KODE-4

Wednesday, June 13, 2007

SEA Award 2000 untuk Wisran Hadi


Wisran Hadi, salah seorang sastrawan dan dramawan terkemuka Indonesia, tanggal 17-23 September mendatang akan menjadi tamu di Thailand. Ia ditetapkan sebagai penerima penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.

"Ternyata untuk sebuah kerja kreatif dan berprestasi tak harus ke Jakarta, di daerah pun bisa. Tempat tidak menentukan, yang menentukan adalah kualitas dari karya dan berkarya tanpa henti," kata Wisran Hadi saat dihubungi Kompas, Selasa (1/8), di Padang.

Wisran Hadi adalah sastrawan dan dramawan urang awak kedua penerima penghargaan SEA Write Award 2000 setelah AA Navis yang menerima penghargaan serupa tahun 1992. SEA Write Award merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan Thailand kepada pengarang ASEAN. Tahun 1999, penerima SEA Write Award adalah sastrawan Seno Gumira Adjidarma.

Menurut Wisran, ia mendapatkan penghargaan itu bukan karena buku-buku yang ditulisnya menjadi terbaik, melainkan karena kontinuitas dalam dunia karang-mengarang. Selain itu juga ditentukan oleh latar belakang, kultur pengarang yang tergambar dalam karya-karyanya dan nilai/kualitas sastra yang terdapat dalam karya tersebut.

Wisran Hadi yang dilahirkan di Lapai, Padang, tanggal 20 Juli, 55 tahun lalu, sudah berkecimpung dalam dunia karang-mengarang sejak 26 tahun terakhir, setamat Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta tahun 1974. Karya pertamanya, Gaung, berhasil memenangkan lomba penulisan naskah drama yang dilaksanakan IKJ tahun 1975. Selama 10 tahun kemudian, berturut-turut ia memenangkan lomba penulisan naskah drama. Sampai tahun 2000, lebih 20 naskah dramanya memenangkan perlombaan.

Selain menulis naskah drama, Wisran juga menulis novel dan cerita pendek. Novel berjudul Tamu, selain pernah diterbitkan bersambung di sebuah harian nasional, juga diterbitkan dalam bentuk buku. Novel lain yang telah dibukukan adalah Iman, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Akan terbit bulan Agustus 2000 ini novel Orang-orang Belanti.

Cerpen-cerpen Wisran dipublikasikan di media cetak dan telah dibukukan oleh penerbit Malaysia dengan judul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi. Di luar itu, ia sudah lebih 10 tahun menjadi dosen tamu di Universitas Andalas, Padang.

Yurnaldi, Kompas, Rabu, 2 Agustus 2000

Wisran Hadi: Dari Perupa ke Teater



OLEH IVAN ADILLA, Fakultas Sastra Unand

Wisran Hadi (Lapai, Padang, 27 Juli 1945) merupakan seniman yang aktif dalam beberapa bidang kesenian, namun karirnya yang menonjol adalah di bidang sastra dan teater. Ia juga dikenal sebagai budayawan.

Wisran Hadi merupakan anak ketiga dari tiga belas bersaudara yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama. Ayahnya, Haji Darwas Idris (Hadi) adalah imam besar mesjid Muhammadiyah, Padang, ahli hadis dan tafsir serta penggagas dan pendiri Fakultas Syariah Universitas Muhammadiyah, Padang. Pendidikan dasar hingga menengah ia jalani di Padang dengan menyelesaikan Sekolah Rakyat, Sekolah Menengah Pertama Negeri dan Sekolah Guru Agama. setelah itu ia melanjutkan studinya di Akademi Senirupa Indonesia (ASRI) dan tamat pada tahun 1969.Berbagai profesi pernah ia jalani, seluruhnya berkait dengan dunia pendidikan dan jurnalistik. Tamat dari ASRI, ia menjadi guru di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) (1970-1971), dan INS Kayu Tanam (1971-1978). Setelah itu ia bekerja sebagai staf redaksi HarianSinggalang (1979-1983), Sekretaris Eksekutif dan dosen di Akademi Pariwisata Bunda, Padang (1983-1985), dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Andalas (1985-1995), dan redaktur majalah kebudayaan Minangkabau Limbago (1987-1989) , serta dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta (1996-1998). Tahun 1997-2001, ia merintis dan menjadi dosen luar biasa di Fakultas Pertanian Universitas Andalas untuk mata kuliah Adat dan Kebudayaan Minangkabau, sebuah mata kuliah muatan lokal yang diharapkan memberikan pemahaman bagi mahasiswa tentang masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Pada Mei 2001 diundang sebagai Ahli Panel Penilai Luar dan sejak Juli 2001 hingga sekarang sebagai Pensyarah di Akademi Seni Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur. Sembari mengajar ia juga terlibat sebagai penata artistik dan sutradara beberapa pementasan serta memberikan workshop untuk teater modern di berbagai negara bagian di Malaysia.

Wisran Hadi telah menerima berbagai penghargaan dan beasiswa atas prestasinya sebagai sastrawan dan teaterawan. Di antara penghargaan yang telah diraihnya adalah SEA Write Award , peghargaan sastra tertinggi untuk Asia Tengrara dari Raja Thailand, (2000), International Writing Program di The University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat (1977-1978), Observasi teater Modern di New York atas sponsor Asian Cultural Council (1978). Sponsor yang sama mengundangnya melakukan Studi Perbandingan Teater Modern Amerika dan Jepang (1986-1987), Penghargaan Penulisan Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1991).

Karirnya di bidang seni dimulai dari bidang seni rupa, saat ia melanjutkan studi di Akademi Senirupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta. Sejak mahasiswa ia mengikuti pameran bersama di Malang (1967), Surakarta (1968) dan Taman Ismail Marzuki (1969). Setamat dari ASRI ia kembali ke Padang dan melanjutkan karirnya sebagai perupa dengan menggelar beberapa pameran yang diselenggarakan di Padang (1970; 1971; 1973; 1975). Beberapa iven senirupa yang pernah diikutinya dalah Pameran Perupa Sumatra Barat (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1976), Pameran Pelukis Sumatra (Balai Budaya dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta,1976), Bienalle Perupa Indonesia (Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1976), Pameran Lukisan Wisran Hadi (Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, 1976). Karya senirupanya cukup mendapat perhatian sehingga beberapa karya menjadi koleksi Dewan Kesenian Jakarta. Dalam kapasitasnya sebagai perupa, Wisran beberapa kali terlibat sebagai penata artistik untuk beberapa pementasan. Di antaranya, pementasan Bagindo Aziz Chan karya Chairul Harun (1972), drama-tari Malin Kundang karya Hurijah Adam (1972), dan Angun Nan Tongga karya A. Chaniago HR (1973). Ia juga merancang desain untuk monumen Bangindo Azis Chan (Padang, 1973), Relief Perjuangan Kemerdekaan (Bukittinggi, 1974) serta disain sampul untuk buku puisi Siul (Abrar Yusra, 1975) dan Paco-Paco (Hamid Jabbar, 1975).

