KODE-4

Monday, January 26, 2009

Kesenian Minangkabau Masa Kini: Antara Tradisional dan Gagasan Modern

Tulisan ini sudah dipresentasikan pada 2nd International Conference on Southeast Asia Department of Southeast Asian Studies, Faculty of Art and Social Sciences. Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia 3 – 4 December 2007
OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen Jurusan Tari STSI Padangpanjangdan sedang belajar di Universiti Malaya

Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai kelompok masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Pada sistem ini terdapat pembahagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat secara adat. Perempuan Minangkabau lebih dominan ditempatkan sebagai sosok penjaga harta pusaka, kebanggaan keluarga dan alamat secara adat, dan oleh itu dianya selalu berada di rumah gadang dan menjadi penghuni rumah gadang. Di lain pihak, laki-laki Minangkabau sejak kecilnya sudah harus berada di luar rumah gadang. Dia harus berada pada lingkaran kehidupan alam luas yang dia akrabi.  

Oleh itu, tempat-tempat bermukim dan bermain laki-laki Minangkabau selalunya berada di luar rumah gadang, yaitu surau, lapau (lepau), galanggang (gelanggang), rantau, dan balai adat (Wisran Hadi, 1988:4). Pada tempat-tempat inilah kesenian Minangkabau berkembang secara tradisinya, ianya dimainkan oleh laki-laki dan tidak boleh dimainkan oleh perempuan.
Akan tetapi perubahan sememangnya tidak bisa dielakkan. Pada masyarakat Minangkabau perubahan terjadi daripada pola kehidupan komunal di rumah gadang (extended family) kepada pola kehidupan keluarga batih (nucleus family), dan daripada masyarakat komunal yang mengutamakan kebersamaan menjadi masyarakat individual yang mengutamakan ego. Perubahan demikian berpengaruh pula kepada perilaku masyarakat dan aktivitas keseniannya.
Lambang kehadiran suatu kaum daripada sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, salah satunya diwujudkan dalam bentuk bangunan rumah gadang, iaitu bangunan rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal saudara perempuan dalam sebuah keluarga (Wisran Hadi, 1988:4). Rumah gadang adalah juga tempat musyawarah keluarga, tempat upacara perkawinan, dan tempat merawat keluarga yang sakit. Itulah sebabnya rumah itu disebut gadang (besar). Ianya besar bukan disebabkan bentuk fisiknya, tetapi adalah karena fungsinya di mana hampir semua keperluan menyangkut kehidupan anggota keluarga dilaksanakan di rumah gadang (A.A. Navis. 1984:176).

Setiap perempuan yang sudah bersuami akan memperoleh sebuah kamar dalam rumah gadang untuk tempat tinggalnya bersama suami dan anaknya yang masih kecil. Sedangkan anak-anak perempuan remaja akan memperoleh sebuah kamar yang dihuni secara bersama pada salah satu kamar dalam rumah gadang itu. Rumah gadang adalah manifestasi daripada sistem kekerabatan Minangkabau yang matrilineal, sekaligus lambang kebanggaan keluarga dan alamat yang jelas bagi seorang Minangkabau secara adat (Wisran Hadi, 1988:4). Pada rumah gadang berkumpul satu kehidupan komunal keluarga Minangkabau daripada saudara-saudara perempuan, di mana mengikut pula hak penggunaan hartanya yang diberikan kepada kaum perempuan itu. Sedangkan untuk kaum laki-laki yang sudah beristeri, beliau tinggal di rumah gadang milik isterinya dan harus bekerja sendiri untuk mencari nafkah. Di rumah isterinya itu, dia disebut sumando, yaitu orang yang tetap saja menjadi ”orang lain” sekalipun dianya seorang suami dan ayah dari isteri dan anak-anaknya yang tinggal di rumah gadang.
Sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, mengharuskan anak laki-laki yang dianggap sudah cukup umur, yaitu semenjak usia tujuh tahun, tidak tinggal bersama ibu dan saudara perempuannya di rumah gadang, karena di rumah gadang tidak ada kamar untuk anak laki-laki. Anak lakilaki Minangkabau diharuskan tinggal di surau milik kaum (suku) bersama-sama teman sebayanya di bawah bimbingan seorang laki-laki tua yang biasa dipanggil guru. Di lembaga surau ini, anak laki-laki diajarkan mengaji Al Qur’an dan pengetahuan agama Islam lainnya, adat istiadat Minangkabau, serta berbagai keterampilan seperti pancak (pencak silat) dan berbagai bentuk pamenan (permainan-kesenian tradisi). Oleh karenanya, aktivitas pancak dan pamenan pada masyarakat Minangkabau merupakan kegiatan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Kalaupun ada peran perempuan dalam drama tradisi (randai), ianya dimainkan oleh laki-laki yang menggunakan pakaian perempuan (Mohd. Anis Md. Nor. 1986:21).
Pamenan adalah kata yang mewakili semua jenis permainan tradisional di Minangkabau, baik jenis permainan untuk anak laki-laki ataupun perempuan. Pamenan yang dilakukan oleh anak laki-laki umumnya dilakukan di luar ruangan, seperti bentuk-bentuk kesenian tradisi, baik berupa musik, tari maupun drama, atau jenis olahraga tradisi seperti sepak raga (sejenis sepak takraw namun dilakukan dalam posisi lingkaran), ataupun jenis permainan lainnya yang boleh menggugah rasa senang saja, seperti main gasing, main layang-layang, dan atau adu ayam. Untuk pamenan yang dilakukan oleh perempuan dilaksanakan di dalam ruangan, seperti main congkak, main simbang dan jenis permainan lainnya. Oleh karenanya, konsep pamenan bagi masyarakat Minangkabau adalah suatu kegiatan sambilan yang dilaksanakan di luar kegiatan utamanya untuk memenuhi keperluan hidup.

Untuk menyebut aktivitas pamenan berbentuk seni pertunjukan, orang Minangkabau menggunakan kata “ba” sebelum menyebut objek pamenan-nya. Misalnya untuk menyebut pertunjukan kesenian Saluang, yaitu salah satu bentuk alat musik tiup tradisional Minangkabau, masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan kata Ba-Saluang, artinya bermain Saluang. Untuk menyebut pertunjukan kesenian Talempong, yaitu salah satu instrument pukul tradisional Minangkabau, masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan kata Ba-Talempong, yang artinya bermain Talempong. Kata Ba pada awal objek membawa maksud permainan/bermain, yang pada bahasa Minangkabau disebut pamenan. 
Demikian juga ketika menyebut pertunjukan Mancak, yaitu sebuah bentuk tari tradisi di Nagari Kotoanau, maka masyarakat tradisional Minangkabau menyebutnya dengan kata Ba-Mancak, yang artinya bermain Mancak atau menarikan Mancak, sementara untuk menyebut nama permainannya, hanya disebut Mancak saja. Begitu juga ketika menyebut tari tradisi lainnya, seperti Tari Sado, Tari Benten, Tari Ilau, Tari Lu-Ambek, dan lain sebagainya, masyarakat tradisional Minangkabau menyebutnya dengan kata Ba-Sado (bermain Sado), Ba-Benten (bermain Benten), Ba-Ilau (bermain Ilau), dan Ba-Lu-Ambek (bermain Lu-Ambek). Akan tetapi, kata ”ba” pada awal objek tidak berlaku pada jenis pamenan di luar kesenian. Ianya hanya disebut ”main” sebelum menyebutkan objek permainannya, seperti ”main sepak raga”, ”main gasing”, dan lain sebagainya. Kata ”ba” dan ”main” pada awal objek pamenan memberikan penekanan bahawa pamenan itu merupakan aktivitas yang memiliki nilai kebersamaan. Pada masyarakat tradisi Minangkabau, kegiatan kesenian (pamenan) sememangnya merupakan aktivitas yang hanya dapat dilakukan secara bersama, dengan rasa kebersamaan dan untuk tujuan bersama pula.
