Namanya terpilih sebagai salah satu seniman yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.
Ketika menerima penghargaan tersebut pada Kongres Kebudayaan V beberapa waktu lalu, Wisran Hadi tak bisa menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga. ”Saya bangga sekali. Terlepaslah bagaimana penghargaan itu dan siapa yang memberikannya,” tuturnya.
Penghargaan lain yang pernah diterimanya datang dari Kerajaan
Menjadi penulis mungkin telah menjadi suratan nasibnya. Dalam hal ini, ayahnya memberi pengaruh yang besar. ”Ayah saya, Darwas Idris, adalah seorang ulama dan konon pada masa itu dia seorang ahli hadits dari dua ahli hadits yang ada di
Waktu masuk Sekolah Guru Agama (SGA)– setaraf SMA, Wisran sudah diwajibkan membaca buku-buku yang bahkan belum sesuai dengan alam pikirannya. Bahkan, waktu di SMP kelas satu, dia sudah disuruh untuk membaca Injil, membaca Taurat, padahal ayahnya ulama. ”Saya tanya kenapa saya disuruh membaca itu, dijawab ayah saya, ‘supaya kamu tahu’,” kenang penulis kelahiran
Selain itu, dia diberi juga buku tentang aliran Muktazillah, aliran filosofis Islam. Banyak sekali dibacanya buku semacam itu, sehingga bagi Wisran, terasa sangat berpengaruh buat dirinya.
Namun, prinsip agama sangat kuat di kalangan masyarakat Minang. Sebagaimana filosofi, adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitab Allah. Kitab Alqur’an memang menjadi sandaran hidup buat masyarakat yang ada di
Novel Tertunda
Saat ini, Wisran sedang menulis tiga novel. Namun, penulisannya bagai jalan di tempat.
”Waktu seumur Anda, saya sering bekerja sampai pagi,” katanya. Saat ditanya tentang judul karya-karyanya yang belum dipublikasikan itu, dengan tersenyum, penulis drama yang belakangan banyak menulis novel dan cerpen ini kemudian mengatakan bahwa dia masih belum bersedia menyebutkan judul karyanya.
Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.
Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Iman, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit
Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, USA pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater Jepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997.
Karyanya dikenal sangat kritis termasuk dalam menulis tentang permasalahan budaya dalam masyarakatnya. Misalnya saja ketika dia mengangkat secara kritis karya dramanya yang berjudul Cindua Mato yang menggambarkan tentang figur Bundo Kanduang sebagai figur agung masyarakat Minangkabau atau juga karyanya drama yang lain Tuanku Imam Bonjol dengan sisi kepahlawanan dan kelemahannya. ”Saya lebih suka mengangkat yang bersifat perenungan dan kontemplasi saya daripada sekadar karya bertema politik dan sosial yang hanya fenomena sesaat saja,” ujarnya.
Wacana dan Generasi Baru
Sumatera Barat pernah menjadi sumber penulis pada masa kejayaan Balai Pustaka. Ketika kini, jarang terdengar sastrawan dari Minang yang berkiprah di khazanah sastra nasional, muncul pendapat bahwa jumlahnya memang telah menurun.
Wisran Hadi tak sepakat dengan pendapat semacam itu. Ia mengatakan tidak relevan membandingkan dua masa yang berbeda itu. ”Kalau ditanya apa yang dikerjakan oleh orang-orang muda sekarang, banyak buku yang terbit sekarang, termasuk buku-buku sastra. Tapi kalau ada orang tua yang menuding tentang apa yang dilakukan oleh orang muda itu,
Dia juga menuding pers. Kenapa banyak orang pers yang tidak mau mengangkat para pengarang muda usia itu? Dalam pandangan Wisran, mungkin di kalangan orang-orang muda di bidang pers sendiri, ada semacam persaingan di bawah sadarnya dengan orang-orang muda lainnya. ”Apalagi si sastrawan itu orang muda yang nyentrik, yang akhirnya tidak disenangi oleh wartawan,” tegas lelaki yang menjadi dosen tamu di Universitas Andalas Padang itu.
Tapi dia tidak meragukan pola wacana yang ada saat ini, karena baginya semua generasi di dunia begitu saat ini, terutama di negara-negara berkembang. Dia bahkan tidak melihat adanya penurunan pada kualitas wacana generasi saat ini, hanya memang ada perubahan. ”Itu tugas pengamat atau jurnalis, untuk melihat mereka yang bermutu, lalu hilang dan tidak dipublikasikan selama ini,” tudingnya kepada SH.
Dia kemudian bercerita ada sastrawan pendahulu yang mengatakan bahwa penulis pada angkatan 2003 ini tidak sama dengan masa lalu. ”Wah kok sastrawan saat ini tidak seperti Hamka. Lain dong, Hamka ya Hamka,” ujarnya.
Penulis saat ini, dari Sumatera Barat saja contohnya, yang dilihatnya menonjol dari generasi belakangan mulai dari Gus TF Sakai, Darman Munir, Khairul Jasmi dan banyak lagi. Mereka, generasi pendahulu yang tidak baca, langsung menghakimi akhirnya melihat generasi sekarang mengalami krisis kualitas dan kuantitas.
Untuk memiliki kebijakan, saat ditanya kenapa dia tidak ikut ambil bagian saja di dalam struktural seni dan kebudayaan, Wisran malah mengatakan, ”Tidak diterima, tak cuma di lembaga seni, saya bahkan sudah berniat jadi gubernur, tapi orang tak ada yang pilih saya. Kerja di pemerintahan, saya
Yang penting, sarannya, di dalam sastra jangan ada pikiran politik. Regenerasi, baginya, adalah pikiran politik. Di dalam sastra, seni dan budaya, tak ada yang namanya regenerasi. Tak perlu ada yang memperhatikan generasi muda, karena dirinya sendiri tak ada yang perhatikan. ”Kalau media atau publik itu perlu perhatikan generasi muda,” tambahnya.
Sastrawan dan Selebriti
Wisran kemudian mengkritik tema seksualitas yang diangkat oleh para pengarang muda saat ini. ”Apa bedanya dengan pornografi. Oh, dia anggap dia berani mengungkapkan tentang hal itu. Masak persoalan tentang lelaki dan perempuan diungkapkan, sedangkan dari nabi Adam juga demikian, persoalannya
Karena sama persoalannya, dia heran bila hal itu masih diungkapkan. Dengan pembedaan itu, bagi Wisran, bentuk pornografi merangsang sesaat, tapi karya seni merangsang pemikiran-pemikiran kita.
Tentang karya orang-orang yang diangkat pada generasi saat ini, Wisran berkomentar lain. Menurutnya, ini adalah salah satu kerja orang
Memang hal itu untuk koran terkesan bagus. Wisran pun mengaku senang melihatnya. Tapi, dengan tanpa wacana, berita tentang mereka di koran, pukul dua belas malam pun sudah hilang dan diganti oleh berita keesokan harinya.
”Nah, bandingkan dengan para pemikir kita yang muda-muda tadi, mungkin pemikirannya salah, mungkin pikiran mereka belum sempurna,
Tentang banyak generasi pengarang yang sudah mapan segenerasinya, memanfaatkan fenomena keselebritian seorang sastrawan baru ini, diakui juga oleh Wisran. Mungkin si pelaku mendapatkan manfaat dari pengesahan pada selebriti semacam itu. SUMBER (SH/sihar ramses simatupang)