OLEH Indra Utrama, m
Nagari Koto Anau memiliki air terjun pada beberapa dinding lurahnya. Masyarakat Koto Anau menyebutnya dengan kata timbulun tujuah salirik. Di salah satu Jorongnya terdapat mata air panas yang sering dipakai untuk mandi. Nagari Koto Anau memang kaya dengan aliran air. Bahkan sempat dimanfaatkan sebagai pembangkit energi listrik. Bekas pembangkit listrik itu masih ada sampai saat ini. Mungkin bisa dianggap sebagai monumen dari kejayaan Nagari Koto Anau masa lalu.
Di bagian tengah Nagari, dengan tanjakan yang lumayan tajam, terdapat jalan raya yang menghubungkannya dengan beberapa nagari tetangga dan Kota Solok. Jalan raya itu selalu dilalui bus menuju perkampungan di pinggiran Danau Kembar. Bunyi raungan mobil mendaki jalanan selalu membelah keheningan Nagari Koto Anau yang damai. Letak ataupun posisi jalan itu bagaikan sisiran rambut belah di tengah. Jalan raya ini dinyatakan dengan kiasan sega rambuik mambalah banak.
Semua rumahgadang di Koto Anau menghadap ke Gunung Talang. Gunung Talang diyakini sebagai sumber rejeki, dan aliran rejeki itu diteruskan ke bawah, yaitu ke Kota Solok. Kiasannya berbunyi tikalak madok ka hilie, manurun ka balai lurah. Mendampingi keberadaan rumahgadang itu, di Koto Anau banyak terdapat surau dalam berbagai ukuran, namun hanya satu surau yang bertahan memelihara kesenian tradisinya, yaitu Surau Sikumbang Ateh Balai.
Orang muda Koto Anau terkenal sundek panaiak darah, namun suko didagang nan tibo. Tidak mudah takicuah karano baso, bukan pulo mudah tatipu karano budi. Watak sundek panaiak darah ini, mungkin pengaruh dari masyarakatnya yang suka makan daging. Hampir setiap waktu makan selalu tersedia masakan daging dalam berbagai corak masakan. Sekalipun demikian mereka suka menerima tamu. Ada perasaan ikhlas ketika menerima si anak dagang. Terkait dengan itu, diperantauan, mereka umum bekerja di berbagai rumah potong daging. Sebuah profesi khusus yang dibawa dari kampung halamannya.
Masyarakat selingkaran luar dari nagari ini sangat mengenal karakter orang Koto Anau. Kalau berbicara selalu menggunakan tiga kata untuk menunjukkan keberadaan dirinya, yaitu aden, awak, dan kito. Watak dan karakter demikian tetap terpelihara sampai sekarang, utamanya bagi orang muda laki-laki yang pernah belajar silat.
Bagi orang muda laki-laki Koto Anau, belajar silat adalah sebuah kewajiban. Jangan mengaku orang Koto Anau kalau tidak pandai bersilat. Terselip perasaan malu jika tidak pernah belajar silat agak sajamang. Apalagi silat yang berkembang di Koto Anau diyakini lahir dari bumi daerahnya. Ianya disebut dengan Silek Si Kayu Kasah dan Silek Si Cabiak Kapan. Silek jenis ini bukanlah silek tontonan, ianya dipakai hanya untuk beladiri saja. Namun untuk keperluan silek tontonan, ahli silat Koto Anau telah pula menciptakan khusus dengan nama Silek Harimau Campo. Ketiga bentuk materi ilmu beladiri ini merupakan pusako rang Koto Anau. Mereka menyebut Harimau Campo sebagai pamenan mato, Si Kayu Kasah pamenan nan saganggam, dan Si Cabiak Kapan pamenan nan sabinjek.
Mengikut aktivitas ilmu beladiri ini, di Koto Anau muncul pula produk budaya lain yang sedarah, yaitu Mancak jo Ambek-Ambek, Talempong sarato Momong, Pupuik Galundi jo Batang Padi, dan Tari Piriang. Aktivitas ini merupakan olah gerak dan rasa sebagai satu bentuk materi permainan anak nagari. Bahasa Minangkabau menyebutnya dengan kata pamenan anak nagari.