Pada periode selanjutnya Wisran Hadi memfokuskan kegiatan di bidang teater dan sastra. Pengenalan Wisran Hadi dengan teater bermula dari pergaulan dan perkenalannya dengan Putu Wijaya, Arifin C.Noer, Abdul Hadi WM, Chairul Umam dan Rendra yang merupakan para penggiat dan anggota kelompok teater mahasiswa di Yogyakarta. Bekal itu kemudian dikembangkannya saat membimbing siswa SSRI untuk menyiapkan sebuah pementasan dalam rangka kegiatan sekolah. Setelah itu ia bergabung dengan Bengkel Teater Padang (1972-1973), Study Teater Padang (1973-1974), dan Teater Padang (1974-1975). Pada 10 November 1975, Wisran Hadi dan beberapa sastrawan (Hamid Jabbar (alm.), Raudha Thaib, Haris Effendi Thahar, Darman Moenir, A. Alin De dan Herisman Is) mendirikan Bumi Teater, yang kegiatannya mencakup bidang sastra, senirupa, teater dan musik. Hingga saat ini Wisran Hadi merupakan pimpinan, sutradara dan penata artistik di grup tersebut. Bersama Bumi Tetaer, Wisran Hadi telah melakukan pertunjukan di berbagai kota di Indonesia dan beberapa negara tetangga, seperti Padang, Medan, Jakarta, Yogyakarta, dan Kuala Lumpur. Sepanjang 28 tahun bersama Bumi Teater, setidaknya Wisran Hadi telah menyutradarai 30 pertunjukan teater yang dipentaskan grup tersebut, sehingga Bumi Teater sering didentikkan dengan Wisran Hadi.

Di bawah asuhan Wisran Hadi, Bumi Teater tumbuh sebagai kelompok yang diperhitungkan dan disegani di panggung teater Indonesia. Bumi Teater merupakan grup teater tertua di luar Jawa yang masih aktif dan selalu diundang untuk tampil dalam berbagai iven teater di Indonesia. Karya penyutradaraan Wisran Hadi mendapat perhatian dari banyak pengamat dan pencinta teater Indonesia, sehingga ia sering diundang untuk menyampaikan pikiran dan pandangannya dalam berbagai forum teater. Untuk pementasan yang disutradarainya, Wisran Hadi mengeksplorasi aneka khazanah budaya dan filsafat masyarakat Minangkabau menjadi pertunjukan modern. Ia memanfaatkan dan mengolah kembali berbagai konsepsi dalam permainan randai, indang, selawat dulang, mainan buaian kaliang (komedi putar) hingga musik talempong, genggong dan tasa. Ia juga mengembangkan konsep filsafat Minangkabau tentang posisi dan peran manusia sebagai dasar pengolahan peran di panggung teater modern. Konsep penyutradaraannya diformulasikan dalam bentuk esei yang disampaikan dalam Forum Pertemuan Teater 1986 di Padang dengan judul ‘Teater Demokratik, Pembicaraan Awal Sebuah Konsepsi'. Esei itu merupakan sumbangan berharga terhadap perkembangan konsep teater di Indonesia. Konsep itu merupakan sumbangan berharga yang disampaikannya dalam sebuah makalah merupakan sumbangan pikiran yang berharga dalam perkembangan teater di Indonesia.

Di antara hal yang menonjol dari karya teater Wisran Hadi adalah pilihannya terhadap bentuk simbolik, permainan grouping dan konsistensinya mempertahankan etika keagamaan dalam setiap pementasan. Latar belakang pengetahuan dan pengalamannya sebagai perupa memberikan sumbangan besar dalam melakukan berbagai alternatif untuk teater simbolik yang dikembangkan Wisran Hadi. Pilihan itu sekaligus memungkinkan ia secara konsisten mempertahankan etika keagamaan dengan menghindari adegan-adegan yang dianggap tabu atau tidak sesuai dengan etika agama (Islam) dan mengubahnya ke dalam bentuk simbolik. Pilihannya terhadap permainan grouping merupakan pengembangan dari konsep randai yang dipandangnya sebagai bentuk teater demokratik. Namun pilihan itu juga dikritik oleh beberapa kalangan karena dianggap tidak mampu melahirkan aktor yang kuat.

Beberapa pementasan yang disutradarai Wisran Hadi mendapat komentar yang luas dari berbagai kalangan karena dianggap kontroversial. Pertunjukan Imam Bonjol (Padang, 1982 dan Jakarta, 1995) mendapat komentar dari budayawan, pengamat seni, sejarawan hingga pemerintah daerah yang disampaikan di berbagai media massa dan forum diskusi. Setidaknya terdapat 40 komentar terhadap pertunjukan tersebut, merupakan jumlah yang besar untuk sebuah sebuah pertunjukan teater. Pementasan lain yang juga dipandang menimbulkan kontroversi adalah Puti Bungsu (1978), Dara Jingga (1984), Senandung Semenanjung (1986), sedangkan pementasan Mandi Angin (1999) dipuji karena memberikan alternatif yang menarik dan menyegarkan dengan memanfaatkan komedi putar untuk pementasan teater. Selain aktif dengan teater modern, Wisran juga terlibat dengan teater tradisional randai. Ia pernah bergabung dengan grup randai Bintang Harapan , Cahaya Baru , dan Muda Sepakat sebagai penasehat dan penulis naskah.

Kecuali pada masa awal karirnya, hampir seluruh pementasan yang disutradarai Wisran Hadi bertolak dari naskah yang ditulisnya sendiri. Wisran Hadi merupakan penulis naskah yang menonjol dan tetap produktif. Hingga saat ini ia telah menulis sekitar 90 naskah drama, daalam bahasa Indonesia dan Minangkabau. Ia satu-satunya penulis yang memenangkan hadiah sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian jakarta selama 10 tahun berturut-turut, sejak 1975-19..... Hingga saat ini 15 naskah dramanya memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Naskah drama......, yaitu....... Hal yang menonjol dari drama-drama Wisran adalah bahasanya yang puitik dan bentuk parodi yang dipilihnhya. Drama-dramanya terakhir memperlihatkan kecenderunganya untuk mempermainkan kata-kata dengan berbgai kemungkinan maknanya. Misalnya Jalan Lurus dan Mandi Angin.

