KODE-4

Tuesday, November 6, 2007

Pemekaran Agam dan Problem Nagari

Oleh Nasrul Azwar


Persoalan menolak atau menerima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP No 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, hingga kini masih berlangsung. Jika dihitung, PP 84/1999 yang dinilai sarat dengan rekayasa itu, kini telah berusia 8 tahun. Tapi, ujung dari drama “hukum” ini belum tampak ke arah mana cerita diakhiri.

Jika diamati lebih saksama, persoalan PP 84/1999 selalu “menghangat” lagi setiap habis Lebaran: saat tokoh-tokoh yang selama ini berada di perantauan (atau yang merasa tokoh di tengah masyarakat) yang berasal dari Agam, Bukittinggi, atau Sumatra Barat secara umum, pulang kampung berlebaran. Momen Lebaran biasanya diikuti dengan “pertemuan”, “silaturahmi”, “halalbilhalal”, serta bentuk lainnya. Saat itulah, kerap muncul pernyataan seputar soal PP 84/1999, dan diikuti dengan polemik pro-kontra. Semua itu dapat disimak di media massa.

Namun kini, tren mengeluarkan pernyataan oleh “tokoh-tokoh” itu tidak lagi seputar PP 84/1999, telah ditukar dengan wacana pemekaran Kabupaten Agam, yakni dengan mendirikan kabupaten baru dengan nama Kabupeten Agam Timur (Agamtuo), walau kadang dikaitkan juga dengan pro-kontra PP 84/1999.

Gagasan pemekaran itu—seperti biasanya perangai tidak populer politisi lokal— selalu pula disangkutkan kepada keinginan dan aspirasi masyarakat, percepatan pembangunan, memudahkan urusan dan pelayanan masyarakat, dan ini yang unik, pemekaran dianggap sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan PP 84/1999.

Seminggu setelah Lebaran tahun ini, gagasan pemekaran Agam menghiasi halaman-halaman surat kabar yang terbit di Padang. Setiap hari tertulis pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh dan lembaga yang selama ini menyuarakan penolakan terhadap PP 84/1999, misal DPRD Agam. Seperti biasanya, sambil bersilaturahmi ke wakil rakyat ini, segerombolan orang-orang dengan mengatasnamakan masyarakat, menyatakan telah menyampaikan ke DPRD Agam aspirasi rakyat untuk pemekaran dan lain sebagai. Dan ucapan mereka dikutip oleh wartawan yang berpos di gedung DPRD itu. Maka, masukan koranlah tokoh-tokoh itu Kondisi ini sama juga terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tapi kini isunya dialihkan ke pemekaran: tampaknya isu pemekaran memang sedang naik daun di negeri ini.

Lahirnya keinginan untuk memekarkan Kabupaten Agam, memang bukan kemauan yang dimunculkan kemarin sore. Ia lahir hampir berbarengan dengan keluarnya PP No 84/1999 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada tanggal 7 Oktober 1999.

Dalam “sejarahnya”, gagasan pemekaran Agam ini disuarakan Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo sebulan sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana pemekaran itu “dideklarasikan” dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut pada tanggal 22 September 1999. Tokoh-tokoh nagari yang berada di Agam Timur, ketika itu berpendapat, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam.

Munculnya PP 84/1999—tak beberapa lama setelah wacana pemekaran bergulir—gagasan pemekaran seperti mati pucuk. Tenggelam karena kontroversi pro-kontra PP 84/1999. Selain itu, jika PP 84/1999 direalisasikan, maka gagasan pemekaran Agam tak ada gunanya lagi. Sebab, dalam PP 84/1999, wilayah yang masuk dalam tapal batas sebagian besar adalah nagari-nagari yang akan dijadikan kabupaten Agamtuo itu. Dalam PP 84/1999, nagari-nagari itulah yang “diambil” Kota Bukittinggi, yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah-Banuhampu, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang. Kini, isu itu tampaknya mendapat nyawa baru lagi. Akibatnya, hiruk pikuklah mereka menyuarakan pemekaran.

Membaca konstelasi politik yang berkembang di tingkat lokal Agam-Bukittinggi, dengan isu pemekaran, membatalkan PP 84/1999 menjadi sangat penting dan signifikans. Dan ini kayaknya dimanfaatkan secara baik para politisi lokal dengan target tertentu, tentunya.

Sementara, melihat respons masyarakat di tingkat akar rumput, untuk mendirikan kabupaten baru, bagi mereka bukan cerita yang mengasyikkan. Toh, hadirnya kabupaten baru belum menjamin terangkat derajat kehidupannya. Malah, akan membuat kandang-kandang baru pejabat negara untuk mengorupsi uang rakyat.

Dari tahun ke tahun, sejak PP 84/1999 disahkan sebagai produk hukum formal, yang juga memunculkan sederet ekses yang mengikutinya, permasalahannya bukan sekadar PP itu lagi, tapi telah bakisa ke masalah politik. Ia sudah menjadi konsumsi para elit politik lokal. Politisi pusat yang selama ini hanya pulang kampung saat Lebaran, memanfaatkan sentimen primordial, dan rasa kenagarian sebagai bahan untuk “dilemparkan” ke tengah publik dan ranah politik. Ia seolah representasi kepentingan masyarakat luas. Namun sesungguhnya, ia punya target politik untuk pemilihan umum selanjutnya.

