OLEH SURYADI, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda
Tulisan Nasrul Azwar di kolom ini (‘Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu”, Padang Ekspres online, 17-12-2007: Teras Utama) menarik perhatian kita karena beberapa kritik yang dilontarkannya, yang selama ini tidak pernah mendapat perhatian kalangan peneliti dan masyarakat pada umumnya. Nasrul menanggapi pernyataan Taufik Rahzen di harian Jurnal Nasional bahwa tahun 2007 ini adalah peringatan seabad usia pers nasional. Perhitungan itu didasarkan atas terbitnya surat kabar Medan Prijaji di Bandung pada bulan Januari 1907, yang dieditori oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Pernyataan “seabad usia pers nasional”, dengan demikian, mengadung pengertian bahwa sebelum 1 Januari 1907 – hari lahirnya Medan Prijaji – berarti pers nasional belum ada (belum lahir). Dengan kata lain, surat kabar-surat kabar pribumi yang lahir sebelum tanggal itu dianggap bukan bagian pers nasional.
Nasrul melontarkan beberapa pertanyaan kritis terhadap proyek “Seabad Pers Nasional” yang diluncurkan Taufik Rahzen dkk.: “[…] Siapa atau lembaga apa yang memutuskan dan melegetimasi [bahwa] satu abad pers di Indonesia [...] dimulai [dari] hitungan tahun 1907? Bagaimana mekanisme dan prosedurnya, apakah ditetapkan dengan Surat Keputusan Pemerintah, atau Surat Keputusan Presiden, dan lain sebagainya? Apakah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau lembaga pers lainnya ikut serta melegitimasi tahun kelahiran surat kabar Medan Prijaji 1907 sebagai awal lahirnya pers nasional?”
Pilihan Taufik Rahzen dkk. itu secara tidak langsung mengandung makna bahwa Medan Prijaji-lah pers pribumi yang paling berjasa dalam menyemaikan perasaan nasionalisme ke dalam dada kaum pribumi di Zaman Kolonial, untuk tidak mengatakan paling ‘nasionalis’. Andreas Harsono yang menjawab penjelasan Agung Dwi Hartanto dari Indexpress (http://andreasharsono.blogspot.com/2007/06/ menjawab-agung-dwi-hartanto-dari.html; dikunjungi 4 Oktober 2007) mengatakan bahwa pilihan itu cukup berbau rasialis, karena ia menganggap bahwa harian Jurnal Nasional memilih Medan Prijaji karena editornya adalah seorang pribumi. Dalam tulisan Andreas itu juga terefleksi kekhawatiran bahwa pilihan itu dapat mengecilkan arti dan sumbangan surat kabar-surat kabar dan editor-editor non pribumi dan editor-editor pribumi lainnya dalam pembentukan nasionalisme bangsa Indonesia sejak paruh kedua abad ke-19.
Pernyataan Taufik Rahzen itu sebenarnya bukanlah hal baru. Ia hanya mengulangi, bukan malah mengkritisi, pernyataan-pernyataan yang telah dibuat oleh beberapa peneliti terdahulu, terutama dari Jawa Barat (lihat misalnya, Syafiq Umar, “Koran Nasional Pertama Lahir di Bandung”, Pikiran Rakyat, 24-3-2006; Nina Herlina Lubis, “Mengenal Kepahlawanan R.M. Tirto dan K.H Noer Ali,” Pikiran Rakyat, 24-3-2006). Agaknya tulisan-tulisan itulah yang antara lain memberi inspirasi kepada Pemerintah untuk menetapkan hari lahir atau hari jadi pers nasional berdasarkan awal terbitnya Medan Prijaji – bedakan dengan hari lahir PWI. Oleh karena itu pula pada tahun 1973 Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dikukuhkan oleh Pemerintah sebagai Bapak Pers Nasional, dan tahun 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempurnakan gelar itu menjadi pahlawan nasional.
Sebagaimana para peneliti terdahulu itu, Taufik Rahzen memilih Medan Prijaji karena terkesan oleh slogan surat kabar ini: “Soeara bagi sekalian Radja-radja, bangsawan asali dan fikiran, prijaji dan saudagar boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan anak negri di seloeroeh Hindia Olanda.” Ia terkesan dengan ‘suara keras’ redakturnya, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang menulis secara blak-blakan, terutama kepada pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hal ini secara eksplisit dikemukakan Taufik Rahzen dalam esai ‘pembelaannya’ terhadap Agung Dwi Hartanto yang dimuat dalam: http://pejalanjauh.blogspot.com/2007/07/sahaja-adalah-orang-dari-bangsa-jang.html (dikunjungi 27-9-2007). Dalam pengantarnya untuk rubrik “Seabad Pers Nasional” di harian Jurnal Nasional, Taufik Rahzen mengatakan bahwa Medan Prijaji adalah surat kabar pribumi yang pertama kali menyebarkan semangat rasa mardika dalam bentuk pemberitaan dan advokasi.
