KODE-4

Sunday, March 23, 2008

Enaknya Menjadi Anggota Dewan

Oleh Nasrul Azwar

Menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat memang mengasyikkan. Paling tidak, sebagian hidup dibiayai dengan uang negara. Bukan saja anggota dewan yang mendapat berkah, keluarga dan anak juga kecipratan. Karena ada juga sebagian tunjangan diperuntukkan pada anak dan istri/suami. Secara moral, keluarga lainnya—di luar istri/suami dan anak—status sosial ikut terangkat juga. Maka, efek domino dari seorang yang berhasil menduduki kursi dewan, memang cukup besar.

Selain diberi gaji yang relatif besar, masing-masing anggota dewan ini juga diberi fasilitas berupa kendaraan, rumah, dan lain sebagai. Semuanya tetap menggunakan uang dari pundi-pundi anggaran pendapatan belanja daerah/negara. Jika mereka melaksanakan tugasnya, misalnya, membahas anggaran, atau RUU, Ranperda, dan jenis-jenis rapat lainnya, atau bikin pansus, kunker, studi banding, mereka juga diberi uang lelah/saku dari situ, walau mereka sudah digaji jutaan rupiah.

Untuk masalah yang terkait dengan besarnya tunjangan dan fasilitas yang diterima anggota dewan di pusat dan daerah, yang belakangan menuai protes adalah sewa rumah sebesar Rp13 juta/bulan bagi anggota DPR. Dan yang juga cukup membuat masyarakat Bangka Belitung geram adalah rencana pembahasan APBD 2008 di sebuah hotel di Kota Pangkalpinang. Kritikan keras masyarakat menyurutkan rencana ini.

Tapi, buat DPRD Kabupaten Bangka, yang dapat pinjaman motor dan mobil dinas baru, seolah cuek-cuek saja mendengar kritikan masyarakat. Kini masing-masing anggota dewan sudah menggunakan motor pinjaman dari Pemerintah Kabupaten Bangka berupa motor jenis vario. Bagi anggota dewan ini, tak ada urusan apakah motor itu digunakan atau tidak: yang penting terima saja dulu.

Menjadi anggota dewan dan duduk di kursi empuk dengan ruang ber-ac semerbak dengan harum bunga, dan semua kebutuhan disediakan oleh negara, memang menjadi cita-cita banyak orang. Artinya, ada kehidupan yang cukup menjanjikan di sana.
Paling tidak, setelah duduk di sana, status sosial akan terangkat, derajat akan naik. Di tengah keluarga, menjadi anggota dewan dipandang kedudukan yang bergengsi. Berwibawa. Dan dianggap tahu semua masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Pokoknya, menjadi anggota dewan itu, semuanya seperti terangkat.

Untuk menuju ke sana, memang banyak juga rintangannya, walau banyak juga yang sampai ke kursi dewan itu demikian mudahnya. Mulus-mulus saja. Karena proses pemilihan anggota dewan sekarang ini beda dengan yang sebelumnya—walaupun beda tapi substansinya tak berubah—dipilih langsung sesuai nama yang dicalonkan, tentu saja “menjual” program kepada masyarakat menjadi yang utama.

Dahulunya, saat menjelang pemilu legislatif, calon-calon anggota dewan ini mencoba mendekatkan dirinya ke masyakakat, memberikan janji untuk memecahkan permasalahan masyarakat, dan kadang mau memastikan menggratiskan biaya sekolah. Demikian kira-kira cara mereka mengambil hati masyarakat. Mereka merayu dan membius publik dengan janji-janji. Tapi tujuannya adalah pilih saya.

Untuk melakukan pendekatan dan bujuk rayu itu, tentu saja membutuhkan dana yang cukup besar. Karena setiap berkumpul dengan masyarakat, minimal nasi bungkus dan baju kaus harus disediakan caleg bersangkutan. Besaran dana yang dikeluarkan, tergantung pada caleg untuk dewan yang mana: jika caleg untuk provinsi, tentu biayanya akan beda dengan caleg untuk kota/kabupaten. Tapi yang jelas, semuanya caleg dipastikan merogoh kantungnya untuk biaya ini-itu

Kini, mereka yang sudah duduk sebagai anggota dewan—bagi yang belum beruntung, bertarung saja pada pemilu yang akan datang—kini sedang menikmati enaknya menjadi anggota dewan.

