Catatan Pementasan “Tangga” Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang
OLEH NASRUL AZWAR
Pada Pentas Seni II Tahun 2002 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatra Barat, Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand hadir dengan pertunjukan berjudul “Jenjang”, karya dan sutradara Prel T.
Saat itu, Prel T mengatakan, “Jenjang” digarap dengan konsep eksperimen yang difokuskan adalah teknik estetis pertunjukan. Seluruh pengadegan didominasi oleh konsep fungsional. Pembentukan set di samping bersifat statis, juga dinamis. Maka dengan sendirinya set dibentuk melalui pembentukan adegan. Sentral performance adalah ruang (bukan bidang). Seluruhnya memanfaatkan sejumlah jenjang (dalam berbagai ukuran) sebagai properti utama.
Pertunjukan Teater Eksperimental KPDTI itu telah lewat 5 tahun lalu. Saat itu, saya mencatat, pertunjukan “Jenjang” berhasil dalam konsep eksperimental, tapi gagap dalam penyampaian isi dan pemeranan. Sehingga yang terlihat di atas panggung adalah seperti seorang khatib menyampaikan kutbahnya. Idealnya sebuah pertunjukan teater, tentu, keduanya—konsep garapan dan pemeranan—sebuah yang inheren dan terintegrasi. Keduanya mesti sama-sama diperjuangkan.
Pekan terakhir Juli lalu, 21 Juli dan 27 Juli 2007 di Kota Padang Panjang dan Padang, publik teater disuguhkan dengan pertunjukan teater yang juga eksperimentatif dalam garapannya, yakni pertunjukan teater berjudul “Tangga” yang dipentaskan oleh Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang, sutradara Yusril.
Dari informasi yang diperoleh, “Tangga” bersumber dari dua karya dari penulis yang berbeda, yaitu puisi “Tangga” karya penyair Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T. Inti dari cerita seputar sistem kekuasaan di Minangkabau yang bersumber dari ideologi Datuk Katumanggungan (Koto Piliang) yang lebih cenderung feodalistik dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Bodi Caniago) yang mengarah demokratis dan egaliter. Kedua ideologi itu tidak dimaknai dikotomis oleh masyarakat Minangkabau, tapi lebih pada tataran sinergitas.
Pementasan “Tangga” mengesankan kehendak untuk menyampaikan hal demikian. Maka, muncullah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokoh-tokoh di atas pentas, seperti bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), duduak sahamparan, tagak sapamatang (duduk sehamparan dan berdiri sepematang), indak kayu janjang dikapiang (tiada kayu jenjang dikeping) lah jatuah diimpik janjang (sudah jatuh tertimpa tangga), dan lain sebagainya yang merupakan idiom-idiom sosial yang sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau.
Malam itu “Tangga” dibangun menjadi situs atau lokasi dalam sebuah ruang yang dikonstruksi secara sosial dengan simbolisasi yang relevansinya kadang lepas. Tokoh-tokoh yang niridentitas diberi beban yang cukup rumit dan rijit untuk memanifestasikan makna-makna simbolik dalam sebuah ruang yang sarat dengan kehendak, keinginan, dan juga ambisi, yang akhirnya semua tak terkendali dan tak fokus. Pementasan “Tangga”, malam itu, 27 Juli 2007 di Taman Budaya Sumatra Barat, seperti kehilangan konsentrasinya dan melupakan basis yang sebenarnya telah jadi kekuatan Komunitas Hitam-Putih selama ini, yakni eksploratif dan semiotif visual. Dan saya membandingkan ini dengan pertunjukan sebelumnya, yaitu “Menunggu” dan “Pintu”, sekadar menyebut contoh saja.
Praktik-praktik pemaknaan atau aktivitas penciptaan makna yang selama ini demikian kaya hadir dalam setiap garapan Komunitas Seni Hitam-Putih, seolah tak saya jumpai lagi di “Tangga”. “Tangga” seperti sebuah antiklimaks perjalanan teater kelompok ini. Dalam catatan saya, dan ini bisa diperdebatkan kembali, bahwa Komunitas Seni Hitam-Putih terasa kurang pas bermain dalam tema-tema yang terkait dengan tradisi kultur Minangkabau, dan mereka sepertinya mesti belajar lebih banyak terkait dengan Minangkabau.
Namun demikian, selama ini, sesungguhnya, kelompok ini telah menemukan bentuknya dalam ranah eksploratif dengan tema kontemporer yang universal, dan isu-isu posmodern. Dan gaya ini sesungguhnya telah terbangun sejak berdirinya kelompok ini tahun 1996.
