KODE-4

Showing posts with label SOSOK MINANG. Show all posts
Showing posts with label SOSOK MINANG. Show all posts

Tuesday, May 15, 2007

ADY ROSA

Jenderal Tato
Tato atau lukisan pada tubuh, belakangan ini makin menjadi mode. Bila semula tato merupakan bagian budaya ritual etnik tradisio-nal, kini berkembang menjadi bagian kebudayaan pop. Pada saat tato tradisional terancam punah, tato yang menjadi bagian kebudayaan pop semakin tertera di tubuh-tubuh manusia modern, semakin digandrungi.

Thursday, May 10, 2007

ARBY SAMAH

Kesetiaan Pematung Abstrak

Di usia lanjut gairah kesenimanannya masih tinggi. Tanggal 1 April 2002 ia akan genap 69 tahun, tetapi ia masih cekatan memainkan pahat dan palu di atas potongan kayu mahoni. Kata orang, karya patungnya bergaya abstrak.

Bila menyebut patung abstrak, orang lantas teringat Arby Samah. Kesetiaannya berkiprah, dan komitmen-nya terhadap gaya patungnya di tengah pasar seni yang semakin kompetitif, tak pernah luntur.

“Sekali abstrak tetap abstrak. Itulah eksistensi seorang Arby Samah,” ujarnya bangga, kepada Kompas, Jumat, 7 Desember 2001, malam.

Meski karyanya pernah dicaci-maki oleh kalangan seniman di tahun 1955-1957, yang waktu itu marak dengan aliran realisme-sosialis, Arby Samah tidak pa-tah arang. Ia bergeming walau Presiden Soekarno me-nyatakan tak suka patung abstrak, ketika membuka pameran seni rupa se-Indonesia. Arby tidak berpaling ke gaya yang lain.

“Meski dicaci-maki dan tak disukai Presiden, tekad saya sudah bulat; apa pun kendala akan dihadapi dan tetap setia dengan gaya abstrak, dan itu berlangsung sampai sekarang,” jelas seniman kelahiran Pandai-sikek, Sumatra Barat ini.

Pernah juga kemudian Arby mencoba-coba mena-warkan karyanya ke Presiden Soeharto, sekitar tahun 1997, yang didapatnya juga penolakan. Alasannya tetap sama, abstrak!

Menurut Arby, ia berkarya bukan untuk Presiden, tetapi ingin menunjukkan kepada publik pencinta kesenian di Tanah Air.

Kualitas dan kreativitas sosok Arby Samah seperti terwakili dalam karya-karyanya, yang sempat menjadi momentum tersendiri bagi perkembangan seni patung di Indonesia. Ia, ketika itu, terkenal sebagai “menara seni patung modern Indonesia”.

Ada yang menarik dan spesifik dari patung-patung karya Arby Samah ini. Dari judul-judul patungnya, seperti “Gadis Desa”, “Ibu dan Anak”, “Gadis Kota”, “Gadis dan Anak”, “Sejoli”, “Wanita Kupang”, “Gadis di Bukit Karang”, “Tetesan Bunda”, “Dua Gadis” dan “Mulanya Terjadi”, bisa ditebak betapa kaum perempuan mendapat tempat betul dalam karya-karyanya.

Apa karena ia punya lima anak perempuan, yang kini semua sudah sarjana dan memberinya lima orang cucu?

“Tidak, karena itu,” jawab Arby. “Tetapi lebih karena melihat dan menyelami kehidupan manusia, terutama perempuan, yang perannya sangat luar biasa, lebih-lebih setelah berumah tangga dan bahkan dalam bebe-rapa hal tidak tergantikan.”

Menurut alumnus INS Kayutanam dan ASRI Yog-yakarta ini, pemahamannya terhadap perempuan, se-cara simbolik dan filosofis bisa dicermati dari karya-karyanya yang terkesan lembut, tidak eksotik. Dalam karya-karya Arby, perempuan lebih dominan dimaknai sebagai subyek daripada obyek.

Arby menyebutkan, patung karyanya merupakan perpaduan hati nurani, imajinasi, dan pikiran.

“Saya mempunyai keyakinan, bahwa seorang seni-man itu harus mempunyai imajinasi dan daya visuali-sasi yang kuat. Kemudian hal ini dipadukan dengan hati nurani dan pikiran, sehingga melahirkan karya yang sarat makna dalam berbagai dimensi,” ung-kapnya.

Sewaktu semua temannya asyik dalam suasana seni realisme, justru Arby adalah semangatnya untuk memulai sesuatu yang “baru”. Ia menyadari, pilihan-nya terhadap gaya yang abstrak, yang “baru” itu mengandung risiko tidak disenangi orang, karena agak sulit dimengerti, sulit dijual, dan sebagainya. Namun, tekadnya bulat.