Beberapa penghargaan yan diraihnya, Hadiah buku utaa dari Yayasan IKAPI dan Depatemen Pendidikan nasional untk novel Tamu (1997), Hadiah Buku sastra Terbaik untuk kategori Drama dalam Pertemuan Sastrawan nusantara untuk Jalan Lurus (1997), Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia untuk naskah Gading Cempaka (1996) dan drama anak-anak Mama Di Mana (1996). Selama sepuluh tahun berturut-turut, antara 1975-1985,, naskah dramanya memenangkan penghargaan Sayembara Penulisan naskah Sandiwara Indonesia yang dilaksanakan Dewan kesesnian Jakarta atas naskah Gaung, Ring, Perguruan, Cindua mato, malin Kundang, Pewaris, Anggun nan Tongga, Peneyberangkan, Senandung Semenanjung, dan Imam Bonjol.

Drama yang terlah diterbitkan menjadi buku: Empat Sandiwara Orang Melayu (Bandung: Angkasa, 2000), Mandi Angin (Padang, Dewan kesenian Sumatra Barat, 1999), Jalan Lurus (Bandung: Angkasa, 1997), Baeram, Kumpla 8 drama Pendek (Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kbudayaaan, 1982), Titian (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1982), Pewaris (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1981), Perantau Pulau Puti (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan,1981), Anggun Nan Tongga (jakarta: Balai Pustaka, 1982), Puti Bungsu (Jakarta: Pustaka Jaya, 1978). Sejak 1971, hampir 50 naskah dramanya telah dipentaskan. Ia menyutradarai sekitar 20 perteunjukan yang dipentaskan bersama beberapa grup teater dan telah melakukan pertunjukan ke berbagai kota di Indonesia dan negra tetanga. Selain itu ia juga memasuki dunia film sebagai pemain, penulis skenario dan sutrdara. Di antara skenario yang telah difilmkan adalah jangan ada yang terbuang (balai pusat Informasi Pertraian, Padang, 1982), Anggun nan Tongga ( Televisi Republik Indonesia, 1983), Cindua Mato (TVRI, 1998), Empat lakon Perang paderi (TVRI, 2004), juga berbperan sebagai Teman harun dalam Titian Seranbut dibelah lTujuh, (Sutadara Chairul Umum, 1982). Dam Bujang Se;aat. Film dkomenter Cindu mato (sutradara, Khaterine Sternger Fry, Ketty Production, Canada, 1985).

Selain menulis drama, wisran juga menulis puisi, cerita pendek dan novel. Puisinya dikumpulkan dalam Simalakama (Ruang Pendidik INS, Kayu Tanam, 1975). Cerita pendeknya dipublikasi pada Harian Singgalang, Kompas, Media Indonesia, Republika, dan majalah sastra Horison (Jakarta) serta majalah kebudayaan Minangkabau Limbago (Padang). Kumpulan cerpennya yang telah terbit, Daun-Daun Mahoni Gugur Lagi ( Fajar Bhakti Sdn Bhd. Kuala Lumpur,1998), Guru Berkepala Tiga (Balai Pustaka, Jakarta), serta dalam antologi Pembisik (Penerbit Republika, jakarta). Beberapa novelnya juga telah diterbitkan. Novel pertamanya, Tamu (Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1996) meraih penghargaan dari Yayasan Buku Utama. Novelnya yang lain adalah Orang-Orang Blanti (Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang), Negeri Perempuan (Pustaka Firdaus, jakarta), Imam (Pustaka Firdaus, Jakarta). Dari Tanah Tepi (diterbitkan secara bersambung pada Harian Singggalang 15 Maret -20 Mei 1998). Novel WH memiliki corak penceritaan yang tidak banyak dilakukan pengarang lain. Iman dan Orang-orang Blanti mengambil pola biografi dan catatan harian yang bercampur baur dengan bentuk penulisan karya ilmiah. Wisran merupakan sedikit dari sastrawan yang mampu menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Tuulisannya dalam bahasa Minangkabau berupa kisah serial bertajuk Jilatang, dipublikasi dalam bentuk kolom di harian Padang Ekspress. Selain itu ia juga menulis beberapa naskah randai berbahasa Minang.

Wisran Hadi juga dikenal sebagai pemikir kebudayaan dengan pikiran yang bernas dan kritik yang lugas. Sebagai pemikir budaya, ia sering diundang menyampaikan makalah tentang masalah kebudayaan dan seni di berbagai forum di jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Kuala Lumpur. Pemikirannya tentang kebudayaan juga dilahirkan dalam bentuk esei dan artikel yang dimuat di berbagai media massa dan majalah.***

Wisran Hadi: Sumatera Barat Tak Pernah Kekurangan Penulis

Namanya terpilih sebagai salah satu seniman yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.

Ketika menerima penghargaan tersebut pada Kongres Kebudayaan V beberapa waktu lalu, Wisran Hadi tak bisa menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga. ”Saya bangga sekali. Terlepaslah bagaimana penghargaan itu dan siapa yang memberikannya,” tuturnya.

Penghargaan lain yang pernah diterimanya datang dari Kerajaan Thailand berupa South East Asia Write Award tahun 2000. Ia menjadi penulis Minang kedua yang mendapatkan hadiah bergengsi itu setelah A.A. Navis pada tahun 1992.

Menjadi penulis mungkin telah menjadi suratan nasibnya. Dalam hal ini, ayahnya memberi pengaruh yang besar. ”Ayah saya, Darwas Idris, adalah seorang ulama dan konon pada masa itu dia seorang ahli hadits dari dua ahli hadits yang ada di Indonesia. Yang satu ahli hadits ada di Ponorogo,” katanya.

Waktu masuk Sekolah Guru Agama (SGA)– setaraf SMA, Wisran sudah diwajibkan membaca buku-buku yang bahkan belum sesuai dengan alam pikirannya. Bahkan, waktu di SMP kelas satu, dia sudah disuruh untuk membaca Injil, membaca Taurat, padahal ayahnya ulama. ”Saya tanya kenapa saya disuruh membaca itu, dijawab ayah saya, ‘supaya kamu tahu’,” kenang penulis kelahiran Padang, 27 Juli 1945.

Selain itu, dia diberi juga buku tentang aliran Muktazillah, aliran filosofis Islam. Banyak sekali dibacanya buku semacam itu, sehingga bagi Wisran, terasa sangat berpengaruh buat dirinya.

Namun, prinsip agama sangat kuat di kalangan masyarakat Minang. Sebagaimana filosofi, adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitab Allah. Kitab Alqur’an memang menjadi sandaran hidup buat masyarakat yang ada di Padang termasuk kehidupan Wisran Hadi dan keluarganya.

