KODE-4

Sunday, September 16, 2007

Festival Teater Sumatera Barat 2007: Konsep Program yang Kacau


OLEH NASRUL AZWAR, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang

Keinginan melihat pertunjukan teater di Sumatra Barat yang berbobot, agaknya harus dipupus. Sejak tahun 2000-2007 pertunjukan teater di Sumatra Barat jumlahnya mungkin mencapai ratusan, dan sebanyak itu pula reportoar yang sudah diangkat ke atas pentas.
Tapi, nyatanya, kuantitas pertunjukan tidak menjamin kualitas pertunjukan. Problem utamanya tak jauh dari seputaran: berkesenian (berteater) dilakukan karena adanya iven atau memenuhi undangan atau dalam rangka. Artinya pula, teater di Sumatra Barat telah kehilangan substansi dan hakekatnya. Maka, jika menyebut konstelasi dan peta perteateran mutakhir di Indonesia, jangan berharap banyak Sumatra Barat menjadi salah satu simpul.

Teater di Sumatra Barat tidak dianggap penting dalam kancah dan arah perkembangan teater di Indonesia. Pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang ini, tak lebih sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri: narsisisme. Malah, minus referensi perkembangan teater mutakhir. Mereka ini kurang membaca. Kalimat di atas merupakan paragraf pertama artikel saya yang dimuat koran ini beberapa waktu lalu. Bagian ini saya kutip karena terkait dengan sebuah iven teater yang bernama Festival Teater Sumatra Barat (FTSB) 2007 yang digelar di Taman Budaya Sumatra Barat sejak 21 Agustus – 1 September 2007 lalu. FTSB-2007 diikuti 12 kelompok teater yang berasal dari daerah ini. Peserta FTSB-2007 didominasi kelompok teater dari Padang (10 kelompok teater), dan dua kelompok dari luar Kota Padang (Komunitas Seni Intro Payakumbuh dan Teater Bunga Pakis Solok Selatan).
Selain 12 kelompok teater yang ikut FTSB-2007, iven ini juga dimeriahkan dengan kahadiran tiga kelompok teater demi memberi “wibawa” FTSB-2007, yaitu Teater Dayung-Dayung dari Kayutanam tampil dalam pembukaan, Komunitas Rumahitam, Batam, Kepri, dan Teater Keliling Jakarta untuk penutup iven ini.Tapi tiga kelompok ini tidak dimasukkan dalam penilaian pengamat. Namun demikian, tulisan ini juga tidak berkeinginan membincangkan hasil pengamatan tiga orang tokoh teater Indonesia itu yang hasil amatan mereka telah diumumkan pada tanggal 1 September 2007. Artikel ini cuma memberi gambaran tentang kehendak sebuah festival, arah dan capaian sebuah festival. Dan sejauh mana FTSB-2007 yang digelar oleh Taman Budaya Sumatra Barat memberi arti bagi pertumbuhan teater di Sumatra Barat untuk masa selanjutnya. Yang pasti saja, ini bukan satu-satunya iven yang mesti ditunggu oleh pegiat teater di daerah ini, yang sesungguhnya telah terkubur 20 tahun.
Iven serupa memang bukan pertama kali digelar di Sumatra Barat: semenjak tahun 1978 hingga 2007 sudah sering dilaksanakan. Selain festival teater yang berupa lomba ini, festival teater dengan tujuan petemuan dan parade juga acap digelar. Paling tidak, pada tahun 2002, Dewan Kesenian Sumatra Barat telah melakukan pagelaran sejenis dengan nama “Temu Teater” 2002 yang diikuti 10 kelompok teater yang ada di daerah ini. Saat itu, “Temu Teater” mengangkat tema “spirit tradisi Minangkabau dalam seni pertunjukan (teater) kontemporer”. Dan hampir setiap kali Pentas Seni yang digelar DKSB, pertunjukan teater selalu tampil. Juga, di tingkat perguruan tinggi, misal, Fakultas Sastra Unand juga telah sukses menggelar empat kali Pertemuan Teater Mahasiswa (PTM) dengan cakupan wilayah Indonesia, Pekan Apresiasi Teater (PAT) STSI Padangpanjang yang sudah dua kali dilaksanakan.
