KODE-4

Wednesday, July 25, 2007

Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung

Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat. Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan.

Pernyataan Sikap sebagai berikut:

  1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya
  2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika
  3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:

01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad
33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha'b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)90. 91. Langlang
Randhawa (Serang)
92. Muhzen Den (Serang)
93. Renhard Renn (Serang)
94. Fikar W. Eda (Aceh)
95. Acep Iwan Saidi (Bandung)
96. Usman Didi Hamdani (Brebes)
97. Diah S. (Tegal)
98. Cunong Suraja (Bogor)
99. Muhamad Husen (Jambi)
100. Leonowen (Jakarta)
101. Rahmat Ali (Jakarta)
102. Makanudin RS (Bekasi)
103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
104. Syarif Hidayatullah (Depok)
105. Moh Hamzah Arsa (Madura)
106. Mita Indrawati (Padang)
107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
108. Sri al-Hidayati (Bandung)
109. Nabilah (DKI)
110. Siti Sarah (DKI)
111. Rina Yulian (DKI)
112. Lilyani Taurisia WM (DKI)
113. Rina Prihatin (DKI)
114. Dwi Hariyanto (Serang)
115. Rachmat Nugraha (Jakarta)
116. Ressa Novita (Jakarta)
117. Sokat (DKI)
118. Koko Nata Kusuma (DKI)
119. Ali Muakhir (bandung)
120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
121. Denny Prabowo (Depok)
122. Ratono Fadillah (Depok)
123. Sulistami Prihandini (Depok)
124. Nurhadiansyah (Depok)
125. Trimanto (Depok)
126. Birulaut (DKI)
127. Rahmadiyanti (DKI)
128. Riki Cahya (Jabar)
129. Aswi (Bandung)
130. Lian Kagura (Bandung)
131. Duddy Fachruddin (Bandung)
132. Alang Nemo (Bandung)
133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
134. Tena Avragnai (Bandung)
135. Gatot Aryo (Bogor)
136. Andika (Jambi)
137. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)


*) Kepada kawan-kawan sastrawan lain yang senada dan hendak ikut mendukung pernyataan ini, diharapkan melayangkan secarik pernyataan yang menyatakan dukungan melalui email: odekampung2@yahoo.com

Tuesday, July 24, 2007

PERTUNJUKAN TEATER HITAM-PUTIH INDONESIA

Pertunjukan Teater "DITUNGGU DOGOT"

Karya: Sapardi Djoko Damono

Sutradara: Kurniasih Zaitun (TINTUN)

Bandung : 25 Juli 2007
  • CCF Bandung (depan Bandung Electronic Center, jl. Purnawarman No. 32, pukul 19.30
Jakarta : 27 - 28 Juli 2007
  • 27 Juli, pukul 20.00 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat. Terbuka untuk umum.
  • 28 Juli, pukul 19.30 di Taman Kambojo, Kampus UIN Ciputat, Jakarta

Konsep Garapan

Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. "Teks" cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan "menunggu" tidak akan lengkap jika tidak ada "ditunggu", dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak "apa", tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Profil Kelompok

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler di SMU Plus INS Kayu tanam Sumatera Barat. Kemudian di tahun 1998, atas beberapa pertimbangan, kelompok ini berubah nama menjadi komunitas seni HITAM-PUTIH dan hingga saat ini tetap eksis sebagai salah satu kantong seni di Sumatera Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga merambah beberapa tempat di Jakarta. Sejak awal kehadirannya, komunitas ini cukup memberikan warna baru pada perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat. Hal ini tampak dari beberapa pentas keliling di wilayah Sumatera dan Jakarta yang digelar pada kurun waktu 1998-2000, di samping juga melakukan beberapa kali workshop teater di Sumatera Barat.

Selain membidangi seni Teater, komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa pentas Tari, Workshop Sastra, dan Pagelaran Musik Etnik. Sedangkan dalam bidang perfilman, komunitas ini menyelenggarakan kegiatan diskusi, pemutaran dan produksi film, di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater dengan memberikan kesempatan kepada penonton untuk memberikan penilaian lewat diskusi pasca pentas.

Profil Sutradara

Kurniasih Zaitun lebih akrab dengan panggilan TINTUN kelahiran, Padang 20 April 1980. Salah satu dari sekian banyak perempuan yang aktif dalam kesenian Teater. Telah meluluskan pendidikan S-1 nya di STSI Padangpanjang Jurusan Teater dengan Minat Utama Penyutradaraan.

PENGALAMAN KESENIAN

TEATER

Menjadi Sutradara:

* Pertunjukan "Ditunggu Dogot" Karya Sapardi Djoko Damono di Padangpanjang, Pasar Seni Pekan Baru-Riau dan Taman Budaya Prop. Sumatra Barat-Padang (2005-2006)
* Pertunjukan "Kura-Kura Bekicot"Karya Ionesco di Padangpanjang (2004)
* Puisi Pertunjukan dengan tema "Seks, Teks dan Konteks"di Univ Padjajaran Bandung (2004)
* Pertunjukan "Cleopatra" karya Shakespeare di Padangpanjang (2003)
* Pertunjukan "Cermin" karya Nano Riantiarno di Festival Pesisir- Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Pintu Tertutup" karya Jean P Sartre di Padangpanjang (2002)
* Pertunjukan "Topeng" karya Yusril di Univ Bung Hatta Padang, Taman Budaya Bengkulu, GOR Payakumbuh Sum-Bar (2000-2001)
* Pertunjukan "Komplikasi" karya Yusril di Pertemuan Teater Eksperimental Internasional Fak Sastra Univ Andalas Padang (2000)
* Pertunjukan "Malam Terakhir" karya Yukio Mishima di Padangpanjang (2000)
* Pe0rtunjukan "The Song Of The Death" karya Kurniasih Zaitun di Padangpanjang (2000)
* Dramatisasi Puisi "Menjelang Hari Pemilu" karya Gunawan Muhammad di Padangpanjang (2000)
* Pertunjukan "Orang-Orang Kasar" karya Anton P.Chekov di Padang Panjang (1999)

