Oleh Nasrul Azwar
Persoalan menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP No 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, hingga kini masih berlangsung. Jika dihitung, PP 84/1999 yang dinilai sarat dengan rekayasa itu, kini telah berusia 8 tahun. Tapi, ujung dari drama “hukum” ini belum tampak ke arah mana cerita diakhiri.
Jika diamati lebih saksama, persoalan PP 84/1999 selalu “menghangat” lagi setiap habis Lebaran: saat tokoh-tokoh yang selama ini berada di perantauan (atau yang merasa tokoh di tengah masyarakat) yang berasal dari Agam, Bukittinggi, atau Sumatra Barat secara umum, pulang kampung berlebaran. Momen Lebaran biasanya diikuti dengan “pertemuan”, “silaturahmi”, “halalbilhalal”, serta bentuk lainnya. Saat itulah, kerap muncul pernyataan seputar soal PP 84/1999, dan diikuti dengan polemik pro-kontra. Semua itu dapat disimak di media massa.
Namun kini, tren mengeluarkan pernyataan oleh “tokoh-tokoh” itu tidak lagi seputar PP 84/1999, telah ditukar dengan wacana pemekaran Kabupaten Agam, yakni dengan mendirikan kabupaten baru dengan nama Kabupeten Agam Timur (Agamtuo), walau kadang dikaitkan juga dengan pro-kontra PP 84/1999.
Gagasan pemekaran itu—seperti biasanya perangai tidak populer politisi lokal— selalu pula disangkutkan kepada keinginan dan aspirasi masyarakat, percepatan pembangunan, memudahkan urusan dan pelayanan masyarakat, dan ini yang unik, pemekaran dianggap sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan PP 84/1999.
Seminggu setelah Lebaran tahun ini, gagasan pemekaran Agam menghiasi halaman-halaman surat kabar yang terbit di Padang. Setiap hari tertulis pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh dan lembaga yang selama ini menyuarakan penolakan terhadap PP 84/1999, misal DPRD Agam. Seperti biasanya, sambil bersilaturahmi ke wakil rakyat ini, segerombolan orang-orang dengan mengatasnamakan masyarakat, menyatakan telah menyampaikan ke DPRD Agam aspirasi rakyat untuk pemekaran dan lain sebagai. Dan ucapan mereka dikutip oleh wartawan yang berpos di gedung DPRD itu. Maka, masukan koranlah tokoh-tokoh itu Kondisi ini sama juga terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tapi kini isunya dialihkan ke pemekaran: tampaknya isu pemekaran memang sedang naik daun di negeri ini.
Lahirnya keinginan untuk memekarkan Kabupaten Agam, memang bukan kemauan yang dimunculkan kemarin sore. Ia lahir hampir berbarengan dengan keluarnya PP No 84/1999 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada tanggal 7 Oktober 1999.
Dalam “sejarahnya”, gagasan pemekaran Agam ini disuarakan Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo sebulan sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana pemekaran itu “dideklarasikan” dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut pada tanggal 22 September 1999. Tokoh-tokoh nagari yang berada di Agam Timur, ketika itu berpendapat, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam.
Munculnya PP 84/1999—tak beberapa lama setelah wacana pemekaran bergulir—gagasan pemekaran seperti mati pucuk. Tenggelam karena kontroversi pro-kontra PP 84/1999. Selain itu, jika PP 84/1999 direalisasikan, maka gagasan pemekaran Agam tak ada gunanya lagi. Sebab, dalam PP 84/1999, wilayah yang masuk dalam tapal batas sebagian besar adalah nagari-nagari yang akan dijadikan kabupaten Agamtuo itu. Dalam PP 84/1999, nagari-nagari itulah yang “diambil” Kota Bukittinggi, yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah-Banuhampu, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang. Kini, isu itu tampaknya mendapat nyawa baru lagi. Akibatnya, hiruk pikuklah mereka menyuarakan pemekaran.
Membaca konstelasi politik yang berkembang di tingkat lokal Agam-Bukittinggi, dengan isu pemekaran, membatalkan PP 84/1999 menjadi sangat penting dan signifikans. Dan ini kayaknya dimanfaatkan secara baik para politisi lokal dengan target tertentu, tentunya.