Jika sebuah festival yang diarahkan sebagai sebuah lomba, sebuah kompetisi yang kelak menetapkan dewan juri sebagai “hakim”, tentu memiliki konsekuensi. Minimal konsekuensinya adalah dihadirkannya sebuah tema dalam festival itu. Ada bahasa ekspresi dalam pengertian makna yang sama di dalamnya. Kesamaan itu mesti ditetapkan panitia. Bukan hanya soal teknis, tapi yang lebih penting adalah soal bentuk dan konsep garapan itu sendiri. Visi yang sama bukan diartikan penyeragaman. Tapi, ia lebih menekankan pada soal titik berangkat belaka. Pada FTSB-2007, dari informasi buku acara, poster, dan lain sebagainya, hal yang jadi titik berangkat itu tidak ditemukan. Jika soal teknis yang dicantumkan dalam poster, misalnya, naskah yang dimainkan adalah naskah standar, itu pun tidak jelas pengertiannya.
Karena beberapa naskah yang dimainkan dalam FTSB-2007 perlu juga dipertanyakan nilai “standarnya”. Menyangkut konsep pertunjukan, juga tak jelas. Panitia tidak memberi penjelasan dan informasi, bentuk teater macam apa yang mesti ditampilkan dalam FTSB-2007. Mengenai tema FTSB-2007 sebagai “frame” agar ada keharmonisan dan arah dan nilai garapan, tampaknya juga tidak dipedulikan penyelenggara. Apa yang disampaikan di dalam buku acara bahwa FTSB-2007 menggangkat tema “Pertemuan Teater Sumatera Barat, Menjaga Pertumbuhan dan Silaturahmi”, seperti lelucon saja. Bagi saya itu bukan tema sebuah festival seni, tapi berupa kalimat “ka lapeh tanyo se”.
Yang jelas, siapa pun mengerti bahwa kalimat itu sebagai tujuan sebuah iven diadakan. Bukan tema. Selain itu, bentuk garapan teater yang ikut FTSB-2007 pun tak jelas: Apakah teater yang akan tampil pada FTSB-2007 bentuk realisme, surealisme, eksplorasif, eksperimentatif, avant-garde, dadaisme, tradisi atau ala srimulat televisi sekalian. Ini tak pernah dijelaskan oleh Taman Budaya Sumatra Barat. Akibatnya, bentuk teater yang hadir di atas pentas sepanjang FTSB-2007 menjadi tak jelas karena tak ada acuan. Akibatnya, dewan pengamat yang kelak mesti memilih pemenang dalam FTSB-2007 pun akhirnya “terpaksa” memilih kelompok teater yang tampil seperti “kenyataan” sehari-hari.
Lalu bagaimana dengan teater yang tampil di luar itu? Bagaimana pula teater yang hadir tanpa lakon, tak ada alur cerita, tak ada karakter, tak ada konflik sebagaimana yang selalu muncul dalam sebuah lakon yang baik, tetapi pasti ada irama, suasana, ada bentuk-bentuk, nuansa, progresif yang membangun energi? Soal demikian tampaknya belum menjadi perhatian pihak Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat. Niat yang sebenarnya menghidupkan kembali festival—yang katanya sudah hampir dua puluh tahun tidak tersentuh—ternyata tidak diiringi dengan konsep program yang matang, jelas, terukur, dan kerja yang maksimal. Festival Teater 2007 menjelma seperti program-program kebanyakan yang pernah dibuat Taman Budaya Sumatra Barat: kedodoran dari segi konsep dan capaian.
Sesungguhnya, iven-iven budaya yang diprogramkan Taman Budaya Sumatra Barat bisa mencapai hasil yang maksimal jika lembaga ini mau secara tulus menerima pikiran dan bersedia berdiskusi dengan pihak lain. Keterbatasan yang dimiliki Taman Budaya Sumatra Barat bisa ditutupi dengan baik jika mau mangajak orang lain untuk ikut serta setiap penyusunan programnya. Ini memang sesuatu yang ideal, tapi sulit untuk dijalankan. Karena kebanyakan kita tak tulus meneriman kekurangan diri sendiri, termasuk Taman Budaya Sumatra Barat.***

Padang Ekspres, Minggu, 09-September-2007, 09:11:56

No comments:

Post a Comment