KODE-4

Wednesday, June 13, 2007

Wisran Hadi: Sumatera Barat Tak Pernah Kekurangan Penulis

Namanya terpilih sebagai salah satu seniman yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.

Ketika menerima penghargaan tersebut pada Kongres Kebudayaan V beberapa waktu lalu, Wisran Hadi tak bisa menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga. ”Saya bangga sekali. Terlepaslah bagaimana penghargaan itu dan siapa yang memberikannya,” tuturnya.

Penghargaan lain yang pernah diterimanya datang dari Kerajaan Thailand berupa South East Asia Write Award tahun 2000. Ia menjadi penulis Minang kedua yang mendapatkan hadiah bergengsi itu setelah A.A. Navis pada tahun 1992.

Menjadi penulis mungkin telah menjadi suratan nasibnya. Dalam hal ini, ayahnya memberi pengaruh yang besar. ”Ayah saya, Darwas Idris, adalah seorang ulama dan konon pada masa itu dia seorang ahli hadits dari dua ahli hadits yang ada di Indonesia. Yang satu ahli hadits ada di Ponorogo,” katanya.

Waktu masuk Sekolah Guru Agama (SGA)– setaraf SMA, Wisran sudah diwajibkan membaca buku-buku yang bahkan belum sesuai dengan alam pikirannya. Bahkan, waktu di SMP kelas satu, dia sudah disuruh untuk membaca Injil, membaca Taurat, padahal ayahnya ulama. ”Saya tanya kenapa saya disuruh membaca itu, dijawab ayah saya, ‘supaya kamu tahu’,” kenang penulis kelahiran Padang, 27 Juli 1945.

Selain itu, dia diberi juga buku tentang aliran Muktazillah, aliran filosofis Islam. Banyak sekali dibacanya buku semacam itu, sehingga bagi Wisran, terasa sangat berpengaruh buat dirinya.

Namun, prinsip agama sangat kuat di kalangan masyarakat Minang. Sebagaimana filosofi, adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitab Allah. Kitab Alqur’an memang menjadi sandaran hidup buat masyarakat yang ada di Padang termasuk kehidupan Wisran Hadi dan keluarganya.

Novel Tertunda

Saat ini, Wisran sedang menulis tiga novel. Namun, penulisannya bagai jalan di tempat. Ada yang masih tiga puluh halaman, ada pula yang lima puluh. Aktivitas mengajar serta daya tahan tubuhnya yang kian lemah menjadi salah satu faktor penyebab. Lagi pula, pekerjaan menulis yang tertunda, menurutnya, adalah hal yang biasa.

”Waktu seumur Anda, saya sering bekerja sampai pagi,” katanya. Saat ditanya tentang judul karya-karyanya yang belum dipublikasikan itu, dengan tersenyum, penulis drama yang belakangan banyak menulis novel dan cerpen ini kemudian mengatakan bahwa dia masih belum bersedia menyebutkan judul karyanya.

Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.

Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Iman, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit Malaysia berjudul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi.

Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, USA pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater Jepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997.

Karyanya dikenal sangat kritis termasuk dalam menulis tentang permasalahan budaya dalam masyarakatnya. Misalnya saja ketika dia mengangkat secara kritis karya dramanya yang berjudul Cindua Mato yang menggambarkan tentang figur Bundo Kanduang sebagai figur agung masyarakat Minangkabau atau juga karyanya drama yang lain Tuanku Imam Bonjol dengan sisi kepahlawanan dan kelemahannya. ”Saya lebih suka mengangkat yang bersifat perenungan dan kontemplasi saya daripada sekadar karya bertema politik dan sosial yang hanya fenomena sesaat saja,” ujarnya.

Wacana dan Generasi Baru

Sumatera Barat pernah menjadi sumber penulis pada masa kejayaan Balai Pustaka. Ketika kini, jarang terdengar sastrawan dari Minang yang berkiprah di khazanah sastra nasional, muncul pendapat bahwa jumlahnya memang telah menurun.

Wisran Hadi tak sepakat dengan pendapat semacam itu. Ia mengatakan tidak relevan membandingkan dua masa yang berbeda itu. ”Kalau ditanya apa yang dikerjakan oleh orang-orang muda sekarang, banyak buku yang terbit sekarang, termasuk buku-buku sastra. Tapi kalau ada orang tua yang menuding tentang apa yang dilakukan oleh orang muda itu, kan mereka tidak pernah baca karya para pengarang baru itu?” ujar Wisran.

Dia juga menuding pers. Kenapa banyak orang pers yang tidak mau mengangkat para pengarang muda usia itu? Dalam pandangan Wisran, mungkin di kalangan orang-orang muda di bidang pers sendiri, ada semacam persaingan di bawah sadarnya dengan orang-orang muda lainnya. ”Apalagi si sastrawan itu orang muda yang nyentrik, yang akhirnya tidak disenangi oleh wartawan,” tegas lelaki yang menjadi dosen tamu di Universitas Andalas Padang itu.

Tapi dia tidak meragukan pola wacana yang ada saat ini, karena baginya semua generasi di dunia begitu saat ini, terutama di negara-negara berkembang. Dia bahkan tidak melihat adanya penurunan pada kualitas wacana generasi saat ini, hanya memang ada perubahan. ”Itu tugas pengamat atau jurnalis, untuk melihat mereka yang bermutu, lalu hilang dan tidak dipublikasikan selama ini,” tudingnya kepada SH.

Dia kemudian bercerita ada sastrawan pendahulu yang mengatakan bahwa penulis pada angkatan 2003 ini tidak sama dengan masa lalu. ”Wah kok sastrawan saat ini tidak seperti Hamka. Lain dong, Hamka ya Hamka,” ujarnya.

Penulis saat ini, dari Sumatera Barat saja contohnya, yang dilihatnya menonjol dari generasi belakangan mulai dari Gus TF Sakai, Darman Munir, Khairul Jasmi dan banyak lagi. Mereka, generasi pendahulu yang tidak baca, langsung menghakimi akhirnya melihat generasi sekarang mengalami krisis kualitas dan kuantitas.