Menjadi Aktor:

* Pembaca Cerpen "Surat untuk Guru(ku)" di Univ Andalas Padang" (2006)
* Pertunjukan "Pintu"karya/ Sutradara Yusril di Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Menunggu" karya/Sutradara Yusril di TAMAN Budaya Padang, Event Pertemuan Sastrawan Nusantara Tiga Negara Tetangga di INS Kayu Tanam Sumatra Barat, Taman Budaya Jambi, Balai Dang Merdu Riau, Pertemuan Teater Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru Riau, STSI Padangpanjang, Teater Utan Kayu Jakarta dan Teater Luwes IKJ Jakarta (1997-2000)
* Pertunjukan "Menanti Kasih di Ujung Tanduk" karya/ Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ.Andalas Padang, SMKI Padang, STSI Padangpanjang (199)
* Dramatisasi "Sembilu Darah" karya/Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ Bung Hatta Padang (1997)

Menjadi Penulis:

* Naskah Perempuan di Ruang Kerja
* "tak ada yang sempurna di dunia, hanya DIA yang memiliki kesempurnaan itu. Maka nikmati apa yang telah dianugrahkan, apapun……."(2005)
* Naskah The Song Of The Death"
* "aku hanya mampu melihat, mendengar, dan menyaksikan…. .(2000)
* Artikel "Jual Obat sebagai Teater alternativ" di Harian Mimbar Minang Padang (2000)
* Artikel "Grotowsky dan Konsep Teater Melarat" di Booletin Teater Jur Teater STSI Padangpanjang (2000)
* Puisi di Majalah Horison Jakarta (1996)

Non Teater:

* Aktor Utama Film Indipendent "Sedikit Sekali Waktu Untuk Cinta" Sutradara Yusril Produksi Studio Hitam-Putih (2003)
* Narator Film-film Dokumenter Produksi Studio Hitam Putih (2001- sekarang)
* Pembaca Puisi, pada Event lokal dan nasional (1997- sekarang)

Salam budaya,

Evi Widya Putri
Promotions and Media Relations
Komunitas Seni Hitam Putih
Sekretariat Jakarta
Jl. H. Samali no. 11 Pejaten Barat - Pasar Minggu
Jakarta Selatan

Sunday, July 15, 2007

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007

Berladang di Punggung Budaya

OLEH Nasrul Azwar

Gendang Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 telah ditabuh. Penabuhnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, walau tampak kacau balau dan penuh kepanikan di wajah panitia pelaksana, tapi, sejak Minggu, 8 Juli 2007 alek yang disebut sebagai revitalisasi budaya tradisi Minangkabau ini, resmi dibuka. Bersamaan dengan itu pula, dicanangkan Hari Permainan Anak Nusantara.

Surat kabar lokal menyebut, Pekan Budaya Sumatera Barat 2007 merupakan Pekan Budaya yang ke-X (sepuluh). Dari cerita tokoh-tokoh yang pernah terlibat langsung dengan Pekan Budaya di Sumatra Barat, mengatakan iven ini dimulai sejak tahun 1982. Namun, jangan berharap banyak jika ingin menelusuri bukti-bukti tertulis berupa buku acara atau dokumen lainnya, kliping-kliping media cetak atau media audio visual yang berkaitan dengan perjalanan Pekan Budaya itu. Kita tidak akan menemukannya, malah di institusi atau badan yang relevan dengan kearsipan sekalipun. Hal itu jauh api dari rokok. Bahwa etnis Minang sangat kental dengan tradisi lisan (niraksara) mendapatkan pembenarannya di sini. Kita hanya bercerita saja, tidak mau menuliskannya.

Jika Anda berniat mendokumentasikan, menyusun, dan selanjutnya, misalnya, menuliskannya menjadi sebuah buku atau berupa skiripsi, Anda mungkin layak menerima penghargaan dari Gunernur Sumatra Barat (itupun jika dia punya apresiasi yang sungguh-sungguh terhadap karya Anda). Sebab, Andalah yang orang pertama di ranah Minang ini yang mampu menulis tentang itu: Sebuah iven budaya yang cukup penting di negeri ini, yang melibatkan banyak pihak dan sudah menelan dana yang besar, terwujud berupa karya tulis.

Sejenak kita lupakan itu dulu. Kembali ke Pekan Budaya yang kini sedang bakatuntang di Taman Budaya Sumatra Barat sampai tanggal 14 Juli 2007. Ini Pekan Budaya ketiga sejak reformasi tahun 1999 yang digelar di tempat seniman dan budayawan Sumatra Barat berkumpul itu. Dulu, Pekan Budaya digelar di kota dan kabupaten di Sumatra Barat: Kabupaten 50 Kota/Kota Payaklumbuh, Kota Bukittinggi dan Agam, dan Kabupaten Tanahdatar, pernah merasakan suka duka sebagai sipangka dalam alek Pekan Budaya itu. Kini, pola seperti arisan itu tak ada lagi. Peran sepenuhnya diambil Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Maka, beruntunglah Pemerintah Kota Padang sebagai ibukota provinsi, karena setiap tahun Pekan Budaya dilaksanakan di “rumah”nya tanpa perlu mengalokasikan anggaran dalam APBD-nya.

