OLEH Indra Utama, Koreografer, Dosen STSI Padangpanjang, dan sedang belajar di Universiti Malaya
Pada masyarakat tradisional Minangkabau, kata “tari” diartikan sebagai laku olah gerak dan rasa (masyarakat Minangkabau menyebut pamenan/permainan) yang memiliki akar gerak kepada ilmu beladiri pancak (Indra Utama, 2001:71-80; Edi Sedyawati, 1998:72; Sal Murgiyanto, 1991:276; O’ong Maryono, 1998:9; Mohd. Anis Md Nor, 1986:26). Kedua-duanya, yaitu pamenan dan pancak, terbina sebagai materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau pada surau-surau yang ada di berbagai pelosok daerah budaya Minangkabau. Materi ajar ini diajarkan sejalan dengan materi ajar lainnya, yaitu pengajaran agama Islam (baca Al-Qur’an beserta seluruh ajaran yang mengikutinya), pengajaran tentang pengetahuan adat istiadat Minangkabau, dan pengajaran-pengajaran praktis lainnya. Semua bentuk pengajaran itu menuju kepada sasaran untuk membentuk manusia Minangkabau siap menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks tanpa harus meninggalkan identitasnya sebagai orang Minangkabau.
Pancak, sebagai antara sarana pendidikan tradisional Minangkabau, hal awal keberadaannya sebagai ilmu beladiri, boleh dikata sulit didapat karena tidak adanya data tertulis. Akan tetapi salah satu asumsi yang dapat diterima menyatakan bahwa pencaksilat India masuk ke Sumatra selama abad ke-8, yaitu pada waktu Kerajaan Sriwijaya berkuasa (Hiltrud Cordes dalam Kristin Pauka. 1998:27). Pada masa itu, saudagar-saudagar kaya India sering datang membawa dagangannya ke Sumatra, dan mereka diterima sebagai tamu terhormat oleh raja dan kalangan istana. Saudagar-saudagar itu tidak hanya datang membawa barang dagangan saja, tetapi juga datang sebagai penyebar agama dan pengembang kebudayaan bangsa asal mereka (MD Mansoer, 1970:41-42).
Memandangkan para saudagar itu membawa dagangan yang banyak dan berharga, serta membawa misi sebagai penyebar agama dan pengembang kebudayaan, maka mereka juga membawa para ahli beladiri untuk melakukan tindakan pengamanan bagi kelancaran usahanya. Para ahli beladiri ini kemudian menyebarkan pengetahuan dan keahlian ilmu beladirinya kepada masyarakat tempatan untuk keperluan pengamanan dagangan mereka serta kelancaran misi budayanya. Dari asumsi ini, sangat mungkin terjadi adanya pancak (silat) di Minangkabau berawal daripada kedatangan saudagar-saudagar dari India tersebut.
Di samping itu, terdapat tiga bentuk mitos yang menceritakan keberadaan pancak (silat) di Minangkabau. Pertama, dikatakan bahwa antara tiga sampai sepuluh generasi yang lalu, pancak (silat) diturunkan kepada putra dan cucu orang Minangkabau melalui kekuatan gaib sambil tidur dalam keadaan tidak sadar; kedua, disebutkan bahwa dua leluhur legendaris Minangkabau, yaitu Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan adalah pencipta pancak (silat) di Minangkabau; dan ketiga ialah mitos yang dikaitkan kepada agama Islam, yang menyatakan bahwa silat diturunkan Allah melalui malaikat Jibrail kepada Adam. Selanjutnya ia turun terus kepada anak cucu Adam yang terpilih secara misterius melalui sarana tidur, tidak sadar, dan sarana magis lainnya (Kristin Pauka. 1998:27-28).
Mitos terakhir ingin menjelaskan adanya hubungan antara pancak (silat) Minangkabau sebagai sebuah produk kebudayaan dengan agama Islam. Hal demikian sangat beralasan karena pusat pembelajaran dan penyebaran pancak di Minangkabau, berada pada komunitas surau sebagai salah satu materi ajar pendidikan tradisional Minangkabau.
Berkaitan dengan permasalahan itu, secara tradisional pula, dijelaskan bahwa terdapat tiga asas gerakan pancak merujuk kepada tulisan Arab kuno seperti yang ditemukan dalam Alquran, yaitu: (1) tagak (berdiri) “alif” ( ﺎ ), maksudnya adalah tagak (berdiri) Allah; (2) pitunggue (kuda-kuda) “dal” ( ﺩ ), maksudnya adalah pitunggue (kuda-kuda) Adam; dan (3) “langkah mim” ( ﻢ ), maksudnya adalah langkah Muhammad (Bart Barendregt dalam Wim van Zanten. 1995:114). Secara mujarad, perlambangan tiga asas gerakan pancak di atas menyatakan bahwa setiap awal melangkah bagi apapun pekerjaan di dunia ini adalah sama seperti permulaan alif sebagai penghulu abjad. Mujarad alif itu adalah tunggal atau satu seperti ketuhanan itu adalah tauhid (Mohd Anis. 2000:93). Kemudian, tagak alif itu dilanjutkan dengan pitunggue Dal agar posisi tagak mendapat tumpuan yang kuat, dan seterusnya dilanjutkan dengan langkah Mim setelah ada rasa bahwa tumpuan untuk melangkah sudah kuat. Sepertinya perlambangan itu memberikan makna sebuah tahapan yang terstruktur mengikuti jalan Allah, nabi Adam dan kerasulan Muhammad di dalam pancak.
