KODE-4

Saturday, April 17, 2010

Maestro Islamidar

Soldier of LoveKeeping Art Sampelong

By Yusriwal  anda Abel Tasman


Whimpered softly but melodious voice when reciting poetry / song sang to the accompaniment sampelong saluang Bansi is playing. He it is familiarly called Tuen Islamidar by residents of surrounding villages. Tuen born on July 16, 1941 in Nagari Gutters Maua, District Mungka, regency. In the same village he lived to this day. Tuen are the inheritors and guardians of sampelong art, one art Minang tradition that still exists today. Living history is identical with the development of Tuen sampelong itself.

Tuen indeed come from families that bloody art. Her mother is a singer who also sang sampelong clever play drums. Who's the father was a skilled Qari reciting verses from the holy Koran with a good rhythm on the ear. His grandfather was a harp player. Similarly etek and mamaknya.

Sampelong rhythm is the rhythm that is played with similar saluang Bansi. Formerly, sampelong is a kind of music that was sung at the time menggampo dried. We do not wear it sampelong sang. Even if there sampelong rhythmic singing, but the accompanying music is Talempong. New since the year 1965, disposable sampelong sang. Poems / songs sang sampelong more revolves around the bitterness of life, keperihan fate, failure in love, poverty and all other grief. Sampelong lyrics is elegy: edible rice husk seemed, seemed drunk water thorns.

Sampelong, as manifested in Minangkabau Tuen existing before the arrival of Islam into this realm. Sampelong tones are tones of Buddhist songs. This is evidenced by the similarity with the existing tone in Thailand, a nation of culture and art is rooted in the Buddhist religion and also in areas of Palembang who had been a growing place of the Buddhist religion.

Maestro Sawir Sutan Mudo


Mak Sawir The "King Bagurau"
As an artist tradition in this sphere, he kept his deep concern current conditions of culture, customs, and traditions of Minangkabau. He considered, in broad Minang remarkable deterioration. Concern was expressed over the full sampiran warnings; "Jaan until the damaged deck nangkhododoh kapa, binaso wood deck builders, custom deck pangulu damaged, the road deck urang dialiah ago. (Do not let the damaged vessel caused by a captain, because the builders of timber destroyed, damaged customary for princes, the path is shifted one pass).

Thursday, April 15, 2010

Maestro Inyiak Upiak Palatiang



Minang Traditional Arts Carers
His name Inyiak Upiak Palatiang. Women. She was already 105 years old. That night, March 19, 2005, at the Cultural Park Theatre Closed West Sumatra, in the performing arts maestro Arts Council of West Sumatra IV in Performing Arts, he became "stars." Inyiak Upiak Palatiang expertise in the art and tradition of Minangkabau silat sonority singing voice sang creations, made him a figure of the long-awaited audience.

Wednesday, April 14, 2010

Maestro Arby Samah


Originator of Abstract Sculpture
ABSTRACT words appear one by one. Question marks appear slowly. Starting from the small of the back. Question Mark stopped behind the letter K, for a moment and then continued to grow forward split screen.
Abstract. That's the first word that appears in the head when this artist names mentioned. As if, when the abstract dictionary is opened, this former student of ISI Yogyakarta was the first diurutan.

Tuesday, December 8, 2009

Pertunjukan di Indonesia: Sebuah Abstraksi

Oleh Indra Utama
Bilamana kita bersepakat dengan Richard Schechner (2002:2-19) yang menyatakan bahwa pertunjukan (performance) mesti dipahami sebagai spectrum yang luas daripada rangkaian kesatuan aksi manusia, seperti upacara, permainan, olahraga, pertunjukan popular, pertunjukan seni, dan penampilan kehidupan sosial sehari-hari sebagai profesional, gender, bangsa, dan lain-lainnya, maka diskusi tentang pertunjukan pun akan menjadi lebih luas karena ianya berkait dengan aksi dan perilaku manusia yang memiliki hubungan intercultural antara sesamanya. Dengan demikian, pertunjukanpun akan menjadi bidang kajian yang menarik pula karena dapat mengintegrasikan persoalan-persoalan teater dan antropologi, folklore dan sosiologi, sejarah dan performance theory, kajian gender dan psikoanalisis, serta performativity dan peritiwa pertunjukan itu sendiri.

Sunday, February 15, 2009

Hoerijah Adam dan Spirit Minangkabau dalam Tari (Respons Tulisan Gus RY)

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, sekarang mahasiswa Program PhD pada Universitas Malaya, Malaysia
Setidaknya, ada tiga hal penting yang bisa dipetik dari apa yang dilakukan Hoerijah Adam berkait kehidupan tari Minangkabau dewasa ini: Pertama, meneguhkan kembali tari Minangkabau yang semula berasaskan gerak tari Melayu kepada tari Minangkabau yang sebenarnya, yaitu pancak (silat) Minangkabau. Kedua, menggunakan secara sadar nilai-nilai Islam dan adat Minangkabau dalam karya tarinya. Ketiga, menempatkan posisi perempuan Minangkabau sebagai manusia yang punya hak untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan (baca: kesenian) tanpa melepaskan identitasnya sebagai perempuan Minangkabau.