Dari itu pula, bagi saya, membuang isu-isu ke tengah masyarakat dengan klaim sebagai aspirasi dan kepentingan kesejahteraan masyarakat, misalnya, tentang pemekaran Agam itu, jika itu berasal dari mulut seorang politisi, anggap saja sebagai omong kosong: Kita masukkan saja dalam tong sampah yang ada di depan halaman rumah kita.

Dalam kondisi negeri yang masih mencoba merangkak untuk memulihkan nasib mereka akibat bencana alam gempa bumi, mengapungkan keinginan untuk memekarkan Agam, saya kurang bijak. Kurang tepat. Dan tidak perlu. Karena problem utama masyarakat dan nagari-nagari yang berada Agam Timur, bukan pemekaran. Pemulihan ekonomi, kesejahteraan yang rendah, dan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di nagari-nagari Agam Timur, adalah persoalan yang sesungguhnya mesti dicarikan solusinya.

Angka kemiskinan diperkirakan naik drastis pascagempa bumi yang meluluhlantakkan beberapa nagari di Agam Timur pada Maret 2007 lalu. Angka anak putus sekolah akibat kemiskinan juga menjadi problem utama dihadapi hampir setiap nagari di Agam Timur. Rendahnya asupan gizi bagi balita juga jadi soal yang tidak bisa dibiarkan. Tingginya angka kriminal juga menjadi masalah hampir setiap nagari. Rendahnya kemampuan sumber daya manusia mengelola nagari, juga jadi soal yang sangat signifikans.

Fakta menunjukkan, rata-rata nagari-nagari di Agam Timur (juga termasuk nagari-nagari yang ada di Sumatra Barat) tak mampu secara mandiri menghidupi roda pemerintahannya. Semua tergantung pada alokasi dana dari pemerintah. Semua aktivitas nyaris berharap dari dana pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan, kurangnya sumber daya manusia yang lebih dinamis dan kreatif, nagari-nagari di Sumatra Barat seperti kehilangan gairah: tampak mati suri. Yang hadir mengisi nagari-nagari itu orang-orang tua yang telah berusia lebih 60 tahun. Dan perhatikan agak serius, semua persoalan demikian itu dihadapi nagari-nagari di Agam Timur. Ini permasalahan yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.

Persoalan PP 84/1999 biarkan saja seperti itu. PP 84/1999 tidak akan mengubah nagari-nagari di sekitar itu menjadi hebat dan maju. Demikian juga dengan pemekaran Agam, juga tak ada kepastian dengan hadirnya Kabupaten Agamtuo, nagari-nagari yang masuk ke dalamnya akan menjelma sebagai nagari yang mandiri, kuat, dan masyarakatnya sejahtera.

Tanpa PP 84/1999 dan pemekaran Agam, anak nagari akan tetap seperti itu, karena bukan kedua hal itu yang akan mengubah nagari menjadi maju, tapi kemauan secara tulus anak-anak nagari bersangkutan membangun kampung halamannya. Sumber daya manusia yang cerdas, terlatih, terampil, dan punya jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga lain yang bisa mengembangkan kampung halamannya, untuk satu nagari saja, mereka bertebaran di setiap pelosok negeri ini. Jika mereka rela mengalokasikan waktunya 1 jam dalam sehari untuk kampung halamannya, pastilah nagari di Minangkabau tidak seperti sekarang ini kondisinya: hidup enggan, mati tak mau.***

Sebuah Cerita tentang Wakil Rakyat

Oleh Nasrul Azwar

Teman saya bercerita tentang kurenah salah seorang anggota DPRD yang berasal dari sebuah kabupaten di Sumatra Barat. Nama anggota wakil rakyat ini, sebut saja DR (HC) Sidi Ambin. Dia diuntungkan oleh sistem pemilu. Entah bagaimana logika hitungannya, Sidi Ambin tiba-tiba saja sudah duduk di kursi empuk DPRD dari Partai ESQ, sebut saja dulu demikian. Gelar yang melekat di namanya itu, yang tak boleh lupa menuliskannya, tak jelas riwayat dan sejarah peraihannya. Tiba-tiba saja ada.

Cerita teman saya itu begini. Seperti lembaga lainnya, anggota DPRD tentu memunyai wadah organisasi untuk berkumpul sesama anggota legislatif. Nama wadah itu Asosiasi Anggota DPRD Seluruh Indonesia (AADSI), sebut saja seperti. Hal yang sama juga dilakukan sesama gubernur, bupati, dan walikota se-Indonenesia. Untung saja presiden cuma satu di negeri ini, kalau lebih, tentu akan muncul pula asosiasinya.

Suatu kali, AADSI menggelar pertemuan di Kota Jayapura, Provinsi Tanah Papua. Semua anggota DPRD diharapkan hadir di kota ini. DR (HC) Sidi Ambin jauh-jauh hari telah menyiapkan keberangkatannya. Baginya, ini pertemuan akbar yang maha penting.