Namun, sebenarnya jauh sebelum itu sudah banyak penulis pribumi, bahkan juga berapa orang Belanda sendiri yang bersimpati kepada bangsa Indonesia, yang telah mengguratkan pena tajamnya dalam tulisan-tulisan mereka di surat-surat kabar berbahasa Melayu atau Belanda untuk mengeritik kebijakan politik Pemerintah Kolonial Belanda dan membela rakyat Indonesia, yang mengakibatkan mereka “terinjak duri tulisan” (persdelict)– meminjam istilah Maisir Thaib (1992). Apakah karena mereka kebetulan tidak memiliki surat kabar sendiri, lalu jasa-jasa mereka itu harus diremehkan?
Ditetapkannya Medan Prijaji sebagai titik awal sejarah pers nasional juga memberi kesan terlalu menonjolkan kriteria ‘kekerasan’ dalam menentukan hari (jadi) pers nasional kita. Mas Tirto di dunia pers sepertinya dianalogikan sebagai seorang pahlawan nasional yang memimpin perjuangan melawan Belanda dengan senjata. Masalahnya adalah bahwa memang selama ini ‘kekerasan’ itulah satu (-satunya) ciri penting nasionalisme yang terus-menerus ditanamkan dalam memori bangsa Indonesia. Selama ini sejarah Indonesia memang dipahami dalam pengertian sempit: heroisme dengan darah, perjuangan dengan jalan kekerasan melawan Belanda, dengan mengorbankan harta dan nyawa.
Menurut hemat saya, penggunaan kriteria ‘kekerasan’ dalam menentukan kelahiran pers nasional sama sekali tidak tepat. Bahasa pers yang baik semestinya jauh dari sifat ‘kekerasan’. Peran dunia pers pribumi dalam menyemaikan semangat nasionalisme Indonesia di zaman penjajahan bukanlah atas sumbangsih dan peran satu surat kabar saja. Ia adalah sebuah proyek gotong-royong yang, seperti telah dicatat oleh sejarah, telah berlangsung dalam rentang waktu hampir satu abad.
Ahmat Adam dalam disertasinya, The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913) (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Publication, 1995) menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia telah ditumbuhkan oleh dan melalui banyak surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit di beberapa kota di Hindia Belanda, dan juga di luar negeri, jauh sebelum Medan Prijaji lahir ke dunia. Hal senada dikemukakan oleh Ben Anderson dalam beberapa karyanya mengenai peran surat kabar dalam menumbuhkan dan membesarkan perasaan kebangsaan di kalangan bangsa-bangsa pribumi di Asia Tenggara (lihat Anderson: London: Verso 1991). Ini jelas karena rintisan yang telah dibuat oleh surat kabar-surat kabar berbahasa Melayu yang lebih dahulu terbit dari Medan Prijaji. Sebagai lingua franca di Kepulauan Nusantara, bahasa Melayu mendapatkan peran barunya melalui tradisi keberaksaraan (literacy) Latin (Rumi) yang diperkenalkan oleh koran-koran peribumi tersebut. Inilah era baru dimana perasaan kebersamaan sebagai bangsa pribumi (Natives) diserap melalui pembacaan atas tulisan di halaman-halaman kertas lebar menggunakan aksara Latin yang disebut surat kabar. Surat kabar atau koran itu tersebar melintasi batas-batas suku bangsa (etnik), sehingga melahirkan kesadaran bersama dan rasa senasib di antara pembacanya yang berlain-lainan suku bangsa itu.
Setiap surat kabar pribumi pada zaman kolonial memiliki cara dan taktiknya sendiri dalam menyebarkan semangat nasionalisme Indonesia. Cara Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji-nya hanya salah satu pilihan dari banyak pilihan yang tersedia dan yang mungkin. Satu cara dipilih karena itulah yang paling memungkinkan untuk konteks zamannya. Masing-masing surat kabar pribumi menyesuaikan diri dengan konstelasi politik semasa di negeri terjajah yang bernama Hindia Belanda. Hal ini antara lain tergambar dalam esai Ian Proudfoot yang baru-baru ini terbit, “Room to Manoeuvre in the Nineteenth-Century Indies Malay Press: The Story of A Javanese Lieutenant” (Indonesia and the Malay World Vol. 25, No. 102, 2007: 155-82) yang menunjukkan sumbangan surat kabar Bintang Timor yang terbit di Surabaya dalam menyemaikan paham kebangsaan dalam diri kaum pribumi. Pada tahun 1865 Bintang Timor menerbitkan “Hikayat Seorang Letnan Jawa” dimana di dalamnya secara sembunyi, halus, dan terselubung diselipkan ‘perasaan nasionalisme’ dan kritik kepada Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga memungkinkan surat kabar itu lolos dari ranjau pers yang dipasang melalui Press Ordonansi 1856.
