OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, sekarang mahasiswa Program PhD pada Universitas Malaya, Malaysia
Setidaknya, ada tiga hal penting yang bisa dipetik dari apa yang dilakukan Hoerijah Adam berkait kehidupan tari Minangkabau dewasa ini: Pertama, meneguhkan kembali tari Minangkabau yang semula berasaskan gerak tari Melayu kepada tari Minangkabau yang sebenarnya, yaitu pancak (silat) Minangkabau. Kedua, menggunakan secara sadar nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau dalam karya tarinya. Ketiga, menempatkan posisi perempuan Minangkabau sebagai manusia yang punya hak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan (baca: kesenian) tanpa melepaskan identitasnya sebagai perempuan Minangkabau.
Ketiga hal di atas adalah pemikiran konstruktif dari seorang seniman bernama Hoerijah Adam. Ianya sejalan dengan pembinaan terhadap realitas sosial masyarakatnya yang berubah hingga membias kepada kualitas seni pertunjukannya (Richard Schechner. 2002:110). Persoalannya, apakah konstruksi pemikiran tersebut masih relevan dipakai pada jaman sekarang? Inilah yang mungkin menjadi inti dari gugatan Gus RY dalam tulisannya bertajuk SPIRIT YANG PENAT, dimuat Padeks Minggu 23 Nopember 2008 yang lalu.
Hal pertama berkait dengan perspektif budaya. Hoerijah Adam mengubah asas gerak tari Minangkabau adalah berdasarkan kepada perspektif tari tradisi Minangkabau (pamenan) yang berasaskan pancak.
Meneguhkan kembali tari Minangkabau sesuai asas budayanya. Meneguhkan kembali tari Minangkabau, oleh Hoerijah Adam dilakukan melalui aktivitas penelitian dan memasukkan unsur-unsur baru dalam tariannya. Dalam proses kreativitasnya itu, terlihat ada tindakan penelitian, ekslorasi, dan kerja studio. Hasil penelitian dan kerja studio tersebut seterusnya menjadi konsep tari Minangkabau yang dipakai oleh koreografer Minangkabau saat ini hingga memunculkan statement bahwa asas tari Minangkabau adalah pancak.
Semenjak saat itu, tari Minangkabau muncul menjadi perbincangan dalam berbagai forum akademis dan festival tari di dunia. Ianya menjadi wacana (discourse) tersendiri sebagai reaksi daripada performativity budaya Minangkabau yang terekspresikan dalam gerakan tarinya. Peneguhan kembali asas gerak tari Minangkabau dianggap sebagai awal kebangkitan tari Minangkabau kontemporer.
Pertanyaannya sekarang adalah, masihkah pancak (silat) Minangkabau menjadi asas daripada gerakan tari yang disebut Tari Minangkabau? Seberapa jauh koreografer Minangkabau saat ini menyelami pancak sebagai asas koreografinya?
Hal kedua berkait dengan muatan ke-Minangkabau-an dalam tari. Muatan tersebut berisikan nilai-nilai ABS-SBK yang semestinya tercermin dalam setiap karya tari yang disebut Tari Minangkabau.
Pada masyarakat tradisi Minangkabau, pemahaman terhadap pancak (silat) dan pamenan (tari tradisi) sejalan dengan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam dan adat Minangkabau. Hal demikian merupakan materi ajar pendidikan tradisional di surau-surau untuk mempersiapkan manusia Minangkabau menjadi orang Minangkabau. Oleh Hoerijah Adam, hal tersebut menjadi rujukan penting yang digunakannya sebagai konsep tariannya. Pada karya-karya tari Hoerijah Adam terlihat beberapa ketentuan yang secara konsisten dipakainya, yaitu: 1. Ide karya mencerminkan kehidupan yang berlandaskan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul; 2. Bentuk karya tidak mengkultuskan sosok manusia dalam bentuk dan wujudnya yang absolut; 3. Antara penari wanita dan penari pria tidak bersinggungan; 4. Bentuk tubuh penari disamarkan melalui kostum yang longgar; 5. Gerakan tarian untuk wanita tidak erotis dan tidak sensual; dan 6. Gerakan tarian tidak dilakukan secara berlebihan melebihi batasan etika dan estetika budaya Minangkabau yang berasaskan kepada nilai-nilai agama dan adat.