Seperti biasa, pihak sekretariat DPRD menyiapkan segala sesuatunya secara makisimal, termasuk tiket yang dipilih executive. Sebanyak 25 orang anggota dewan berangkat berbarengan dalam satu pesawat. Sepanjang hidung ditampuah angok, ini pertama kali DR (HC) Sidi Ambin naik persawat. Kalau bukan anggota legislatif, mungkin ia tak akan pernah naik patatabang.

Dengan kepercayaan diri yang penuh dan sedikit menegakkan kepala (maklum anggota legislatif), bersama rombongan, DR (HC) Sidi Ambin menelusuri koridor Bandar Udara Internasional Minangkabau. Dan terus masuk ke pintu pesawat. Hatinya gembira. Dia pilih kursi dekat jendela. Dihempaskan tubuhnya di kursi itu. Saat bersamaan, seorang pramugari mendekati DR ((HC) Sidi Ambin.

Pramugari itu berkata: “Bapak mesti pindah duduk, Pak. Bapak kan mestinya di executive?”

Langsung saja DR ((HC) Sidi Ambin menghardik, “Tidak! Tidak! Saya bukan executive. Saya legislatif!”

Tidak mengerti maksud penumpang yang satu ini, dengan kebijakannya sendiri, pramugari itu membiarkan saja DR ((HC) Sidi Ambin duduk di kursi yang dipilihnya itu.

DR ((HC) Sidi Ambin pun kembali melihat ke kiri-kanan, dan atas. Tampaknya, ia mengamati semua sudut dan tempat dari kursinya. Sabuk pengaman sudah dikenakan, dan ketika itu pula ia nyaris berteriak ke penumpang di sebelahnya. Dengan bahasa ibunya, DR ((HC) Sidi Ambin bersorak: “Oi sanak, batau juo kecek urang nan alah naik patabang ko yo. Dari ateh patabang ko, yo nampak sagadang samuik urang-urang nan di bawah tu.”

“Patabang ko alun tabang lai, Pak. Masih maagekkan masinnyo. Nan Apak caliak tu, sabana samuik e,” kata penumpang di sebelahnya.

“Oooo!”

Akhirnya, setelah melewati tiga kali transit, rombongan mendarat di Bandar Udara Sentani Jayapura. Di sini mereka dijemput dan diantar panitia ke tempat pertemuan, di sebuah hotel yang cukup besar.

Setelah beristirahat sejenak, semua tamu dijamu makan malam. Karena anggota legislatif seluruh Indonesia ini berasal dari berbagai agama yang berbeda, tentu panitia menyediakan dan membagi tempat sesuai dengan menu agama masing-masing.

Manconconglah DR ((HC) Sidi Ambin sambil mencingangak di dekat meja panitia. Lalu dengan ramah dan bahasa yang lembut, panitia pun bertanya kepada DR ((HC) Sidi Ambin.

“Maaf Pak, Bapak muslim atau...”?

“Siapa bilang saya muslim. Saya Sidi Ambin. Muslim itu Bupati Padang Pariaman (maksudnya Muslim Kasim),” jawab DR ((HC) Sidi Ambin tegas dan penuh percaya diri.

Tapurangah panitia mendengan jawaban anggota legislatif ini. Dan dia pun membiarkan DR ((HC) Sidi Ambin berlalu entah ke meja mana.

Tiga hari pertemuan itu digelar. Peserta pun kembali ke tempat masing-masing. Banyak juga yang memperpanjang harinya di daerah paling Timur ini. Tapi, rombongan DR (HC) Sidi Ambin langsung pulang sesuai jadwal.

Sesampai di Bandara Cengkareng, DR ((HC) Sidi Ambin tampak tergesa-gesa. Kawan-kawan yang lain heran. Tagageh bana DR ((HC) Sidi Ambin di bandara itu. “Manga tagageh bana, Pak Sidi,” kata salah seorang dari rombongan.

“Oi ngangak bana kalian di Jakarta ko ma! Itu hah, lai tampak dek Apak-apak merek tu: BAGGAGE,” jawab DR ((HC) Sidi Ambin sambil tangannya menunjuk sebuah tulisan yang tergantung di dekat pintu masuk. “Disuruahnyo bagageh awak!”

Semua teman-teman DR ((HC) Sidi Ambin pun tersenyum, tapi DR ((HC) Sidi Ambin tak hirau. Dia tetap bergegas.

***

Anekdot seputar anggota legislatif itu bukan tidak punya latar belakang sosial. Paling tidak, indikasi munculnya bisa saja terkait sikap yang menyebalkan dan juga pandangan yang sinis terhadap tabiat wakil rakyat selama ini.

Buktinya, pada harian Singgalang, Rabu, 24 Oktober 2007, menurunkan 3 berita tentang perangai memuakkan anggota DPRD. Dua berita pada halaman 1 dan satu berita halaman 4. Berita itu intinya berkaitan dengan perempuan. Pada pertengahan Agustus tahun ini, dua orang anggota DPRD ditangkap polisi di sebuah hotel di Bukittinggi. Mereka dituduh menggunakan sabu-sabu dan berbuat mesum.