Terkait dengan itu, pada produk seni tradisi Minangkabau tidak pernah diketahui siapa penciptanya, sekalipun pada awalnya mungkin dicipta oleh satu orang daripada anggota masyarakatnya. Produk kesenian tersebut hanya diakui berasal dari nagari tertentu sebagai sarana bagi menunjukkan identitas kedaerahan. Oleh karenanya, nama pamenan kadang diiringi dengan menyebutkan nama daerahnya, seperti Mancak Kotoanau, Sado Pariangan, Talempong Unggan, Piriang Kotoanau, Tambua Pariaman, dan lain sebagainya. Semua bentuk kesenian itu berfungsi sebagai penggugah rasa solidaritas masyarakat, sebagai sarana memotivasikan masyarakat, sebagai pengisi waktu senggang masyarakat, sebagai alat pendidikan masyarakat, dan sebagai hiburan masyarakat. Edi Sedyawati (1983:x) menyebut bahwa pada dasarnya aktivitas kesenian mengandungi dua fungsi utama, yaitu sebagai bentuk pernyataan dan sebagai sarana bagi tujuan tertentu.

Pada masyarakat tradisi Minangkabau, perempuan tidak dibolehkan mempamerkan dirinya dalam kegiatan kesenian di hadapan orang ramai. Adalah hal yang dianggap tabu dan tercela apabila perempuan Minangkabau tampil berkesenian di depan umum. Hal demikian merupakan aturan adat Minangkabau yang membatasi keterlibatan perempuan dalam dunia seni pertunjukan sebagai pernyataan daripada rasa malu dan aurat. Pembatasan ini terkait sebagai norma dan nilai adat yang dilembagakan dalam sistem sosial yang bertumpu pada sistem matrilineal itu (Fuji Astuti. 2004:xvii). Kalaupun ada aktiviti kesenian oleh kaum perempuan pada nagari-nagari tertentu, ianya dilakukan secara tertutup di dalam rumah atau dalam rumahgadang, dan hanya dihadiri oleh kaum perempuan saja. Aktivitas demikian, salah satunya terdapat di nagari Unggan Kabupaten Sijunjung, dijumpai pemain talempong tradisi yang semuanya wanita dan dilakukan di dalam rumah.
Kembali kepada permasalahan rumah gadang, bahwa membangun rumahgadang mestilah mengikut kepada kriteria yang disepakati oleh masyarakat tempatan. Ada kriteria yang mengharuskan rumah gadang berdiri dengan bentangan arah timur dan barat. Hal demikian dipercaya sebagai simbol daripada kekuasaan moyang asal orang Minangkabau, bernama Iskandar Zulkarnain, yang meluas dari masyrik ke maghrib (Ibenzani Usman, 1985:74). Namun pada beberapa nagari, bangunan rumah gadang tidak boleh menghadap ke jalan raya, posisinya mestilah menyamping atau membelakangi jalan raya. Posisi demikian bermakna bahwa penghuni rumah gadang, yang terdiri daripada kaum perempuan itu, berserta keadaan di dalamnya, tidak dibolehkan terlihat langsung dari jalan raya melalui pintu ataupun jendela rumah. Demikianlah dapat dilihat sebuah etika, sistem ataupun tata sosial yang terbentuk daripada kehidupan masyarakat Minangkabau yang tercermin melalui posisi dan tata letak rumah gadang.
Sehubungan dengan tata ruang rumah gadang, tercermin suatu sistem sosial yang mengatur sikap dan perilaku penghuninya di mana ikatan dan solidaritas penghuninya sangat kuat dengan keberadaan perempuan menjadi sosok sentral yang amat dipelihara secara adat Minangkabau. Di dalam rumah gadang itu, dibangunkan bilik-bilik yang semuanya untuk anak perempuan. Daripada kenyataan itu, akan terbentuk sebuah hubungan persaudaraan antara orang-orang badunsanak (bersaudara) yang tinggal di rumah gadang, baik dalam bentuk etika pergaulannya, estetika, sikap dan perilakunya di bawah pengawasan dunsanak laki-laki dan penguasaan kaum perempuan. Dalam rumah gadang sudah terbentuk suatu aturan bahwa penguasaan rumah diserahkan kepada wanita tertua. Pada wanita inilah bergayut kunci-kunci peti pusaka serta harta benda lainnya. Pada genggaman dia pula berhimpun binatang ternak dan sawah ladang untuk digunakan sebagai biaya hidup seisi rumah (Ampera Salim dan Zulkifli, 2004:47). 
