KODE-4

Sunday, February 15, 2009

Menggugat Afrizal Malna

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, sekarang mahasiswa Program PhD pada Universitas Malaya, Malaysia

Afrizal Malna (penyair, budayawan) datang ke STSI Padangpanjang, membawa satu kelompok tari dari Yogya dan menampilkan tiga koreografi Fitri Setyaningsih tanggal 10 Nopember 2007. Pertunjukan itu bertajuk “Pidato Bunga-Bunga”, sebagai rangkaian pergelaran tiga kota (Medan, Padangpanjang, dan Bandung) dari program hibah seni Yayasan Kelola.

Tiga koreografi Fitri disebut sebagai laporan dari perjalanan kreativitasnya dalam menemukan ”tubuh tari”, bukan ”tubuh penari”. Sasaran pikiran ini mulanya diarahkan dalam bentuk proses eksplorasi di mana semua penari yang terlibat memang bukan penari. Mereka adalah orang-orang yang bekerja sebagai tenaga serabutan, merajut, perupa, atau sebagai ibu rumah tangga. ”Tubuh Tari” untuk mereka jadi sebuah pembebasan untuk mengekspresikan tema-tema personalnya sendiri, sementara ”Tubuh Penari” dianggap sebagai tubuh yang sengaja diprofesikan dan oleh karenanya akan kehilangan realitas kesehariannya.
Pada diskusi di hadapan para akademisi tari STSI Padangpanjang, sebagai institusi yang melakukan aktivitas tari secara konvensional, Afrizal Malna menawarkan pendekatan lain untuk menari. Pendekatan tersebut lebih menusuk kepada permasalahan menari sebagai ekspresi budaya, di mana ekspresi pelaku tari secara personal dapat terwadahi oleh tubuhnya tanpa kungkungan yang bernama teknik. Oleh itu, menari mestilah dilakukan berdasarkan konsep ”Tubuh Tari” yang natural.
Tari, adalah laku performance yang wujud sebagai hubungan dialektik dalam sebuah kesatuan sosial budaya, dan dapat dimengerti sebagai sesuatu yang berkembang dan berubah, baik dalam hal bentuk ataupun maknanya. Oleh karenanya, tari disebut sebagai alat komunikasi yang memiliki keupayaan komunikasi (communication competence).
Sebagai alat komunikasi, tari memiliki sistem universal yang dapat dimengerti melalui perbedaan-perbedaannya berdasarkan latarbelakang budaya yang menaunginya. Meskipun demikian, tari bukanlah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua orang. Oleh karenanya, memahami tari mestilah melalui caranya tersendiri, yang oleh Adrianne Kaeppler (2001) disebut melalui kajian bentuk (form), struktur (structure), dan gaya (style) secara bersamaan. Ketiga hal tersebut adalah konsep kajian yang dipakai untuk memahami apa yang disebut sebagai TUBUH TARI.
Akan tetapi, apapun yang menjadi persoalan sehubungan permasalahan TUBUH TARI, sebagai sebuah performance, ianya harus diwujudkan melalui TUBUH PENARI, tidak dikira penari itu berasal dari ibu rumahtangga, pedagang, orang kantoran, perupa, tukang sulam, dan lain sebagainya. Asal dianya sedang melakukan perannya sebagai penari, maka dia disebut penari, yang melakukan tugasnya melalui TUBUH-nya sebagai PENARI.
Mungkin apa yang ingin disampaikan Afrizal Malna melalui koreografi Fitri adalah, bahwa menari juga bisa dilakukan oleh orang yang tidak berprofesi sebagai penari, di mana untuk mencapai profesi itu seorang penari harus “merusak” tubuhnya dengan berbagai teknik dan latihan-latihan sesuai tuntutan menari secara konvensional. Ada kesan Fitri ingin membenturkan persoalan menari, antara penari yang berprofesi sebagai penari dengan penari yang sama sekali tidak berprofesi sebagai penari, atau Fitri ingin membuktikan bahwa menari adalah sebuah kerja permainan (pada budaya Minangkabau, kesenian disebut pamenan/permainan), atau kerja main-main, atau sebuah laku yang bisa saja dilakukan oleh semua orang (ibu rumahtangga, pedagang, orang kantoran, tukang becak, sopir angkot, dan lain sebagainya). Kalau memang demikian, itupun bukan hal yang dianggap salah. Bukankah pada masyarakat tradisi, juga tidak ada ketentuan konvensional yang mengharuskan penari harus “merusak” tubuhnya terlebih dahulu dengan teknik-teknik menari untuk dapat melakukan sebuah tarian?
Namun, melalui forum diskusi, Afrizal Malna ternyata tidak sekedar mengusung permasalahan ”Tubuh Tari” dan ”Tubuh Penari”. Banyak hal yang dikaitkan dengan itu dalam upaya menyebarkan virus rhizome post-modern melalui kesenian. Ujung-ujungnya adalah bermuara kepada persoalan moralitas dengan mengusung permasalahan perilaku yang dikembalikan kepada bentuk naturalnya (restored behavior), sepertimana disampaikan pelaku tarinya (kalau memang mereka tidak mau mengaku sebagai penari) yang mengatakan bahwa mereka meragukan apakah memiliki kelamin atau tidak. Oleh karenanya, mungkin saja itu yang menjadi alasan koreografernya untuk menggunakan kostum wanita pada pelaku tari laki-laki.
Kaum post-modern, adalah kumpulan manusia yang menggugat kemapanan konsep kehidupan sosial saat ini, sepertimana halnya kemapanan konsep sistem binary, seperti siang-malam, laki-perempuan, jantan-betina, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, konsep egalitarian, proletariat, bonjour, hak-hak perempuan dan kebebasan perempuan menjadi issue populer kaum ini. Kemunculan mereka adalah berkait erat dengan adanya perubahan pada masyarakat Indonesia. Perubahan itu menimbulkan fenomena transisional pada sebahagian anak muda di kota-kota besar Indonesia, salah satunya dapat dilihat dengan munculnya kaum metroseksual di kota-kota besar. Tetapi,  ketika trend ini dibawa ke kampung dan kota kecil, ianya tidak berlaku sama sekali. Sebagai kaum muda yang sedang tumbuh mereka merasa berada di luar sruktur yang ada. Oleh sebab itu, mereka disebut sebagai sekelompok masyarakat liminal yang sedang tidak berada di sini dan tidak pula berada di sana (neither here nor there).
Celakanya budaya kota kecil Padangpanjang masih mempertahankan adat istiadat Minangkabau dengan etika Islaminya yang kuat, dan Afrizal Malna pun tentu harus berpikir lagi untuk mengusung pemikiran post modern-nya ke kota kecil ini.*
Bukittinggi, 17 Nopember 2007