Oleh karena itu, kurang bijak, dan jelas kurang menghargai sejarah juga, adanya klaim bahwa Medan Prijaji-lah yang paling terdepan dan berjasa dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme Indonesia dibanding koran-koran pribumi lainnya yang sudah bermunculan di negeri ini sejak awal paruh kedua abad ke-19. Paling tidak tentu ada kesan seperti itu yang muncul dalam pikiran kita karena ditetapkannya surat kabar ini sebagai titik awal lahirnya pers nasional. Medan Prijaji yang muncul di awal abad ke-20 hanya salah satu surat kabar pribumi yang (ditakdirkan) lahir untuk menyirami dan membesarkan benih nasionalisme keindonesiaan yang telah ‘disemaikan’ oleh banyak surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit sebelumnya dan yang pada masa sesudahnya terus bergiliran tumbuh dan pergi (berhenti terbit karena berbagai alasan).
Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (Surabaya, 1856), Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858), Selompret Malajoe [belakangan bernama Slompret Melayoe] (Semarang, 1860), Pertela Soedagaran (Surabaya, 1863), Bintang Timor (Padang, 1865), Bintang Djohar (Betawi, 1873), Mata Hari (Makassar, 1883), Pelita Ketjil (Padang, 1886), Insulinde (Padang, 1901).....bahkan juga Bintang Utara (Rotterdam, 1856) dan Bintang Hindia (Amsterdam, 1903) adalah sedikit contoh dari puluhan surat kabar pribumi berbahasa Melayu yang terbit sebelum Medan Prijaji lahir ke dunia. Masing-masing telah ikut berperan menyemaikan dan memupuk perasaan nasionalisme keindonesiaan melawan pejajah Belanda, yang akhirnya berpunca pada 17 Agustus 1945.
Pernyataan bahwa “Medan Prijaji adalah ‘titik’ awal dan sekaligus pemula dan utama dalam menyebarkan semangat rasa mardika yang disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi (Taufik Rahzen, Jurnal Nasional) terkesan terlalu melebih-lebihkan peran Raden Mas Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji-nya di kancah pers pribumi di zaman kolonial.
Jika kita bijak melihat sejarah pers bangsa ini, maka jasa Raden Mas Tirto Adhi Soerjo tidak lebih besar daripada jasa Dja Endar Moeda, misalnya, yang aktif di dunia pers pribumi di Sumatera antara 1894-1910, yang memiliki dan sekaligus mengeditori hampir selusin surat kabar pribumi di Sumatera, membeli percetakan Insulinde di Padang untuk mencetak surat kabar dan buku-buku berbahasa Melayu, mengabdikan dirinya di dunia jurnalisme dan perbukuan untuk memajukan kaum sebangsanya; atau peran “bapak dari wartawan Melayu” Mahyudin Datuk Sutan Maharadja – meminjam istilah B.J.O. Schrieke (1973:38); bertanyalah pada diri sendiri kenapa Schrieke yang orang asing menyebut beliau perintis [bapak] wartawan Melayu, sementara orang Indonesia sendiri melupakan jasa-jasanya – yang memiliki dan/atau mengeditori tidak kurang dari enam surat kabar berbahasa Melayu di Padang antara 1890-1921; atau Dr. Abdul Rivai yang lewat tulisan-tulisannya yang cerdas dalam Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam (1903-1907) memberikan berbagai informasi dan pengetahuan berharga kepada kaum sebangsanya di tanah air.
Sekali lagi, jika kita bijak melihat sejarah pers pribumi yang telah ikut berkontribusi dalam menyemaikan dan membesarkan semangat nasionalisme dalam dada kaum pribumi yang ingin merdeka dari penjajahnya, maka kita tentu tidak akan meremehkan jasa-jasa para perintis jurnalisme pribumi seperti Dja Endar Moeda dan Mahyudin Datuk Sutan Maharadja, juga tokoh-tokoh pers pribumi lainnya.
Di negara ini semangat mencari “hari jadi” sedang menggebu-gebu. Anggota DPRD dari berbagai daerah, dan juga kalangan eksekutifnya, berlomba-lomba pergi ke luar negeri – kebanyakan ke Belanda – untuk ‘menggali’ (selama 4-5 hari saja) sumber-sumber sejarah dalam rangka menetapkan hari jadi propinsi atau kabupaten masing-masing. Seolah-olah tanpa hari jadi itu, mereka kehilangan eksistensi dan jatidirinya.
Tinggal pertanyaan: dalam perspektif sejarah pers nasional, apakah pencarian hari jadi pers nasional itu juga sangat perlu? Jika ya, saya kira perlu dicari kriteria-kriteria lain untuk menentukan hari jadi pers nasional itu, jangan menonjolkan kriteria ‘kekerasan’ saja (dalam slogan dan kritik), yang mengakibatkan pilihan (sementara) jatuh kepada surat kabar Medan Prijaji. Ini adalah tugas sejarawan kita: meneliti sejarah pers nasional secara komprehensif dan memberi informasi dan pertimbangan yang objektif kepada pemerintah.***
tarimo kasih ajo sur, tabukak pangana ko dek ee.
ReplyDeletebahren
tarimo kasih ajo,tabuka pangana ko dek ee,bantuak ee je nan bajaso nda jo :)
ReplyDeletebahren