Sepanjang hampir satu jam pertunjukan “Tangga” dengan penjejalan tubuh-tubuh aktor, yang katanya fungsional sebagai properti pentas dan fungsionalisasi propereti tangga (yang jumlah sama banyak dengan aktor, yaitu 8 (delapan), tentu memberi warna lain dalam perkembangan teater di Sumatra Barat. Paling tidak, konsepsi garapan dan bentuk pemanggungan, bagi saya memang berbeda dengan kelompok-kelompok teater lainnya. Kekuatan estetik dengan konsepsi yang membuka kemungkinan-kemungkinan tafsir di atas pentas, adalah kelebihan “Tangga”, tapi—seperti disebut sebelumnya—gagap dalam pemeranan.
Delapan buah tangga yang diusung masing-masing pemain, seperti videp klip yang menghadirkan penggalan-penggalan peristiwa: tangga kadang dikonstruksi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, bangunan penjara kekuasaan, alat penindas bagi penguasa, menara kekuasaan, pembatas kekuasaan, jembatan untuk berkuasa, beban kekuasaan, keranda mayat akibat kekuasaan, dan sebagainya.
Dengan mengenakan busana merah, depalan orang dan delapan jenjang, yang sukar diidentifikasi emosionalnya karena mamang ke delapan orang yang ada di pentas itu niridentitas: Mereka tak punya titik simpul dalam tataran sosial. Maka, hal itu tak mungkin dilakukan. Mengurai identitas delapan tokoh-tokoh itu sama saja dengan mereduksi dalam struktur sosial yang stabil. Mereka bukan berada dalam regularitas sosial dengan memakai pola-pola sosial yang mapan. Mereka adalah representasi sosial yang cenderung resistensif terhadap tatanan yang sosial.
Maka, semua dialog yang muncul di atas pentas, seperti sebuah bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian yang dimanifestasikan dalam beragam gerak dan konstruksi simbol-simbol. Simbol yang dibangun pun kadang bertolak belakang dengan ucapan tokoh. Kata-kata hanya merupakan teriakan di tengah galaunya sistem sosial dan kekuasaan.
Sehingga, content yang susungguhnya tak perlu lagi secara verbal disampaikan aktor, menjadi kehilangan maknanya. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari mulut aktor, menjadi artifisial. Kadang, dialog atau kalimat yang melompat itu, kontradiktif dengan bangunan “peristiwa” teater yang sedang berlangsung di atas pentas. Dalam tradisi Minangkabau, pepatah bajanjang naik batanggo tidak dimaknai secara verbal dan artifisial dengan melakukan gerak turun naik tangga, tetapi lebih kepada mekanisme dan regulasi dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Di “Tangga” aktor melakukan gerak turun naik tangga dengan sangat verbalistik.
Gerak, yang tampaknya banyak dikolaborasikan dengan koreografi, terlihat tak mampu mempertegas maknawi teks yang sastrawai itu. Tokoh-tokoh, karena demikian banyak beban “Tangga” yang ingin disampaikan, tampak lelah. Penggunaan bahasa dalam rentang satu jam itu, mengesankan seperti bukan berasal dari hubungan antarkata yang kompleks, dan bukan berangkat dari karakteristik tokoh-tokoh yang hakiki. Makna kata dan kalimat dialog tokoh-tokoh tidak menemukan relasional dan kontekstualnya. Ada yang lepas antara simbol yang dikontruksi dengan ucapan tokoh.
Maka, beberapa aspek yang sangat perlu didiskusikan lebih lanjut adalah persoalan aktor dan pemahaman naskah itu sendiri. Proses teater bukan semata menuju pada bentuk pertunjukan, tapi, teater juga terkait dengan sejauh mana pemahaman aktor dan juga elemen lain (musik, pencahayaan, dan juga penasihat spiritual Komunitas Seni Hitam-Putih) terhadap tema-tema yang digarap.
Pada “Tangga” saya menjumpai bagaimana aktor kurang demikian akrab dengan apa yang disebut dengan simbol-simbol dan kalimat-kalimat penuh filosofi yang dijadikan basis garapan Komunitas Seni Hitam Putih. Dan kasus serupa juga terjadi saat Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand mementaskan “Jenjang”, kendati untuk menghadirkan simbolisasi, memang lebih kaya Yusril.
Tapi, sisi yang menarik adalah pemanfaatan dan eksplorasi panggung yang dilakukan Yusril cukup inovatif: Pentas bisa saja hadir di dinding panggung dan samping panggung. Apa yang dikatakan dengan “meruang” tampak menemukan realitasnya. Gaya demikian tentu dimaknai sebagai suatu praktik pemaknaan yang melibatkan objek-objek (tangga dan ruang pentas) dalam kaitannya untuk membangun semiotika visual sebagai tanda kultural.
Selain itu pula, satu hal yang juga menarik, saya melihat pertunjukan ini sukses dari sisi penonton, lebih kurang 200-an penonton memenuhi Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, malam itu. Tapi, saya juga bertanya-tanya, apakah penonton nyaman menikmati pertunjukan itu? Semoga saja. ***