Untuk memiliki kebijakan, saat ditanya kenapa dia tidak ikut ambil bagian saja di dalam struktural seni dan kebudayaan, Wisran malah mengatakan, ”Tidak diterima, tak cuma di lembaga seni, saya bahkan sudah berniat jadi gubernur, tapi orang tak ada yang pilih saya. Kerja di pemerintahan, saya kan pengen juga seperti pejabat-pejabat tinggi itu, pakai mobil negara,” ujarnya, dengan nada satir.

Yang penting, sarannya, di dalam sastra jangan ada pikiran politik. Regenerasi, baginya, adalah pikiran politik. Di dalam sastra, seni dan budaya, tak ada yang namanya regenerasi. Tak perlu ada yang memperhatikan generasi muda, karena dirinya sendiri tak ada yang perhatikan. ”Kalau media atau publik itu perlu perhatikan generasi muda,” tambahnya.

Sastrawan dan Selebriti

Wisran kemudian mengkritik tema seksualitas yang diangkat oleh para pengarang muda saat ini. ”Apa bedanya dengan pornografi. Oh, dia anggap dia berani mengungkapkan tentang hal itu. Masak persoalan tentang lelaki dan perempuan diungkapkan, sedangkan dari nabi Adam juga demikian, persoalannya kan tidak berubah-ubah juga,” ujar Wisran.

Karena sama persoalannya, dia heran bila hal itu masih diungkapkan. Dengan pembedaan itu, bagi Wisran, bentuk pornografi merangsang sesaat, tapi karya seni merangsang pemikiran-pemikiran kita.

Tentang karya orang-orang yang diangkat pada generasi saat ini, Wisran berkomentar lain. Menurutnya, ini adalah salah satu kerja orang surat kabar, yang selama ini terkesan tidak selektif dalam mempublikasikannya. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa pengertian ”selebritis” adalah ”hanya orang-orang bintang film”, dan yang paling banyak digosipkan adalah ”perempuan”. Hal itu, baginya, tetap saja masih dalam kerangka seksualitas. ”Apa pernah masalah selebriti diangkat tentang pemikirannya. Paling-paling kegiatannya yang diangkat, itu bukan pemikiran,” ujar Wisran.

Memang hal itu untuk koran terkesan bagus. Wisran pun mengaku senang melihatnya. Tapi, dengan tanpa wacana, berita tentang mereka di koran, pukul dua belas malam pun sudah hilang dan diganti oleh berita keesokan harinya.

”Nah, bandingkan dengan para pemikir kita yang muda-muda tadi, mungkin pemikirannya salah, mungkin pikiran mereka belum sempurna, kan biasa. Mana ada orang muda yang sempurna. Kenapa buat mereka tidak diberi tempat? Kenapa harus penyanyi dangdut, masalah goyang saja sudah dibuat klasifikasinya sekarang. Bagi bangsa ini untuk apa hal itu?” ujarnya.

Tentang banyak generasi pengarang yang sudah mapan segenerasinya, memanfaatkan fenomena keselebritian seorang sastrawan baru ini, diakui juga oleh Wisran. Mungkin si pelaku mendapatkan manfaat dari pengesahan pada selebriti semacam itu. SUMBER (SH/sihar ramses simatupang)


Kisah Tuanku Imam Bonjol Disinetronkan

Kebiasaan Tuanku Imam Bonjol yang selalu menanyakan anaknya saat pulang dari medan perang paderi merupakan kisah menarik, sehingga Sastrawan Nasional Wisran Hadi mengangkat hal ini dalam sebuah sinetron TV.

"Di balik heroisme Imam Bonjol melawan Belanda, ternyata dari kedalaman hatinya memancarkan cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang penuh makna kesucian. Hal ini patut diwarisi para generasi muda selanjutnya," ujar Wisran Hadi pada acara dialog tentang sinetron IMAM BONJOL di TVRI Padang, Kamis.

Sinetron ini, menurut Wisran, akan ditayangkan di TVRI pusat bulan depan. Sesuatu hal yang menarik dari sinetron yang dibuat empat episode ini adalah cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang memancar dari seorang ulama besar asal Minangkabau itu.

Sinetron IMAM BONJOL ini bukan menonjolkan adegan `berdarah-darah` namun yang dipertontonkan dari sisi lain seputar perbenturan pemikiran-pemikiran antara kaum agama dan adat di Bonjol, Pasaman dulunya," kata Wisran.

Dalam dialog bertema "Menimbang Empat Lakon Perang Paderi" karya Wisran Hadi yang digelar TVRI dan dimoderatori Kepala Stasiun TVRI Padang Purnama Suardi itu, juga tampil Sejarahwan Nasional Anhar Gonggong, sutradara senior (film) Khairul Umam dan sutradara Televisi Alwi Pamuncak.

Menurut Wisran, agar penampilan sinetron ini dapat ditonton dengan baik, dirinya terpaksa belajar secara intensif tentang Islam dan adat Minangkabau supaya mudah menemukan persoalan-persoalan guna melahirkan dialog-dialog drama dalam rangka memperkaya wawasan.

Wisran tertarik mengangkat kisah Tuanku Imam Bonjol ini, karena selama ini masih belum tergali secara lebih dalam hakekat kepribadian terdalam dari Tuanku Imam Bonjol yang ternyata sangat humanis, selain berkarakter heroisme dan spitualisme.

Karakter humanisme ini, kata Wisran yang juga dosen pada Universitas Kebangsaan Malaysia itu, jelas sekali terlukiskan dalam sejarah, setelah pulang berperang, Tuanku Imam Bonjol selalu menanyakan anak-anaknya.

"Hal ini justru sangat menyentuh perasaan saya karena Tuanku Imam Bonjol memiliki sifat kemanusian yang tingi terhadap keluarganya (anaknya), selain selalu berkuda dengan membawa pedang di medan perang. Hal ini benar-benar gerakan `pedang intelektual`, ujarnya.