Semangatnya semakin menggebu-gebu, ketika ada yang menawari untuk berpameran tunggal dan ber-sama. Tahun 2001, ia sudah tiga kali berpameran, yakni di Galeri Lontar, Jakarta (11-31 Agustus), di Duta Fine Art Foundation, Kemang, Jakarta (6-30 Sep-tember), dan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (20 November-4 Desember). Tahun 2002 ia akan berpa-meran tunggal lagi di Duta Fine Art Foundation.

Menurut dia, sambutan publik sudah agak berubah. Cita rasa masyarakat terhadap gaya patung-patung Arby Samah sudah jauh bergerak ke depan meninggalkan konvensi-konvensi yang sudah mapan.

“Jika dulu patung-patung saya dianggap menara seni patung modern Indonesia, sekarang menara itu tidak terlalu tinggi lagi, karena ada menara-menara baru yang dibangun orang lain. Satu hal yang meng-gembirakan, seniman patung yang dulunya berse-berangan dengan saya karena beraliran sosialis-realisme, kini sudah cenderung pula bergaya abstrak,” tambah Arby Samah.

Karya-karya patungnya kini menjadi incaran dan banyak dikoleksi oleh berbagai instansi, museum, mau pun perseorangan. Bahkan, Bung Karno yang pada mu-lanya terus terang menyatakan tak suka patung abstrak, diam-diam mengoleksi salah satu patung karyanya.

Kekuatan karya Arby Samah yang mantan Kepala Bidang Kesenian di Kanwil Depdikbud Sumatra Barat (1971-1989) dan mantan Kepala SMSR Negeri Padang (1989-1993), menurut seniman dan budayawan Wisran Hadi, bukan terletak pada konsepsi keindahan yang serba tematis, halus sampai mendetail. Akan te-tapi, pada gagasan, ide, ekspresi, pengolahan bentuk-bentuk, atau keliaran-keliaran garis pada pahatnya. Arby sudah menghasilkan sekitar 200 buah patung.

“Kini masih banyak patung yang belum terealisasi. Ide dan gagasan sudah saya tuangkan dalam bentuk sket-sket di kertas, tinggal memindahkan ke bahan kayu (mahoni atau cempedak),” jelas suami Hj Murtina Arby ini.

Arby Samah yang lengkapnya bernama H Arby Samah Datuk Majo Indo, selama ini lebih dikenal seba-gai pematung daripada pelukis. Padahal, kegiatan me-matung dan melukis, sedari dulu sampai sekarang te-tap berjalan beriring.

Ketika belajar di Yogya, Arby mendapat ilmu melukis dan sketsa dari Hendra Gunawan. Ia pernah menjadi pelukis jalanan di Malioboro dan Stasiun Tugu. Ma-nusia yang sibuk lalu lalang, serta orang-orang yang sedang bekerja mengganti api batu bara lokomotif, waktu itu, adalah obyek yang paling banyak diker-jakannya. Karya-karyanya terhitung realis pada waktu itu, disenangi dan dipuji oleh Hendra, Sudarso, Widayat, dan Trubus. Keempatnya kelak dianggap sebagai tokoh-tokoh seni Indonesia.

Sebelum belajar ke ASRI Yogya tahun 1953, tahun 1948-1950 ia ikut angkat senjata sebagai tentara pe-lajar, divisi INS Kayu Tanam. Belakangan ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia di Solok Selatan.

Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1950, Arby menjadi guru sekolah agama di Padangpanjang dan Bukittinggi. Ia juga bekerja sebagai tenaga sukarela pada Gedung Kebudayaan Sumatra Tengah di Padang-panjang. Antara tahun 1960-1993 sejumlah pekerjaan ia jalani, antara lain menjadi pegawai pada Museum Angkatan Darat di Yogyakarta, pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan di Jakarta.

Kemudian, Arby balik ke Sumatra Barat sebagai Kepala Bidang Kesenian Kanwil Dikbud Sumatra Barat, terakhir menjadi Kepala SMSR Padang. Setelah men-jalani masa pensiun tahun 1993, Arby kembali aktif berpameran patung dan lukis. Rumahnya di Padang pun dijadikan galeri.*

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Senin, 10 Desember 2001

Wednesday, May 9, 2007

SAWIR SUTAN MUDO

Seniman Tradisi yang Langka

Pantun Lawang’ parak tabu ciek,” seseorang berteriak sembari melempar uang kertas Rp 20.000. Lalu sipendendang mengalunkan syair yang isinya: ...kok takuik masuak kilangan, jaanlah rueh dipapanjang... Tabu di situ adalah simbol nasib manusia.

Tak lama kemudian, peserta bagurau dengan kese-nian tradisi saluang jo dendang di rumah dinas Guber-nur Sumatra Barat Zainal Bakar, minggu pertama November 2000, kembali meminta pantun lain. Suasana bagurau pun menjadi hangat.

