Tradisi dalam istilah yang jeneral dimaknai kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat (komunitas) berdasarkan nilai budaya bersangkutan: bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik yang bersifat duniawi, gaib atau keagamaan. Tradisi itu secara “alamiah” mengesankan “mengatur” hubungan antarindividu manusia, antarkelompok, memperlakukan lingkungan secara bijak, dan bagaimana perilaku masyarakat terhadap alam yang lain. Di tengah masyarakat seperti itu, tradisi membiak menjadi suatu sistem, pola, norma, dan selanjutnya masuk ke dalam pengaturan penggunaan sanksi dan ancaman terhadap individu yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan.
Maka, membincangkan tradisi berarti berbicara tentang tatanan masyarakat, struktur sosial, nilai-nilai, regulasi dan norma-norma. Di Minangkabau, misalnya, norma-norma itu terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi kabahasaan seperti pepatah petitih, pantun, dan cerita lisan berupa kaba. Tatanan masyarakatnya adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal dan bahkan dalam batas tertentu, sistem politik matriarki.
Seni Tradisi dan Globalisasi
Dalam perjalanan studi budaya, tradisi selalu dipertentangkan dengan modernitas. Modernitas (isme) diartikan sebagai sebuah periode historis pascatradisional yang dicirikan oleh industrialisme, kapitalisme, negara bangsa dan bentuk-bentuk pengawasan, juga dipahami sebagai pengalaman kultural modernitas yang dicirikan oleh adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko, ketidakpastian, dan keterpecahan.
Di sisi lain, tradisi malah berjalan berdampingan dengan modernitas itu sendiri, dan tampaknya kian rumit untuk dibedakan. Tradisi—dalam pengertian seni tradisi, misalnya—mengesankan sekali tidak bersifat statis, tapi cenderung dinamis: seni tradisi, taruhlah seni tradisi randai, melangkah pasti dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman, malah perubahan itu terkesan sebagai proses adaptasi yang cukup kreatif.
Posisi seni tradisi randai mengalami modernisasi secara berlahan dan kini posisi randai Minang sudah berada di era posmodernisme, sebuah periode sejarah setelah modernitas yang ditandai oleh posisi utama konsumsi dalam konteks masyarakat pascaindustri, sensibilitas kultural yang menolak narasi-narasi besar dan lebih memilih kebenaran-kebenaran lokal yang ada dalam permainan-permainan bahasa yang spesifik. Dan dengan sangat mengesankan sekali, seni tradisi randai tetap bertahan dengan caranya sendiri.
Dunia kesenian tradisi Minangkabau—barangkali sudah terstruktur dalam sistem budaya masyarakatnya—semenjak dulu sampai hari ini telah dengan sendirinya tersegmentasi atas nagari-nagari yang ada Minangkabau. Pola yang segmentatif ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat. Rumusan adat selingkar nagari yang berlaku di Minangkabau memberikan tanda bahwa seni tradisi yang tumbuh di nagari-nagari diakomodasi pada batas nagari. Seni tradisi indang berkembang di Solok dan Pariaman misalnya, tidak akan dijumpai di nagari-nagari 50 Koto. Juga seni tradisi sijobang juga tak akan ditemui di daerah pesisir Sumatra Barat.
Sebagai ilustrasi, jika masa dahulunya, tokoh perempuan dalam cerita randai tidak dibenarkan dimainkan oleh perempuan, tapi oleh laki-laki yang berlaku seperti perempuan. Kini, perempuan bisa tampil memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita randai. Cerita yang ditampilkan pun disesuaikan dengan era kekinian. Kemampuan beradaptasi tanpa meninggalkan substansi, hakikat, dan nilai-nilai seni randai Minang itu yang sesungguhnya perlu disikapi bersama.
Namun kondisi seni tradisi randai sangat bertolak belakang dengan kondisi secara umum kebudayaan Minangkabau. Kalangan budayawan menyebut Minangkabau sekarang ini sudah berada di ambang kebangkrutan kultural. Penyebabnya, lemahnya ikatan adat dan tradisi di Minangkabau. Nagari sebagai basis kekuatan dialektika Minangkabau tidak berfungsi lagi. Nagari yang selama ini mengajarkan anak nagarinya tentang adat, budaya, dunia dagang, politik, dan lain sebagainya, kini hanya kenangan. Upaya pemerintah dengan perda kembali ke nagari, tampaknya tidak ada artinya. Malah kembali ke pemerintahan nagari itu cenderung membuka dan memperbanyak lubang-lubang korupsi di tingkat nagari.
Berbagai tantangan dan perkembangan yang bersifat paradoksal di dalam kebudayaan Minangkabau akhir-akhir ini akan menentukan masa depan Minangkabau itu sendiri. Satu sisi, ada tantangan yang dihadapkan secara langsung dengan apa yang disebut dengan globalisasi. Sisi lainnya, muncul berbagai hambatan budaya tradisi secara internal—misalnya rendahnya atensi kaum cendekiawan di nagari-nagari di Minangkabau yang merupakan masalah tersendiri yang harus diselesaikan secara baik, kekuatan dan modal sosial nagari yang demikian berpotensi seolah tak ada artinya lagi. Kahadiran cendekiawan (katakanlah kepemimpinan informal di nagari), tentu diharapkan mampu dan dapat menentukan sikap nagari sebagai landasan normatif dalam merekonstruksi masa depan nagari itu sendiri.