Sementara itu, 6 kota dan 12 kabupaten yang berada di luar Kota Padang sangat mengesankan sekali sebagai pelengkap penderita dan sekaligus peramai alek belaka, malah secara pemerintahan mereka telah dilecehkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Mengapa tidak, di depan undang-undang otonomi daerah sesungguhnya posisi pemerintahan kota dan kabupaten sejajar. Tak ada yang istimewa. Pertanyaannya, apa alasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk memilih Kota Padang tempat digelarnya Pekan Budaya Sumatra Barat secara berturut-turut sejak tahun 2004? Alasan karena ibukota provinsi, saya kira bukan alasan yang realistis pada saat sekarang. Karena fasilitas di pertunjukan seni Kota Padang lebih lengkap, itu pun tak masuk akal. Untuk itu, sudah saatnya wali kota dan bupati yang di Provinsi Sumatra Barat mempertanyakan hal itu kepada gubernur.

Sebab, salamo hiduang ditampuah anggok, iven Pekan Budaya tak akan pernah menghadirkan tontonan seni yang membutuhkan gedung dengan akustik yang bagus, lampu yang lengkap, dan alat musik yang jernih dan kuat. Pekan Budaya Sumatra Barat sejak dulunya memang sudah diorientasikan sebagai sebuah pakan, atau pasa. Maka, yang hadir setiap iven ini digelar adalah hamparan lapak-lapak dagangan para penggelas dengan seribu cara menarik perhatian tamu yang datang.

Lalu, jangan pula kita heran saat datang ke arena ini, mendengar secara bersamaan suara saluang dan pedendang, suara anak randai yang sedang membawakan tokoh Anggun nan Tongga, suara ginset, suara biduan orgen tunggal, dan teriakan pedagang pakaian anak-anak dengan kalimat terkenal di kaki lima “tigo saribu, tigo saribu!”

Inilah yang namanya Pekan Budaya Sumatra Barat. Iven “budaya dan seni” yang mengatasnamakan seni dan budaya (Minangkabau) Sumatra Barat. Seni dan budaya tradisi yang tumbuh dan berkembang di nagari-nagari yang dibesarkan oleh anak-anak nagari, yang dalam pikiran para pejabat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi, belum dikenal masyarakat luas, telah dijadikan alasan pembenaran untuk dengan mudahnya menghamburkan uang sebasar Rp 1,2 milyar. Uang sebanyak itu, dalam logika paling sederhana, sepeser pun tak akan pernah dirasakan para seniman tradisi yang tampil mewakili kota dan kabupatennya. Malah, semua kebutuhan transportasi, akomodasi, honor, dan lain sebagainya ditanggung pemerintah masing-masing. Panitia Pekan Budaya tak bertanggung jawab menyangkut biaya dan dana. Dan, malah untuk memperagakan keunggulan dareah di stand-stand yang disediakan, mereka mesti bayar listrik ke panitia. Konon, untuk stand di dalam komplek Taman Budaya sebesar Rp 300.000/selama acara, dan di luar mereka bayar Rp 400.000/selama acara. Lalu buat apa uang yang dialokasikan dari APBD Sumatra Barat sebesar Rp 1,2 milyar itu, jika para peserta dari kota atau kabupaten tetap membayar?

Pekan Budaya tahun 2007 tak jauh beda dengan yang sudah-sudah. Materi acarapun berkisar di situ-situ juga: ada lomba ada festival. Saluang jo dendang dilombakan, randai juga. Ada lomba lagu pop Minang, memakai baju kurung, mewarnai dan baca puisi. Pesertanya sudah dapat diduga: rata-rata 10 orang/kelompok. Untuk mewarnai hanya diikuti 9 orang.

Dari jumlah peserta itu, pelaksanaan dan pola kerja Pekan Budaya jelas sangat memprihatinkan. Selain itu pula, iven yang dianggap penting ini tidak pula menyediakan buku acara atau buku panduan yang bisa dijadikan pedoman bagi para pengunjung. Kalau ada alasan sudah ditulis dalam undangan, tentu tidak semua mendapat undangan. Inilah satu-satunya di atas muka bumi, sebuah acara yang dibuka resmi oleh orang nomo 2 di Indonesia tidak mengeluarkan atau mencetak buku. “Alah kanai ota se masyarakaik ko tamasuak rang sumando awak tu,” kata teman saya.

Inilah sebuah peristiwa budaya yang dirancang jauh-jauh hari tanpa tujuan yang jelas. Tak jelas capaian apa yang dikehendaki. Jika dicium acara ini kental dengan aroma proyek. Satu lagi bertambah deretan-deretan “iven budaya” dengan mengatasnamakan seni dan budaya tradisi Minangkabau, dan ternyata mereka berladang di punggung seni dan budaya itu. ***

Saturday, July 7, 2007

Konser Musik Kua Etnika


"Raised From The Roots, Breakthrough Borders"

Graha bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli 2007, pukul 20.00 WIB Sebelum menampilkan karya terbaru mereka di Festival Nusantara,Brisbane, Australia, Agustus mendatang, pemusik Djaduk Ferianto bersama grupnya, Kua Etnika, akan menampilkan karya-karyanya di depan publik Jakarta. Setelah dipentaskan untuk menandai kegiatan Yayasan Bagong Kussudiardja, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, akhir Mei lalu, Konser Musikbertajuk “Raised From The Roots, Breakthrough Borders” ini akan dipangungkan di Graha Bhakti Budaya TIM, Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli, pukul 20.00 WIB mendatang....