Pemahaman tentang tiga asas gerak pancak tersebut menuju kepada prinsip ke-Esa-an dan sifat transenden Allah ketika gerakan pancak dimainkan, sama halnya bagi kepentingan bersilat (bertarung) dalam rangka membela diri maupun bagi melakukan pancak itu sendiri sebagai permainan. Hal sedemikian menunjukkan ciri-ciri estetik yang direka untuk menghasilkan gambaran infiniti dan transenden yang dituntut oleh doktrin tauhid Alquran sebagai perkara yang abstrak dan mujarad (Faruqi. 1992:173-175).
Bagi para murid komunitas surau, ketiga asas ini harus dipahami, dimengerti dan diamalkan sebagai sebuah keharusan dalam belajar dan memainkan pancak, sehingga melalui cara ini gerakan-gerakan pancak (silat) telah menjadi simbol penting untuk diingat agar mudah dipahami. Pemahaman demikian terkait bilamana rujukan kajian diarahkan kepada hubungan antara mikrokosmos, masyarakat, dan makrokosmos dalam perbincangan tentang keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah (MID. Jamal. 1986:53).
Sejalan dengan itu, pancak memiliki sebutan lain daripada kata silat Minangkabau, yaitu silat langkah ampek (langkah empat). Sebutan ini dinyatakan sebagai kata yang merujuk kepada sifat Nabi Muhammad, yaitu sidiq (kebenaran), tabligh (menyampaikan kebenaran), amanah (dipercaya), dan fatanah (bijaksana). Ke empat sifat Nabi Muhammad ini sejalan pula dengan empat tahapan pencapaian menuju kepada peringkat sufi dalam ilmu tasawuf, yaitu syariah, tariqat, hakikat, dan makrifat (Bart Barendregh dalam Wim van Zanten. 1995:125).
Sangat ditekankan oleh pengajar pancak di Minangkabau bahwa ilmu beladiri ini bukan sarana bagi mencelakakan orang, tetapi lebih kepada sarana melatih diri agar selalu waspada dan hati-hati dalam kesabaran yang tinggi pada setiap tindakan. Hal demikian tercermin dalam pepatah Minangkabau yang berbunyi musuah indak dicari, basuo pantang diilak-an (musuh tidak dicari, bertemu pantang dielak). Oleh karenanya, setiap pendekar (Minangkabau: pandeka) mestilah memiliki jiwa kesatria, suka menolong kaum yang lemah, sabar dan tawakal. Sikap demikian merupakan hal yang sangat digalakkan dalam Islam sesuai ajaran dan sifat-sifat Nabi Muhammad di atas, iaitu siddiq, tablikh, amanah dan fatanah. Tentu saja ajaran demikian sejalan pula dengan tahapan menuju peringkat sufi dalam ilmu tasawuf itu.
Dari segi etika pengajaran pancak, didapati bahwa pengajaran ilmu beladiri ini memiliki struktur yang harus diikuti. Struktur tersebut merupakan modul yang digabungkan untuk menghasilkan rekaan yang lebih besar sebagai satu entiti yang membawa satu ukuran dan kesempurnaan dalam pancak (Faruqi. 1992:176). Biasanya, sebelum latihan pancak dimulai sesudah shallat Isya, semua murid beserta guru menukar pakaian hariannya kepada pakaian latihan berwarna hitam, iaitu celana galembong, baju yang longgar dan destar. Seterusnya mereka melakukan doa bersama sambil duduk melingkar di halaman surau yang disebut sasaran. Doa bersama ini dimaksudkan untuk meminta perlindungan kepada Allah agar dalam melaksanakan latihan pancak diberi keselamatan dan tidak ada yang cedera.
Sesudah itu, setiap pasangan murid yang akan berlatih, menghadapkan salam kepada guru dan seluruh murid yang hadir. Perilaku bersalaman itu adalah dengan cara berjabatan tangan. Jabat tangan kepada guru dilakukan dengan mendatangi sang guru dan bersalaman. Kemudian sang murid menarik tangan sang guru ke kening dan seterusnya mendekapkan telapak tangan ke dada selepas berjabatan tangan itu. Namun untuk jabat tangan kepada sesama murid cukup hanya dengan bersamalam dan seterusnya mendekapkan telapak tangan ke dada. Kemudian barulah masing-masing pasangan melakukan latihan di bawah bimbingan gurunya itu.
Menjelang tengah malam, sebelum berakhirnya latihan pancak, semua murid beserta guru kembali melakukan doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur karena latihan telah selesai dilaksanakan dengan selamat.