Ia menambahkan, kebiasaan pemerintah dulunya, jika seorang pejuang ditangkap penjajah Belanda maka mereka bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional sementara yang lainnya belum tentu.

Anhar Gonggong mengatakan, dalam tayangan sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" itu, Wisran terkesan mencari identitas dirinya baik sebagai orang Islam maupun sebagai orang Minang.

"Kunci utama sejarah perang paderi bukan persoalan melawan Belanda, tetapi temuan yang paling penting adalah pergumulan di dalam lingkungan internal antara kaum agama dan adat hingga mudah diadu domba oleh Belanda," katanya.

Sementara itu, yang menarik dalam sinetron itu adalah interprestasi dari sejarah itu yang dilakukan oleh Wisran Hadi, dimana penyebab perpecahan bukan hanya Belanda tetapi muncul juga dari internal kaum agama dan adat itu.

"Kali ini Wisran memang menampilkan sinetron sejarah yang berbeda paling tidak dapat memperluas wawasan terutama dalam upaya menggali makna sejarah itu sendiri," katanya.

Empat Sinopsis Sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" yang ditulis Wisran Hadi memuat empat sinopsis, yang mengisahkan tentang Perguruan Tuanku Koto Tuo, Perburuan Tuanku Nan Renceh, Pengakuan Tuanku Imam Bonjol dan Penyebrangan Sultan Abdul Jalil.

Dikisahkan bahwa, Tuanku Nan Renceh adalah tokoh penting dalam sejarah Perang Paderi yang terkenal dengan sosok yang teguh dan keras dalam menjalankan agama dan menjadi pemimpin Harimau Nan Salapan himpunan dari delapan perguruan yang terkenal.

Karena tidak berhasil ditangkap Belanda, lalu Belanda memberikan informasi yang keliru terhadap tokoh besar itu seperti bahwa Tuanku Nan Renceh telah membunuh saudara ibunya karena tidak mau dilarang makan sirih.

Pencatatan sejarah yang keliru itu telah menyebabkan seorang pemuda berusaha menyelami kehidupan Tuanku Nan Renceh, tetapi pada akhirnya ia terseret dan tersesat dalam sejarah hingga harus menanggung resiko dalam kesesatannya.

Sinopsis Pengakuan Tuanku Imam Bonjol, dimana perjuangannya yang panjang penuh heroisme, berakhir dengan penghianatan Belanda yang berhasil menangkapnya. Ia merupakan cerminan kegigihan seorang pemim pin, ulama dalam menegakkan dan mempertahankan ajaran Islam sekaligus melawan penjajah.

Sementara itu "Penyebrangan Sultan Abdul Jalil" lebih mengisahkan benturan antara Sultan Abdul Jalli yang terpaksa berhadapan dengan adik kandungnya sendiri karena diadu domba Belanda.

Walau Bonjol telah jatuh ke tangan Belanda hingga melumpuhkan pertahanan Paderi di Lintau, namun Sultan Abdul Jalil tetap bertahan pada sebuah Masjid besar yang dibina bersama jamaahnya. (*/dar)

Wisran Hadi



Wisran Hadi (lahir Padang, Sumatra Barat 27 Juli 1945) adalah salah satu seniman/budayawan yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dan beberapa penghargaan dari luar negeri, seperti dari Thailand. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.

Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.

Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Imam, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit Malaysia berjudul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi.

Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, ASJepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater

Lomba Desain Perangko PBB

Lomba Desain Perangko PBB Dalam Rangka Memperingati Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan – 17 Oktober 2007

Dalam rangka memperingati Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan (17 Oktober ) dan Satu Dekade “PBB bagi Pemberantasan Kemiskinan” (1997 – 2006), Perserikatan Bangsa-Bangsa mengundang anak-anak dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam lomba desain perangko PBB dengan tema

“We can end Poverty” (Kita Dapat Mengakhiri Kemiskinan)

Lomba ini diselenggarakan oleh Departemen Ekonomi Sosial PBB bekerjasama dengan Departemen Informasi Publik dan Administrasi Pos PBB. Peraturan Lomba

Peserta : Anak-anak usia 5 hingga 15 tahun. Persyaratan : Karya dibuat di atas kertas atau kanvas berukuran A4 atau setara. Alat yang digunakan bebas (tinta, krayon,cat air,dll). Setiap desain disertai keterangan singkat di baliknya mengenai arti desain. Karya tidak perlu dibingkai. Data pribadi dicantumkan di balik karya, berisi : nama lengkap, usia, jenis kelamin, alamat lengkap, negara, no. telepon, no.fax dan alamat e-mail (jika ada) dan nformasi lain yang dianggap perlu untuk kemudahan kontak. Karya desain paling lambat diterima tanggal 12 Juni 2007 dan ditujukan kepada :

Direktur Pos, Ditjen Postel – Depkominfo
Gedung Sapta Pesona Lantai 6, Jl.Merdeka Barat No.17 Jakarta Pusat 10110

Seluruh karya yang diterima akan dikirimkan oleh Ditjen Postel kepada panitia lomba di New York, Amerika Serikat.

Penjurian

Dewan juri terdiri atas anggota-anggota dari Pembangunan dan Kebijakan Sosial PBB, Departemen Informasi Publik PBB, dan Administrasi Pos PBB. Kriteria penilaian adalah kemampuan mengekspresikan tema lomba. Pengumuman Hasil Lomba Hasil seleksi 6 desain terbaik akan diumumkan oleh PBB pada acara Peringatan Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan tanggal 17 Oktober 2007 . Enam (6) desain terbaik yang dipilih oleh Dewan Juri akan ditampilkan pada Peringatan Hari Internasional bagi Pemberantasan Kemiskinan pada tanggal 17 Oktober 2007, dan akan diterbitkan sebagai perangko Administrasi Pos PBB. Dua puluh (20) desain lainnya akan menerima penghargaan khusus. Seluruh hasil karya pemenang (26 buah) akan ditampilkan pada sebuah pameran khusus di Markas Besar PBB di New York.