Novel Tertunda

Saat ini, Wisran sedang menulis tiga novel. Namun, penulisannya bagai jalan di tempat. Ada yang masih tiga puluh halaman, ada pula yang lima puluh. Aktivitas mengajar serta daya tahan tubuhnya yang kian lemah menjadi salah satu faktor penyebab. Lagi pula, pekerjaan menulis yang tertunda, menurutnya, adalah hal yang biasa.

”Waktu seumur Anda, saya sering bekerja sampai pagi,” katanya. Saat ditanya tentang judul karya-karyanya yang belum dipublikasikan itu, dengan tersenyum, penulis drama yang belakangan banyak menulis novel dan cerpen ini kemudian mengatakan bahwa dia masih belum bersedia menyebutkan judul karyanya.

Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.

Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Iman, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit Malaysia berjudul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi.

Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, USA pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater Jepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997.

Karyanya dikenal sangat kritis termasuk dalam menulis tentang permasalahan budaya dalam masyarakatnya. Misalnya saja ketika dia mengangkat secara kritis karya dramanya yang berjudul Cindua Mato yang menggambarkan tentang figur Bundo Kanduang sebagai figur agung masyarakat Minangkabau atau juga karyanya drama yang lain Tuanku Imam Bonjol dengan sisi kepahlawanan dan kelemahannya. ”Saya lebih suka mengangkat yang bersifat perenungan dan kontemplasi saya daripada sekadar karya bertema politik dan sosial yang hanya fenomena sesaat saja,” ujarnya.

Wacana dan Generasi Baru

Sumatera Barat pernah menjadi sumber penulis pada masa kejayaan Balai Pustaka. Ketika kini, jarang terdengar sastrawan dari Minang yang berkiprah di khazanah sastra nasional, muncul pendapat bahwa jumlahnya memang telah menurun.

Wisran Hadi tak sepakat dengan pendapat semacam itu. Ia mengatakan tidak relevan membandingkan dua masa yang berbeda itu. ”Kalau ditanya apa yang dikerjakan oleh orang-orang muda sekarang, banyak buku yang terbit sekarang, termasuk buku-buku sastra. Tapi kalau ada orang tua yang menuding tentang apa yang dilakukan oleh orang muda itu, kan mereka tidak pernah baca karya para pengarang baru itu?” ujar Wisran.

Dia juga menuding pers. Kenapa banyak orang pers yang tidak mau mengangkat para pengarang muda usia itu? Dalam pandangan Wisran, mungkin di kalangan orang-orang muda di bidang pers sendiri, ada semacam persaingan di bawah sadarnya dengan orang-orang muda lainnya. ”Apalagi si sastrawan itu orang muda yang nyentrik, yang akhirnya tidak disenangi oleh wartawan,” tegas lelaki yang menjadi dosen tamu di Universitas Andalas Padang itu.

Tapi dia tidak meragukan pola wacana yang ada saat ini, karena baginya semua generasi di dunia begitu saat ini, terutama di negara-negara berkembang. Dia bahkan tidak melihat adanya penurunan pada kualitas wacana generasi saat ini, hanya memang ada perubahan. ”Itu tugas pengamat atau jurnalis, untuk melihat mereka yang bermutu, lalu hilang dan tidak dipublikasikan selama ini,” tudingnya kepada SH.

Dia kemudian bercerita ada sastrawan pendahulu yang mengatakan bahwa penulis pada angkatan 2003 ini tidak sama dengan masa lalu. ”Wah kok sastrawan saat ini tidak seperti Hamka. Lain dong, Hamka ya Hamka,” ujarnya.

Penulis saat ini, dari Sumatera Barat saja contohnya, yang dilihatnya menonjol dari generasi belakangan mulai dari Gus TF Sakai, Darman Munir, Khairul Jasmi dan banyak lagi. Mereka, generasi pendahulu yang tidak baca, langsung menghakimi akhirnya melihat generasi sekarang mengalami krisis kualitas dan kuantitas.

Untuk memiliki kebijakan, saat ditanya kenapa dia tidak ikut ambil bagian saja di dalam struktural seni dan kebudayaan, Wisran malah mengatakan, ”Tidak diterima, tak cuma di lembaga seni, saya bahkan sudah berniat jadi gubernur, tapi orang tak ada yang pilih saya. Kerja di pemerintahan, saya kan pengen juga seperti pejabat-pejabat tinggi itu, pakai mobil negara,” ujarnya, dengan nada satir.

Yang penting, sarannya, di dalam sastra jangan ada pikiran politik. Regenerasi, baginya, adalah pikiran politik. Di dalam sastra, seni dan budaya, tak ada yang namanya regenerasi. Tak perlu ada yang memperhatikan generasi muda, karena dirinya sendiri tak ada yang perhatikan. ”Kalau media atau publik itu perlu perhatikan generasi muda,” tambahnya.

Sastrawan dan Selebriti

Wisran kemudian mengkritik tema seksualitas yang diangkat oleh para pengarang muda saat ini. ”Apa bedanya dengan pornografi. Oh, dia anggap dia berani mengungkapkan tentang hal itu. Masak persoalan tentang lelaki dan perempuan diungkapkan, sedangkan dari nabi Adam juga demikian, persoalannya kan tidak berubah-ubah juga,” ujar Wisran.

Karena sama persoalannya, dia heran bila hal itu masih diungkapkan. Dengan pembedaan itu, bagi Wisran, bentuk pornografi merangsang sesaat, tapi karya seni merangsang pemikiran-pemikiran kita.

Tentang karya orang-orang yang diangkat pada generasi saat ini, Wisran berkomentar lain. Menurutnya, ini adalah salah satu kerja orang surat kabar, yang selama ini terkesan tidak selektif dalam mempublikasikannya. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa pengertian ”selebritis” adalah ”hanya orang-orang bintang film”, dan yang paling banyak digosipkan adalah ”perempuan”. Hal itu, baginya, tetap saja masih dalam kerangka seksualitas. ”Apa pernah masalah selebriti diangkat tentang pemikirannya. Paling-paling kegiatannya yang diangkat, itu bukan pemikiran,” ujar Wisran.

Memang hal itu untuk koran terkesan bagus. Wisran pun mengaku senang melihatnya. Tapi, dengan tanpa wacana, berita tentang mereka di koran, pukul dua belas malam pun sudah hilang dan diganti oleh berita keesokan harinya.