Menggugat Afrizal Malna

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, sekarang mahasiswa Program PhD pada Universitas Malaya, Malaysia

Afrizal Malna (penyair, budayawan) datang ke STSI Padangpanjang, membawa satu kelompok tari dari Yogya dan menampilkan tiga koreografi Fitri Setyaningsih tanggal 10 Nopember 2007. Pertunjukan itu bertajuk “Pidato Bunga-Bunga”, sebagai rangkaian pergelaran tiga kota (Medan, Padangpanjang, dan Bandung) dari program hibah seni Yayasan Kelola.

Koreografer Muda Sumatra Barat: Berkarya Tanpa Panutan

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, sekarang sedang belajar di Universiti Malaya
Pada masyarakat tradisional Minangkabau, kata tari diartikan sebagai laku olah gerak dan rasa. Masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan kata pamenan. Ianya memiliki akar gerak kepada ilmu beladiri pancak (Indra Utama, 2001:71-80; Edi Sedyawati, 1998:72; Sal Murgiyanto, 1991:276; O’ong Maryono, 1998:9; Mohd. Anis Md Nor, 1986:26).

Nagari Koto Anau dan Tari Mancak

OLEH Indra Utrama, mahasiswa Program PhD University of Malaya

Nagari Koto Anau terletak di kaki Gunung Talang. Berada pada ketinggian 1500 meter dari permukaan laut dengan topografi daerah berbukit-bukit dan lurah terjal yang dalam. Secara geografis letak nagari ini terlihat unik. Bentuknya mengerucut bagaikan piramid, kucuik ka ateh kambang ka bawah. Nagari ini digerayangi air bandar yang berliku mengikut letak rumah penduduk yang tidak tertata. Bandar air itu disebut ula lidi mambalik Koto. Hampir tidak ada halaman rumah yang tidak dialiri air bandar yang jernih ini.

Nagari Koto Anau memiliki air terjun pada beberapa dinding lurahnya. Masyarakat Koto Anau menyebutnya dengan kata timbulun tujuah salirik. Di salah satu Jorongnya terdapat mata air panas yang sering dipakai untuk mandi. Nagari Koto Anau memang kaya dengan aliran air. Bahkan sempat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi listrik. Bekas pembangkit listrik itu masih ada sampai saat ini. Mungkin bisa dianggap sebagai monumen dari kejayaan Nagari Koto Anau masa lalu.

Di bagian tengah Nagari, dengan tanjakan yang lumayan tajam, terdapat jalan raya yang menghubungkannya dengan beberapa nagari tetangga dan Kota Solok. Jalan raya itu selalu dilalui bus menuju perkampungan di pinggiran Danau Kembar. Bunyi raungan mobil mendaki jalanan selalu membelah keheningan Nagari Koto Anau yang damai. Letak ataupun posisi jalan itu bagaikan sisiran rambut belah di tengah. Jalan raya ini dinyatakan dengan kiasan sega rambuik mambalah banak.

Semua rumahgadang di Koto Anau menghadap ke Gunung Talang. Gunung Talang diyakini sebagai sumber rejeki, dan aliran rejeki itu diteruskan ke bawah, yaitu ke Kota Solok. Kiasannya berbunyi tikalak madok ka hilie, manurun ka balai lurah. Mendampingi keberadaan rumahgadang itu, di Koto Anau banyak terdapat surau dalam berbagai ukuran, namun hanya satu surau yang bertahan memelihara kesenian tradisinya, yaitu Surau Sikumbang Ateh Balai.

Orang muda Koto Anau terkenal sundek panaiak darah, namun suko didagang nan tibo. Tidak mudah takicuah karano baso, bukan pulo mudah tatipu karano budi. Watak sundek panaiak darah ini, mungkin pengaruh dari masyarakatnya yang suka makan daging. Hampir setiap waktu makan selalu tersedia masakan daging dalam berbagai corak masakan. Sekalipun demikian mereka suka menerima tamu. Ada perasaan ikhlas ketika menerima si anak dagang. Terkait dengan itu, diperantauan, mereka umum bekerja di berbagai rumah potong daging. Sebuah profesi khusus yang dibawa dari kampung halamannya.

Masyarakat selingkaran luar dari nagari ini sangat mengenal karakter orang Koto Anau. Kalau berbicara selalu menggunakan tiga kata untuk menunjukkan keberadaan dirinya, yaitu aden, awak, dan kito. Watak dan karakter demikian tetap terpelihara sampai sekarang, utamanya bagi orang muda laki-laki yang pernah belajar silat.

Bagi orang muda laki-laki Koto Anau, belajar silat adalah sebuah kewajiban. Jangan mengaku orang Koto Anau kalau tidak pandai bersilat. Terselip perasaan malu jika tidak pernah belajar silat agak sajamang. Apalagi silat yang berkembang di Koto Anau diyakini lahir dari bumi daerahnya. Ianya disebut dengan Silek Si Kayu Kasah dan Silek Si Cabiak Kapan. Silek jenis ini bukanlah silek tontonan, ianya dipakai hanya untuk beladiri saja. Namun untuk keperluan silek tontonan, ahli silat Koto Anau telah pula menciptakan khusus dengan nama Silek Harimau Campo. Ketiga bentuk materi ilmu beladiri ini merupakan pusako rang Koto Anau. Mereka menyebut Harimau Campo sebagai pamenan mato, Si Kayu Kasah pamenan nan saganggam, dan Si Cabiak Kapan pamenan nan sabinjek.