Sebagai ilmu beladiri yang berlandaskan kepada ajaran Alquran, pancak lebih menekankan kepada keterampilan tangkisan, elakan, tangkapan, serangan, serta gerak tipu, dan melatih intelegensia untuk mengendalikan situasi. Semua bentuk keterampilan itu kebanyakannya digunakan untuk melindungi dan mempertahankan diri sekalipun metode serangan juga diajarkan. Pepatah silat Minangkabau menyatakan ”indak ado gayuang nan indak basambuik, indak ado tangkok nan indak balapehan”. Artinya, keterampilan ilmu beladiri pancak bukanlah keterampilan untuk mencederakan lawan, melainkan lebih kepada memberi pelajaran agar lawan tidak lagi melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Oleh karenanya, pancak lebih ditujukan untuk membangun hubungan baik sesama manusia sebagaimana difahami dari kata silat yang diambilkan dari kata silaturahmi, yang berarti hubungan baik (Sal Murgiyanto.1991:276). Keterampilan itu wujud pada saat melakukan gerakan dari posisi tegak lurus ke posisi dasar silat, yaitu menempatkan salah satu kaki ke depan dalam posisi rendah (pitunggue). Bentuk dari posisi demikian adalah lutut dibengkokkan dan berat badan bertumpu pada satu kaki di depan atau di belakang. Kadang di saat gerakan sedang berproses, berat badan boleh saja bertumpu di tengah antara kedua tungkai dalam posisi tetap pitunggue.
Selanjutnya, pada saat kedua tungkai berada di posisi demikian, kedua lengan bergerak untuk mengawal anggota tubuh yang vital, seperti dada, kepala, dan bagian bawah perut dengan menyilangkannya di hadapan dada, atau satu lengan menjulur ke depan sebatas bahu, sementara lengan yang satunya lagi berada di dekat perut dalam posisi menjaga. Sementara itu, posisi kepala lurus dengan pandangan mata melirik tajam kepada bahagian-bahagian tertentu daripada tubuh lawan. Sikap perlindungan diri di atas merupakan sikap dasar bagi umumnya silat di Minangkabau, dan ianya merupakan karya budaya yang dianggap penting karena selain berfungsi sebagai ilmu beladiri juga merupakan seni gerak yang dapat menjadi sumber perkembangan seni pertunjukan Minangkabau (pamenan) lainnya, terutama teater tradisi randai dan tari.
Dari penjelasan ini, akan dapat dimengerti bahwa pancak adalah kegiatan yang sangat berhubungan dengan ajaran Islam, baik dari segi konsep idea yang melatarbelakangi adanya pancak, mahupun etika pelaksanaannya, serta unsur-unsur yang ada dari semua gerakan pancak. Apabila konsep idea, etika pelaksanaan, dan semua unsur-unsur gerakan pancak di atas betul-betul dihayati sesuai makna Islam yang terkandung di dalamnya, maka pancak sebagai ilmu beladiri yang menjadi sumber bagi pelbagai bentuk seni pertunjukan Minangkabau, akan menjadi salah satu produk budaya Melayu Minangkabau-Islam yang unggul. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan yang sempurna dalam memainkan pancak, sangat diperlukan kosentrasi ataupun kesatuan pikiran dan tindakan sesuai petunjuk-petunjuk dan arahan pancak di atas. Tujuan dan petunjuk itu mengarahkan kosentrasi si pemain bagi menyeru kepada tujuan untuk mencapai tauhid dalam Islam. Hal sedemikian itu, sesuai dengan seruan agama Islam yang menganjurkan umatnya supaya berusaha mewujudkan suatu kesatuan pikiran dan tindakan di bawah perintah Allah.*
Kuala Lumpur, 30 Oktober 2006
Kepustakaan
Edi Sedyawati. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Ismail R. al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam. Terjemahan Mohd. Ridzuan Othman, Mohd. Sidin Ishak dan Khairuddin Harus (Ph.D). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992.
Kristin Pauka. Theatre & Martial Arts in West Sumatra, Randai & Silek of The Minangkabau. Athena: Ohio University Center for International Studies, 1988.
M. D. Mansoer, et. Al. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bharata, 1970.
MID Jamal. Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau. Bukittinggi: C.V. Tropic, 1986.
Mim van Zanten and Marjolijn van Roon. Oideon, The Performing Arts World Wide. Netherlands: Research School CNWS Leiden, The Netherlands, 1995.
Mohd. Anis Md Nor. Randai Dance of Minangkabau Sumatra With Labanotation Scores. Kuala Lumpur: Department of Publications University Malaya, 1986.
__________________ (Ed.). Zapin Melayu Di Nusantara. Malaysia: Yayasan Warisan Johor. 2000.
O’ong Maryono. Pencaksilat Merentang Waktu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1981.
Sal Murgiyanto. “Moving Between Unity and Diversity, Four Indonesian Choreographers”. Disertasi, sebagai bagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Doctor of Philosophy pada New York University. New York, 1991.