Sumber : SItus DEPKOMINFO

2007 International Science Poetry Competition

2007 International Science Poetry Competition

June 6, 2007

(For school students, and sponsored by Science Time Educational Consultancy and The Science Education Review.)

Three age group divisions: 9-11, 12-14, and 15+ years of age

Why a Science Poetry Competition?

There are many good reasons for encouraging students to write science poetry. These include:

People can have at least seven different ways to be intelligent, or smart. One can be word smart (read it, write about it, talk about it, listen to it), number/logic smart (calculate it, reason), picture smart (see it, draw it, visualise it, colour it, mind-map it), body smart (build it, act it out, touch it), music smart (sing it, write a poem about it, rap it), people smart (teach it to someone else, learn it in a small group, understand others), and self smart (analyse it, think about it, connect it to your own life, understand yourself). Future successful adults will need to be resourceful and flexible, and use many of these different ways of being smart. For example, there are people who presently earn income by combining science with drama and music, as they make their audiences aware of how scientific discoveries are affecting, or may affect, our lives.

Poetry can help us to be creative. When you write poetry, you need to use your whole brain; both the left side of your brain (e.g., language and logic) and the right side (e.g., visualisation and creativity). These days, many employers are looking for people who can be creative by using their whole brain. We also want our future scientists to be creative problem solvers, and exceptional scientists are those who look at the same things everyone else looks at, but see something different.

The rhyme and rhythm of poetry (and music) can help us to remember things.

For further information about the benefits of using science poetry, and relevant classroom techniques and resources, please click here.

What can be Won?

The author of the winning poem in each age division of this annual competition receives a certificate and an individual trophy. In addition, students whose work is Highly Commended receive a certificate. Depending on entries, there is discretion to also make other awards, such as the best poem from a particular country.

What Needs to be Done?

Post your poem/s or rhyme/s, together with the completed Entry Form, to reach us by July 31, 2007 (which is an extension of the former June 20 date). Include the student name, age (as of the closing date), and school on each poem (possibly on the back). The entry fee of 4.40 AUD (Australian dollars) per poem needs to accompany the Entry Form. There is a minimum fee of 22 AUD per school (not applicable to homeschoolers), but no maximum limit. The entry fees contribute to judging and administration costs, including the posting of certificates.

What Conditions Apply?

Entries must be original, in English, and in hard copy (printed) format only.
Entrants need to be primary or high school students at the time of entry.
Your poem must have something to do with science (e.g., a science experiment, a science idea, or a scientific issue that is important in our lives; even a science teacher!) and should have rhyme and rhythm.

There is no limit to the length of your poem, but short poems can be great.
A student may enter more than one poem.
The judges’ decision is final.
Permission is granted for Science Time to reproduce your entry.
Anything Else?

While receiving an award in this competition will give recipients much satisfaction, there are benefits for you in just trying to write poetry. You will practise a few different ways of being smart, and many entries will be displayed on this Web site for the whole world to see!

The judging process will take into account the skills that could be expected from a student at his/her age. A 9-year-old student, for example, should therefore not be concerned about entering a competition that also includes 11-year-olds.

If you would like some good ideas for writing poetry, the following excellent, inexpensive booklets can help.

I Need a Poem, Mum! Aimed at the primary student, it contains many poems (including science poems) and guidance for writing different types of poetry; couplets, parodies, limericks, story-telling, poetic language, acrostics, haiku, and shape “poems.”

Help! A Handbook for Writers and Performers of Rhymed Verse. Written for a more advanced audience.

Both may be purchased from Carmel Randle, “Splenda Crescent,” M/S 852, Preston, Qld. 4352 Australia (Fax 61-7-46309998 [within Australia 07 4630 9998]). Why not also suggest a copy of each for your school and/or public library?

May I Please Have an Example?

Yes. Click here to view some entries from previous years, plus comments from the adjudicator.

Payment

Payment may be made by credit card or bank draft (e.g., cheque or money order). Bank drafts need to be in Australian dollars (AUD), and payable to Science Time. In addition, payment may be made by electronic funds transfer (EFT) by crediting the following account:

Warwick Credit Union Ltd.
101 Palmerin Street
Warwick Qld 4370
Australia
From Overseas
BSB: 034850
Account Number 205850
Account Name: Eastwell – Science Time
From Within Australia
BSB: 704687
Account Number: 20585
Account Name: Eastwell – Science Time
Reference: Official site: http://www.scienceeducationreview.com/poetcomp.html

IPF’s 2007 Letter Writing Competition

June 6, 2007

Letter can be handwritten or typed and must be in the English language. Maximum of 500 words. One entry allowed for each member. Entries close 31 August 2007. Prozes will be sent to winners in November 2007.

About IPF

Background

International Pen Friends (IPF) was founded in Dublin, Ireland on 7 April 1967 with the vision of giving people of all ages from every country the opportunity to gain penfriends and promote world peace and friendship through sincere letter writing.

On 1 February 2001 our Head Office moved from Ireland to Australia. We continue to be supported by hundreds of thousands of members worldwide, an established network of global representatives and a dedicated Head Office team.

The Fun of Letter Writing

Despite the many forms of communication available today, it is interesting that the most common feedback IPF receives from members is the enjoyment and fun they gain by receiving letters in the mail. It is hard to match the anticipation of waiting for letters to arrive, the stamps, postmarks, fancy writing paper, postcards, photos, tokens of friendship, the time and care people have taken to write the letters, sitting quietly and reading the letters time and time again, and possibly keeping them for many years as part of personal history. It is also better to receive letters in the mail than junk mail and bills!