”Nah, bandingkan dengan para pemikir kita yang muda-muda tadi, mungkin pemikirannya salah, mungkin pikiran mereka belum sempurna, kan biasa. Mana ada orang muda yang sempurna. Kenapa buat mereka tidak diberi tempat? Kenapa harus penyanyi dangdut, masalah goyang saja sudah dibuat klasifikasinya sekarang. Bagi bangsa ini untuk apa hal itu?” ujarnya.

Tentang banyak generasi pengarang yang sudah mapan segenerasinya, memanfaatkan fenomena keselebritian seorang sastrawan baru ini, diakui juga oleh Wisran. Mungkin si pelaku mendapatkan manfaat dari pengesahan pada selebriti semacam itu. SUMBER (SH/sihar ramses simatupang)


Kisah Tuanku Imam Bonjol Disinetronkan

Kebiasaan Tuanku Imam Bonjol yang selalu menanyakan anaknya saat pulang dari medan perang paderi merupakan kisah menarik, sehingga Sastrawan Nasional Wisran Hadi mengangkat hal ini dalam sebuah sinetron TV.

"Di balik heroisme Imam Bonjol melawan Belanda, ternyata dari kedalaman hatinya memancarkan cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang penuh makna kesucian. Hal ini patut diwarisi para generasi muda selanjutnya," ujar Wisran Hadi pada acara dialog tentang sinetron IMAM BONJOL di TVRI Padang, Kamis.

Sinetron ini, menurut Wisran, akan ditayangkan di TVRI pusat bulan depan. Sesuatu hal yang menarik dari sinetron yang dibuat empat episode ini adalah cahaya nilai-nilai kemanusiaan yang memancar dari seorang ulama besar asal Minangkabau itu.

Sinetron IMAM BONJOL ini bukan menonjolkan adegan `berdarah-darah` namun yang dipertontonkan dari sisi lain seputar perbenturan pemikiran-pemikiran antara kaum agama dan adat di Bonjol, Pasaman dulunya," kata Wisran.

Dalam dialog bertema "Menimbang Empat Lakon Perang Paderi" karya Wisran Hadi yang digelar TVRI dan dimoderatori Kepala Stasiun TVRI Padang Purnama Suardi itu, juga tampil Sejarahwan Nasional Anhar Gonggong, sutradara senior (film) Khairul Umam dan sutradara Televisi Alwi Pamuncak.

Menurut Wisran, agar penampilan sinetron ini dapat ditonton dengan baik, dirinya terpaksa belajar secara intensif tentang Islam dan adat Minangkabau supaya mudah menemukan persoalan-persoalan guna melahirkan dialog-dialog drama dalam rangka memperkaya wawasan.

Wisran tertarik mengangkat kisah Tuanku Imam Bonjol ini, karena selama ini masih belum tergali secara lebih dalam hakekat kepribadian terdalam dari Tuanku Imam Bonjol yang ternyata sangat humanis, selain berkarakter heroisme dan spitualisme.

Karakter humanisme ini, kata Wisran yang juga dosen pada Universitas Kebangsaan Malaysia itu, jelas sekali terlukiskan dalam sejarah, setelah pulang berperang, Tuanku Imam Bonjol selalu menanyakan anak-anaknya.

"Hal ini justru sangat menyentuh perasaan saya karena Tuanku Imam Bonjol memiliki sifat kemanusian yang tingi terhadap keluarganya (anaknya), selain selalu berkuda dengan membawa pedang di medan perang. Hal ini benar-benar gerakan `pedang intelektual`, ujarnya.

Ia menambahkan, kebiasaan pemerintah dulunya, jika seorang pejuang ditangkap penjajah Belanda maka mereka bisa dinobatkan sebagai pahlawan nasional sementara yang lainnya belum tentu.

Anhar Gonggong mengatakan, dalam tayangan sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" itu, Wisran terkesan mencari identitas dirinya baik sebagai orang Islam maupun sebagai orang Minang.

"Kunci utama sejarah perang paderi bukan persoalan melawan Belanda, tetapi temuan yang paling penting adalah pergumulan di dalam lingkungan internal antara kaum agama dan adat hingga mudah diadu domba oleh Belanda," katanya.

Sementara itu, yang menarik dalam sinetron itu adalah interprestasi dari sejarah itu yang dilakukan oleh Wisran Hadi, dimana penyebab perpecahan bukan hanya Belanda tetapi muncul juga dari internal kaum agama dan adat itu.

"Kali ini Wisran memang menampilkan sinetron sejarah yang berbeda paling tidak dapat memperluas wawasan terutama dalam upaya menggali makna sejarah itu sendiri," katanya.

Empat Sinopsis Sinetron "Mempertimbangkan Empat Lakon Perang Paderi" yang ditulis Wisran Hadi memuat empat sinopsis, yang mengisahkan tentang Perguruan Tuanku Koto Tuo, Perburuan Tuanku Nan Renceh, Pengakuan Tuanku Imam Bonjol dan Penyebrangan Sultan Abdul Jalil.

Dikisahkan bahwa, Tuanku Nan Renceh adalah tokoh penting dalam sejarah Perang Paderi yang terkenal dengan sosok yang teguh dan keras dalam menjalankan agama dan menjadi pemimpin Harimau Nan Salapan himpunan dari delapan perguruan yang terkenal.

Karena tidak berhasil ditangkap Belanda, lalu Belanda memberikan informasi yang keliru terhadap tokoh besar itu seperti bahwa Tuanku Nan Renceh telah membunuh saudara ibunya karena tidak mau dilarang makan sirih.

Pencatatan sejarah yang keliru itu telah menyebabkan seorang pemuda berusaha menyelami kehidupan Tuanku Nan Renceh, tetapi pada akhirnya ia terseret dan tersesat dalam sejarah hingga harus menanggung resiko dalam kesesatannya.

Sinopsis Pengakuan Tuanku Imam Bonjol, dimana perjuangannya yang panjang penuh heroisme, berakhir dengan penghianatan Belanda yang berhasil menangkapnya. Ia merupakan cerminan kegigihan seorang pemim pin, ulama dalam menegakkan dan mempertahankan ajaran Islam sekaligus melawan penjajah.

Sementara itu "Penyebrangan Sultan Abdul Jalil" lebih mengisahkan benturan antara Sultan Abdul Jalli yang terpaksa berhadapan dengan adik kandungnya sendiri karena diadu domba Belanda.

Walau Bonjol telah jatuh ke tangan Belanda hingga melumpuhkan pertahanan Paderi di Lintau, namun Sultan Abdul Jalil tetap bertahan pada sebuah Masjid besar yang dibina bersama jamaahnya. (*/dar)

Wisran Hadi



Wisran Hadi (lahir Padang, Sumatra Barat 27 Juli 1945) adalah salah satu seniman/budayawan yang memenangkan penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dan beberapa penghargaan dari luar negeri, seperti dari Thailand. Penulis prosa berdarah Minang ini adalah salah satu seniman yang konsisten berkarya hingga hari tuanya.

