalam Bahasa Indonesia, misalnya Tikam Samurai (yang kemudian dibukukan) dan Huru-Hara di Ngalau Kamang. Kolom-kolom seperti itu kadang-kadang ditemukan juga dalam beberapa majalah yang umumnya tak berumur panjang, misalnya majalah Kaba yang diterajui oleh Asbon Budi Nan Haza. Di zaman kolonial lusinan koran pernah terbit di Padang – lihat misalanya Ahmat Adam, “The Vernacular Press in Padang , 1865-1913”. Akademika 7, 1975: 75-99 – namun tidak ada Koran yang seluruh rubriknya berbahasa Minang. Bahkan, media-media kaum adat seperti Oetoesan Alam Minangkabau: Sasaran Penghoeloe Medan Ra’jat (Padang: Drukkerij S[oematra Bode]; nomor pertama terbit 1939) juga tidak memamakai Bahasa Minangkabau. Majalah-majalah berbahasa daerah yang terbit rutin seperti Mangle untuk Budaya Sunda dan Jaka Lodang untuk Budaya Jawa, dimana para penulis lokal, kadang-kadang juga penulis nasional yang berasal dari etnis bersangkutan, dapat mengekpresikan ide dan pikirannya dalam bahasa ibunya sendiri, tidak pernah muncul dari rahim kebudayaan Minangkabau.
Tinggal pertanyaan: mengapa para penulis Minang enggan menulis dalam bahasa ibunya (mother tongue)? Jawabannya yang sederhana: karena mereka ingin menulis dalam bahasa yang pembacanya lebih banyak, yaitu Bahasa Indonesia. Tapi jawaban dari segi ilmiah tentu tidak sesederhana itu. Untuk memahami hal itu kita perlu mengkaji lebih jauh aspek sosio linguistik Bahasa Minang dan sejarah Bahasa Minangkabau ragam tulis, serta konvensi kesastraan Minangkabau. Dalam kaitannya dengan hal ini, menarik apa yang dikatakan Nigel Phillips kepada saya bahwa ia pernah mewawancarai penyair terkemuka Sumatra Barat, ‘Papa’ Rusli Marzuki Saria, yang mengatakan kepadanya bahwa “dia [‘Papa Rusli] ada mencoba menulis puisi dalam Bahasa Minang, tetapi kosa kata Bahasa Minang tidak mencukupi untuk menyampaikan maksudnya” (Phillips, email 27-6-2007).
Jika ditinjau dari segi isi, maka apa yang disebut Sastra Minang Modern itu – kalau memang ada – mestinya mempunyai satu ciri yang berbeda dengan yang tradisional. Kata “modern” itu tentu mencirikan sesuatu yang baru pada sebuah teks – bisa jadi konvensi penulisannya, gaya bahasa, latar cerita, tema yang diusung, dan lain sebagainya. Banyak kaba yang diterbitkan dalam bentuk buku sekarang, tapi hakekatnya tetap Sastra Minangkabau Tradisional, sebab teksnya tak lain hanyalah pemindahan dari lisan ke tulisan (kebanyakan transliterasi, sedikit yang berupa saduran). Kaba-kaba tertulis itu tak menawarkan suatu konvensi penulisan yang baru, dan ceritanya tetap menggambarkan latar (setting) tradisional dengan tem-tema yang bersifat supernatural dan irasional. Dengan kata lain, munculnya sebuah buku dalam Bahasa Minang yang dapat digolongkan sebagai sastra, seperti Tigo Carito Randai-nya Musra Darizal Katik & Mangkuto itu, tidak otomatis berarti bahwa itu hasil gubahan Sastra Minang Modern (Saya sendiri belum membaca buku itu, baru mengetahuinya melalui www.ranah-minang.com dan informasi Sdr. Sudarmoko; tetapi sejauh yang saya ketahui cerita-cerita randai relatif statis dan konvensional. Beberapa kajian mengenai randai, misalnya oleh Mursal Esten [1980], Margaret Kartomi [1981], Mohd Anis Md Nor [1986], Kharul Harun [1992], dan Kirstin Pauka [1995]) menunjukkan bahwa kurang ada diversifikasi tema dalam cerita randai).
Yang justru lebih menarik adalah beberapa bentuk penceritaan kaba lisan yang kemudian juga banyak yang dikasetkan dan sekarang di-VCD-kan. Saya menggariswabahi di sini dua bentuk penceritaan kaba: dendang Pauah dan rabab Pasisia (gaya baru). Menarik sekali bahwa kaba-kaba yang diceritakan dalam kedua bentuk storytelling itu mengandung unsur ‘kemodernan’ yang sebenarnya amat menarik diteliti lebih lanjut. Kaba-kaba yang diceritakan berlatar dunia modern, dengan tokoh-tokohnya yang digambarkan bepergian dengan mobil, bus, atau kapal terbang, tidur di hotel. Watak tokoh-tokoh itu digambarkan juga dengan ciri kepribadian yang baru, yang lebih individualis, yang berbeda dengan watak tokoh kaba-kaba klasik. Unsur-unsur supernatural dan irasional juga sangat minim ditemukan dalam kaba-kaba tersebut. Frase “gaya baru” yang sering dipakai oleh Syamsuddin, seorang tukang rabab Pasisia yang terkenal asal Kambang, juga mengindikasikan adanya inovasi dalam gaya bahasa dan penyampaian (Menurut Nigel Phillips [1991] ini juga semacam trick untuk menarik khalayak dan pembeli kaset-kaset rekaman rabab Pasisia). Misalnya Syamsuddin mencoba memasukkan unsur humor yang lebih banyak ke dalam pertunjukannya melalui banyak pantun-pantun yang lucu. (Mengenai aspek modernitas dalam kaba-kaba yang diceritakan rabab Pasisia dan dendang Pauah kedua bentuk pertunjukan ini, lihat artikel Nigel Phillps (1991) dan Edwin Wieringa (1997) (lihat di atas); Suryadi, Dendang Pauah: Cerita Orang Lubuk Sikaping (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 1993); dan Suryadi, Rebab Pesisi Selatan: Zamzami dan Marlaini (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 1993).
Inilah sedikit pemikiran saya mengenai “Sastra Minangkabau Modern”. Mungkin saja ada fenomena terbaru sekitar kebahasaan dan kesastraan di Minangkabau yang tidak ter-cover oleh tulisan singkat ini, mengingat dua tahun terakhir ini saya hanya mengamati perkembangan kebudayaan Minangkabau dari jauh melalui media. Saya rasa para akademikus dan budayawan di Sumatra Barat sendiri tentu lebih banyak tahu. ***
Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah, Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda
No comments:
Post a Comment