Mengikut aktivitas ilmu beladiri ini, di Koto Anau muncul pula produk budaya lain yang sedarah, yaitu Mancak jo Ambek-Ambek, Talempong sarato Momong, Pupuik Galundi jo Batang Padi, dan Tari Piriang. Aktivitas ini merupakan olah gerak dan rasa sebagai satu bentuk materi permainan anak nagari. Bahasa Minangkabau menyebutnya dengan kata pamenan anak nagari.

Khusus pamenan Mancak, gerakannya seirama dengan silek yang menjadi asasnya. Antara keduanya ibarat saudara kandung yang sedarah. Ciri-cirinya terletak pada kekuatan kaki ketika menapak di bumi, dengan posisi lengan melengkung di sisi kedua badan. Sekilas bentuknya seperti harimau hendak menyerang. Untuk itulah silek itu dinamakan Harimau Campo.

Kata Mancak adalah berawal dari tingkah laku anak-anak yang bermain, bergelut, atau bercanda pura-pura berkelahi dengan menggunakan gerakan pencak. Orang Koto Anau menyebutnya dengan kata bamancak yang artinya bermain mancak atau pancak. Namun Sal Murgiyanto menyatakan kata mancak atau pancak diambilkan dari kata ancak, yang berarti bagus dan menarik (Sal Murgiyanto. 1991:276).

Tari Mancak adalah tari tradisi Koto Anau. Tidak ada Tari Mancak lain selain yang ada di Koto Anau. Demikian claim masyarakat Nagari Koto Anau terhadap produk budayanya yang satu ini. Terbersit satu semangat untuk mengidentifikasi diri sebagai orang Koto Anau melalui kebanggaannya terhadap tari tradisinya itu. Dan memang, semua orang Koto Anau bangga akan produk budayanya ini. Bahkan terlihat nyaris fanatik. Hal tersebut akan tampak ketika terjadi dialog tentang keberadaan Tari Mancak dengan masyarakat Nagari Koto Anau. Akan terasa bagaimana kebanggaan itu adanya. Mereka bicara penuh semangat.

Seiring berjalan waktu, Mancak pun semakin terkonsep sebagai manifestasi kehidupan masyarakatnya. Semua bentuk gerakannya mencerminkan kehidupan masyarakat pemiliknya, dan ianya difungsikan dalam berbagai keperluan memeriahkan upacara nagari, seperti baralek pengangkatan penghulu, manaiak rumahgadang, memeriahkan hari raya, maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain sebagainya. Untuk itu, struktur daripada gerak Mancak pun mengikut kepada tuntutan seni pertunjukan, yaitu mulai dari gerak Pasambahan Pembuka, Titi Batang, Timpo, Kaluang, Suduang Daun, Sauik, Cacah Baro, Tupai Bagaluik, Tumpu, Jinjiang Bantai, Suntiah Taruang Bauwok, dan Pasambahan Penutup. Semua ragam gerak itu, kalau diamati dengan seksama, maka akan ditemukan makna yang tersirat daripada bentuk gerakannya. Makna demikian adalah cerminan dari watak dan karakter masyarakat Koto Anau, juga berisikan ajaran yang sejalan dengan adat salingka nagari Koto Anau.

Adalah Yahya Rasyid Malin Marendah, 72 tahun, pewaris terakhir Tari Mancak dan semua produk kebudayaan ini. Pak Yahya telah lebih dari 50 tahun melakoni kehidupan sebagai seniman tradisi tanpa henti, yaitu mulai dari usia muda belia sampai saat sekarang. Beliau pernah mewakili Sumatera Barat pada Festival Tari Rakyat di Jakarta, juga melatih Tari Piring untuk 350 orang anak pada acara penutupan MTQ ke XIII Tingkat Nasional di Kota Padang. Mungkin, mengingat pengabdiannya yang tiada henti dalam memelihara produk kebudayaan di Koto Anau, sepantasnya pemerintah menganugerahkan tanda jasa kebudayaan kepada beliau.

Berhadapan dengan Pak Yahya, akan terlihat sebuah kesahajaan. Sosok manusia arif yang telah banyak menggeluti asam garam kehidupan, terlebih dalam membina kehidupan seni tradisi daerahnya.

Koto Anau saat ini masih berada di sana, di kaki Gunung Talang yang terlihat semakin kokoh. Memahami Koto Anau adalah memahami budaya Koto Anau. Mulai dari mengenal keadaan daerahnya, keadaan masyarakatnya, sistem sosialnya, adat istiadatnya, sistem kepercayaan, dan keseniannya. Pemahaman demikian lazim didapat melalui pendekatan antropologi ataupun sosiologi, dan metode yang sesuai untuk memahami budaya Koto Anau tersebut adalah melalui participant observer. Artinya, Nagari Koto Anau adalah sumber ilmu. Ilmu untuk menjadikan kita paham untuk apa kita hidup di atas  dunia ini.*

Bukittinggi, 25 Maret 2008

 

Thursday, February 5, 2009

Liminitas Masyarakat Minangkabau dan Ekspresi Kegelisahan Kreativitasnya (Catatan untuk Prof Dr Mahdi Bahar)

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, dan sedang belajar di Universiti Malaya 
Pengaruh introduksi teknologi baru di tengah kehidupan masyarakat, yang diiringi dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan (formal maupun informal, langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak disengaja), kesehatan dan ekonominya, telah meyeret bangsa Indonesia kepada perubahan yang tidak terbayangkan sebelumnya (Sjafri Sairin, 2002). Perubahan tersebut merupakan akibat dari meningkatnya sistem pengetahuan dan gagasan yang dimiliki masyarakat, yang didapatnya dari berbagai macam sarana dan fasilitas, dan bermuara menjadi sebuah kekuatan yang tidak tampak (invisible power), serta berpotensi menjadi pendorong daripada sikap dan perilaku manusia sebagai saluran ekspresi kegelisahan kreativitasnya.