Selain itu, menjelang Lebaran masyarakat Sumatra Barat juga dibuat bingung: sebagain besar anggota DPRD Sumatra Barat periode 1999-2004 (45) orang sudah dinyatakan bersalah secara hukum dan kasasinya juga ditolak MA, dan sudah memunyai kepastian hukum untuk dijebloskan ke panjara, ternyata bertolak belakang dengan 10 orang anggota lainnya; kasasi mereka diterima MA, dan dinyatakan bebas.

Jika dideretkan dua tahun terakhir, berjuntai-juntai panjangnya perangai anggota DPRD di Sumatra Barat yang membuat masyarakat tidak habis pikir: mengapa hal-hal yang melanggar asas kepatutan, norma-norma itu dilakukan?

Tapi, itulah realitas. Realitas anggota legislatif. Wakil rakyat yang dipilih rakyat. Bukan tak mungkin, bahwa anekdot yang diceritakan teman saya itu, betul-betul terjadi di negeri ini. Jika memang demikianlah kualitas sumber daya dan mentalitas anggota legislatif itu: rata-rata selevel dengan DR ((HC) Sidi Ambin. ***

SUMBER: Harian Singgalang, Rabu, 31 Oktober 2007

Bajulo-julo Membangun Dinding Laut

Oleh Nasrul Azwar

Setelah artikel saya tentang perlunya dinding laut dibangun sebagai salah satu bentuk upaya antisipasi gelombang Tsunami yang didirikan sepanjang pantai Sumatra Barat dimuat di surat kabar ini (Singgalang, 22/10/2007), dan keesokan harinya muncul tulisan Emeraldy Chatra (Padang Ekspres, 23/10/2007), dalam nada yang sama, saya mengirim pesan singkat ke telepon genggam Wali Kota Padang Fauzi Bahar.

Isinya: “Bagaimana pendapat Bapak tentang gagasan membangun dinding laut di sepanjang pantai Sumatra Barat itu, terutama Pantai Padang, yang yang turun di dua surat kabar itu?” Wali Kota menjawab: “Sebagai sebuah wacana atau gagasan, cukup bagus. Dan ini perlu diwacanakan secara luas. Jepang telah membuktikan, dan tembok itu sangat bermanfaat besar bagi masyarakatnya.” Lalu saya balas: “Bagaimana dengan Kota Padang, apakah bisa dirancang pembagunannya? Dan ini saya kira tidak menggaduh benar dengan perencanaan pembangunan kota ini ke depan.” Dijawab: Ya, semua itu akan berpulang pada anggaran. Anggaran sangat terbatas.” Sampai di situ kami “berdiskusi”.

Bagi saya, membangun dinding laut—jika dapat didirikan di semua jalur pantai di wilayah Sumatra Barat—merupakan pilihan yang sangat tepat. Kota Taro dan Pulau Okushiri di Jepang telah melakukan ini. Daerah di Jepang ini terkenal rawan diterjang Tsunami. Maka, bersama masyarakatnya, pemerintah membangun dinding raksasa sepanjang pantainya. Lebar dinding itu 15 meter, tinggi 10 meter.

Kahadiran dinding itu menghadirkan kenyamanan bagi penduduknya beraktivitas. Walau terkesan kota itu terkurung, tapi saat gempa yang berpotensi Tsunami datang, mereka tidak lagi terfokus memikirkan air laut bergulung yang akan melindas isi kota, tapi penyelamatan dari bencana gempa belaka.

Menyangkut dana pembagunannya, seperti yang dikeluhkan Fauzi Bahar, yang memang akan menelan dana besar, saya kira untuk sementara dipinggirkan dulu. Yang utama adalah prinsip. Apakah secara prinsip pemerintah bersama dengan wakil rakyat setuju membangun tembok atau dinding laut itu? Jika secara prinsip setuju, baru kita bicara pola dan strategi penggalangan dana untuk membangun dinding laut itu. Saya andaikan saja pemerintah setuju secara prinsip. Masyarakat? Pasti mendukung gagasan ini sebab menyangkut keselamatan jiwa.

Pola dan strategi pengumpulan dana pembagunan itu saya sebut saja gaya julo-julo dan pastisipasi masyarakat secara total. Di luar itu gaya julo-julo ini, pemerintah, tentu saja tetap mengupayakan proyek pembangunan ini mendapat dana dari mana saja, dan secara berkesinambungan mengalokasikannya di APBD, termasuk kabupaten dan kota yang dilewati pembangunan tembok itu.

Dengan difasilitasi pemerintah, bersama masyarakat dibentuk tim yang efektif atau bisa juga memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti BAZIS, menggalang dan mengumpulkan dana dari masyarakat sebesar Rp 5.000/bulan setiap kepala keluarga (KK) yang ada di Sumatra Barat dan orang awak yang ada luar Sumatra Barat. Dana yang terkumpul inilah sebagai “modal” untuk membangun dinding itu. Soal teknis dan mekanismen pengumpulan dana bisa diatur dalam pola kerja yang terkoordinatif dan terkontrol. Semua kerja dilakukan sangat transparans.

Jika penduduk Sumatra Barat berjumlah 4,5 juta jiwa dengan pukul rata saja jumlah itu sama dengan jumlah 1.500.000 KK (data sebenarnya saya kurang tahu), maka jumlah uang yang terkumpul setiap bulan adalah Rp 7.500.000.000 X 12 bulan = Rp 90.000.000.000 setahun. Jumlah 90 milyar rupiah ini angka yang pasti. Jika berhasil pula meyakinkan orang Minang diperantauan, dengan perkiraan jumlahnya sama dengan penduduk yang ada di Sumatra Barat, maka dalam setahun berjalan terkumpul dana Rp 180 milyar.