1 comment:

  1. Tolong ka Da Indra:
    Subananyo asik katiko bahasan ko mengulas lingkup "budaya". Tapi jadi ndak konsisten katiko ditaruihkan ka soal performance dan communication competence. Memang iyo yg nyo baok ado urang nan bajalan2 di ateh pangguang yg uda anggap performance tu. Tapi sebagai pembicaraan budaya, seharusnyo ndak diformulasikan begitu saja ke pengertian performance (seni/komunikasi/dst), sedang isi dan politik budaya nyo alun takuak samo sakali. Kalau konsisten, paradigm style, form dsb nyo tuh yg harus dibongka konteks budayanyo. Karano itu kan politik budaya, politik konvensi. JAdi wak ndak mancemeeh surang mangicekkan "pamenan anak nagari". Karano pilihan urang minang pado "pamenan", adlh politik budaya nyo rang awak. Itu yg harus wak gali mukasuid jo isi, baa kok itu nan dipiliah gaek2 dulu. Malah yg da singguang soal pembuktian fitri jo pamenan tu. sayang bana.. konteks kritik afrizal wak raso ndak sesederhana itu da.. di padang panjang kota ketek tu, dulu kan sarang Komunis Muslim yo da, ado kadai merah di dakek thawalib markasnyo sampai kini(?) satu-satunyo komunis bisa baagamo di dunia yo disinan se nyo. Laweh kota nyo se yg ketek da.. nan lainnyo antah (postmo?)... Salam

    ReplyDelete