Mencapai Tauhid Melalui Aktivitas Pancak (Silat) Minangkabau

OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, dan sedang belajar di Universiti Malaya 

Pada masyarakat tradisional Minangkabau, kata tari diartikan sebagai laku olah gerak dan rasa (masyarakat Minangkabau menyebut pamenan/permainan) yang memiliki akar gerak kepada ilmu beladiri pancak (Indra Utama, 2001:71-80; Edi Sedyawati, 1998:72; Sal Murgiyanto, 1991:276; O’ong Maryono, 1998:9; Mohd. Anis Md Nor, 1986:26). Kedua-duanya, yaitu pamenan dan pancak, terbina sebagai materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau pada surau-surau yang ada di berbagai pelosok daerah budaya Minangkabau. Materi ajar ini diajarkan sejalan dengan materi ajar lainnya, yaitu pengajaran agama Islam (baca Al-Qur’an beserta seluruh ajaran yang mengikutinya), pengajaran tentang pengetahuan adat istiadat Minangkabau, dan pengajaran-pengajaran praktis lainnya. Semua bentuk pengajaran itu menuju kepada sasaran untuk membentuk manusia Minangkabau siap menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai orang Minangkabau.

Pancak, sebagai antara sarana pendidikan tradisional Minangkabau, hal awal keberadaannya sebagai ilmu beladiri, boleh dikata sulit didapat karena tidak adanya data tertulis. Akan tetapi salah satu asumsi yang dapat diterima menyatakan bahwa pencaksilat India masuk ke Sumatra selama abad ke-8, yaitu pada waktu Kerajaan Sriwijaya berkuasa (Hiltrud Cordes dalam Kristin Pauka. 1998:27). Pada masa itu, saudagar-saudagar kaya India sering datang membawa dagangannya ke Sumatra, dan mereka diterima sebagai tamu terhormat oleh raja dan kalangan istana. Saudagar-saudagar itu tidak hanya datang membawa barang dagangan saja, tetapi juga datang sebagai penyebar agama dan pengembang kebudayaan bangsa asal mereka (MD Mansoer, 1970:41-42).

Memandangkan para saudagar itu membawa dagangan yang banyak dan berharga, serta membawa misi sebagai penyebar agama dan pengembang kebudayaan, maka mereka juga membawa para ahli beladiri untuk melakukan tindakan pengamanan bagi kelancaran usahanya. Para ahli beladiri ini kemudian menyebarkan pengetahuan dan keahlian ilmu beladirinya kepada masyarakat tempatan untuk keperluan pengamanan dagangan mereka serta kelancaran misi budayanya. Dari asumsi ini, sangat mungkin terjadi adanya pancak (silat) di Minangkabau berawal daripada kedatangan saudagar-saudagar dari India tersebut.

Di samping itu, terdapat tiga bentuk mitos yang menceritakan keberadaan pancak (silat) di Minangkabau. Pertama, dikatakan bahwa antara tiga sampai sepuluh generasi yang lalu, pancak (silat) diturunkan kepada putra dan cucu orang Minangkabau melalui kekuatan gaib sambil tidur dalam keadaan tidak sadar; kedua, disebutkan bahwa dua leluhur legendaris Minangkabau, yaitu Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan adalah pencipta pancak (silat) di Minangkabau; dan ketiga ialah mitos yang dikaitkan kepada agama Islam, yang menyatakan bahwa silat diturunkan Allah melalui malaikat Jibrail kepada Adam. Selanjutnya ia turun terus kepada anak cucu Adam yang terpilih secara misterius melalui sarana tidur, tidak sadar, dan sarana magis lainnya (Kristin Pauka. 1998:27-28).

Mitos terakhir ingin menjelaskan adanya hubungan antara pancak (silat) Minangkabau sebagai sebuah produk kebudayaan dengan agama Islam. Hal demikian sangat beralasan karena pusat pembelajaran dan penyebaran pancak di Minangkabau,  berada pada komunitas surau sebagai salah satu materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau.

