OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, dan sedang belajar di Universiti Malaya
Pengaruh introduksi teknologi baru di tengah kehidupan masyarakat, yang diiringi dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan (formal maupun informal, langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak disengaja), kesehatan dan ekonominya, telah meyeret bangsa Indonesia kepada perubahan yang tidak terbayangkan sebelumnya (Sjafri Sairin, 2002). Perubahan tersebut merupakan akibat dari meningkatnya sistem pengetahuan dan gagasan yang dimiliki masyarakat, yang didapatnya dari berbagai macam sarana dan fasilitas, dan bermuara menjadi sebuah kekuatan yang tidak tampak (invisible power), serta berpotensi menjadi pendorong daripada sikap dan perilaku manusia sebagai saluran ekspresi kegelisahan kreativitasnya.
Ketika sistem pengetahuan dan gagasan itu telah berhasil menjadi pengarah dan pedoman kepada sikap dan perilaku manusia, maka ianya dapat disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah suatu pengetahuan dan gagasan sudah menjadi kebudayaan, salah satunya dapat dilihat dari sikap dan perilaku masyarakat itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari (Sjafri Sairin, 2002). Seandainya sistem pengetahuan dan gagasan itu didapat dari sumber yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai budaya tempatan, maka kebudayaan yang lahir pun tentu akan menjadi baik pula.
Masyarakat Indonesia saat ini, secara umum sedang bergerak daripada masyarakat agraris tradisional yang spiritualistik menuju masyarakat industrial yang materialistik (Sjafri Sairin, 2002). Tidak dinafikan warna kehidupan masyarakat industrial saat ini sudah merasuk sampai ke kampung-kampung, sekalipun corak kehidupan agraris tradisional belum lenyap sama sekali. Masyarakat menganggap bahwa untuk bertahan pada kehidupan tradisional sudah tidak mungkin lagi karena dianggap tidak cocok dan ketinggalan jaman, tetapi untuk meninggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin, karena model kehidupan dunia baru pun belum jelas dalam sistem gagasan mereka. Keadaan demikian, menyebabkan terjadinya fenomena ”galau budaya”, yang pada tingkat individual disebut dengan istilah anomie (Durkheim, 1951), dan pada tingkat sosial disebut disebut sebagai fenomena liminaliti Victor Turner (1976).
Liminalitas adalah ruang transisional antara dua fase yang disebut “betwixt and between”, yaitu suatu situasi di mana masyarakat tidak berada dalam situasi yang sebelumnya dipunyai, sekaligus mereka belum pula bergabung sebagai masyarakat yang baru. Pada saat fase liminal terjadi, seorang individu atau sekelompok masyarakat akan berada pada suatu tempat, keadaan, dan posisi sosial yang tidak menentu. Mereka tidak sedang berada di sini dan tidak pula berada di sana (neither here and nor there). Dalam pada itu, umumnya mereka memiliki karakter ataupun sifat ambigu dengan perasaan rendah diri, merasa terasing, dan teruji. Perilaku mereka adalah pasif dan mematuhi apa saja yang diarahkan oleh orang lain melalui berbagai macam sarana dan fasilitas, terutama sarana media elektronik, tanpa ada bantahan ataupun kritikan. Turner menyebut masyarakat demikian dengan istilah ”community” yang ditakrifkan (defined) sebagai kelompok masyarakat anti struktur dan berada di luar struktur (unstructured).
Kasus ”gampo erotis” yang diungkap oleh Mahdi Bahar di Nagari Sungayang, Luhak Nan Tuo (Padeks 24 Oktober 2007), adalah cerminan dari keadaan masyarakat setempat yang berada pada situasi liminal. Jelas sekali bahwa kelompok masyarakat yang tergabung dalam acara ”triping” dan ”goyang dang-dut” itu tergolong kepada masyarakat anti struktur dan sedang berada di luar struktur. Celakanya, keadaan seperti itu ternyata tidak hanya terjadi di Sungayang, tetapi juga terjadi hampir menyeluruh di daerah yang masyarakatnya memiliki filosofi ”Adat Basandi Sara’, Sara’ Basandi Kitabullah” ini, baik itu terjadi di kampung-kampung Minangkabau, apalagi dalam kehidupan masyarakat kota. Biasanya, helat seperti itu muncul pada saat memeriahkan hari raya yang fitri, tahun baru, maupun dalam rangka memeriahkan hari-hari besar nasional. Oleh karenanya, fenomena ”galau budaya” di atas, sebenarnya sudah merupakan cerminan daripada keadaan masyarakat Minangkabau yang liminal secara umum.