Wisran pernah menulis kumpulan naskah drama berjudul Empat Orang Melayu berisi empat naskah drama: ”Senandung Semenanjung”, ”Dara Jingga”, ”Gading Cempaka”, dan ”Cindua Mato” (yang membuatnya mendapat penghargaan South East Asia (SEA) Write Award 2000.

Novelnya yang pernah dibukukan antara lain berjudul Tamu, Imam, Empat Sandiwara Orang Melayu, dan Simpang. Cerpen-cerpennya kerap dipublikasikan di media cetak dan dibukukan penerbit Malaysia berjudul Daun-daun Mahoni Gugur Lagi.

Tamatan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, 12 naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dari 1976 hingga 1998, ikut International Writing Program di Iowa University, Iowa, ASJepang pada tahun 1987. Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud dan dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater

Lomba Desain Perangko PBB

Lomba Desain Perangko PBB Dalam Rangka Memperingati Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan – 17 Oktober 2007

Dalam rangka memperingati Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan (17 Oktober ) dan Satu Dekade “PBB bagi Pemberantasan Kemiskinan” (1997 – 2006), Perserikatan Bangsa-Bangsa mengundang anak-anak dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam lomba desain perangko PBB dengan tema

“We can end Poverty” (Kita Dapat Mengakhiri Kemiskinan)

Lomba ini diselenggarakan oleh Departemen Ekonomi Sosial PBB bekerjasama dengan Departemen Informasi Publik dan Administrasi Pos PBB. Peraturan Lomba

Peserta : Anak-anak usia 5 hingga 15 tahun. Persyaratan : Karya dibuat di atas kertas atau kanvas berukuran A4 atau setara. Alat yang digunakan bebas (tinta, krayon,cat air,dll). Setiap desain disertai keterangan singkat di baliknya mengenai arti desain. Karya tidak perlu dibingkai. Data pribadi dicantumkan di balik karya, berisi : nama lengkap, usia, jenis kelamin, alamat lengkap, negara, no. telepon, no.fax dan alamat e-mail (jika ada) dan nformasi lain yang dianggap perlu untuk kemudahan kontak. Karya desain paling lambat diterima tanggal 12 Juni 2007 dan ditujukan kepada :

Direktur Pos, Ditjen Postel – Depkominfo
Gedung Sapta Pesona Lantai 6, Jl.Merdeka Barat No.17 Jakarta Pusat 10110

Seluruh karya yang diterima akan dikirimkan oleh Ditjen Postel kepada panitia lomba di New York, Amerika Serikat.

Penjurian

Dewan juri terdiri atas anggota-anggota dari Pembangunan dan Kebijakan Sosial PBB, Departemen Informasi Publik PBB, dan Administrasi Pos PBB. Kriteria penilaian adalah kemampuan mengekspresikan tema lomba. Pengumuman Hasil Lomba Hasil seleksi 6 desain terbaik akan diumumkan oleh PBB pada acara Peringatan Hari Internasional Pemberantasan Kemiskinan tanggal 17 Oktober 2007 . Enam (6) desain terbaik yang dipilih oleh Dewan Juri akan ditampilkan pada Peringatan Hari Internasional bagi Pemberantasan Kemiskinan pada tanggal 17 Oktober 2007, dan akan diterbitkan sebagai perangko Administrasi Pos PBB. Dua puluh (20) desain lainnya akan menerima penghargaan khusus. Seluruh hasil karya pemenang (26 buah) akan ditampilkan pada sebuah pameran khusus di Markas Besar PBB di New York.

Sumber : SItus DEPKOMINFO

2007 International Science Poetry Competition

2007 International Science Poetry Competition

June 6, 2007

(For school students, and sponsored by Science Time Educational Consultancy and The Science Education Review.)

Three age group divisions: 9-11, 12-14, and 15+ years of age

Why a Science Poetry Competition?

There are many good reasons for encouraging students to write science poetry. These include:

People can have at least seven different ways to be intelligent, or smart. One can be word smart (read it, write about it, talk about it, listen to it), number/logic smart (calculate it, reason), picture smart (see it, draw it, visualise it, colour it, mind-map it), body smart (build it, act it out, touch it), music smart (sing it, write a poem about it, rap it), people smart (teach it to someone else, learn it in a small group, understand others), and self smart (analyse it, think about it, connect it to your own life, understand yourself). Future successful adults will need to be resourceful and flexible, and use many of these different ways of being smart. For example, there are people who presently earn income by combining science with drama and music, as they make their audiences aware of how scientific discoveries are affecting, or may affect, our lives.

Poetry can help us to be creative. When you write poetry, you need to use your whole brain; both the left side of your brain (e.g., language and logic) and the right side (e.g., visualisation and creativity). These days, many employers are looking for people who can be creative by using their whole brain. We also want our future scientists to be creative problem solvers, and exceptional scientists are those who look at the same things everyone else looks at, but see something different.

The rhyme and rhythm of poetry (and music) can help us to remember things.

For further information about the benefits of using science poetry, and relevant classroom techniques and resources, please click here.

What can be Won?

The author of the winning poem in each age division of this annual competition receives a certificate and an individual trophy. In addition, students whose work is Highly Commended receive a certificate. Depending on entries, there is discretion to also make other awards, such as the best poem from a particular country.

What Needs to be Done?

Post your poem/s or rhyme/s, together with the completed Entry Form, to reach us by July 31, 2007 (which is an extension of the former June 20 date). Include the student name, age (as of the closing date), and school on each poem (possibly on the back). The entry fee of 4.40 AUD (Australian dollars) per poem needs to accompany the Entry Form. There is a minimum fee of 22 AUD per school (not applicable to homeschoolers), but no maximum limit. The entry fees contribute to judging and administration costs, including the posting of certificates.

What Conditions Apply?

Entries must be original, in English, and in hard copy (printed) format only.
Entrants need to be primary or high school students at the time of entry.
Your poem must have something to do with science (e.g., a science experiment, a science idea, or a scientific issue that is important in our lives; even a science teacher!) and should have rhyme and rhythm.

There is no limit to the length of your poem, but short poems can be great.
A student may enter more than one poem.
The judges’ decision is final.
Permission is granted for Science Time to reproduce your entry.
Anything Else?

While receiving an award in this competition will give recipients much satisfaction, there are benefits for you in just trying to write poetry. You will practise a few different ways of being smart, and many entries will be displayed on this Web site for the whole world to see!