Sekalipun demikian, Hoerijah Adam juga memasukkan unsur-unsur baru melalui teknik-teknik tari moderen sebagaimana yang diwujudkannya melalui karya-karyanya. Lantas, kalau kita membandingkannya dengan perkembangan koreografi di Sumatera Barat yang mengikutkan sebutan Minangkabau sebagai identitas budayanya, barangkali akan timbul pertanyaan, masihkah nilai-nilai ABS-SBK menjadi rujukan penting dalam karya-karya koreografi yang mengikutkan identitas Minangkabau itu?
Hal ketiga, adalah berkait dengan situasi kehidupan masyarakat Minangkabau di mana dulunya perempuan tidak dibolehkan menari di depan orang ramai. Adalah hal yang diangap tabu dan tercela apabila perempuan menari di depan umum. Hal demikian merupakan aturan adat Minangkabau untuk membatasi keterlibatan perempuan dalam dunia seni pertunjukan sebagai pernyataan daripada rasa malu dan aurat. Pembatasan ini terkait sebagai norma dan nilai adat yang dilembagakan dalam sistem sosial yang bertumpu pada sistem matriarkat yang dianut oleh masyarakat Minangkabau (Fuji Astuti. 2004:xvii).
Akan tetapi, Hoerijah Adam telah mempelopori keterlibatan perempuan dalam dunia kesenian. Perempuan Minangkabau dipahami sebagai manusia yang juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam gerak pembangunan. Dianya tidak harus berlindung saja di balik ritual yang menjadikannya sebagai limpapeh rumahgadang. Ada potensi yang bisa dikembangkan sesuai kodratnya sebagai manusia, sekalipun itu masih terikat dalam bingkai ke-Minangkabau-an. Oleh itu, perwujudan daripada keterlibatan perempuan Minangkabau dalam tari, oleh Hoerijah Adam, adalah mengikut kepada hak pengembangan diri sebagai manusia tanpa menanggalkan identitasnya sebagai perempuan Minangkabau. Melalui karyanya, Hoerijah Adam memperlihatkan bagaimana perempuan Minangkabau menarikan tari Minangkabau.
Sebagai kelanjutannya, saat sekarang aktivitas menari di Sumatera Barat justeru didominasi oleh kaum perempuan. Bahkan koreografer yang banyak memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan tari Minangkabau adalah perempuan. Demikian juga dengan penarinya di mana saat ini jumlah penari perempuan lebih banyak daripada penari laki-laki. Persoalannya sekarang adalah, apakah prinsip-prinsip ke-Minangkabau-an daripada peran perempuan Minangkabau dalam tari masih terpakai atau tidak?
Tidak dinafikan bahwa tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau saat ini telah berubah. Proses industrialisasi di Indonesia berdampak kepada perubahan sistem gagasan masyarakatnya, daripada masyarakat agraris tradisional kepada masyarakat modern, dan daripada masyarakat modern kepada masyarakat postmodern.
Tidak dinafikan juga, bahwa pemikiran-pemikiran dekonstruktif yang diusung oleh kaum postmodern mulai masuk ke wilayah perbincangan kaum intelektual Sumatera Barat saat ini. Kaum postmodern mencoba membuat pembelaan terhadap keinginannya untuk sebuah kebebasan. Mereka tidak mau terikat oleh ketentuan-ketentuan yang sebenarnya masih berkembang dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat yang berbasis budaya Minangkabau. Agaknya, pemikiran seperti itu yang tersirat dari tulisan Gus RY di Padeks Minggu yang lalu. Gus RY mencoba menyebarkan rhizome postmodernnya yang dekonstruktif terhadap spirit Minangkabau yang konstruktif dalam tari.
Kaum postmodern, adalah kumpulan manusia yang menggugat kemapanan konsep kehidupan sosial saat ini, seperti kemapanan konsep opposite binary (tradisional-modern, siang-malam, laki-perempuan, atas-bawah, dan lain sebagainya). Oleh karenanya, konsep egalitarian, proletariat, bonjour, kebebasan, dan yang senada dengan itu, menjadi issue populer kaum ini. Kemunculan mereka adalah berkait erat dengan adanya perubahan pada masyarakat Indonesia secara umum, yaitu daripada masyarakat agraris komunal kepada masyarakat industrialis individual. Perubahan tersebut menimbulkan fenomena transisional pada sebahagian anak muda di Indonesia.