Khusus pamenan Mancak, gerakannya seirama dengan silek yang menjadi asasnya. Antara keduanya ibarat saudara kandung yang sedarah. Ciri-cirinya terletak pada kekuatan kaki ketika menapak di bumi, dengan posisi lengan melengkung di sisi kedua badan. Sekilas bentuknya seperti harimau hendak menyerang. Untuk itulah silek itu dinamakan Harimau Campo.
Kata Mancak adalah berawal dari tingkah laku anak-anak yang bermain, bergelut, atau bercanda pura-pura berkelahi dengan menggunakan gerakan pencak. Orang Koto Anau menyebutnya dengan kata bamancak yang artinya bermain mancak atau pancak. Namun Sal Murgiyanto menyatakan kata mancak atau pancak diambilkan dari kata ancak, yang berarti bagus dan menarik (Sal Murgiyanto. 1991:276).
Tari Mancak adalah tari tradisi Koto Anau. Tidak ada Tari Mancak lain selain yang ada di Koto Anau. Demikian claim masyarakat Nagari Koto Anau terhadap produk budayanya yang satu ini. Terbersit satu semangat untuk mengidentifikasi diri sebagai orang Koto Anau melalui kebanggaannya terhadap tari tradisinya itu. Dan memang, semua orang Koto Anau bangga akan produk budayanya ini. Bahkan terlihat nyaris fanatik. Hal tersebut akan tampak ketika terjadi dialog tentang keberadaan Tari Mancak dengan masyarakat Nagari Koto Anau. Akan terasa bagaimana kebanggaan itu adanya. Mereka bicara penuh semangat.
Seiring berjalan waktu, Mancak pun semakin terkonsep sebagai manifestasi kehidupan masyarakatnya. Semua bentuk gerakannya mencerminkan kehidupan masyarakat pemiliknya, dan ianya difungsikan dalam berbagai keperluan memeriahkan upacara nagari, seperti baralek pengangkatan penghulu, manaiak rumahgadang, memeriahkan hari raya, maulid Nabi Muhammad SAW, dan lain sebagainya. Untuk itu, struktur daripada gerak Mancak pun mengikut kepada tuntutan seni pertunjukan, yaitu mulai dari gerak Pasambahan Pembuka, Titi Batang, Timpo, Kaluang, Suduang Daun, Sauik, Cacah Baro, Tupai Bagaluik, Tumpu, Jinjiang Bantai, Suntiah Taruang Bauwok, dan Pasambahan Penutup. Semua ragam gerak itu, kalau diamati dengan seksama, maka akan ditemukan makna yang tersirat daripada bentuk gerakannya. Makna demikian adalah cerminan dari watak dan karakter masyarakat Koto Anau, juga berisikan ajaran yang sejalan dengan adat salingka nagari Koto Anau.
Adalah Yahya Rasyid Malin Marendah, 72 tahun, pewaris terakhir Tari Mancak dan semua produk kebudayaan ini. Pak Yahya telah lebih dari 50 tahun melakoni kehidupan sebagai seniman tradisi tanpa henti, yaitu mulai dari usia muda belia sampai saat sekarang. Beliau pernah mewakili Sumatera Barat pada Festival Tari Rakyat di Jakarta, juga melatih Tari Piring untuk 350 orang anak pada acara penutupan MTQ ke XIII Tingkat Nasional di Kota Padang. Mungkin, mengingat pengabdiannya yang tiada henti dalam memelihara produk kebudayaan di Koto Anau, sepantasnya pemerintah menganugerahkan tanda jasa kebudayaan kepada beliau.
Berhadapan dengan Pak Yahya, akan terlihat sebuah kesahajaan. Sosok manusia arif yang telah banyak menggeluti asam garam kehidupan, terlebih dalam membina kehidupan seni tradisi daerahnya.
Koto Anau saat ini masih berada di sana, di kaki Gunung Talang yang terlihat semakin kokoh. Memahami Koto Anau adalah memahami budaya Koto Anau. Mulai dari mengenal keadaan daerahnya, keadaan masyarakatnya, sistem sosialnya, adat istiadatnya, sistem kepercayaan, dan keseniannya. Pemahaman demikian lazim didapat melalui pendekatan antropologi ataupun sosiologi, dan metode yang sesuai untuk memahami budaya Koto Anau tersebut adalah melalui participant observer. Artinya, Nagari Koto Anau adalah sumber ilmu. Ilmu untuk menjadikan kita paham untuk apa kita hidup di atas dunia ini.*
Bukittinggi, 25 Maret 2008