Hitungan ini hanya berdasarkan jumlah kepala keluarga yang bisa dihimpun potensi dananya. Dan saya kira, menyumbang demi sebuah tujuan yang sangat baik bagi kemaslahatan orang banyak dan jelas penggunaannya, bagi masyarakat tak akan berat. Sejarah sudah mencatat bagaimana masyarakat di Minang ini beriyuran bersama-sama untuk membeli pesawat yang memang saat kemerdekaan dulu sangat dibutuhkan. Tak ada panitia dan macam-macamnya, tapi masyarakat dengan tulus memberikan sebagiah hartanya, dan tak ada uang emas pun jadi. Pesawat terbeli, masyarakat pun bangga.

Kembali ke dinding tembok tadi. Jika potensi kedermawanan masyarakat itu digali lagi, tentu akan terhimpun kekuatan yang besar. Pembangunannya pun bisa menyertakan masyarakat. Jika bisa diyakinkan dengan alasan yang masuk akal, saya kira masyarakat juga bersedia memberikan tenaganya untuk membangun tembok itu. Bagi mereka, yang penting berjelas-jelas. Jangan lukai hatinya dengan hal-hal yang mereka nilai sebagai pembohongan. Mekanisme penyertaan masyarakat untuk terlibat menyumbangkan tenaganya, bisa diatur kemudian dengan baik.

Pembangunan jelas dilakukan secara bertahap. Tahapannya bisa saja diprioritaskan terlebih dahulu di daerah pantai yang sangat padat penduduknya, dan seterusnya.

Maka, dengan menyertakan masyarakat dalam pembangunan dinding laut itu, apa yang menjadi problem menyangkut dana yang dicemaskan Wali Kota Padang, sedikit sudah terjawab. Dana yang terkumpul Rp 180 milyar dalam setahun, merupakan modal sosial yang sangat besar sekali dampaknya. Jika publik telah merasa memiliki dinding itu, persoalan dana bukan lagi masalah yang rumit. Yang rumit itu adalah mengelola, menata, dan meyakinkan masyarakat. Jelas hal ini dituntut kerja keras dan berkesinambungan dari pihak pemerintah. Meyakinkan masyarakat saat sekarang bukan perkara enteng, karena selama ini mereka banyak dikecewakan. Tapi hal itu tidak akan menutup rapat hati mereka untuk sungguh-sungguh dan tulus membangun.

Kini, berpulang ke pemerintah, bagaimana membaca hati masyarakat. ***

Institusi Seni-Budaya dan HKI

Oleh Nasrul Azwar

Dalam banyak hal, pemerintah Indonesia memang selalu telat bertindak apalagi berpikir. Salah satu buktinya adalah ribut-ribut tentang pembajakan lagu “Rasa Sayange” yang berasal dari Maluku, oleh Pemerintah Malaysia untuk promosi wisatanya, dan lagu dari ranah Minang, “Indang Sungai Garinggiang” yang digunakan tanpa ada penjelasan dalam sebuah iven budaya Asia Festival 2007 di Osaka, Jepang ( Singgalang , 27/10/2007).

Sekait dengan itu, barulah pemerintah merespons. Menko Polhukam Widodo A.S. pada akhir pekan Oktober lalu, mengadakan Rapat Koordinasi Tim Nasional Kekayaan Intelektual yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Mendagri Mardiyanto, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri ( Jawa Pos , 25/10/2007).

Hasil rapat itu sepakat membentuk tim nasional kekayaan intelektual. Walau terlambat, karena sebelum ini, sudah banyak pula negara lain yang mengklaim kekayaan bangsa Indonesia sebagai miliknya, tindakan pemerintah dinilai cukup bagus. Biarlah telat daripada tidak bertindak sama sekali.

Dalam rapat itu disepakati, pemerintah segera mendata atau menginventaris seluruh karya bangsa agar tidak diklaim atau dibajak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, pemerintah akan mendata ulang seluruh lagu, makanan khas daerah, kesenian, dan cerita-cerita rakyat. Selama ini, banyak karya yang menjadi milik bangsa dan tidak dikenal penciptanya (anonim) sehingga rawan terhadap klaim atau pembajakan dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Andi menyatakan telah meminta bantuan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik untuk mempercepat pendataan. "Nanti, di Depkum HAM, prosesnya akan dipermudah juga supaya tidak ada yang menilai pemerintah justru menghambat," katanya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir Jero Wacik mengharapkan pemerintah daerah untuk segera mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual. "Kami himbau kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia agar rajin-rajin mendaftarkan karya-karya budayanya ke lembaga hak intelektual," kata Menbudpar, Ir Jero Wacik di Nusa Dua, Bali ( Jawa Pos , 18/10/2007).