Julie Delbridge
President
International Pen Friends

PO Box 156
Suffolk Park NSW 2481
Australia
Telephone: + 61 2 6685 4998
Facsimile: + 61 2 6685 4928
International Pen Friends (IPF)
Uniting the World Through Friendship, Fun and the Written Word
Complete information about this competition (the official site): http://members.ozemail.com.au/~penpals/2007comp.html
Official Site: http://www.ipf.net.au/

International Children’s Art Competition

June 6, 2007

To commemorate the International Day for the Eradication of Poverty (October 17th) and the first United Nations Decade for the Eradication of Poverty (1997-2006), the United Nations Department for Economic and Social Affairs, in collaboration with the Department of Public Information and the United Nations Postal Administration is pleased to announce:

AN ART COMPETITION FOR CHILDREN TO DESIGN
A UN STAMP ON THE THEME ‘WE CAN END POVERTY’

INTRODUCTION

As part of the activities to celebrate the International Day for the Eradication of Poverty and the end of the first Decade for the Eradication of Poverty, the Division for Social Policy and Development at the United Nations invites children from all over the world to participate in an art competition on the theme “We can end poverty”.

The best 6 designs selected by the Panel of Judges will be presented during the commemoration of the International Day for the Eradication of Poverty, on 17 October 2007, and will be issued as stamps of the United Nations Postal Administration.

In addition to the best 6 designs, another 20 designs will receive special commendation. The total of 26 winning entries will be displayed in a special exhibition at United Nations Headquarters in New York in 2007.

RULES OF THE COMPETITION

Who can participate? Children from all around the world from age 5 to 15 years.

Requirements for entry The entry should be made on paper or canvas A4 size or comparable. You may use ink, pencil, charcoal, crayon, water colour, marker, or any material that you might have available in your environment. Each design should be accompanied by a brief description of its meaning on the back of the entry. Please do not frame the art work.

Personal information On the back of each entry please provide the following information:

Your full name
Age
Gender
Full address
Country
Telephone number, fax number and e-mail address (if available)
Any other useful contact information.

Selection of designs The 6 best designs will be announced by the United Nations during the commemoration of the International Day for the Eradication of Poverty in October 17, 2007. These 6 best designs will be issues as stamps by the United Nations Postal Administration. In addition, 20 other designs will be awarded special commendations. All 26 designs will be displayed in a special exhibition at the United Nations in 2007.

Judging A Panel of Judges composed of members from the United Nations Division for Social Policy and Development, the United Nations Department of Public Information and the United Nations Postal Administration will decide on the selection of winning entries.

Criteria for evaluation of entries Artistic expression, how well the design expresses the theme of the competition.

Deadline Please send the design, with information requested, as soon as possible, but no later than 30 June 2007 to the following address:

2 United Nations Plaza,
Room DC2-1328

New York, NY 10017
United States of America
Source: UN Website: http://www.un.org/esa/socdev/poverty/art.htm

LOMBA MENULIS ESEI POPULER TENTANG TURKI

LOMBA MENULIS ESEI POPULER TENTANG TURKI

Tema Lomba (pilih salah satu):

“Apa Yang Saya Ketahui Tentang Turki”
“Hubungan Turki-Indonesia”

Ketentuan Lomba:

  • Dibuka untuk peserta usia dibawah 19 tahun, baik pria maupun wanita di seluruh dunia.
  • Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya penulisan populer
  • Diketik dengan format Times New Roman font 12, spasi 1.5, di atas kertas berukuran
  • A4 dengan panjang maksimal 5 (lima) halaman
  • Membayar biaya pendaftaran Rp 25.000,00 (sudah termasuk ‘free’ masuk acara Festival Kebudayaan Turki tgl 4-5 Agustus 2007 di Sekolah Kharisma Bangsa, Pondok Cabe, Jakarta, dengan menunjukkan slip bukti transfer yang asli pada saat hari H), ke rekening panitia: Atas Nama : Nurahmawati, Bank: Mandiri KCP Puncak Mas, Jakarta, No. Rekening : 102-00-0417933-6
  • Tulisan dikirim dalam bentuk soft copy ke e-mail panitia Festival Kebudayaan Turki: Discover.Turkey @ hotmail.com (tanpa spasi) selambat-lambatnya diterima tanggal 17 July 2007
  • Kiriman naskah disertai keterangan identitas diri (KTP/Kartu Pelajar), nomor telpon, e-mail, dan tanda bukti/slip pembayaran (apabila naskah dikirim melalui e-mail maka identitas & bukti pembayaran di-scan).
  • Apabila tidak ada keterangan identitas diri + bukti pembayaran, maka naskah dianggap tidak sah.
  • Transfer pembayaran selambat-lambatnya tgl 7 July 2007
  • Keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
  • Pengumuman pemenang dilakukan pada hari ke-2 Festival, yaitu Ahad, 5 Agustus 2007, di Sekolah Kharisma Bangsa, Pondok Cabe, Jakarta
  • Pemenang dan finalis yang tidak dapat datang ke acara festival akan dihubungi melalui surat dan hadiahnya dikirim ke alamat masing-masing.

Hadiah:

  • Juara 1,2,3: piala/trofi, sertifikat + paket sponsor.
  • 10 finalis mendapatkan sertifikat & goodie bag sponsor.

Sumber: Milis FLP

LOMBA KARYA TULIS TENTANG TRANSFORMASI ASEAN INTER-PARLIAMENTARY (AIPO)


Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-30 Asean Inter-Parliamentary Organization (AIPO), DPR-RI menyelenggarakan Lomba Karya Tulis.

Tema: “Transformasi ASEAN Inter-Parliamentary Organization (AIPO) menjadi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)”.