Seiring waktu berputar, perubahan pun terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, yaitu dari masyarakat agraris tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat industrial materialistik (Sjafri Sairin, 2002:13). Perubahan itu adalah sejalan dengan kebijakan pembangunan di Indonesia untuk dapat memacu kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik sebagai bahagian dari upaya partisipasi dalam kehidupan pasar bebas yang juga merupakan bahagian daripada proses globalisasi. Oleh karenanya, kebijakan demikian lebih diarahkan kepada upaya pengenalan teknologi baru di tengah kehidupan masyarakat dengan berbagai macam bentuk produknya.
Sebagai menyeimbangkan usaha itu, masyarakat Indonesia usia produktif pun dimotivasi untuk giat belajar melalui pendidikan formal agar dapat menguasai kemajuan teknologi, meningkatkan kesadaran hidup sehat, serta berupaya  meningkatkan ekonomi masyarakat. Tanpa terasa, perubahan itu telah menyebabkan terseretnya kehidupan masyarakat Indonesia kepada perubahan yang tidak terbayangkan sebelumnya (Sjafri Sairin, 2002.v).
Tidak dinafikan, bahwa saat ini, warna kehidupan masyarakat industrial  modern sudah sangat terasa sampai merasuk ke kampung-kampung di Sumatra Barat. Hal demikian merupakan dampak daripada kemajuan teknologi informasi yang berkembang dengan sangat cepat. Sjafri Sairin menyatakan bahwa corak kehidupan agraris tradisional ternyata belum lenyap dalam kehidupan masyarakat sekarang. Masyarakat menganggap bahwa untuk bertahan pada kehidupan tradisional sudah tidak mungkin lagi karena dianggap tidak sesuai dan ketinggalan zaman. Akan tetapi untuk meninggalkannya secara keseluruhan juga tidak mungkin karena model kehidupan dunia baru pun belum jelas dalam sistem gagasan mereka. 
Akibatnya, luar negeri minded semakin marak dalam sistem gagasan masyarakat Minangkabau. Apa saja yang datang dari luar negeri, dipandang sebagai hal yang memiliki nilai lebih dan dianggap yang paling baik untuk ditiru dan dimiliki. Semua produk luar negeri itu dipakai bukan dalam kerangka fungsi subtansialnya, tetapi lebih kepada tujuan untuk memperoleh citra (image) yang melekat daripada produk tersebut. Akhirnya, hal demikian mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat yang menjurus kepada masyarakat komsumtif. Salah satu ciri daripada perilaku masyarakat komsumtif adalah, bahwa produk yang dipakai bukan karena alasan kegunaan (utility), tetapi lebih kepada pertimbangan citra (image) yang melekat pada produk itu (Sjafri Sairin, 2002:10). Dalam hal ini, produk telah menjadi hal yang berkait dengan simbol status sosial dan perasan lebih berharga dari orang lain.

Perubahan gaya hidup masyarakat di atas, sememangnya telah mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Indonesia secara umum, tidak terkecuali pada masyarakat Minangkabau. Pada masyarakat Minangkabau, perubahan itu terutama dapat dilihat daripada pola kehidupan matrilineal komunal di rumah gadang kepada pola kehidupan parental individual dalam keluarga batih (nucleus family). Tanggungjawab keluarga (anak dan kemenakan) yang semula berada di bawah pengawasan saudara laki-laki daripada ibu (mamak) dengan kuasa harta oleh kaum perempuannya, sekarang beralih kepada tanggungjawab penuh seorang ayah di mana semua keperluan rumah tangga disediakan melalui usaha yang dilakukan oleh keluarga itu. Akhirnya, semua anak-anak, baik laki-laki  ataupun perempuan, saat ini boleh tinggal serumah dengan ayah dan ibunya di rumah yang dibuat oleh keluarga itu, dengan kemudahan yang diusahakan sendiri oleh keluarga tersebut. Hal demikian menyebabkan rumah gadang tidak lagi dihuni oleh saudara-saudara perempuan secara bersama, dan beberapa buah daripadanya ditinggalkan begitu saja sampai ianya runtuh ditelan masa.