Minangkabau dan Tantangan
Selain itu, perkembangan zaman yang demikian derasnya juga jadi faktor membuat merosotnya nilai budaya dan bangkutnya modal sosial Minangkabau. Menurut Faruk HT, seorang budayawan yang cukup menaruh perhatian terhadap Minangkabau menyebutkan, globalisasi memberikan dampak cukup dahsyat terhadap kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk karakter individu dan juga perilaku sosialnya. Kecenderungan otonomisasi diri—terutama bagi masyarakat Minangkabau yang hidup di kota— dalam kehidupan sehari-harinya tampak telah melemahkan ikatan adat dan nilai-nilai tradisional. Kehidupan sosial mereka telah dipengaruhi kekuatan kebudayaan modern dan juga arus globalisasi.
Pada saat sekarang ini, di kancah deraan arus globalisasi, pola kehidupan masyarakat Minang sudah bertukar dengan menyesuaikan diri dengan eranya. Dulu kehidupan sosial dijalani dengan keluarga besar di rumah gadang kini sudah diganti dengan keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Posisi perempuan dalam keluarga inti tidak lagi seperti di rumah gadang.
Jika dalam sistem matrilineal yang dianut Minangkabau selama ini, bahwa perempuan memegang posisi terpenting di rumah gadang, tidak hanya sebagai penerus generasi tetapi pewaris yang memiliki hak sebagai penentu, serta mengelola harta keluarga tersebut, di dalam keluarga inti hal seperti itu tidak ada sama sekali: Laki-lakli (sebagai kepala keluarga yang menentukan semua kebijakan rumah tangga).
Dampak berkembangnya keluarga-keluarga inti baru di Minangkabau dan juga di perantauan, tampaknya memberi kontribusi yang cukup dominan untuk melemahkan posisi perempuan di Minangkabau dan sebagai determinatif yang cukup signifikans.
Dalam makna tertentu, kebudayaan Minangkabau dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang fungsinya mendorong dan membimbing masyarakatnya menjawab tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai tersebut merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya. Pada masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham egalitarian yang hidup di dalam nagari-nagari.
Nagari-nagari teridealisasikan dengan hadirnya ruang publik di tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang (sasaran), yang merupakan ranah bagi anak nagari untuk mengekspresikan diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di dalam galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan komunal.
Dalam tataran kajian budaya, Minangkabau salah satu suku yang dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin oleh mamak (laki-laki) secara demokratis. Baik dalam keluarga, suku atau nagari. Ada mamak adat (nini mamak, pimpinan kaum), mamak ibadat (ulama) dan cerdik pandai.
Namun demikian, semenjak reformasi tahun 1998, lebih jauh lagi sejak ditetapkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 dan direvisi lai dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang kembali ke nagari di Sumatra Barat, eforia yang cenderung romantik akan kebesaran masa lalu, kian terasa dan mengemuka.
Berkembangnya semangat kembali ke nagari pascaruntuhnya rezim Orde Baru merupakan sebuah reaksi terhadap sifat hegemoni budaya yang melekat pada budaya global, berupa homogenisasi atau penyeragaman budaya secara kolosal, yang menyebabkan semakin sempitnya ruang gerak dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan lenyapnya budaya karena dilindas arus globalisasi.
Nagari dan Sorak-sorai Eforia
Kekhawatiran tersebut telah mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural repre-sentation), yang di dalamnya respeks terhadap akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator dan anonim globalisasi.
Menurut Yasraf Amir Piliang, globalisasi tampaknya telah menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi dilematis: antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi dilematis ini muncul akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan ‘wajah ganda’.
Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara di sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat desentralisasi, penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan sektarianisme.
Situasi dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu pihak, semangat reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan berbagai sentimen lokal (kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada titik yang ekstrim telah menyulut berbagai bentuk konflik dan kekerasan.
Di pihak lain, kehidupan sehari-hari masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. Pengaruh tersebut telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal.
Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi budaya-budaya lokal dalam konteks perkembangan budaya global, tampaknya harus didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif, sehingga globalisasi dapat dijadikan sebagai peluang bagi pengkayaan budaya lokal di dalam kancah budaya global, tanpa ha-rus meninggalkan nilai-nilai kunci budaya lokal itu sendiri
Menarik jika kita mencermati lebih dekat tentang apa yang terjadi antara pemerintahan kabupaten/kota dengan pemerintahan provinsi, dan pemerintahan terdepan, yaitu nagari. Hubungan pemerintahan itu seperti tidak lagi “mesra”. Masing-masing berjalan dengan niat dan strategi masing-masing daerah.
Gagasan menghapus pemerintahan provinsi yang pernah disampaikan Gamawan Fauzi, Gubernur Provinsi Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, dapat dimaknai sebagai indikator adanya hubungan yang tak sedap dengan pemerintahan kabupaten dan kota. Mereka dengan caranya masing-masing memiliki gaya sendiri dalam menyikapi otonomi dan demokratisasi. Dan semua itu membuat pemeritahan provinsi tak ada artinya sama sekali. Demikian juga dengan pemerintahan nagari, yang dengan caranya sendiri bisa mementahkan keputusan pemerintahan di atasnya dengan alasan masyarakatnya tidak menerima. Misal, keinginan investor untuk mengembangkan usahanya di sebuah nagari.
Para pengamat berpendapat, semua itu bermula dari krisis moralitas sebagai dampak dari krisis kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap krisis kepemimpinan hampir di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. Dampak dari krisis kepemimpinan memberi pengaruh terhadap otoritas pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai sebagai pembawa amanat.
Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim, pengadilan dan kepolisian sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak dan ulama. Kepastian hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas kebijakan hukum yang berlaku. Tingginya tingkat pengaduan masyarakat nagari ke pihak polisi untuk menyelesaikan berbagai perkara, membuktikan bahwa pemimpin informal di tengah kaum (masyarakat) sudah tidak dipercaya lagi. ***