Bagi rakyat yang sudah memilih seorang caleg di saat pemilu lalu, dan kebetulan “berhasil”, saat sekarang tinggal menyaksikan bagaimana “tipu muslihat” dan “bujuk rayu” dulu itu terbukti hanya pemanis saja. Hanya omong kosong. Hanya bualan. Suara rakyat suara Tuan (bukan Tuhan), menemukan pembenarannya. Tuan-tuan yang berada di gedung megah yang berstatus sebagai wakil rakyat itu membenarkan bahwa dirinya berada di sana karena suara rakyat, tapi kini lebih mengutamakan suaranya, dirinya sendiri.

Dari itu pula, dua kali pemilu setelah reformasi, yaitu 1999 dan 2004, sangat mengesankan tak memberi apa-apa bagi rakyat. Malah mengesankan menyebalkan masyarakat. Semenjak dari dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan hampir semua anggota dewan di Indonesia sampai upaya memperbesar tunjangan dan gaji mereka, setiap saat jadi sorotan publik, dan malah ada yang mengatakan anggota dewan tak punya perasaan dan sikapnya menzalimi amanah masyarakat.

Beberapa pengamat sosial politik menilai, kinerja dewan di terutama di tingkat lokal memang memprihatinkan. Persoalan pengalaman, latar belakang pendidikan, serta lemahnya kemampuan berargumentasi (ini juga menyangkut rendahnya pengalaman organisasi), tidak responsif, sering telat bertindak, membuat mereka seperti berjarak dengan eksekutif. Pemerintah terlihat jauh di depan. Perbedaan demikian sangat kentara sekali saat pembahasan anggaran dan juga penerima laporan pertanggungjawaban pemerintah. Legislatif seperti “dikadalin” eksekutif .

Beberapa waktu lalu, Pedagang Pasar Pambangunan dan Sekitarnya (P4S) menyampaikan aspirasinya ke DPRD Kota Pangkalpinang. Pengaduan ini terkait dengan penghapusan aset yang direkomendasikan Pansus DPRD Pangkalpinang. Tapi apa mau dikata, di kantor wakil rakyat itu tak satupun anggota dewan yang ada. Semua anggota dewan pergi ke Jakarta dengan berbagai alasan. Akhirnya, pedagang yang tergabung dalam P4S kecewa.

Ini sudah jadi fenomena di daerah-daerah yang baru dimekarkan atau sedang berkembang, termasuk tentu saja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengalaman panjang eksekutif di birokrasi dan penguasaan mereka terhadap data-data juga soal teknis, “memaksa” legislatif menerima saja laporan eksekutif. Fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif selama ini hanya sebatas menerima laporan saat diadakan rapat, hearing, dan dengar pendapat secara formal. Dan jarang sekali legislatif berinisiatif mengecek ke lapangan kebenaran laporan sebuah instansi.

Kasus peminjaman motor dan mobil dinas kepada DPRD Bangka oleh Pemerintah Kabupaten Bangka, misalnya, adalah perkara yang cukup unik dan terbilang aneh. Di mana unik dan anehnya? Pertama soal lembaga mana yang pertama berinisiatif mengajukan gagasan pembelian kendaraan itu. Kedua, jenis kendaraan motor yang dipinjamkan eksekutif untuk operasional legislatif itu tidak mempertimbangkan asas manfaat dan keefektivan.

Pihak legislatif (DPRD Bangka) mengatakan, inisiatif pembelian motor untuk dewan datang dari Pemkab Bangka. DPRD merasa tak pernah mengajukan anggaran untuk hal demikian itu. Malah, pihak sekretaris dewan mengakui tidak pernah diajak dan terlibat sema sekali dalam proses pembelian motor itu. Sementara, pihak eksekutif (Pemkab Bangka) beralasan, semua anggaran yang ada dalam APBD berasal dari pengajuan instansi masing-masing, termasuk DPRD Bangka. Namun demikian, ada juga kalangan anggota dewan di Bangka yang mengakui, bahwa DPRD Bangka kecolongan dan terkesan “ditipu” eksekutif.

Demikianlah negeri ini diurus dan diatur dengan saling “memakan”. Legislatif memakan eksekutif, dan sebaliknya. Sementara rakyat korban dari “kanibalisme” itu. *

No comments:

Post a Comment