Dalam
konser yang menggunakan aneka macam instrumen etnik ini, Djaduk menyajikan 11 repertoar dengan dukungan vokalis Trie Utami. Seperti biasanya, dalam bermusik Djaduk berangkat dari semangat mengolah seni tradisi dan modern. Karya komposisinya merupakan pertemuan perjalanan musikalitas yang berusaha menautkan kutub-kutub aliran, gaya, dan genre. Kua Etnika mengolah dan mengambil inspirasi dari berbagai khasanah tradisi, sembari terus mempertemukannya dengan berbagai bentuk cara ungkap kontemporer. Menurut Djaduk, yang mendasari kerja kreatif mereka adalah keterbukaan musik etnik di Indonesia terhadap berbagai kemungkinan baru, baik instrumen, melodi, maupun iramanya. Termasuk di dalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari khasanah musik Nusantara.

Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik. Melalui seluruh reportoar garapan terbaru mereka, Kua Etnika, Djaduk Ferianto dan Trie Utami akan membagi perjalanan mereka. Perjalanan yang mendasari dirinya dari gamelan Jawa, Sunda, Bali, dan khasanah musik tradisi, untuk menemukan daya ungkapnya dalam musikalitas hari ini.

Suatu perjalanan yang,
menilik judulnya, berangkat dari suatu akar untuk mencapai dan kemudian menembus batas-batas, penuh percobaan teknik dan gaya dari berbagai sumber inspirasi. Namun, alih-alih menjadi rumit, mereka bersetia untuk lugas, sederhana, dan pada saat yang sama, menghadirkannya dalam suasana yang akrab dan hangat, hampir seperti tanpa pretensi.Selama dua jam penuh, penonton akan mereka ajak untuk bersama-sama menempuh perjalanan musikalitas mereka,menempuh pertemuan-pertemuan antar bunyi dan budaya. Tiket bisa diperoleh di 021-3154087 atau Pak Isa 081317028139. ***

Thursday, June 28, 2007

Lomba Karya Tulis Pemuda Tk Nasional dan Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan

Dalam Rangka Hari Sumpah Pemuda ke-79, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena (FLP menyelenggarakan Lomba Karya Tulis Pemuda Tingkat Nasional Dan Penghargaan Untuk Penulis Artikel Kepemudaan. Berhadiah Total: Rp 30 juta!

Persyaratan Lomba Karya Tulis:

  1. Naskah berbentuk “esai” dengan tema “Kepemimpinan Pemuda”.
  2. Lomba dibagi dalam 3 kategori: pelajar, mahasiswa, dan umum.
  3. Lomba terbuka untuk semua WNI berusia 15-35 tahun.
  4. Esai tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.
  5. Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan, atau saduran.
  6. Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak/elektronik dan tidak sedang diikutkan dalam lomba sejenis.
  7. Naskah ditulis dengan Bahasa Indonesia yang baik, diketik di kertas A4, font Times New Roman, 6-12 halaman, spasi ganda.
  8. Mencantumkan kategori di sudut kiri amplop pengiriman naskah.
  9. Nama penulis harus diletakkan pada halaman terpisah dengan lembar naskah
  10. Naskah dikirim rangkap 3 (tiga).

Persyaratan Penghargaan Penulis:

1. Artikel telah dimuat di media massa cetak antara bulan Januari - September 2007 yang bertema Kepemudaan.

2. Melampirkan artikel (atau fotokopinya) yang telah dimuat sebanyak tiga rangkap.

3. Lomba terbuka untuk umum (tanpa batasan usia)

4. Artikel tidak bertentangan dengan SARA dan tidak mengandung unsur pornografi.

5. Mencantumkan “Penghargaan Penulis” di sudut kiri amplop.

Persyaratan Teknis:

Pengiriman naskah disertai dengan fotokopi identitas diri (KTP/SIM/Kartu Pelajar/Paspor dan biodata singkat: nama, alamat lengkap, nomor telepon/handphone, e-mail) Pengiriman naskah lomba esai atau penghargaan penulis dikirim ke: Panitia Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional dan Penghargaan Penulis d.a Rumah Cahaya FLP Jl. Keadilan Raya No 13 Blok XVI Depok Timur 16418.

Naskah ditunggu selambat-lambatnya tanggal 3 Oktober 2007

HADIAH

Lomba Karya Tulis Pemuda

Untuk masing-masing kategori:

1. Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku

2. Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku

3. Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku

4. 3 pemenang hiburan @ Rp 500.000 + paket hadiah buku

Penghargaan Penulis Artikel Kepemudaan

  1. Juara I : Rp 2.500.000 + paket hadiah buku
  2. Juara II : Rp 2.000.000 + paket hadiah buku
  3. Juara III : Rp 1.500.000 + paket hadiah buku

Pengumuman pemenang dapat dilihat di http://www.forumlingkarpena.net dan http://forumlingkarpena.multiply.com pada 18 Oktober 2007. Pemenang pertama Lomba Karya Tulis dari setiap kategori dan pemenang utama Penghargaan Penulis yang berdomisili di Indonesia akan diundang ke Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2007 dengan biaya kedatangan ditanggung panitia. Acara ini diselenggarakan oleh : Deputi Bidang Pemberdayaan Kepemimpinan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena Didukung oleh: Majalah Remaja Annida. Lingkar Pena Publishing House DAR Mizan

Keterangan lebih lanjut hubungi Lisa: (021) 573-8158 Koko: 0813-67675459 Denny: 0888-1425763 Dee: 0813-82828440

Lomba Menulis “Perangi Narkoba dan Menang”

Badan Narkotika Nasional

Dalam rangka memperingati Hari Anti Narkoba Internasional (HANI) yang jatuh pada tanggal 26 Juni 2007, Badan Narkotika Nasional mengajak para Profesional (Dosen, Guru, Akademisi, Praktisi), Wartawan, Mahasiswi dan Pelajar untuk berpartisipasi dalam Lomba Menulis Karangan. Penulisan yang dimaksud adalah sebuah karangan bebas (khusus bagi wartawan berupa Feature).