The judging process will take into account the skills that could be expected from a student at his/her age. A 9-year-old student, for example, should therefore not be concerned about entering a competition that also includes 11-year-olds.

If you would like some good ideas for writing poetry, the following excellent, inexpensive booklets can help.

I Need a Poem, Mum! Aimed at the primary student, it contains many poems (including science poems) and guidance for writing different types of poetry; couplets, parodies, limericks, story-telling, poetic language, acrostics, haiku, and shape “poems.”

Help! A Handbook for Writers and Performers of Rhymed Verse. Written for a more advanced audience.

Both may be purchased from Carmel Randle, “Splenda Crescent,” M/S 852, Preston, Qld. 4352 Australia (Fax 61-7-46309998 [within Australia 07 4630 9998]). Why not also suggest a copy of each for your school and/or public library?

May I Please Have an Example?

Yes. Click here to view some entries from previous years, plus comments from the adjudicator.

Payment

Payment may be made by credit card or bank draft (e.g., cheque or money order). Bank drafts need to be in Australian dollars (AUD), and payable to Science Time. In addition, payment may be made by electronic funds transfer (EFT) by crediting the following account:

Warwick Credit Union Ltd.
101 Palmerin Street
Warwick Qld 4370
Australia
From Overseas
BSB: 034850
Account Number 205850
Account Name: Eastwell – Science Time
From Within Australia
BSB: 704687
Account Number: 20585
Account Name: Eastwell – Science Time
Reference: Official site: http://www.scienceeducationreview.com/poetcomp.html

IPF’s 2007 Letter Writing Competition

June 6, 2007

Letter can be handwritten or typed and must be in the English language. Maximum of 500 words. One entry allowed for each member. Entries close 31 August 2007. Prozes will be sent to winners in November 2007.

About IPF

Background

International Pen Friends (IPF) was founded in Dublin, Ireland on 7 April 1967 with the vision of giving people of all ages from every country the opportunity to gain penfriends and promote world peace and friendship through sincere letter writing.

On 1 February 2001 our Head Office moved from Ireland to Australia. We continue to be supported by hundreds of thousands of members worldwide, an established network of global representatives and a dedicated Head Office team.

The Fun of Letter Writing

Despite the many forms of communication available today, it is interesting that the most common feedback IPF receives from members is the enjoyment and fun they gain by receiving letters in the mail. It is hard to match the anticipation of waiting for letters to arrive, the stamps, postmarks, fancy writing paper, postcards, photos, tokens of friendship, the time and care people have taken to write the letters, sitting quietly and reading the letters time and time again, and possibly keeping them for many years as part of personal history. It is also better to receive letters in the mail than junk mail and bills!

Julie Delbridge
President
International Pen Friends

PO Box 156
Suffolk Park NSW 2481
Australia
Telephone: + 61 2 6685 4998
Facsimile: + 61 2 6685 4928
International Pen Friends (IPF)
Uniting the World Through Friendship, Fun and the Written Word
Complete information about this competition (the official site): http://members.ozemail.com.au/~penpals/2007comp.html
Official Site: http://www.ipf.net.au/

International Children’s Art Competition

June 6, 2007

To commemorate the International Day for the Eradication of Poverty (October 17th) and the first United Nations Decade for the Eradication of Poverty (1997-2006), the United Nations Department for Economic and Social Affairs, in collaboration with the Department of Public Information and the United Nations Postal Administration is pleased to announce:

AN ART COMPETITION FOR CHILDREN TO DESIGN
A UN STAMP ON THE THEME ‘WE CAN END POVERTY’

INTRODUCTION

As part of the activities to celebrate the International Day for the Eradication of Poverty and the end of the first Decade for the Eradication of Poverty, the Division for Social Policy and Development at the United Nations invites children from all over the world to participate in an art competition on the theme “We can end poverty”.

The best 6 designs selected by the Panel of Judges will be presented during the commemoration of the International Day for the Eradication of Poverty, on 17 October 2007, and will be issued as stamps of the United Nations Postal Administration.

In addition to the best 6 designs, another 20 designs will receive special commendation. The total of 26 winning entries will be displayed in a special exhibition at United Nations Headquarters in New York in 2007.

RULES OF THE COMPETITION

Who can participate? Children from all around the world from age 5 to 15 years.

Requirements for entry The entry should be made on paper or canvas A4 size or comparable. You may use ink, pencil, charcoal, crayon, water colour, marker, or any material that you might have available in your environment. Each design should be accompanied by a brief description of its meaning on the back of the entry. Please do not frame the art work.

Personal information On the back of each entry please provide the following information:

Your full name
Age
Gender
Full address
Country
Telephone number, fax number and e-mail address (if available)
Any other useful contact information.

Selection of designs The 6 best designs will be announced by the United Nations during the commemoration of the International Day for the Eradication of Poverty in October 17, 2007. These 6 best designs will be issues as stamps by the United Nations Postal Administration. In addition, 20 other designs will be awarded special commendations. All 26 designs will be displayed in a special exhibition at the United Nations in 2007.

Judging A Panel of Judges composed of members from the United Nations Division for Social Policy and Development, the United Nations Department of Public Information and the United Nations Postal Administration will decide on the selection of winning entries.

Criteria for evaluation of entries Artistic expression, how well the design expresses the theme of the competition.

Deadline Please send the design, with information requested, as soon as possible, but no later than 30 June 2007 to the following address:

2 United Nations Plaza,
Room DC2-1328

New York, NY 10017
United States of America
Source: UN Website: http://www.un.org/esa/socdev/poverty/art.htm

LOMBA MENULIS ESEI POPULER TENTANG TURKI

LOMBA MENULIS ESEI POPULER TENTANG TURKI

Tema Lomba (pilih salah satu):

“Apa Yang Saya Ketahui Tentang Turki”
“Hubungan Turki-Indonesia”

Ketentuan Lomba:

  • Dibuka untuk peserta usia dibawah 19 tahun, baik pria maupun wanita di seluruh dunia.
  • Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya penulisan populer
  • Diketik dengan format Times New Roman font 12, spasi 1.5, di atas kertas berukuran
  • A4 dengan panjang maksimal 5 (lima) halaman
  • Membayar biaya pendaftaran Rp 25.000,00 (sudah termasuk ‘free’ masuk acara Festival Kebudayaan Turki tgl 4-5 Agustus 2007 di Sekolah Kharisma Bangsa, Pondok Cabe, Jakarta, dengan menunjukkan slip bukti transfer yang asli pada saat hari H), ke rekening panitia: Atas Nama : Nurahmawati, Bank: Mandiri KCP Puncak Mas, Jakarta, No. Rekening : 102-00-0417933-6
  • Tulisan dikirim dalam bentuk soft copy ke e-mail panitia Festival Kebudayaan Turki: Discover.Turkey @ hotmail.com (tanpa spasi) selambat-lambatnya diterima tanggal 17 July 2007
  • Kiriman naskah disertai keterangan identitas diri (KTP/Kartu Pelajar), nomor telpon, e-mail, dan tanda bukti/slip pembayaran (apabila naskah dikirim melalui e-mail maka identitas & bukti pembayaran di-scan).
  • Apabila tidak ada keterangan identitas diri + bukti pembayaran, maka naskah dianggap tidak sah.
  • Transfer pembayaran selambat-lambatnya tgl 7 July 2007
  • Keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
  • Pengumuman pemenang dilakukan pada hari ke-2 Festival, yaitu Ahad, 5 Agustus 2007, di Sekolah Kharisma Bangsa, Pondok Cabe, Jakarta
  • Pemenang dan finalis yang tidak dapat datang ke acara festival akan dihubungi melalui surat dan hadiahnya dikirim ke alamat masing-masing.

Hadiah:

  • Juara 1,2,3: piala/trofi, sertifikat + paket sponsor.
  • 10 finalis mendapatkan sertifikat & goodie bag sponsor.

Sumber: Milis FLP

LOMBA KARYA TULIS TENTANG TRANSFORMASI ASEAN INTER-PARLIAMENTARY (AIPO)


Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-30 Asean Inter-Parliamentary Organization (AIPO), DPR-RI menyelenggarakan Lomba Karya Tulis.

Tema: “Transformasi ASEAN Inter-Parliamentary Organization (AIPO) menjadi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA)”.

Tuesday, June 12, 2007

Kesadaran Pentingnya Manajemen Seni dalam Berkesenian


OLEH BUDIMAN
Dalam berbagai perhelatan berkesenian apapun bentuknya baik seni rupa, seni suara, seni tari, teater, tradisi, seni musik dan lain sebagainya di daerah Sumbar pada tahun-tahun terakhir ini telah mampu memperlihatkan geliatnya. Pasalnya para penggiat seni banyak berusaha mengusung konteks keseniannya masing-masing dengan intens, namun masih menganut pola berjalan sendiri-sendiri atau bersifat intern kelompok/komunitas seni mereka saja. Artinya yang dilakukan seniman-seniman tersebut baru berada pada tahap presentasi (penampilan) bukan untuk sebuah bargaining position (posisi tawar) pada tahap sosiokultural secara wajar dan dinamis, termasuk sisi kesejahteraan seniman dalam materi sebagai umpan balik dari kegiatan itu.

Sekolah Menengah Seni Rupa (SSRI/SMSR/SMKN 4 Padang)

Mutiara Sumatra yang Tersia-siakan
OLEH BUDIMAN
Barangkali untuk memulai tulisan ini penulis memberi sebuah ilustrasi tentang Sekolah Menengah Seni Rupa (SSRI/SMSR/SMKN 4 Padang) adalah sebagai berikut bahwa sekolah ini pernah mencatatkan sejarah dengan sejumlah prestasi yang pernah dipersembahkan oleh para alumninya yang banyak berkibar di seantaro nusantara Indonesia, yang banyak menjadi seniman-seniman besar dan para ahli-ahli kreator seni terdepan.

Monday, June 11, 2007

Sajak Memberiku Makna Hidup


Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya

Sebuah film dokumenter tentang dirinya diputar pada malam terakhir (24/03) Pentas Seni VI di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Penobatan tersebut memberi kabar sejuk bahwa di ranah Minang, selalu lahir sastrawan yang diperhitungkan. Setidaknya 50 tahun terakhir, kiprah kepenulisan Papa menjadi bagian penting pergulatan sastra Indonesia. Rentang waktu itu, telah ia dedikasikan bagi kesusastraan dengan semangat ”parewa” Minang yang sarat perjuangan.

Sebagai seorang pekarya, Papa mengaku, disiplin kreatifnya sering dibangkitkan oleh ungkapan dari John Keats: My Imagination is a monastery and I am its monk (Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya). Jadi seorang penyiar, barangkali bukan tujuan hidupnya. Tetapi syair yang terus ia tulis telah memberinya makna hidup itu.

Dalam narasi yang disusun Abel Tasman untuk film dokumenter tentang Papa, diuraikan, bahwa puisi-puisi Papa dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Abel menggambarkan idealisme Papa dengan ungkapan Umar bin Khatab: “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.”

Keberanian yang dicontohkan Papa, terlihat jelas sejak ia sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air. Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah.

Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Papa sebagai seorang penyair.Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, pada tanggal 26 Januari 1936. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Papa adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Papa memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).

Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Papa kemudian dibawa tinggal di Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Papa meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Papa melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.

Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Papa meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Papa untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Papa melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian.

Semenjak Sekolah Rakyat, minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli.

Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Papa. Tak hanya menyukai bacaan sastra, Papa juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis.

Bacaan-bacaannya itu menjadikan Papa sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.

Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Papa untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.

Pada tahun 1956 Papa lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Papa di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.

Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Papa berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Papa. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Papa dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.

Usai PRRI, meski ada peluang, Papa tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Papa menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik.

Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Papa menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Papa dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.

Pada tahun 1969, Papa mengawali karirnya sebagai wartawan. Papa bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Papa bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Papa mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Papa pensiun dari Haluan pada tahun 1999.

Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki. Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Papa terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.

Aktivitas Papa sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di DKSB. Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.

Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Papa. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah, lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.

Sebagai seorang penyair, Papa mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Papa. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.

Puisi-puisi Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Papa juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun kritik sosial dan politik. (zelfeni wimra)
Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat.

Puisi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya.

Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya.

Membaca sosok Papa adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Papa, berarti membaca sejarah hidupnya.Semangat inilah yang tertuang dalam sajaknya yang berjudul Sebuah Kehadiran: kamar dan rak buku terlantar/dinding selalu menagih kerja/tak menidurkan tubuh resah terlantar/hujan sama jatuh di samar senja.


ZELFENI WIMRA, SUMBER Padang Ekspres, Minggu, 25-Maret-2007

Rusli Marzuki Saria

Sastrawan Sumbar Kesepian di Rumah Sendiri
Sumatera Barat (Sumbar) hari ini memerlukan sejumlah penerbitan yang memadai guna memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan dunia sastra di daerah itu. Sejumlah sastrawan menilai, tanpa itu dunia sastra di Sumbar tidak akan beringsut.