Bagaimana di Sumatra Barat? Sejauh ini, reaksi dari pejabat di daerah ini belum terdengar. Entah belum tahu, entah tidak menyimak perkembangan informasi. Tak ada respons menyangkut “Indang Sungai Garinggiang”, karya anak nagarinya, yang kini dibajak negeri jiran itu, misalnya, oleh Gubernur Sumatra Barat atau paling tidak dari Dinas Parsenibud Sumbar. Tampaknya, sikap pejabat di Sumatra Barat ini bertolak belakang dengan motto PT Semen Padang: kami telah berbuat sebelum orang lain memikirkannya.

Reaksi kecil memang muncul dari beberapa budayawan Sumatra Barat menyangkut pembajakan lagu yang dipopulerkan seniman Tiar Ramon itu ( Singgalang , 31/10/2007). Namun, reaksi itu masih sebatas tataran wacana, belum menyentuh substansi persoalan yang sesungguhnya.

Persoalan sebenarnya adalah bagaimana langkah dan strategi yang mesti dilakukan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan seni itu sendiri, misalnya, UPTD Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat, Museum Negeri Adityawarman Provinsi Sumatra Barat, Balai Bahasa Padang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Sumatra Barat, Dekranasda, Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB), dan lain sebagainya.

Institusi-institusi itu, terutama Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB adalah lembaga yang sangat bertanggung jawab terhadap perlindungan dan hak cipta seniman, baik kontemporer dan maupun tradisi. Lembaga ini semestinya memprakarsai agar-agar karya-karya seniman itu terdaftar secara hukum. Untuk kasus lagu, “Indang Sungai Garinggiang”, misalnya, seharusnya lembaga ini tidak menunggu wartawan mewawancarai baru membuat peryataan.

Sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana teknis seni dan budaya, yang bukan semata hanya menampilkan karya seniman belaka, tentu Taman Budaya Sumatra Barat bertanggung jawab juga mengadvokasi karya-karya seniman daerah ini jika muncul perkara seperti pembajakan lagu itu. Tapi hal ini tidak dilakukan lembaga ini.

Sama halnya dengan DKSB, seharusnya lembaga seni semi pemerintah ini juga melakukan hal yang sama dengan Taman Budaya Sumatra Barat. DKSB mestinya memberikan tanggapan resmi dan memberikan advokasi. Paling tidak memunculkan secara resmi tanggapan dan pandangan yang jelas ke publik. Ternyata idem ditto.

Karya seni anak nagari Minang memang rentan dan rawan untuk dibajak, terutama oleh negara-negara yang punya hubungan historis dan kultural yang erat dengan Minangkabau: Malaysia salah satu saja.

Sejarah sudah mencatat, setiap nagari di Minangkabau punya kekayaan seni dan tradisinya. Dan jumlahnya sangat banyak dan beragam. Kekuatan nagari adalah dipermainan anak nagari itu. Permainan itu banyak terkait dengan seni: ada lagu, pantun, kaba, cerita rakyat, masakan khas, tari tradisi, alat musik, pidato adat, seni pertunjukan (peran), seni lukis, motif, kaligrafi, ukir, kerajinan tangan, arsitektur, tumbuhan, dan lain sebagainya yang jumlahnya banyak dengan berbagai variasi dan versi. Belum lagi karya seniman kontemporer, tentu, akan berderet-deret panjangnya.

Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab untuk mendaftarkan ke instansi terkait agar karya itu terproteksi secara hukum? Jawaban tentu saja Taman Budaya Sumatra Barat dan DKSB. Karena lembaga ini tidak bisa dilepaskan dengan dunia seni dan budaya. Menyangkut soal teknis pendaftaran karya-karya, itu soal lain.

Namun demikian, karena sebagian besar masyarakat seni dan lembaga seni masih belum memahami benar prosedur dan mekanisme pendaftaran hak cipta itu, maka upaya yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengundang Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan penjelasan, prosedur, mekanisme, dan lain-lainnya menyangkut hak kekayaan intelektual (HKI) itu. Dan diharapkan program ini melibatkan semau pihak yang terkait dengan masalah ini. Program itu bisa berbentuk seminar sehari, lokakarya, dan lain sebagainya.

Taman Budaya dan DKSB dapat bersinergi melakukan ini. Dan soal “sinergian”, bagi kedua lembaga ini bukan soal besar. Karena sudah sering dilakukan, walau sembunyi-sembunyi. Maka, untuk itu, program ini dipandang sangat mendesak untuk dilakukan. Jika tidak sekarang, ya besoklah. Tapi jangan seperti kalimat awal di atas: lamban berindak telat berpikir. Semua ini dilakukan mengingat sudah berangsur-angsur kekayaan seni dan budaya kita dialih orang lain. Kalau bukan kita yang memikirkan, siapa lagi? Seniman. Oh biarkan saja mereka berkarya. Tak ada waktu bagi mereka mengurus yang macam begini. Bagaimana, Bung?***

SUMBER: http://www.hariansinggalang.co.id/komentar.html

Harian Singgalang, Selasa, 6 November 2007 (Rubrik Komentar)


Sastra Minangkabau Modern: Antara Ada dan Tiada

OLEH Suryadi
Istilah “Sastra Minangkabau Modern” muncul dalam SMS yang saya terima dari Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Dra. Adriyetti Amir, SU, yang memberitahukan bahwa kiriman off-print artikel saya, “Vernacular Intelligence: Colonial Pedagogy and the Language Question in Minangkabau” (Indonesia and the Malay World 34:100, 2006: 315-44) telah beliau terima. “Saya minta Suryadi juga menulis sesuatu tentang Sastra Minang Modern. Itu diperlukan untuk bahan pelajaran di Jurusan Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra UNAND,” kata Dra. Adriyetti Amir, SU dalam SMS-nya kepada saya.