Tema Karangan “Perangi Terus Narkoba Dan Menang”

Kriteria Khusus Bagi Wartawan:

  • Tulisan berbentuk Feature.
  • Pernah dimuat di media cetak antara tanggal 1 Januari s/d 30 Juni 2007
  • Karya tulis yang akan dikirimkan, belum pernah diikutsertakan dalam perlombaan serupa.
  • Maksimal tulisan sepanjang 1/2 halaman koran atau 1 (satu) halaman Tabloid.

Kriteria Khusus Bagi Profesional & Mahasiswa / Pelajar:

  • Tulisan sebanyak 10-15 halaman.
  • Bentuk tulisan bebas.
  • Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  • Belum pernah dipublikasikan.
  • Mencantumkan referensi (Jika ada).


Ketentuan Teknis :

Teknis pengetikan: huruf Arial ukuran 12, spasi 1/2 margin kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas dan bawah 3 cm,menggunakan kertas kwarto (A4). Lampirkan identitas peserta (fotokopi KTP atau bukti diri lainnya) serta nomor hand phone/telepon yang dapat dihubungi. Bila melalui e-mail, data identitas dan nomor telephone dapat diketik dibawah karangan.
Karya tuls diterima oleh panitia paling lambat tanggal 30 Juni 2007.

Butir penilaian: Materi / isi tulisan Bahasa yang digunakan

Struktur tulisan
Originalitas
Semua karya tulis menjadi hak milik BNN.
Pemenang akan diumumkan melalui Harian Media Indonesia, RRI dan Website BNN.
Karya Tulisan dapat dikirim atau dibawa langsung ke alamat:
KABAG HUMAS BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) d/a GEDUNG BNN
JL. MT. HARYONO NO.11 CAWANG - JAKARTA TIMUR Telp. 021-80871566, 80871567 Ext.117 & 130 Fax. 021-80885225, 80871591, 80871632. lamat e-mail: c : denicarmel@bnn.go.id,humas@bnn.go.id
Fonna_999@yahoo.com
PEMENANG :
a. Juara 1, 2 dan 3 serta Harapan 1 dan 2 Bagi Wartawan
b. Juara 1, 2 dan 3 serta Harapan 1 dan 2 Bagi Profesional
c. Juara 1, 2 dan 3 serta Harapan 1 dan 2 Bagi Mahasiswa/Pelajar

HADIAH :

  • Juara 1 hadiah : sepeda motor dan sertifikat
  • Juara 2 hadiah : uang tunai Rp 4.000.000,- dan sertifikat
  • Juara 3 hadiah : uang tunai Rp 2.000.000,- dan sertifikat
  • Juara harapan 1 dan 2 : masing-masing uang tunai Rp 1.000.000,- dan sertifikat. www.bnn.go.id

Wednesday, June 27, 2007

Teater Kosong Jakarta


1 HARI 11 MATA DI KEPALA

Naskah/sutradara RADHAR PANCA DAHANA

Tanggal 6 - Juli 2007 pukul 19.45 wib
Teater Studio Taman Ismail Marzuki Jl.Raya Cikini 73 Jakarta Pusat


PENGANTAR:

Setelah menjalani masa vakum cukup panjang dari panggung teater, kecuali beberapa pertunjukan dramatik sastra (terakhir pentas Lalu Batu, di Gedung Kesenian jakarta dan 5 kota di Jawa, 2004), Radhar Panca Dahana akhirnya melakukan come back lewat sebuah pertunjukan teater yang ia tulis, sutradarai dan mainkan sendiri. Bersama sejawat-sejawatnya di Teater Kosong (angkatan ke-7), ia akan membawakan sebuah suguhan yang mengintegrasikan seluruh kekuatan artistik seni lainnya, dari mulai fotografi hingga arsitektur, dari akting hingga sinematografi, di atas panggung.

Sejak pertaqma kali terlibat dalam pertunjukan teater bersama Teater Gombong sebagai Roberta dalam drama Jack dan Penyerahan (GR Bulungan, 1979) bersama grupnya—termasuk yang terdahulu, Teater Aquilla dan teater Telaga—radhar sudah memenataskan 30-an panggung teater. Termasuk eksperimen laboratorisnya di Depok selama lima tahun bersam 15-an anggota kelompoknya.

Belakangan ia menerbitkan beberapa bukunya tentang teater. Mendirikan dan memimpin Federasi Teater Indonesia sambil menuliskan pengamatan dekatnya pada perkembangan teater Indonesia mutakhir. Dari semua jejak itulah, ia setahun belakangan mempersiapkan gagasan pertunjukan anyarnya, sebagai sebuah “surprise” (apa maksud tersembunyi di balik ini) kepada para kolega, rekan-rekan pekerja teater dan masyarakat umumnya.

Inilah hasil perenungannya setelah aktip dalam hidup kesenian sepanjang hampir 30 tahun: sebuah pandangan yang coba memberi alternatif bagi pemahaman atau cara pandang kita melihat manusia dan hidup di sekitarnya. Sebuah drama yang mengubah panggung bukan lagi sebagai mimesis atau representasi kenyataan belaka, tapi membentuknya kembali dan realitas barunya yang berlapis-lapis.