Berkaitan dengan permasalahan itu, secara tradisional pula, dijelaskan bahwa terdapat tiga asas gerakan pancak merujuk kepada tulisan Arab kuno seperti yang ditemukan dalam Alquran, yaitu: (1) tagak (berdiri) “alif ( ﺎ ), maksudnya adalah tagak (berdiri) Allah; (2)  pitunggue (kuda-kuda) “dal ( ﺩ  ), maksudnya adalah pitunggue (kuda-kuda) Adam; dan (3) “langkah mim ( ﻢ ), maksudnya adalah langkah Muhammad (Bart Barendregt dalam Wim van Zanten. 1995:114). Secara mujarad, perlambangan tiga asas gerakan pancak di atas menyatakan bahwa setiap awal melangkah bagi apapun pekerjaan di dunia ini adalah sama seperti permulaan alif sebagai penghulu abjad. Mujarad alif itu adalah tunggal atau satu seperti ketuhanan itu adalah tauhid (Mohd Anis. 2000:93). Kemudian, tagak alif itu dilanjutkan dengan pitunggue Dal agar posisi tagak mendapat tumpuan yang kuat, dan seterusnya dilanjutkan dengan langkah Mim setelah ada rasa bahwa tumpuan untuk melangkah sudah kuat. Sepertinya perlambangan itu memberikan makna sebuah tahapan yang terstruktur mengikuti jalan Allah, nabi Adam dan kerasulan Muhammad di dalam pancak.

Pemahaman tentang tiga asas gerak pancak tersebut menuju kepada prinsip ke-Esa-an dan sifat transenden Allah ketika gerakan pancak dimainkan, sama halnya bagi kepentingan bersilat (bertarung) dalam rangka membela diri maupun bagi melakukan pancak itu sendiri sebagai permainan. Hal sedemikian menunjukkan ciri-ciri estetik yang direka untuk menghasilkan gambaran infiniti dan transenden yang dituntut oleh doktrin tauhid Alquran sebagai perkara yang abstrak dan mujarad (Faruqi. 1992:173-175).

Bagi para murid komunitas surau, ketiga asas ini harus dipahami, dimengerti dan diamalkan sebagai sebuah keharusan dalam belajar dan memainkan pancak, sehingga melalui cara ini gerakan-gerakan pancak (silat) telah menjadi simbol penting untuk diingat agar mudah dipahami. Pemahaman demikian terkait bilamana rujukan kajian diarahkan kepada hubungan antara mikrokosmos, masyarakat, dan makrokosmos dalam perbincangan tentang keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah (MID. Jamal. 1986:53).

Sejalan dengan itu, pancak memiliki sebutan lain daripada kata silat Minangkabau, yaitu silat langkah ampek (langkah empat). Sebutan ini dinyatakan sebagai kata yang merujuk kepada sifat Nabi Muhammad, yaitu sidiq (kebenaran), tabligh (menyampaikan kebenaran), amanah (dipercaya), dan fatanah (bijaksana). Ke empat sifat Nabi Muhammad ini sejalan pula dengan empat tahapan pencapaian menuju kepada peringkat sufi dalam ilmu tasawuf, yaitu syariah, tariqat, hakikat, dan makrifat (Bart Barendregh dalam Wim van Zanten. 1995:125).

Sangat ditekankan oleh pengajar pancak di Minangkabau bahwa ilmu beladiri ini bukan sarana bagi mencelakakan orang, tetapi lebih kepada sarana melatih diri agar selalu waspada dan hati-hati dalam kesabaran yang tinggi pada setiap tindakan. Hal demikian tercermin dalam pepatah Minangkabau yang berbunyi musuah indak dicari, basuo pantang diilak-an (musuh tidak dicari, bertemu pantang dielak). Oleh karenanya, setiap pendekar (Minangkabau: pandeka) mestilah memiliki jiwa kesatria, suka menolong kaum yang lemah, sabar dan tawakal. Sikap demikian merupakan hal yang sangat digalakkan dalam Islam sesuai ajaran dan sifat-sifat Nabi Muhammad di atas, iaitu siddiq, tablikh, amanah dan fatanah. Tentu saja ajaran demikian sejalan pula dengan tahapan menuju peringkat sufi dalam ilmu tasawuf itu.

Dari segi etika pengajaran pancak, didapati bahwa pengajaran ilmu beladiri ini memiliki struktur yang harus diikuti. Struktur tersebut merupakan modul yang digabungkan untuk menghasilkan rekaan yang lebih besar sebagai satu entiti yang membawa satu ukuran dan kesempurnaan dalam pancak (Faruqi. 1992:176). Biasanya, sebelum latihan pancak dimulai sesudah shallat Isya, semua murid beserta guru menukar pakaian hariannya kepada pakaian latihan berwarna hitam, iaitu celana galembong, baju yang longgar dan destar. Seterusnya mereka melakukan doa bersama sambil duduk melingkar di halaman surau yang disebut sasaran. Doa bersama ini dimaksudkan untuk meminta perlindungan kepada Allah agar dalam melaksanakan latihan pancak diberi keselamatan dan tidak ada yang cedera.

Sesudah itu, setiap pasangan murid yang akan berlatih, menghadapkan salam kepada guru dan seluruh murid yang hadir. Perilaku bersalaman itu adalah dengan cara berjabatan tangan. Jabat tangan kepada guru dilakukan dengan mendatangi sang guru dan bersalaman. Kemudian sang murid menarik tangan sang guru ke kening dan seterusnya mendekapkan telapak tangan ke dada selepas berjabatan tangan itu. Namun untuk jabat tangan kepada sesama murid cukup hanya dengan bersamalam dan seterusnya mendekapkan telapak tangan ke dada. Kemudian barulah masing-masing pasangan melakukan latihan di bawah bimbingan gurunya itu.

Menjelang tengah malam, sebelum berakhirnya latihan pancak, semua murid beserta guru kembali melakukan doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur karena latihan telah selesai dilaksanakan dengan selamat.