Demikian juga dengan surau sebagai lembaga pendidikan komunal untuk anak laki-laki, ianya tidak lagi dihuni karena tanggungjawab atas pendidikan anak-anak sudah diambil alih oleh keluarga batih. Dulunya pendidikan agama, pengetahuan adat, ilmu beladiri pancak (pencaksilat) dan aktiviti pamenan (kesenian tradisi), adalah dikelola oleh kaum (suku) secara adat pada lembaga surau. Tempat ini berfungsi sebagai lembaga pendidikan tradisional untuk menyiapkan anak-anak muda laki-laki Minangkabau siap menghadapi tantangan hidup dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang Minangkabau. Namun sekarang, tempat pembelajaran tersebut sudah berganti ke sekolah-sekolah formal yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat dengan sistem pembelajaran modern. Tanggungjawab utama terhadap kemajuan pendidikan anak pun sudah beralih daripada mamak kepada keluarga masing-masing.
Dalam kehidupan keluarga batih, sangat terasa adanya sebuah kebebasan karena hidup di rumah sendiri memberikan peluang untuk boleh berbuat sesuai kehendak sendiri. Kehidupan anak-anak pun hanya dikontrol oleh kedua orang tua mereka karena memang keluarganyalah yang berhak melakukan kontrol itu. Selain itu, proses pendidikan saat ini boleh dilakukan sampai ke luar daerah, baik untuk anak laki-laki ataupun anak perempuan, di mana lembaga-lembaga pendidikan itu umumnya berada di kota-kota Sumatera Barat. Hal demikian mengakibatkan anak-anak Minangkabau berpeluang secara individual untuk bersentuhan dengan dunia luar melalui berbagai kemudahan teknologi informasi modern yang diperoleh di kota-kota Sumatera Barat.
Persentuhan anak-anak muda Minangkabau dengan dunia luar, mengakibatkan meningkatnya kualitas pendidikan mereka yang diperoleh dari pelbagai lembaga pendidikan formal dan informal. Hal demikian, salah satunya, berakibat kepada peningkatan sistem pengetahuan dan gagasan yang dimiliki masyarakat. Peningkatan sistem pengetahuan dan gagasan itu berpadu menjadi sebuah kekuatan yang tidak tampak (invisible power), dan seterusnya berpotensi menjadi pendorong bagi sikap dan perilaku manusia sebagai saluran daripada ekspresi kegelisahan kreativitasnya saat itu. Salah satunya dapat dilihat daripada aktivitas kesenian dan perilakunya sehari-hari.
Dulu perempuan Minangkabau tidak dibolehkan tampil melakukan kesenian di hadapan orang ramai. Namun saat sekarang, pertunjukan kesenian justeru dianggap tidak semarak kalau perempuan tidak ikut dalam pertunjukan kesenian. Contohnya dalam bidang seni tari. Saat sekarang, aktivitas menari di Sumatera Barat justeru lebih di dominasi oleh kaum perempuan. Bahkan koreografer yang banyak memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan tari Minangkabau lebih di dominasi oleh perempuan. Demikian juga dengan penari, di mana saat ini secara kuantitas penari perempuan lebih mendominasi. Kalaupun laki-laki yang memilih menjadi penari, maka dianya dianggap sebagai laki-laki yang memiliki perilaku perempuan. Sangat jarang ada lelaki jantan yang mahu mengambil profesi sebagai penari. Kalau ada lelaki jantan memilih profesi sebagai penari, maka ia akan dicemooh sebagai lelaki yang memiliki perilaku perempuan. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, berkembang image bahwa aktivitas menari dianggap sebagai kerja perempuan. Namun lain halnya dengan aktivitas musik yang justeru lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Ada kesan bahwa aktivitas musik lebih sesuai untuk kaum laki-laki karena dapat berperanan sebagai pengiring daripada tari dan nyanyi yang lebih dominan dilakukan oleh perempuan.