Tuesday, June 12, 2007

Kesadaran Pentingnya Manajemen Seni dalam Berkesenian


OLEH BUDIMAN
Dalam berbagai perhelatan berkesenian apapun bentuknya baik seni rupa, seni suara, seni tari, teater, tradisi, seni musik dan lain sebagainya di daerah Sumbar pada tahun-tahun terakhir ini telah mampu memperlihatkan geliatnya. Pasalnya para penggiat seni banyak berusaha mengusung konteks keseniannya masing-masing dengan intens, namun masih menganut pola berjalan sendiri-sendiri atau bersifat intern kelompok/komunitas seni mereka saja. Artinya yang dilakukan seniman-seniman tersebut baru berada pada tahap presentasi (penampilan) bukan untuk sebuah bargaining position (posisi tawar) pada tahap sosiokultural secara wajar dan dinamis, termasuk sisi kesejahteraan seniman dalam materi sebagai umpan balik dari kegiatan itu.

Sekolah Menengah Seni Rupa (SSRI/SMSR/SMKN 4 Padang)

Mutiara Sumatra yang Tersia-siakan
OLEH BUDIMAN
Barangkali untuk memulai tulisan ini penulis memberi sebuah ilustrasi tentang Sekolah Menengah Seni Rupa (SSRI/SMSR/SMKN 4 Padang) adalah sebagai berikut bahwa sekolah ini pernah mencatatkan sejarah dengan sejumlah prestasi yang pernah dipersembahkan oleh para alumninya yang banyak berkibar di seantaro nusantara Indonesia, yang banyak menjadi seniman-seniman besar dan para ahli-ahli kreator seni terdepan.

Monday, June 11, 2007

Sajak Memberiku Makna Hidup


Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya

Sebuah film dokumenter tentang dirinya diputar pada malam terakhir (24/03) Pentas Seni VI di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Penobatan tersebut memberi kabar sejuk bahwa di ranah Minang, selalu lahir sastrawan yang diperhitungkan. Setidaknya 50 tahun terakhir, kiprah kepenulisan Papa menjadi bagian penting pergulatan sastra Indonesia. Rentang waktu itu, telah ia dedikasikan bagi kesusastraan dengan semangat ”parewa” Minang yang sarat perjuangan.

Sebagai seorang pekarya, Papa mengaku, disiplin kreatifnya sering dibangkitkan oleh ungkapan dari John Keats: My Imagination is a monastery and I am its monk (Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya). Jadi seorang penyiar, barangkali bukan tujuan hidupnya. Tetapi syair yang terus ia tulis telah memberinya makna hidup itu.

Dalam narasi yang disusun Abel Tasman untuk film dokumenter tentang Papa, diuraikan, bahwa puisi-puisi Papa dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Abel menggambarkan idealisme Papa dengan ungkapan Umar bin Khatab: “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.”

Keberanian yang dicontohkan Papa, terlihat jelas sejak ia sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air. Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah.

Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Papa sebagai seorang penyair.Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, pada tanggal 26 Januari 1936. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Papa adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Papa memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).

Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Papa kemudian dibawa tinggal di Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Papa meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Papa melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.

Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Papa meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Papa untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Papa melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian.

Semenjak Sekolah Rakyat, minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli.

Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Papa. Tak hanya menyukai bacaan sastra, Papa juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis.

Bacaan-bacaannya itu menjadikan Papa sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.

Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Papa untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.

Pada tahun 1956 Papa lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Papa di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.

Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Papa berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Papa. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Papa dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.

Usai PRRI, meski ada peluang, Papa tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Papa menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik.

Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Papa menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Papa dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.

Pada tahun 1969, Papa mengawali karirnya sebagai wartawan. Papa bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Papa bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Papa mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Papa pensiun dari Haluan pada tahun 1999.

Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki. Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Papa terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.

Aktivitas Papa sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di DKSB. Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.

Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Papa. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah, lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.

Sebagai seorang penyair, Papa mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Papa. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.

Puisi-puisi Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Papa juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun kritik sosial dan politik. (zelfeni wimra)
Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat.

Puisi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya.

Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya.

Membaca sosok Papa adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Papa, berarti membaca sejarah hidupnya.Semangat inilah yang tertuang dalam sajaknya yang berjudul Sebuah Kehadiran: kamar dan rak buku terlantar/dinding selalu menagih kerja/tak menidurkan tubuh resah terlantar/hujan sama jatuh di samar senja.


ZELFENI WIMRA, SUMBER Padang Ekspres, Minggu, 25-Maret-2007

Rusli Marzuki Saria

Sastrawan Sumbar Kesepian di Rumah Sendiri
Sumatera Barat (Sumbar) hari ini memerlukan sejumlah penerbitan yang memadai guna memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan dunia sastra di daerah itu. Sejumlah sastrawan menilai, tanpa itu dunia sastra di Sumbar tidak akan beringsut.

Sunday, June 10, 2007

ESTIVAL SENI SURABAYA 2007

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, bila kita membaca pelbagai buku puisi dan ruang sastra di surat kabar, tahulah kita perihal lima kota yang secara nisbiah memberi kita lebih banyak penyair ketimbang kota-kota lain di Nusantara. Itulah Bandarlampung, Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan Denpasar.

"Dan yang lebih berlimpah itu saya harap membuka jalan ke yang lebih berharga. Tanpa uluran tangan kelembagaan dari manapun juga, hanya lingkungan pergaulan sastra dan tekanan dari khazanah dunialah yang mungkin dapat memperpanjang kiprah si penyair," tutur Nirwan.

Selain mengadakan diskusi dan pertunjukan sastra, panitia FSS 2007 juga menerbitkan sebuah buku sastra yang diberi tajuk Lima Pusaran disertai kata pengantar Nirwan Dewanto. Diantara karya mereka itulah dibacakan dalam Malam pertunjukan Sastra. Menampilkna Teater Mozaik malang, mengangkat naskah adaptasi dari novel Hubbu karya Mashuri. Karya novel ini memnangkan Lomba Penulisan Novel yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta 2007.