Sebagai ilmu beladiri yang berlandaskan kepada ajaran Alquran, pancak lebih menekankan kepada keterampilan tangkisan, elakan, tangkapan, serangan, serta gerak tipu, dan melatih intelegensia untuk mengendalikan situasi. Semua bentuk keterampilan itu kebanyakannya digunakan untuk melindungi dan mempertahankan diri sekalipun metode serangan juga diajarkan. Pepatah silat Minangkabau menyatakan ”indak ado gayuang nan indak basambuik, indak ado tangkok nan indak balapehan”. Artinya, keterampilan ilmu beladiri pancak bukanlah keterampilan untuk mencederakan lawan, melainkan lebih kepada memberi pelajaran agar lawan tidak lagi melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Oleh karenanya, pancak lebih ditujukan untuk membangun hubungan baik sesama manusia sebagaimana difahami dari kata silat yang diambilkan dari kata silaturahmi, yang berarti hubungan baik (Sal Murgiyanto.1991:276). Keterampilan itu wujud pada saat melakukan gerakan dari posisi tegak lurus ke posisi dasar silat, yaitu menempatkan salah satu kaki ke depan dalam posisi rendah (pitunggue). Bentuk dari posisi demikian adalah lutut dibengkokkan dan berat badan bertumpu pada satu kaki di depan atau di belakang. Kadang di saat gerakan sedang berproses, berat badan boleh saja bertumpu di tengah antara kedua tungkai dalam posisi tetap pitunggue.

Selanjutnya, pada saat kedua tungkai berada di posisi demikian, kedua lengan bergerak untuk mengawal anggota tubuh yang vital, seperti dada, kepala, dan bagian bawah perut dengan menyilangkannya di hadapan dada, atau satu lengan menjulur ke depan sebatas bahu, sementara lengan yang satunya lagi berada di dekat perut dalam posisi menjaga. Sementara itu, posisi kepala lurus dengan pandangan mata melirik tajam kepada bahagian-bahagian tertentu daripada tubuh lawan. Sikap perlindungan diri di atas merupakan sikap dasar bagi umumnya silat di Minangkabau, dan ianya merupakan karya budaya yang dianggap penting karena selain berfungsi sebagai ilmu beladiri juga merupakan seni gerak yang dapat menjadi sumber perkembangan seni pertunjukan Minangkabau (pamenan) lainnya, terutama teater tradisi randai dan tari.

Dari penjelasan ini, akan dapat dimengerti bahwa pancak adalah kegiatan yang sangat berhubungan dengan ajaran Islam, baik dari segi konsep idea yang melatarbelakangi adanya pancak, mahupun etika pelaksanaannya, serta unsur-unsur yang ada dari semua gerakan pancak. Apabila konsep idea, etika pelaksanaan, dan semua unsur-unsur gerakan pancak di atas betul-betul dihayati sesuai makna Islam yang terkandung di dalamnya, maka pancak sebagai ilmu beladiri yang menjadi sumber bagi pelbagai bentuk seni pertunjukan Minangkabau, akan menjadi salah satu produk budaya Melayu Minangkabau-Islam yang unggul. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan yang sempurna dalam memainkan pancak, sangat diperlukan kosentrasi ataupun kesatuan pikiran dan tindakan sesuai petunjuk-petunjuk dan arahan pancak di atas. Tujuan dan petunjuk itu mengarahkan kosentrasi si pemain bagi menyeru kepada tujuan untuk mencapai tauhid dalam Islam. Hal sedemikian itu, sesuai dengan seruan agama Islam yang menganjurkan umatnya supaya berusaha mewujudkan suatu kesatuan pikiran dan tindakan di bawah perintah Allah.*

Kuala Lumpur, 30 Oktober 2006

 

Kepustakaan

Edi Sedyawati. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Indra Utama. “Tari Mancak Sebagai manifestasi Pencaksilat Harimau Campo Di Minangkabau”. Tesis, untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S2 pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universiti Gadjah Mada, 2001.

Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam. Terjemahan Mohd. Ridzuan Othman, Mohd. Sidin Ishak dan Khairuddin Harus (Ph.D). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992.

Kristin Pauka. Theatre & Martial Arts in West Sumatra, Randai & Silek of The Minangkabau. Athena: Ohio University Center for International Studies, 1988.

M. D. Mansoer, et. Al. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bharata, 1970.

MID Jamal. Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau. Bukittinggi: C.V. Tropic, 1986.

Mim van Zanten and Marjolijn van Roon. Oideon, The Performing Arts World Wide. Netherlands: Research School CNWS Leiden, The Netherlands, 1995.

Mohd. Anis Md Nor. Randai Dance of Minangkabau Sumatra With Labanotation Scores. Kuala Lumpur: Department of Publications University Malaya, 1986.

__________________ (Ed.). Zapin Melayu Di Nusantara. Malaysia: Yayasan Warisan Johor. 2000.

O’ong Maryono. Pencaksilat Merentang Waktu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1981.

Sal Murgiyanto. “Moving Between Unity and Diversity, Four Indonesian Choreographers”. Disertasi, sebagai bagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Doctor of Philosophy pada New York University. New York, 1991.