Akan tetapi, ketika trend ini masuk ke Sumatera Barat yang notabene masih mempertahankan budaya leluhurnya, maka ianya tidak berlaku sama sekali. Sebagai kaum muda yang sedang tumbuh, mereka berada pada posisi di luar sruktur. Oleh sebab itu, mereka disebut sebagai sekelompok masyarakat liminal yang oleh Victor Turner disebut sedang tidak berada di sini dan tidak pula berada di sana (neither here nor there).
Sebagai kelompok masyarakat liminal, gugatan mereka biasanya bermuara kepada persoalan moralitas yang mengusung permasalahan perilaku yang dikembalikan kepada bentuk naturalnya (restored behavior), tidak merujuk kepada nilai-nilai yang berlaku umum.
Kembali kepada Hoerijah Adam. Apa yang digagas Hoerijah Adam adalah mewakili masyarakatnya dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Memandangkan hal tersebut, masyarakat tari Sumatera Barat menganggap perlu mengadakan acara memperingati wafatnya Hoerijah Adam setiap tahun. Bahkan acara serupa juga dilakukan di Jakarta dan Surakarta. Entah sebuah kebetulan, Hoerijah Adam wafat tepat saat Indonesia memperingati hari pahlawannya tanggal 10 Nopember, hingga spirit memperingati wafatnya Hoerijah Adam membias sebagai acara memperingati kepahlawanannya. Apalagi beliau wafat dalam sebuah kecelakaan tragis pesawat Merpati di daerah Pesisir Selatan pada saat tari Minangkabau mulai menampakkan sosoknya dalam medan juang tari Indonesia.
Memperingati wafatnya seorang tokoh, tidak berarti fokus pada mengingat sosok individunya. Masyarakat tari Sumatera Barat tidak mengkultuskan Hoerijah Adam sebagai sosok individu. Oleh itu, setiap memperingati wafatnya sang peneguh tari tersebut, selalu dikaitkan dengan tema-tema aktual berhubungan perkembangan tari Minangkabau. Untuk itulah, setiap tahun memperingati wafatnya Hoerijah Adam, selalu lahir tema-tema yang berbeda sesuai situasi yang berkembang.
Tahun ini, tema yang diusung adalah Hoerijah Adam dan Spirit Minangkabau Dalam Tari. Acara ini memuat rangkaian kegiatan penting lainnya, yaitu diskusi panel yang mengangkat tema Nilai-Nilai Islam dan Adat Dalam Tari Minangkabau, serta pertunjukan karya kolaborasi bertajuk Perempuan Tak Lagi Limpapeh Rumah Nan Gadang. Tema acara beserta dua bentuk kegiatan itu dilakukan berkait dengan situasi tari Minangkabau dewasa ini sepertimana pertanyaan-pertanyaan yang telah disampaikan di atas.
Memperingati wafatnya seorang tokoh --kalau itu diartikan sebagai keharusan menjemput kembali spiritnya dalam mempertahankan sesuatu yang ideal-- boleh jadi dianggap sebagai hal yang melelahkan bagi kaum postmodern. Cara memperingati demikian boleh jadi juga dianggap sebagai hal yang tidak memiliki daya tarik. Sekalipun demikian, diskusi yang memperbincangkan kewujudan tari Minangkabau dewasa ini, ramai diikuti mahasiswa, pelajar, dan pelaku seni. Apalagi pertunjukan yang menampilkan karya kolaborasi lima koreografer wanita Sumatera Barat malam harinya, dua pertiga daripada kapasitas gedung teater utama Taman Budaya yang berjumlah 600-an kursi, terisi oleh penonton yang berminat menyaksikannya.
Bagaimanapun, memperingati sebuah sejarah adalah menjangkau kembali sebuah spirit. Spirit tidak hanya dipahami karena nilai utama sebuah spirit terletak [pada keberlanjutannya. Ianya tidak berhenti sebagai sebuah formula tersendiri pada jamannya. Masalah apakah ianya dianggap sebagai spirit yang melelahkan dan tidak memiliki daya tarik, sangat tergantung bagaimana kita memaknainya.*
Bukittinggi, 25 Nopember 2008
Mantaplah Indra Utama. Saya tertarik dengan paragraf nafas ABS-SBk dalam karya Hoeriyah Adam
ReplyDelete