SINOPSIS:

Banyak tragedi, ironi juga komedi.Bukan cuma bagi dan dalam manusia. Tapi semua yang ada: sayur, kursi, kecoa, air susu yang tumpah atau sekedar nafsu seks yang gelap. Ini bisa di satu tempat atau sekaligus di berbagai tempat.

DI RUANG TIDUR: Hajjira, pekerja toko, juga pekerja seks komersial, melihat ruang tidurnya setiap hari selalu berubah. Hal itu membuatnya cukup tenteram, karena dunia luar yang dijalaninya telah membuat ia seperti angkotan kota yang ditilang begitu keluar dari jalur atau line-nya. Hingga satu kali ia melihat tikus mati di lubang wastafelnya: segalanya berubah. Ruang tidur itu tak lagi berubah namun selalu berada dalam cuaca yang sama: kecemasan bahkan ketakutan, suatu saat Hajjira akan menemukan dirinya tersesat dalam lubang wastafel dan ia tak mampu mengubah dunia dalam kepalanya: lorong wastafel itu, untuk selamanya. Ruang tidur menjadi neraka monotoni dan dunia luar hanya ilusi.

DI DAPUR: Mari, penari balet yang menikah dengan seorang pegawai kantor kepolisian. Suaminya mati karena salah tembak, disangka polisi hanya karena jaket yang dikenakannya. Setelah itu, mari selalu berusaha di dapur, menyibukkan diri, menyiapkan segala hal untuk suaminya yang akan berangkat pergi atau pulang dari kantor. Ia bersih-bersih, mencuci, memasak dan bicara, seakan suaminya ada di dapur, meruang bahkan adalah dapur itu sendiri.

DI WARUNG: Solar dan sonar duduk di sebuah warung kopi, yang satu menikmati kopi, satu menikmati yang sedang menikmati kopi. Yang satu menghisap rokok, satunya menikmati yang menghisap rokok. Yang satu bicara, yang satu bicara tentang yang sedang bicara. Satu lelaki satu perempuan. Keduanya bertukar sapa, mengaku sumai dan istri. Yang satu duduk satu pergi. Yang satu pergi satu duduk. Mereka bertemu. Mereka tak pernah bertemu.

Lalu kejadian berlangsung dimana-mana. Dimana ruang tercipta dan waktu “bermain” di dalamnya. Tak ada aktor, karena semua adalah pelaku, pelakon (manusia, bangku, cahaya lampu atau tikus di wastafel). Semua bisa berjuktaposisi, bisa beroposisi, bisa berkontemplasi, bisa apa saja. Dalam sebuah panggung yang memungkinkan apa pun yang diinginkan terjadi. Dan ada tak ada relasi, bukan soal lagi. Semua berrelasi sekaligus mengingkarinya.

KONSEP PERTUNJUKAN:

Pertunjukan ini dikreasi berdasarkan pemahaman teater kini tidak lagi dapat mewakili realitas secara apa adanya. Bahkan sebenarnya ia tak mewakili realitas itu sama sekali. Tidak terjadi mimesis sebagaimana secara klasik dipahami oleh sejarah teater terutama oksidental selama ini.

Bukan karena teater itu berubah atau terdapat kesalahan pemaknaan. Tapi karena realitas itu sendiri yang berubah. Dan seni, sebagaimana terjadi sejak dulu adalah anjing setia yang mengikuti kemanapun hidup itu pergi. Hidup itu berubah. Lebih tepatnya diubah. Ia tidak lagi dalam pemaknaan tradisionalnya. Setiap hidup, dalam jengkal ruang manapun, tidak lagi memiliki makna sebagaimana yang ada di dalamnya sendiri, sebagaimana yang ia kehendaki.

Tapi ia ada dan bermakna sejauh mata yang memandang, hati yang merasakan, dan akal yang merumuskannya. Realitas adalah mata. Barangkali realitasnya itu-itu saja, hanya satu,tapi ada sejuta mata yang melihatnya: maka iapun berubah menjadi sejuta. Setiap keadaan (waktu yang memuai susutkan ruang) kepentingan, latar sosio-kultural, dunia pikiran hingga cita rasa kuliner, bisa menggubah kenyataannya sendiri-sendiri, dari satui hidup yang tunggal.

Hidup adalah doublu double burger dengan sekian lapisan kenikamatan, yang sayang junk dan artifisial. Jangan mencoba menelannya sekaligus, jika tak kemudian anda menjadi makhluk dengan kepenuhan kontaminasi.

Dalam situasi itulah manusia melangkahkan perginya. Teater menrjemahkan dirinya. Menerjemahkan hidup yang tak pernah selesai ditafsirkan. Memberi manusia sekian (bahkan terlalu banyak) pilihan, dan seseorang hanya dapat mengambilnya satu-dua. Yang lainnya tinggal sebagai obskuritas bahkan chaos. Dan panggung teater adalah chaos (signikansi) itu.

Jika Anda tetap akan meraih signifikansi itu, lakukanlah tanpa dengan jiwa dan pikiran tertekan. Nikmatilah seperti anda menikmati segelas anggur, sup yang sedap plus alunan bossas yang meringankan badan. Nikmati pertunjukan.