Aktivitas kesenian saat ini pun tidak lagi mewakili komunitas yang dilakukan secara bersama untuk tujuan bersama dan diakui sebagai identitas kedaerahan. Ianya sudah menjadi sarana ekspresi individual untuk tujuan popularitas individual, dan oleh karenanya harus dipertanggungjawabkan pula secara individu. Oleh itu, pada setiap produk kesenian, tidak lengkap kalau tidak mencantumkan nama penciptanya berserta semua nama pemain pada buku pengantar acara. Terkait dengan itu, maka berdirilah kumpulan-kumpulan seni yang dikelola dengan menejemen modern yang memiliki pekerja-pekerja seni yang digaji secara profesional. Dengan demikian, aktivitas seni pada masyarakat Minangkabau saat ini sudah dianggap sebagai lapangan kerja tersendiri. Aktivitas kesenian sudah beralih daripada aktivitas komunal kepada individual.
Pada level anak-anak muda Minangkabau, aktivitas seni pertunjukan tidak lagi terbatas pada bentuk-bentuk seni pertunjukan tradisi dengan aturan-aturannya yang ketat. Kesenian tradisi telah diolah dan dimainkan menurut selera mereka sesuai keinginannya. Adakalanya model kostum, warna, musik pengiring dan perhiasan lainnya, telah diubah menyesuaikan selera penataannya. Lebih jauh daripada itu, anak-anak muda Minangkabau saat ini lebih dominan menyukai bentuk-bentuk seni import mengikut apa yang mereka lihat melalui kemudahan teknologi informasi modern, seperti group band, nyanyi dan lagu dengan iringan organ, tarian popular, dan lain sebagainya. Keadaan ini tidak saja terjadi di kota-kota, tetapi sudah menjalar sampai ke kampung-kampung di Sumatera Barat. 
Transisi Masyarakat Minangkabau 
Di atas telah disebutkan bahwa meningkatnya sistem pengetahuan dan gagasan yang dimiliki masyarakat, yang kemudian berpadu menjadi kekuatan yang tidak tampak, berpotensi menjadi pendorong bagi perubahan sikap dan perilaku manusianya. Hal demikian nyata terlihat daripada praktek kehidupan yang tidak lagi merujuk kepada nilai-nilai tradisional yang selama ini dipandang sebagai pola dasar bagi perilaku sosial yang sudah berjalan. Praktek kehidupan demikian lebih luas berwujud dalam bentuk perilaku materialistik yang tidak mengindahkan nilai-nilai spiritual.
Sjafri Sairin (2002:52) mengatakan, dalam proses globalisasi tidak dapat dihindari unsur-unsur gagasan yang bersifat materialistik di mana ianya lebih mudah diadopsi dibandingkan nilai-nilai moralitas yang ada di balik sesuatu yang tampak bersifat materialistik itu. Gagasan materialistik tersebut lebih banyak didapat dari berbagai macam bentuk kegiatan ekonomi internasional yang memanfaatkan sarana media informasi. Ini dapat disaksikan antara lain dengan semakin kuatnya pengaruh popular culture dan consumer culture dalam kehidupan masyarakat sebagai hal yang diterimanya melalui apa yang selalu dilihatnya daripada sarana media informasi (Sjafri Sairin, 2002:13). Hal demikian dapat dibuktikan dari berbagai gaya dan perilaku masyarakat Indonesia yang ditirunya dari berbagai gaya masyarakat lain yang dilihatnya melalui media, seperti model pakaian, model rambut, perilaku menggunakan kenderaan, gaya bicara, dan lain sebagainya. Keadaan seperti ini pun sudah menjalar sampai ke kampung-kampung di Sumatera Barat.
Melihat kepada permasalahan di atas, sangat jelas bahwa keadaan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat saat ini, berikut aktivitas keseniannya, sedang berada pada situasi transisi. Ianya sekarang sedang bergerak daripada masyarakat agraris tradisional yang penuh nuansa spiritual menuju masyarakat industrial yang materialistik (Sjafri Sairin, 2002:13), daripada pola kehidupan komunal di rumah gadang (extended family) kepada pola kehidupan keluarga batih (nucleus family), dan daripada masyarakat komunal yang mengutamakan kebersamaan menjadi individual yang mengutamakan ego. Keadaan demikian mengakibatkan terjadinya situasi ”galau budaya”, yang oleh Victor Turner (1969:95) disebut sebagai fenomena liminality. 