DISKUSI SASTRA

Rabu, 13 juni 2007 Pukul 10.00 WIB di Gedung Mitra1 Kompleks Balai Pemuda Jl. Gubernur Suro 15 Surabaya. Pembicara: Nirwan Dewanto. Acara: Peluncuran buku puisi LIMA PUSARAN (Zen Hae, Iswadi Pratama, S Yoga, Gunawan Maryanto, Sindu Putra)

PERTUNJUKAN SASTRA

Judul: Hubbu Teater Mozaik(Malang)

Naskah: Mashuri (Pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2007) Sutradara: Ragil Sukrisno di Gedung Utama Balai Pemuda pada Rabu, 13 Juni 2007 pukul 19.00 WIB

Sejak beberapa tahun terakhir, juga menjadi fenomena pada 2007, adalah hiperrealisme: suatu keadaan yang terjadi di belahan dunia mana saja begitu cepat diketahui di sudut dunia lainnya. Begitu cepatnya, hanya dalam hitungan detik/pulsa. Kita sedang memasuki "Abad Digital", segalanya computerize, cybernetic, dan blow up serta massal, terjadi konvergensi antara teknologi komunikasi, media dan seni. Peradaban Baru juga muncul di tengah masih adanya perang, terorisme, ketidakadilan, kelaparan, harapan hidup layak, kerusakan ekologis yang kompleks dan paradoks. Seni, di tengah harapan layak di masa depan dan kerancuan serta kekerasan dunia, kini bisa bicara lembut, bisa pula berteriak, untuk menghimbau amanatnya seperti embusan terapi: membangun Peradaban Baru.

SEMINAR KEBUDAYAAN

Kamis, 14 Juni 2007 pukul 14.00 WIB di Gedung Mitra 1 Kompleks Balai Pemuda Jl.Gubernur Suryo 15 Surabaya Pembicara: Arif Bagus Prasetyo, Yasraf A.Piliang, Sony Karsono
Moderator: Audifax

Project Officer Sastra: Mardiluhung

Minangkabau, Balok Es yang Meleleh



OLEH Nasrul Azwar


Suatu hari teman saya mem-posting sebuah cerita
ke e-mail saya. Inti cerita di e-mail itu katanya, penting untuk melihat kondisi masyarakat Minangkabau, baik yang ada di rantau maupun di kampung halamannya. Cerita e-mail teman saya itu begini:

"Usman Chaniago, seorang pemuda bekerja sebagai supir camat di Payakumbuh. Suatu hari ia minta berhenti karena akan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Usman Chaniago menganggap, menjadi supir camat tidak bergengsi dan dipandang rendah di kampungnya. Lalu dia merantau ke Jakarta seperti kebanyakan pendahulunya. Mula-mula dia bekerja sebagai tukang kantau di Tanah Abang. Perlahan-lahan, Usman Chaniago dapat mengumpulkan sedikit modal, lalu dimulai pula menggelar dagangannya di pinggir jalan di Tanah Abang.

Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Dia pun berkeluarga dan memiliki 2 anak. Tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI. Karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya terpampang di pintu rumah mereka: ada Prof, Phd. M.Sc, M.Si, dan lain-lain. Usman Chaniago merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.

Dibuatlah papan nama dari perak, dipesan dari Koto Gadang, salah satu nagari di Kabupatena Agam yang terkenal dengan kerajinan peraknya, dengan nama Dr. Usman Chaniago M.Sc. Ketika ayahnya datang berkunjung ke rumahnya, taragak hendak berjumpa dengan cucunya, sambil bangga dia bertanya di mana anaknya kuliah, sebab setahu ayahnya, anaknya hanya berdagang. Dengan malu-malu Usman Chaniago menerangkan gelarnya di papan nama: "Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat dengan singkatan Dr. Usman Chaniago M.Sc."

Saya tersenyum habis membaca e-mail itu. Di dalamnya ada persoalan kreativitas dan kekonyolan, juga ada "nilai" yang menyangkut prestise dan pentingnya "status" sosial di tengah masyarakat.

Sisi lain, bisa jadi Usman Chaniago beranggapan tidak perlu membeli gelar dengan menghabiskan uang yang sesungguhnya dia sendiri mampu membeli gelar itu. Baginya, yang penting ada persamaan status "sosial" di lingkungannya, walau ia menyadari sebenarnya itu bukan gelar yang mesti diraihnya dengan kuliah.

Pelabelan identitas "baru" di awal dan belakang namanya, tak lebih dari sekadar "main-main". Toh, walau ada label "akademis" itu, Usman menyadari "gelar" itu tidak pernah membawa berkah menjadikan dirinya sebagai keynote speaker dalam sebuah seminar, kongres atau sejenis ini. Bisa juga, Usman Chaniago sedang menertawakan dirinya, atau barangkali kaumnya, atau Minangkabau itu sendiri - yang kadang dinilainya tidak lagi rasional menghadapi persoalan.

Ilustrasi di atas sebuah anekdot. Barangkali banyak anekdot serupa dengan versi yang lain yang pernah kita dengar. Namun, bukan itu yang dipersoalkan. Dari kaca mata ilmu tanda, ia mengemban makna referensial. Makna yang ada di dalam teks melekat di luar teks itu sendiri. Mereferensi. Penanda yang terkait dengan karakter, sifat, dan nurani purba manusia, dan untuk konteks anekdot di atas, penandanya adalah masyarakat Minangkabau: ada identitas etnis yang dapat diidentifikasi di dalamnya.

Anekdot, bagi yang tertarik dengan "dunia" ini, jika ingin memahami dan mendalami karakter etnis tertentu, bisa masuk lewat pintu anekdot seperti ini. Dalam dunia folklor, anekdot kayak begini menjadi determinatif. Kemunculan sebuah anekdot tentu memiliki latar belakang. Ada alasan "tertentu" munculnya anekdot. Dan dapat juga ia muncul karena benar-benar terjadi. Makanya, ia tampak penting dalam membaca karakter, pola pikir, dan etnis tertentu.