ARTISTIK:

Pemain : Krisniati Marchelllina, Yudarria, Jeffry Djakatara
Panggung: Nobon
Cahaya: Reno Azwir
Musik: Jalu G.Pratridina
Kostum:Yudarria
Tata rias:Ratna Kosong
Stage manager: Anto Ristagi
Karya/sutradara: Radhar Panca Dahana

PRODUKSI:

Sekretariat: Yulisza Ristargi
Keuangan: Krisniati Marchellina
Publikasi/humas: Khumaidi
Dokumentasi: Fajar Irawan
Desain dan cetak:Edi hartanto
Konsumsi:Mei Han
Umum/peralatan: Karsimin
Petit fete:Endang Suwardi, Tya Rangkas
Produser: Edi Hartanto

Informasi:

1.Radhar Panca Dahana 081 6 19 48 365
Email:radhardahana@ yahoo.com, ftiindonesia@ yahoo.com

2.Lisa, sekretariat, 08569 22 33 849
Emaillisa_cerminart @yahoo.com

Absurdisme Delire A Deux

OLEH SAHRUL N
Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Kesenian Tradisi Indonesia dalam Wacana Kebinnekaan

(Catatan Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003)
OLEH SAHRUL N
Wilayah Indonesia yang kaya dengan pulau-pulau serta suku-suku bangsa, juga kaya dengan jenis-jenis kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang telah mapan dan sangat erat hubungannya dengan tradisinya merupakan kesenian yang kekuatan daya hidupnya tergantung dengan kebesaran budaya dan tata masyarakat dan budaya yang mendukungnya. Kesenian tradisional (traditional arts) tak lepas dari lingkungan yang menghidupinya. Khasanah pertunjukannya adalah rakyat setempat dan mitologi yang berkembang di daerah yang bersangkutan. Sikap sosial para pendukungnya masih dipengaruhi kultur lingkungan, kepercayaan-kepercayaan kepada leluhur dan sebagainya.

Indonesia: Sophisme Yang Merajalela


OLEH SAHRUL N
Memahami Indonesia hari ini adalah memahami sesuatu yang absurd, yang tercerai berai oleh sistem yang tak jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki Presiden sebagai orang nomor satu dengan demokrasi Pancasila sebagai ideologinya.

Pertunjukan Tari Ali Sukri: Penganten Ombak: Ikonitas Kultur yang Terbelah

OLEH SAHRUL N
Pertunjukan tari Ali Sukri yang berjudul “Penganten Ombak” merupakan pembelahan budaya lewat ikon-ikon gerak yang diuniversalkan. Properti sedemikian rupa membentuk alur-alur kehidupan yang senantiasa bergerak tanpa henti dan menuju berbagai makna tentang hidup manusia. Hanya lewat selembar plastik besar, pertunjukan ini sarat dengan konflik bathin manusia, terutama manusia yang sedang dilanda bencana. Dalam hal ini tragedi Aceh menjadi inspirasi utama pertunjukan ini. Perang saudara belum berakhir datang lagi bencana yang hampir tidak menyisakan apa-apa. Akan tetapi ini semua ada hikmahnya. Tuhan seakan tidak tega melihat derita rakyat Aceh akibat perang yang tak pernah usai. Tuhan meminangnya dan menjauhkannya dari arena perang.

Membaca Seni Ritual Mentawai Versus Seni Minangkabau dalam Wacana Intra-Kultural


OLEH SAHRUL N., S.S., M.Si, pengajar STSI Padangpanjang
I
Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.

Tuesday, June 26, 2007

Islamidar dan Seni "Sampelong"

KOMPAS, Rabu, 13 Juni 2007





Oleh Mahdi Muhammad

"Mungkin ada yang masih bisa memainkan alat musik ini. Tetapi, mereka entah di mana sekarang. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang bisa memainkan kesenian ini. Ini yang menjadi kekhawatiran kami," ungkap Islamidar (66), pertengahan Mei 2007. (Selengkapnya...)


KOMPAS, Rabu, 13 Juni 2007

Penjaga Sekolah Sekaligus Guru

Islamidar tak pernah mengecap pendidikan formal yang tinggi. Saat menginjak kelas I Sekolah Menengah Pertama, suami Tati Afrida ini terpaksa keluar karena mata kirinya mengalami kebutaan. Hingga saat ini, Islamidar hanya menggunakan mata kanannya untuk membaca atau untuk kegiatan lainnya. (Selengkapnya...)

Feminisme, Impian Perempuan Jadi Laki-laki

OLEH SAHRUL N, dosen di STSI Padangpanjang
Menyinggung persoalan seks, Helena Cixous memberikan gambaran bagaimana Zeus dan Hera menikmati hubungan seksual mereka. Ketika ditanya "Di antara laki-laki dan perempuan, siapa yang menikmati kesenangan yang lebih besar?". Untuk menjawab pertanyaan ini baik Zeus maupun Hera sama-sama tidak bisa memberikan jawaban.

Teater Sumatra Barat:



Mayat Hidup yang Ditangisi

OLEH Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)

Keinginan melihat pertunjukan teater di Sumatra Barat yang berbobot, agaknya harus dipupus. Sejak tahun 2000-2007 pertunjukan teater di Sumatra Barat jumlahnya mungkin mencapai ratusan, dan sebanyak itu pula repertoar yang sudah diangkat ke atas pentas. Tapi, nyatanya, kuantitas pertunjukan tidak menjamin kualitas pertunjukan. Problem utamanya tak jauh dari seputaran: berkesenian (berteater) dilakukan karena adanya iven atau memenuhi undangan atau dalam rangka. Artinya pula, teater di Sumatra Barat telah kehilangan substansi dan hakekatnya. Maka, jika menyebut konstelasi dan peta perteateran mutakhir di Indonesia, jangan berharap banyak Sumatra Barat menjadi salah satu simpul. Teater di Sumatra Barat tidak dianggap penting dalam kancah dan arah perkembangan teater di Indonesia. Pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang ini, tak lebih sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri: narsisisme. Malah, minus referensi perkembangan teater mutakhir. Mereka ini kurang membaca.