Begitulah. Dari banyak kesenian tradisi di Minang-kabau, yang tetap eksis dan bisa mandiri adalah ke-senian saluang jo dendang. Hampir setiap pesta per-nikahan, baik di kota atau di desa, pada acara malam bagurau, malam begadangnya, ditampilkan kesenian saluang jo dendang.

Bagurau dengan saluang jo dendang tidak hanya pada acara pernikahan, tetapi juga pada acara sunatan, “Alek Nagari” (acara menghimpun dana untuk pem-bangunan di kampung), Lebaran, batagak panghulu (pe-ngukuhan gelar adat/kaum) serta pada acara bagurau lamak (dengan kalangan pendengar terbatas, 10-15 orang).

Bagi masyarakat luar etnis Minangkabau, saluang jo dendang tentu masih tanda tanya atau masih dipa-hami setengah-setengah. Apa dan bagaimana saluang jo dendang itu?

Menurut Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat, Edy Utama, agak sukar mendefenisikannya. Namun, gam-baran yang bisa diketengahkan begini: saluang dengan dendang adalah kesenian tradisi yang memadukan ke-lihaian pendendang dengan pemain instrumen musik saluang-suling tanpa block, terbuat dari buluh/talang, panjang satu ruas atau sekitar 63 cm, bagian ujung dan pangkal bolong, tetapi bagian bawah terdapat lubang pengatur nada sebanyak empat buah, setiap lu-bang berjarak sebesar diameter buluh.

Pendendang jangan dikira membawakan lagu-lagu seperti yang ngetop saat ini. Yang didendangkan adalah pantun-pantun yang kaya dengan kiasan-kiasan, sindiran-sindiran dan filosofi hidup. Pantun-pantun yang terlahir dengan cerdas dari pendendang yang me-nguasai suasana, tempat dan orang-orang lingkungan di mana ia tampil pada “Malam Bagurau” tersebut.

Tak jarang, pantun-pantun yang didendangkan itu dipesan sesuai selera penikmat (audiens). Biasanya, dalam tradisi bagurau dengan saluang dengan den-dang itu setiap pemesan pantun harus membayar.

Jadi, ada transaksi pantun-pantun. Pendendang ha-rus bisa memenuhi keinginan orang banyak. Kalau tak bisa, lazimnya, disuruh turun panggung dan tang-gunglah malu. Dengan begini, suasana bagurau betul-betul hidup, terjadi saling sindir atau bernostalgia lewat pantun-pantun pesanan tadi. Sorak-sorai bagai.

“Nada dasar yang dominan dalam saluang dengan dendang adalah ratok, nada-nada yang meratap. Bila pendendang bercerita soal nasib manusia, maka nasib manusia itu disimbolkan pada sesuatu dengan cerdas lewat pantun-pantun. Umumnya pendendang mewakili masyarakat marjinal,” ungkap Edy Utama, yang juga peneliti musik tradisi Minang.

Jadi, dalam kesenian saluang dengan dendang, yang sangat berperan sekali adalah pendendang. Dari hitungan jari sebelah tangan pendendang lelaki yang kini masih eksis, hanya ada seorang pendendang yang punya pasar kuat dan terkenal di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat, bahkan di mancanegara, yakni Syawir Sutan Mudo.

Syawir Sutan Mudo (58), mengaku tidak dengan serta merta menjadi terkenal. Penuh lika-liku dan perjuangan. Bermula dari anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Kotokaciak, Kabupaten Agam, pada usia 15 tahun. Saat itu, tugas yang diem-bannya adalah sebagai pendendang.

Tahun 1951, karena tuntutan hidup, ia merantau ke Palembang, Sumatra Selatan. Di rantau, di samping menggalas buah-buahan di kaki lima ia tetap mengem-bangkan kesenian tradisi. “Saya menyintai kesenian tradisi randai dan saluang jo dendang, karena pantun-pantun atau syair-syair dalam kesenian itu sangat me-narik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu saya tertantang untuk membuat pantun-pantun yang bisa membuat penikmat kesenian tradisi itu puas dan terkesan,” kata Syawir.

Sebagai pendendang, Syawir belajar dari penga-laman, belajar dari alam: alam takambang jadi guru. Seorang pendendang, menurut dia, harus kaya bahan, kalau tidak tak akan diterima masyarakat. Dari pantun-pantun itu, ada yang berisi nasihat, perasaan hidup, dan asmara muda-mudi. “Saking tersentuhnya pera-saan para penikmat seni tradisi itu, sering orang me-nangis spontan karenanya. Itu salah satu kelebihan Syawir. Ia secara spontan mampu mengembangkan im-provisasi dalam pantun. Pada sampiran dari pantun, ia selalu bisa mengolah dari lingkungan tempat ia ber-main (orang, tempat),” kata Yusrizal KW, pengamat seni dan Ketua Yayasan Citra Budaya Indonesia, menilai.