Etnis Minang saat sekarang adalah sekumpulan massa yang teridentifikasi karena adanya perjalanan bangsa ini. Ia sekumpulan massa yang diikat dalam sistem yang diciptakan sendiri. Sistem yang muncul itu, bisa jadi karena etnis Minang memiliki peran di dalamnya. Posisi dalam peran itu, pada periode tertentu mendominasi perjalanan bangsa ini, pada periode lain tersubordinatif, atau malah termajinalkan dan tidak dianggap. Namun demikian, etnis Minang tetap meyakini sebuah identitas. Identitas ini menjadi senjata yang diusung kemana-mana. Identitas dihadirkan sebagai singasana yang agung.

Minangkabau yang diaktulisasikan pada saat sekarang adalah Minangkabau sebagai identitas rekayasa jenetikal. Hasil dari proses kulturalistik yang dibangun dengan mengunakan tangan-tangan hegemonik. Kehadiran Minangkabau tidak lagi dilihat dalam posisi perannya yang sangat determinatif dalam policy publik, bukan tersebab dominasi pemikiran dalam nation building. Eksistensinya tidak lebih kerena etnis ini masuk dalam hitungan jumlah suku-suku yang ada di Indonesia ketika seorang guru sekolah dasar mengajarkan sejarah. Tak lebih sebagai hafalan bagi murid sekolah dasar. Dalam perspektif demikian itu, sesungguhnya Minangkabau telah terkubur. Telah tiada.

Minangkabau dalam garis kulturalnya telah tiada, tetapi dalam batas administrasi yang disebut dengan Provinsi Sumatra Barat masih ada. Antara Minangkabau dalam garis kutural dan Sumatra Barat dalam batas administrasi dalam kaca mata budaya adalah dua dunia yang berlainan. Yang diaktulisasikan sebagai Minangkabau pada saat sekarang adalah "Minangkabau" dalam garis administrasi tadi. Sedangkan Minangkabau dalam garis kultural sudah menjadi teks-teks sejarah yang telah lama terlewati. Minangkabau garis kultural telah ditelan oleh Minangkabau batas administratif.

Minangkabau batas administratif berkaitan dengan kekuasaan dan hegemonik negara. Eksistensinya berada dalam cengkeraman dan berkaitan dengan wilayah hukum negara. Minangkabau garis administratif (Sumatra Barat) kekuasaan tertinggi ada di tangan gubernur dan seterusnya ke tingkat bupati/walikota, camat, dan wali nagari/lurah.

Selanjutnya, pemimpin informal Minangkabau yang direpresentasikan sebagai kekuatan daya jelajah keintelektualannya yang pernah berjaya di masa lalu, kini tidak lagi memperlihatkan homologinya (hubungan sinkronis di mana struktur-struktur sosial, nilai-nilai sosial, dan simbol-simbol kultural dikatakan cocok satu sama lainnya). Kehilangan homologi ini disebabkan negara (Minangkabau administratif) telah ikut serta menginvasi secara sistematis Minangkabau garis kultural. Peran kunci pemimpin informal di tengah kaumnya telah direbut oleh aparatur negara. Aparatur itu bisa jadi polisi, satuan polisi pamong praja (Satpol PP), dan lain sebagainya yang bertindak dengan simbol-simbol kekuasaan negara.
Nasrul Azwar, Minangkabau, Balok Es yang Meleleh
Pada wilayah policy publik berkaitan dengan keperluan legitimasi kultural-politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Minangkabau administratif perlu mengaturnya dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Munculnya perda kembali ke nagari, perda penyakit masyarakat, ranperda tanah ulayat yang pernah menjadi polemik itu, dan perda-perda lainnya merupakan indikator dan bukti konkret bahwa negara berada dalam garis terdepan mengatur narasi besar tentang proses keberlangsungan kultural Minangkabau. Seterusnya, pada tingkat pemerintahan paling bawah yaitu nagari juga menerbitkan peraturan nagari. Minangkabau administratif telah merayakan perannya sebagai dalam wilayah materialisme kultural.

Pada batas yang demikian, sesungguhnya di Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme.

Pembagunan pasar dan hotel yang diidentikkan dengan ikon kota metropolitan menjadi persyaratan utama menuju kota modern. Para bupati dan wali kota yang berkuasa di wilayah Minangkabau dalam garis administrasi itu setiap hari meneriakkan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di wilayah hukumnya. Kebijakan penguasa tidak lagi mempertimbangkan jeritan pedagang-pedagang kecil. Jika muncul gejolak di tengah masyarakat menolak kebijakan penguasa itu, maka stigma langsung dilekatkan kepada mereka: menghalangi investor masuk ke daerah.

Minangkabau sekarang adalah Minangkabau yang berada dalam cengkeraman gurita konglomerasi-konglomerasi urban yang bertindak sebagai titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai aktivitas ekonomi yang beragam. Minangkabau telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi, distibusi, dan sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul pertukaran informasi dan proses pembuatan keputusan.

Minangkabau telah berada pada titik nadir, dan jelas sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Dari itu pula, wilayah publik, wilayah anak nagari, dan wilayah yang lainnya yang selama ini berada di tangan penguasa sudah saatnya dikembalikan ke dalam wilayah kultural Minangkabau.

"Perlawanan" yang paling dimungkinkan adalah dengan penguatan institusi informal, melakukan bargaining power terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa Minangkabau yang administratif itu. Memperjelas wilayah-wilayah yang pantas disentuh tangan penguasa, dan mempertajam kembali simpul-simpul kultural yang selama ini dimatikan oleh sistem kekuasaan.

Selain itu, penguasa Minangkabau administratif itu harus mempertegas dirinya untuk tidak menyentuh wilayah-wilayah yang sesungguhnya bisa digerakkan oleh sistem yang berjalan secara kultural. Jika tidak demikian, maka jadilah kita Usman Chaniago baru.***

Saturday, June 9, 2007

ALFABET MINANGKABAU

Dérivé fortement de l'arabe, cette écriture note la langue Minangkabau parlée dans l'île de Sumatra (pedroiy.free.fr/alphabets/minangkabau.htm)