Tuesday, October 30, 2007

"Samalam Lapeh Taragak Jo Rabab Pasisie"

Acara ini akan dilaksanakan pada :

Hari / Tanggal : Sabtu, 3 November 2007

Tempat : Gedung Samudra, Jl. Daksinapati Barat IV Rawamangun Pukul : 19.00 - selesai

(Semalam Lepas Rindu dengan Rebab Pesisir Selatan) adalah sebuah acara yang menampilkan seni tradisi bakaba; bercerita dari Pesisir Selatan Sumbar. Rabab Pasisie merupakan seni tradisi lisan asal Minangkabau, Sumbar yang masih banyak diminati oleh khalayaknya baik dari Pesisir Selatan maupun dari luar wilayah itu. Seni tradisi rabab pasisie ini biasanya menampilkan seorang tukang rabab (biola), seorang tukang gendang, dan seorang tukang dendang (biasanya perempuan). Tukang rabab merangkap juga sebagai pencerita. Panjang pendek cerita sangat bergantung pada situasi dan kondisi di lapangan. Artinya bisa semalam suntuk seperti wayang tetapi bisa juga lebih singkat waktunya. Sebelum masuk ke inti kaba 'cerita', tukang dendang akan membawakan pantun dan lagu-lagu yang sangat komunikatif dengan khalayak pendengarnya. Seringkali pantun dan lagu yang dinyanyikan, diciptakan berdasarkan pada situasi pertunjukan dan tanggapan khalayak. Jalinan komunikasi yang cair dengan khalayak sangat menentukan keberhasilan sebuah pertujukan seni tradisi lisan seperti, rabab pasisie ini.

Acara ini dilaksanakan oleh IKPS (Ikatan Keluarga Pesisir Selatan), Sumbar di Ibukota. Adapun acara ini dimaksudkan untuk menggalangan dana bagi korban gempa yang baru-baru ini menimpa Sumbar umumnya dan Kabupaten Pesisir Selatan khususnya sebagai salah satu Kabupaten di Sumbar yang parah mengalami kerusakan akibat gempa.

Sebagai wadah bagi para perantau asal Pesisir Selatan, DPP IKPS merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menghimpun bantuan baik materi maupun non materi untuk meringankan beban penderitaan dunsanak (saudara-saudara) yang berada di kampung halaman. Disebabkan masih banyaknya sarana dan prasarana seperti rumah penduduk, rumah sekolah, tempat ibadah, dan puskemas yang rusak, maka DPP IKPS mencoba mengetuk pintu hati para donatur yang tidak terbatas hanya dari perantau asal Pesisir Selatan dan Minangkabau saja agar bersedia membantu korban gempa melalui seni pertunjukkan tradisi barabab jo Pirin Ketek.

Tukang Rabab yang bernama Pirin Ketek, merupakan tukang rabab profesional yang berasal dari desa Taratak, Pesisir Selatan, Sumbar. Pirin Ketek merupakan murid dari Tukang Rabab legendaris Pirin Asmara (almarhum). Pengalaman sebagai tukang rabab profesional dari Pirin Ketek ini, sudah dibuktikannya dengan seringnya dia dan kelompoknya diminta untuk tampil di berbagai tempat. Baik di wilayah Pesisir Selatan, maupun di kota-kota di Sumatera dan juga Jawa. Bahkan pada tahun 2002, Pirin Ketek sudah pernah tampil di Malaysia diundang oleh perantau asal Minang dari negeri Jiran tersebut.

Pada kesempatan ini, Pirin Ketek dan kawan-kawan akan menampilkan kaba mengenai seorang perantau asal Lunang yang terpaksa merantau ke Palembang. Ketika masih di rantau itulah gempa memporakporandakan rumah dan keluarga yang ditinggalkannya dalam keadaan papa di kampung halaman. Tetapi karena nasib tidak berpihak kepadanya di rantau, sang tokoh utama ini tidak mampu menjenguk anak istri yang tengah ditimpa bencana di kampung halaman yang ditinggalkannya. Sebuah tragedi anak manusia yang kerap kita jumpai sehari-hari di negeri ini.