Makanya jangan heran, saking cerdasnya pantun-pantun yang dibuat Syawir ini, baris-baris pantunnya sering diambil untuk inspirasi dan judul-judul lagu-lagu pop Minang dewasa ini. Bahkan ratusan pantun yang ia ciptakan kini sudah menjadi dendang-den-dang tradisi, seperti antara lain “Suntiang Patah Ba-tikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, dan “Talempong Anam Koto”. Awal-awal ka-rirnya sebagai pendendang, tahun 1970-an, Syawir mengaku hanya dibayar Rp 15.000 semalam (tampil sekitar tujuh-delapan jam). Kini, ia sudah dibayar sampai Rp 500.000 bahkan lebih untuk tampil satu malam (biasanya mulai tampil pukul 21.00 dan selesai pukul 04.00 non-stop). Sebagai pendendang yang profesional dan sudah sangat terkenal sejak 30 tahun terakhir, acara Syawir relatif padat. Hampir di tiap kampung ia punya relasi, punya jaringan sendiri, yang menjadi semacam peng-gerak untuk menampilkan ia kembali. Sukses sebagai pendendang sudah diraih sejak tahun 1970-an. Tercatat, antara lain tahun 1972, ia memulai rekaman lewat piringan hitam (dua buah) dan sejak tahun 1972 rekaman di pita kaset. “Sampai se-karang sudah lebih 100 kaset rekaman saluang dengan dendang yang beredar luas dan dikoleksi masyarakat Minang di kampung dan perantauan, juga dikoleksi sejumlah peneliti,” katanya.

Pernah empat kali juara pertama festival saluang de-ngan dendang, dan juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang. Menurut Syawir, dasar penciptaan pantun-pantun-nya adalah penampilan yang harus mantap, pemikiran luas, mental kuat, dan banyak menyusuri kehidupan orang lain. “Dalam berpantun, yang penting isi, sampiran bisa bebas,” tukasnya.

Sedang resep untuk memelihara kualitas vokal adalah berpantang makan ketan, minum kopi, dan ma-kan jengkol. Banyak minum air putih (panas). Dan po-sisi duduk pendendang harus bersila. Tahun 1999 lalu, Syawir seakan memulai debut baru. Selain rekaman dalam bentuk video compact disc (VCD) yang dikerjakan dan diproduksi orang Jerman dengan hasil laku keras di Jerman, ia sempat tampil di sejumlah kota di Jerman. Maret 2001, ia bersama Kelompok Talago Buni diundang tampil di Perancis. “Kekayaan yang saya miliki sekarang adalah pergaulan dan perjalanan,” ujarnya. *

SUMBER (Yurnaldi) Kompas, Sabtu, 13 November 2000

NINA RIANTI


Berdendang Memperkaya Tari
Tiba-tiba, siang itu, suasana di kantor Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Provinsi Sumatra Barat, yang semula agak hiruk pikuk, maklum ada puluhan pegawai dan sejumlah wartawan di ruangan itu-hening. Ada alunan dendang yang se-akan-akan menghipnotis pendengarnya. Tidak lama kemudian, suasana hati kita seperti disayat-sayat. Bulu kuduk pun bergidik. Aura suaranya menggetar-kan dada, menyentuh relung hati.
Di sebuah pojok, seorang perempuan tampak tengah melantunkan secara spontan dendang-dendang berbahasa (pantun) Minang. Dendang itu dipersiapkan untuk ilustrasi gambar, memperkuat pesan dari suasana atau gambar yang akan direkam, untuk kepentingan promosi daerah Sumatra Barat.

ABDUL KADIR USMAN

“Gila” Kamus Minangkabau
Sudah lihat kamus yang disusun oleh ’orang gila’? Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia yang disusun Haji Abdul Kadir Usman Datuk Yang Dipatuan? Kerja yang luar biasa, sebuah prestasi yang membanggakan kita!” kata sastrawan dan budayawan AA Navis, menjelang akhir hayatnya.
Baru kali ini ada kamus bahasa Minangkabau yang entrinya luar biasa banyak. Kalau tidak karena “kegilaannya”, tak akan pernah terwujud kamus setebal 571 + x halaman tersebut.

ALI AKBAR NAVIS


Masih “Berjalan di Sepanjang Jalan”
Malam itu, Ali Akbar Navis atau lebih dikenal AA Navis, asyik bercerita dengan Yusrizal KW, salah seorang penulis cerita pendek garda depan Sumatra Barat. Navis memuji imajinasi cerpen Yusrizal KW “Tiga Biji Korma Per Kepala”, yang dimuat Kompas, Minggu, 12 Desember 1999.