Liminality adalah ruang transisi antara dua fasa yang disebut sebagai “betwixt and between”, yaitu situasi di mana masyarakat sedang tidak berada dalam situasi yang sebelumnya dipunyai, sekaligus mereka belum pula bergabung sebagai masyarakat yang baru. Pada saat fasa liminal terjadi, seorang individu atau sekelompok masyarakat akan berada pada tempat, keadaan, dan posisi sosial yang tidak menentu, tidak di sana dan tidak pula di sini (neither here and nor there). Dalam keadaan demikian, umumnya mereka memiliki karakter ataupun sifat mendua atau ambigu dengan perasaan rendah diri, merasa terasing, dan teruji. Umumnya perilaku masyarakat yang berada pada situasi liminal adalah pasif dan mematuhi apa saja yang diarahkan oleh orang lain melalui berbagai macam sarana dan kemudahan, terutama sarana media elektronik, tanpa ada bantahan ataupun kritikan. Turner menyebut masyarakat demikian dengan istilah ”community” yang ditakrifkan (defined) sebagai kelompok masyarakat anti struktur dan berada di luar struktur (unstructured) (Victor Turner, 1969:95). Agaknya, masyarakat Minangkabau saat ini sedang berada pada situasi demikian.
Penutup
Pepatah Minangkabau menyatakan ”sakali aie gadang, sakali tapian barubah” (sekali terjadi air besar di sungai, saat itu pula terjadi perubahan pada tepiannya). Artinya, masyarakat Minangkabau amat menyadari bahwa proses transisi dalam kehidupan social masyarakat sememangnya tidak dapat dielakkan. Ianya merupakan konsekuensi daripada keterbukaan yang dilakukan melalui pengenalan teknologi baru dengan semua elemen-elemen yang mengikutinya. Keterbukaan seterusnya berpengaruh kepada sistem pengetahuan dan gagasan masyarakat pemakainya sehingga bermuara menjadi sebuah kekuatan yang tidak tampak (invisible power). Akhirnya, kekuatan tersebut berpotensi menjadi pendorong kepada sikap dan perilaku manusianya hingga berwujud kepada bentuk-bentuk keseniannya sebagai saluran ekspresi daripada kegelisahan kreativitasnya.
Pepatah di atas mengisyaratkan, bahwa perubahan bagi masyarakat Minangkabau adalah dianggap sebagai suatu proses yang alamiah. Masyarakat Minangkabau menganggap tidak ada yang berubah dalam kehidupannya kecuali perubahan itu sendiri. Oleh itu, perubahan selalu berada dalam kehidupannya.
Seandainya perubahan itu bersumber dari hal yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai budaya tempatan, maka akan lahirlah sebuah kebudayaan baru dan baik, yang dapat menuntun ke arah yang baik pula, baik dalam bentuk perilaku manusianya atuapun sebagai identitas kebudayaan yang diwakilinya.
Bibliografi
A.A. Navis (1984). Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Grafiti Pers.
Ampera Salim dan Zulkifli (2004). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah Yang Tercecer. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Edi Sedyawati. ”Meninjau Kesenian Indonesia”. Dalam Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono (1983). Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Fuji Astuti (2004). Perempuan Dalam Seni Pertunjukan Minangkabau, Suatu Tinjauan Gender. Yogyakarta: Kalika
Ibenzani Usman (1985). “Seni Ukir Tradisional Pada Rumah Adat Minangkabau: Teknik, Pola dan Fungsinya”. Disertasi, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Mohd. Anis Md. Nor (1986). Randai Dance of Minangkabau Sumatra With Labanotation Scores. Kuala Lumpur: Department of Publications University of Malaya.
Sjafri Sairin (2002). Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Victor Turner (1969). The Ritual Process. London: Routledge & Kegan Paul.
Wisran Hadi (1988). “Menoleh Kembali Kesenian Minangkabau, Di Antara Tari Minang dan Tari Kabau”. Makalah, disampaikan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda di ASKI Padangpanjang, tanggal 28 Oktober

No comments:

Post a Comment