Sebelum era itu, teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang. Pijakan tradisi randai dan juga teks-teks kaba melahirkan sebuah "tradisi baru" dalam teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat. Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an dan 80-90-an adalah sebagai representasi praktik-praktik pemaknaan yang bermaian dalam aktivitas-aktivitas penciptaan makna. Produksi dan pertukaran tanda yang bernilai yang menghasilkan makna dan pemahaman baru tentang teater. Proses urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan ke kultur teks visual panggung berlangsung secara ketat. Tema-tema dan konsep penyutradaraan kerap dibasiskan pada tradisi lokal.

Sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra Barat itu pula, kontribusi yang paling berarti bagi jagad teater di Indonesia dapat dikatakan cukup signifikans. Saat itu, kehidupan teater di Sumatra, tampaknya cerita dengan basis kultural Minang menjadi primadona. Naskah-naskah yang berbasis tradisi dan kultur Minangkabau dirayakan dengan sangat semarak. Era tahun 70-80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.

Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa. Tahun 90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditenggarai bahwa para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90-an terjadi “kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di Sumatra Barat. Beberapa iven pertemuan teater dari berskala lokal hingga regional pernah dilangsungkan di daerah ini.

Festival teater yang pernah digelar di Sumatra Barat semenjak tahun 70-an hingga 2007 (dan ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus) sudah sering dilaksanakan. Tujuan utama festival mengakomodasi kelompok-kelompok teater yang ada di Sumatra Barat dan juga menawarkan tontonan alternatif bagi publik. Namun kondisi kehidupan teater di Sumatra Barat tidak juga sehat. Belum lagi jika dihitung iven-iven yang digelar lembaga-lembaga kesenian, perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang terkait dengan kehadiran teater, juga tak terhitung jumlahnya.

Sebagian pemerhati teater menyebutkan, puncak pertumbuhan seni teater di Sumatra Barat berlangsung pada era 1980-an sampai awal tahun 1990-an. Fakta demikian memang dapat dibuktikan dari jumlah peserta dalam Festival Teater Sumatra Barat yang dilaksanakan tahun 1980 dan 1985 yang masing-masing berjumlah 13 kelompok teater. Dan jika ditilik dari asal kelompok teater yang ikut festival, tampak merata dari berbagai daerah di Sumatra Barat—semenjak dari Maninjau, Pelembayan di Agam, Pariaman sampai ke Payakumbuh. Dari gambaran peserta ini, pertumbuhan teater pada saat itu tidak terpusat di Padang saja.

Kini, Festival Teater Sumatra Barat akan digelar. Jika tak ada aral melintang, bulan Agustus 2007 sebuah peristiwa teater yang bertendensi festival akan memunculkan “puncak-puncak” dari sebagian elemen teater: kelompok teater terbaik, aktor dan aktris, sutradara, artisitik, dan musik. Namun, sepanjang informasi yangt didapat, belum jelas benar apa tema besar Festival Teater Sumatra Barat 2007 ini. Jika tak ada tema, katakanlah tema itu untuk meletakkan frame sebuah festival, tentu dapat menyulitkan arah dan tujuan penilaian festival ini, juga tak menutup kemungkinan peserta festival juga akan kehilangan arah.

***

Teater di Indonesia lahir dari urbanisasi. Perpindahan yang terus berlangsung tak pernah henti. Perpindahan dalam bentuk apa saja. Maka dengan demikian, dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam urban-urban yang menyuarakan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal. Proses urbanisasi itu yang kemudian membentuk kata-kata, sakigus ideologi. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.

Seperti menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.

Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Ada penonton yang menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang berbeda pula. Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.

Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen. Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.

Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater. Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”

Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.

Dari sekian banyak perjalanan kehidupan kesenian di Indonesia, utamanya teater, memang tidak bisa tidak, belenggu utama yang mengikat teater menjadi terpuruk adalah biaya produksi, selain tentu saja kemampuan intelektual pegiat teater itu sendiri. Kini, di Sumatra Barat, seperti sudah disebut di atas bahwa teater di daerah ini mengalami masa kelam dan berada pada titik nadir yang mencemaskan.

Memang, kondisi demikian terasa sangat ironis ketika kondisi zaman telah sangat maju, canggih, akses informasi yang demikian mudah, dan membina jejaring dengan komunitas sejenis tidak lagi sulit (karena teknologi informasi membuka peluang untuk itu). Selain itu pula, tantangan hidup kesenian itu sendiri pada saat sekarang sangat besar dan beragam, misal, begitu terbuka berbagai kemungkinan untuk berhadapan dengan penonton (publik), tantangan yang berada dalam lingkaran seniman itu sendiri: kerusakan lingkungan hidup yang demikian parahnya, ekologis, ketidakadilan sosial, politik yang banal, kemisklinan, dan konflik antaretnis, serta kebohongan yang kerap dilakukan para politisi. Kondisi-kondisi demikian itu jelas berbeda dengan apa yang terjadi dalam era-era pertumbuhan teater sebelumnya, walau beberapa pola dan substansinya sama.

Teater, tentu saja dalam berbagai perspektif dan elemennya, akan tampak menyibak dengan lembut kemungkinan-kemungkinan kontemplatif deari semua persoalan manusia itu. Namun demikian, sayang sekali, pegiat teater di Sumatra Barat tak mampu membaca soal itu dan mereka kurang merenung, tampaknya. ***