Dari hari ke hari, waktu, jam, menit ataupun dalam hitungan detik, perjalanan hidup manusia Indonesia, dan di Sumatra Barat yang masyarakatnya beradatkan Minangkabau, tidak dapat melepaskan diri dari serbuan pengaruh budaya luar (Barat). Serbuan itu datang dengan sangat sistematis dan terprogram melalui berbagai cara, sehingga menyebabkan tidak ada lagi waktu untuk berpikir apakah budaya yang datang ini sesuai dengan budaya tempatan ataupun tidak. Dalam keadaan terpesona itu, kecenderungan masyarakat penerimanya adalah mengadopsi saja unsur-unsur yang sifatnya kebendaan (materialistik) dibanding nilai ataupun maknanya. Keadaan demikian terus berkembang menjadi sistem pengetahuan dan gagasan, yang kemudiannya menjelma dalam bentuk sikap dan perilaku sebagai ekspresi daripada kegelisahan kreativitasnya.
Sayangnya, pembangunan di Indonesia belum terlalu serius menangani permasalahan mental spiritual manusianya. Kosentrasinya masih terfokus kepada hal yang sifatnya fisik maupun materi, di mana pembangunan demikian selalunya dapat diukur dengan berbagai indikator keberhasilannya dengan angka-angka. Ada kriteria keberhasilan jika dapat membangun berbagai sarana fisik dan kebendaan yang berwujud, sedangkan membangun sesuatu yang tidak berwujud dan tidak tampak dianggap sebagai hal yang sia-sia. Akan tetapi, ketika bangunan fisik itu hancur dihoyak gempa, maka fokus perhatian kembali lagi kepada hal-hal spiritual sebagai kekuatan yang tidak berwujud, sekalipun itu masih tetap direkayasa dalam bentuk seremonial sebagai sebuah performance yang berwujud.
Tentu saja dapat disebut sebagai sebuah kealpaan, ketika pembangunan tidak menyentuh potensi spiritual manusia melalui programnya yang jelas, salah satunya adalah dengan cara mengaktifkan berbagai kegiatan kesenian yang berbasiskan kepada nilai-nilai budaya tempatan dan agama. Bukankah adat dan budaya Minangkabau sudah mengajarkan bagaimana manusia Minangkabau menjadi Minangkabau melalui lembaga pendidikan tradisional di surau-surau.
Sekalipun itu tidak mungkin lagi dilakukan sekarang, namun dalam bentuknya yang lebih moderen tentu masih bisa, yaitu dengan memanfaatkan kemampuan seniman kreatif yang intelektual, di mana kemampuannya dalam menggarap bentuk-bentuk kesenian tradisional sesuai kemajuan jaman sudah teruji keberhasilannya. Begitu pula dengan banyaknya bentuk-bentuk kesenian tradisional Minangkabau yang dapat diambil sebagai vokabuler, dan potensi budaya tempatan yang mencerminkan nilai-nilai etika dan estetikanya yang Islami.
Kalau diarahkan pandangan kepada potensi demikian, maka akan dapat dihitung bahwa Sumatra Barat memiliki potensi kesenian tradisi sebagai vokabuler, memiliki seniman sebagai kreator, memiliki sarana sebagai tempat berekspresi (bukankah di berbagai daerah sudah dibuat Medan Nan Bapaneh?), memiliki orang-orang, sekolah-sekolah, organisasi, ataupun lembaga-lembaga sebagai penggeraknya. Tinggal lagi program dan dana yang belum ada, dan ini menyangkut kepada good will daripada pemerintah bersama wakil rakyat di DPRD.
Menyikapi keadaan masyarakat liminal dengan kelompoknya yang disebut community itu, sebenarnya dapat diantisipasi dengan aktivitas kesenian yang terprogram sampai ke tingkat nagari. Tentu saja hal tersebut mesti diiringi dengan dukungan dana yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan, melibatkan seluruh komponen masyarakat dan pemerintah, dan tidak direkayasa untuk kepentingan kelompok tertentu. Aktivitas yang terprogram demikian, tentu akan dapat menjadi penyeimbang terhadap upaya penghancuran moral dan pelunturan nilai-nilai budaya Minangkabau dalam berbagai ekspresi kegelisahan kreativitas masyarakatnya yang liar. Dengan demikian, sambil berjalan mengikut kemajuan jaman, diharapkan akan tetap lahir manusia-manusia Minangkabau yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, disiplin, berwawasan luas, kreatif, punya inisiatif, serta memiliki sikap dan perilaku sesuai etika dan estetika budayanya. Bukankah aktivitas kesenian yang berhasil akan dapat meredam kegelisahan kreativitas yang liar dan menyalurkan kegelisahan dan kekecewaan dalam bentuk ungkapannya yang artistik?*
Kuala Lumpur, 18 Desember 2008
No comments:
Post a Comment