Ekspresi Seni Masyarakat Rumah Tangga Miskin

OLEH Indra Utama, koreografer, dosen STSI Padangpanjang, kini belajar di Universiti Malaya 

Ada hal menarik di Nagari Pasar Baru, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan. Tepatnya di Kampung Pasie. Masyarakat Pasar Baru menyebutnya Kampuang Subarang (seberang). Mungkin karena letaknya dibatasi oleh sebuah sungai. Padahal berjarak beberapa meter saja dari pasar. Untuk sampai ke sana harus melewati sebuah jembatan gantung yang lantainya sudah banyak lapuk dan berlobang.
Sebelum sampai di jembatan gantung itu, kita akan melewati samping kantor wali nagari yang satu sisi gonjongnya dipotong untuk keperluan perluasan jalan ke Kampuang Pasie. Hal demikian menyebabkan bentuk gonjongnya terlihat timpang dan tidak simetris. Sebab gonjong sebelah kanan masih ada dua, sementara yang sebelah kiri tinggal satu. Mungkin satu-satunya di Sumatra Barat, ada kantor wali nagari yang memiliki gonjong seperti itu.

Monday, January 26, 2009

Produksi Sosial Teks dan Konsep Estetika dalam Sastra Kita

Hasanuddin WS, Guru Besar Ilmu Sastra dan Humaniora FBSS Universitas Negeri Padang


Hal  yang cukup mempengaruhi kreativitas para pengarang kita akhir-akhir ini yang juga bermuara kepada estetika karya adalah “gangguan” apa yang dapat kita sebut sebagai aspek produksi sosial teks. Satu di antara yang berhubungan dan mempengaruhi pengarang kita hari ini adalah soal peran industri media cetak dan penerbitan. Dunia popularitas dan pencitraan yang muncul sebagai efek samping dari dunia industri media cetak dan penerbitan akhir-akhir ini lebih menyebabkan munculnya kebudayaan massa yang tak terelakkan.

Melalui industri media cetak dan penerbitan, lahirlah pengarang-pengarang, sejumlah pengarang, bahkan pengarang muda belia dengan berbagai karya sastra yang memperlihatkan ciri estetika tersendiri. Hal ini sesungguhnya dapat dipahami dan tak mungkin dilepaskan dari kondisi produksi sosial teksnya. Koran dan media cetak lainnya diterbitkan di mana-mana oleh siapa saja. Sesiapa pun dengan mudah dapat memublikasikan hasil karyanya dengan cara apa saja. Pengarang yang memiliki kapital bisa memodali penerbitan karyanya sendiri, tentu setelah melalui kalkulasi perhitungan bisnis.

Karya-karya semacam ini tampak lebih “laris-manis” di pasaran daripada karya-karya cerpen atau novel  yang dihasilkan oleh para pengarang dan cerpenis mapan. Penampilan fisik para cerpenis dan penulis novel yang disebutkan terakhir ini tidak begitu berbeda dengan para selebritis  pada tataran “gaya hidup”, tampilan mereka bahkan berciri metroseksual. Mereka tidak (belum?) tampak sebagai sosok intelektual sebagaimana layaknya para pemikir kebudayaan yang kita kenal sebelumnya.

Kebudayaan massa yang tumbuh dan berkembang drastis ini sekaligus menyebabkan pengkajian terhadap akar tradisi budaya dan juga pengkajian silang antarbudaya yang sungguh-sungguh dari para sastrawan dan cerpenis kita belum tergarap secara maksimal sebagaimana tampak pada hasil-hasil karya mereka.  Menurut Budi Darma di sinilah letak persoalan sesungguhnya.

Budi Darma berpendapat bahwa pengarang kita tidak seharusnya mengangkat unsur-unsur kebudayaan dan persoalan manusia dan kemanusiaan secara harafiah. Kerja para pengarang bukanlah kerja inventarisasi, tetapi menangkap dan mengangkat kelebat jiwa dan semangat unsur-unsur tersebut. Oleh sebab itu, Budi Darma berkesimpulan bahwa terlepas dari mutu karya sastrawan, termasuk cerpenis kita yang bagus, seharusnya masih diragukan apakah sastrawan dan cerpenis tersebut telah benar-benar menampilkan hasil galian yang sebenarnya.

Fenomena Baru

Munculnya fenomena baru di dalam proses penciptaan, penerbitan, dan pemublikasian karya sastra Indonesia memunculkan pertanyaan lainnya, yaitu apakah masih penting dan relevan membicarakan aspek estetika karya secara dikotomi. Bagaimana menjelaskan fenomena tentang seorang siswa SMP, dengan uang tabungannya menerbitkan karya yang mereka tulis yang mereka sebut sebagai novel atau cerpen, dan kemudian karya mereka itu terbukti laris, laku, disukai, dan digemari oleh pembaca (seusia) nya. Mereka menulis apa yang mereka namakan cerpen dan novel itu menurut ukuran mereka sendiri.

Mereka tidak peduli dengan berbagai pakem dan aturan tentang apa yang kita sebut cerpen dan novel sebelumnya.  Apa yang mereka anggap menarik untuk ditulis mereka tulis dan apa yang mereka anggap tidak perlu ditulis mereka tinggalkan. Mereka begitu menikmatinya di dalam menghasilkan karya, menerbitkannya, hingga menikmati efek samping yang mereka perloleh dari kesemuanya itu, yaitu popularitas dan dunia pencitraan. Juga bagaimana sebaiknya kita harus menjelaskan fenomena “meledaknya” novel Laskar Pelangi  dan novel Ayat-Ayat Cinta di dalam kancah penerbitan kita hari ini.