Sementara, melihat respons masyarakat di tingkat akar rumput, untuk mendirikan kabupaten baru, bagi mereka bukan cerita yang mengasyikkan. Toh, hadirnya kabupaten baru belum menjamin terangkat derajat kehidupannya. Malah, akan membuat kandang-kandang baru pejabat negara untuk mengorupsi uang rakyat.
Dari tahun ke tahun, sejak PP 84/1999 disahkan sebagai produk hukum formal, yang juga memunculkan sederet ekses yang mengikutinya, permasalahannya bukan sekadar PP itu lagi, tapi telah bakisa ke masalah politik. Ia sudah menjadi konsumsi para elit politik lokal. Politisi pusat yang selama ini hanya pulang kampung saat Lebaran, memanfaatkan sentimen primordial, dan rasa kenagarian sebagai bahan untuk “dilemparkan” ke tengah publik dan ranah politik. Ia seolah representasi kepentingan masyarakat luas. Namun sesungguhnya, ia punya target politik untuk pemilihan umum selanjutnya.
Dari itu pula, bagi saya, membuang isu-isu ke tengah masyarakat dengan klaim sebagai aspirasi dan kepentingan kesejahteraan masyarakat, misalnya, tentang pemekaran Agam itu, jika itu berasal dari mulut seorang politisi, anggap saja sebagai omong kosong: Kita masukkan saja dalam tong sampah yang ada di depan halaman rumah kita.
Dalam kondisi negeri yang masih mencoba merangkak untuk memulihkan nasib mereka akibat bencana alam gempa bumi, mengapungkan keinginan untuk memekarkan Agam, saya kurang bijak. Kurang tepat. Dan tidak perlu. Karena problem utama masyarakat dan nagari-nagari yang berada Agam Timur, bukan pemekaran. Pemulihan ekonomi, kesejahteraan yang rendah, dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di nagari-nagari Agam Timur, adalah persoalan yang sesungguhnya mesti dicarikan solusinya.
Angka kemiskinan diperkirakan naik drastis pascagempa bumi yang meluluhlantakkan beberapa nagari di Agam Timur pada Maret 2007 lalu. Angka anak putus sekolah akibat kemiskinan juga menjadi problem utama dihadapi hampir setiap nagari di Agam Timur. Rendahnya asupan gizi bagi balita juga jadi soal yang tidak bisa dibiarkan. Tingginya angka kriminal juga menjadi masalah hampir setiap nagari. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia mengelola nagari, juga jadi soal yang sangat signifikans.
Fakta menunjukkan, rata-rata nagari-nagari di Agam Timur (juga termasuk nagari-nagari yang ada di Sumatra Barat) tak mampu secara mandiri menghidupi roda pemerintahannya. Semua tergantung pada alokasi dana dari pemerintah. Semua aktivitas nyaris berharap dari dana pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan, kurangnya sumber daya manusia yang lebih dinamis dan kreatif, nagari-nagari di Sumatra Barat seperti kehilangan gairah: tampak mati suri. Yang hadir mengisi nagari-nagari itu orang-orang tua yang telah berusia lebih 60 tahun. Dan perhatikan agak serius, semua persoalan demikian itu dihadapi nagari-nagari di Agam Timur. Ini permasalahan yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.
Persoalan PP 84/1999 biarkan saja seperti itu. PP 84/1999 tidak akan mengubah nagari-nagari di sekitar itu menjadi hebat dan maju. Demikian juga dengan pemekaran Agam, juga tak ada kepastian dengan hadirnya Kabupaten Agamtuo, nagari-nagari yang masuk ke dalamnya akan menjelma sebagai nagari yang mandiri, kuat, dan masyarakatnya sejahtera.
Tanpa PP 84/1999 dan pemekaran Agam, anak nagari akan tetap seperti itu, karena bukan kedua hal itu yang akan mengubah nagari menjadi maju, tapi kemauan secara tulus anak-anak nagari bersangkutan membangun kampung halamannya. Sumber daya manusia yang cerdas, terlatih, terampil, dan punya jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga lain yang bisa mengembangkan kampung halamannya, untuk satu nagari saja, mereka bertebaran di setiap pelosok negeri ini. Jika mereka rela mengalokasikan waktunya 1 jam dalam sehari untuk kampung halamannya, pastilah nagari di Minangkabau tidak seperti sekarang ini kondisinya: hidup enggan, mati tak mau.***