Apalagi setelah novel-novel ini difilmkan dan ditonton oleh begitu banyak orang, bahkan oleh para pemimpin negara. Ketika para pembesar negeri ini menonton film-film itu, media massa memublikasikannya secara fantastis. Apakah dapat dijelaskan melalui suatu kajian teoretis bahwa kedua novel ini keunggulan estetikanya memang melebihi novel Keluarga Gerilya, novel Mereka yang Dilumpuhkan karya Pramudya Ananta Toer dan novel Olenka karya Budi Darma?

Situasi budaya massa ini tampaknya ikut mempengaruhi sebagian besar sastrawan kita di dalam upaya menerbitkan karya-karya mereka. Hubungan antara sastrawan dan penerbit tidak sekadar urusan benefit, tetapi mungkin lebih pada aspek profit. Penerbit punya kekuatan untuk mengatur apa yang mungkin disebut sastra, baik persoalan jenis karya maupun dalam hal tematik dan stilistik. 

Suatu ciptaan sastra, mampu muncul dan bertahan atau sebaliknya tidak mampu bertahan di tengah-tengah masyarakatnya, dalam beberapa hal memang disebabkan oleh karya itu sendiri. Maksudnya, meskipun karya itu diciptakan, disadur, atau disalin kembali oleh pengarang atau penulis, tetap saja pengarang atau penulis menjadi tidak mutlak. Dalam kerangka alur pikiran ini, pengarang atau penulis hanya berperan sebagai “bidan” dan bukan “ibu” bagi ciptaan sastra.

Ciptaan sastra itu merupakan “anak kandung” dari segenap lingkungan sosial yang menjadi “ibu kandung” nya. Oleh sebab itu, jika suatu ciptaan sastra mampu muncul dan bertahan di tengah-tengah publiknya, mungkin ia berutang kepada kenyataan sosial yang melingkupinya, misalnya antara lain, keberadaan bahasa dan simbol-simbol yang telah ada sebelumnya, invensi, atau penemuan alat tulis (mesin tik, komputer, komputer note book), percetakan dan penerbitan, media-massa, orientasi nilai budaya masyarakat, dan kondisi sosial politik.

Umar Junus menguatkan kenyataan ini dengan mengatakan bahwa sebuah karya seni, sastra misalnya, tercipta dan diciptakan bukan sekadar dilandasi faktor estetika semata, tetapi juga menyangkut aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek lainnya itu adalah seperangkat kenyataan sosial di sekeliling pengarang, penulis, penyalin, atau penyadur. Perangkat sosial itu misalnya yang berhubungan dengan (a) seks, (b) pekerjaan, (c) pendidikan, (d) tempat tinggal, (e) agama, (f) nilai dan sikap hidup masyarakat, (g) kompetensi dan kesanggupan bahasa dan sastra masyarakat, dan (h) pengalaman analisisnya yang memungkinkannya mempertanyakan suatu nilai yang tak dapat lagi diterimanya.

Dengan  kenyataan ini, maka dapatlah dipahami bahwa sesungguhnya proses produksi suatu cipta karya seni (cerpen, novel, puisi, teks drama) dapat ditentukan dan dikontrol baik muatan estetiknya bahkan jumlah produksinya, sedemikian rupanya, oleh apa yang kita disebut sebagai galeri, media-massa, koran, majalah, penerbit, komunitas, fans club, paket wisata, dan semacamnya. 

Sekadar bahan diskusi, bagaimana seharusnya kita menyikapi apa yang ditulis Andre Hirata di dalam tetralogi Laskar pelangi-nya itu? Maksudnya, sudahkah kita pastikan secara estetika apakah yang ditulis oleh Andre Hirata itu novel (fiksi), memoar, autobiografi, atau apa namanya? Jika novel sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak pihak dan oleh penulisnya sendiri, mengapa di dunia nyata muncul sosok sungguhan ibu guru Muslimah dan tokoh-tokoh lainnya.

Bahkan karena begitu “kacaunya” kita memaknai kondisi produksi sosial teks itu, pemerintah secara resmi memberikan penghargaan kepada Ibu Muslimah sebagai guru yang pantas diteladani hanya karena ia dilukiskan sebagai guru yang inspiratif di dalam cerita yang disebut novel oleh salah seorang bekas muridnya. Beribu bahkan puluhan ribu guru kongkret lainnya yang sungguh-sungguh mengabdi kepada dunia pendidikan pada wilayah yang bahkan lebih terpencil dibandingkan Pulau Belitung tetapi tidak ada bekas muridnya yang menuliskannya di dalam cerita mendadak terkesima.

Guru yang baik, yang pantas diberikan satyalencana oleh kepala negara ternyata indikatornya tidak lagi jelas. Pencitraan oleh media massa yang kemudian diakui bersama ternyata dapat juga dijadikan indikator oleh pemerintah. Dunia fiksi dan persepsi pada kasus ini ternyata berjalan sejajar dengan dunia nyata dan objektif faktual. Kalau sudah begini masih pentingkah membicarakan estetika sastra secara dikotomi?*

Padang Ekspres, Minggu, 25 Januari 2009

http://www.padangekspres.co.id/content/view/29033/131/