  • Ketua Pelaksana: Adnan Chaniago
  • Ketua Umum DPP IKPS: Drs. Hasdanil, Msi.
  • Sekretaris: Sastri Sunarti : 0813 17700499
  • Eva : 0813 10689463

Sunday, October 28, 2007

STEMPEL DATUAK KATUMANGGUNGAN DAN DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG

OLEH Suryadi
Umumnya orang Minangkabau – bukan Minang kerbau seperti acap kali ditulis dalam koran Soenting Melajoe pimpinan Mahyuddin Dt. St. Maharadja – mengenal nama Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Mereka termasuk founding father orang Minang. Nama keduanya disebut-sebut dalam berbagai wacana kebudayaan Minangkabau – dalam tambo, dalam cerita rakyat, dalam pidato adat dan pasambahan, dalam kaba, dan mungkin juga dalam mimpi para datuak kita. Konon jejaknya juga dapat dilacak dalam material culture Minangkbau: ada Batu Batikam di Batusangkar, sebagai ‘bukti arkeologis’ percanggahan ideologis yang amat prinsipil antara kedua mamak muyang orang Minang itu: yang satu hendak menegakkan sistem otokratis (ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua [Laras Koto Piliang]), yang lain hendak menerapkan sistem demokratis (titiak dari ateh, bosek dari bumi [Laras Bodi Caniago]). Kata pakar pernaskahan Minangkabau dari Universitas Andalas, Dra. Zuriati M.Hum, kepada saya, tongkat kedua datuak kita itu ditemukan di Solok. Tongkat itu sudah berdaun. Ondeh! Sedangkan almarhum Anas Navis dalam salah satu artikelnya di www.ranah-minang.com menulis bahwa kuburan kedua datuak kita itu yang juga ditemukan di Solok. Wallahualam! Ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta.

Thursday, October 25, 2007

Mambaca Minangkabau, Mengurai Problem

OLEH Nasrul Azwar

Tradisi dalam istilah yang jeneral dimaknai kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat (komunitas) berdasarkan nilai budaya bersangkutan: bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik yang bersifat duniawi, gaib atau keagamaan. Tradisi itu secara “alamiah” mengesankan “mengatur” hubungan antarindividu manusia, antarkelompok, memperlakukan lingkungan secara bijak, dan bagaimana perilaku masyarakat terhadap alam yang lain. Di tengah masyarakat seperti itu, tradisi membiak menjadi suatu sistem, pola, norma, dan selanjutnya masuk ke dalam pengaturan penggunaan sanksi dan ancaman terhadap individu yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan.

Maka, membincangkan tradisi berarti berbicara tentang tatanan masyarakat, struktur sosial, nilai-nilai, regulasi dan norma-norma. Di Minangkabau, misalnya, norma-norma itu terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi kabahasaan seperti pepatah petitih, pantun, dan cerita lisan berupa kaba. Tatanan masyarakatnya adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilineal dan bahkan dalam batas tertentu, sistem politik matriarki.

Seni Tradisi dan Globalisasi

Dalam perjalanan studi budaya, tradisi selalu dipertentangkan dengan modernitas. Modernitas (isme) diartikan sebagai sebuah periode historis pascatradisional yang dicirikan oleh industrialisme, kapitalisme, negara bangsa dan bentuk-bentuk pengawasan, juga dipahami sebagai pengalaman kultural modernitas yang dicirikan oleh adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko, ketidakpastian, dan keterpecahan.

Di sisi lain, tradisi malah berjalan berdampingan dengan modernitas itu sendiri, dan tampaknya kian rumit untuk dibedakan. Tradisi—dalam pengertian seni tradisi, misalnya—mengesankan sekali tidak bersifat statis, tapi cenderung dinamis: seni tradisi, taruhlah seni tradisi randai, melangkah pasti dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman, malah perubahan itu terkesan sebagai proses adaptasi yang cukup kreatif.

Posisi seni tradisi randai mengalami modernisasi secara berlahan dan kini posisi randai Minang sudah berada di era posmodernisme, sebuah periode sejarah setelah modernitas yang ditandai oleh posisi utama konsumsi dalam konteks masyarakat pascaindustri, sensibilitas kultural yang menolak narasi-narasi besar dan lebih memilih kebenaran-kebenaran lokal yang ada dalam permainan-permainan bahasa yang spesifik. Dan dengan sangat mengesankan sekali, seni tradisi randai tetap bertahan dengan caranya sendiri.

Dunia kesenian tradisi Minangkabau—barangkali sudah terstruktur dalam sistem budaya masyarakatnya—semenjak dulu sampai hari ini telah dengan sendirinya tersegmentasi atas nagari-nagari yang ada Minangkabau. Pola yang segmentatif ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat. Rumusan adat selingkar nagari yang berlaku di Minangkabau memberikan tanda bahwa seni tradisi yang tumbuh di nagari-nagari diakomodasi pada batas nagari. Seni tradisi indang berkembang di Solok dan Pariaman misalnya, tidak akan dijumpai di nagari-nagari 50 Koto. Juga seni tradisi sijobang juga tak akan ditemui di daerah pesisir Sumatra Barat.

Sebagai ilustrasi, jika masa dahulunya, tokoh perempuan dalam cerita randai tidak dibenarkan dimainkan oleh perempuan, tapi oleh laki-laki yang berlaku seperti perempuan. Kini, perempuan bisa tampil memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita randai. Cerita yang ditampilkan pun disesuaikan dengan era kekinian. Kemampuan beradaptasi tanpa meninggalkan substansi, hakikat, dan nilai-nilai seni randai Minang itu yang sesungguhnya perlu disikapi bersama.

Namun kondisi seni tradisi randai sangat bertolak belakang dengan kondisi secara umum kebudayaan Minangkabau. Kalangan budayawan menyebut Minangkabau sekarang ini sudah berada di ambang kebangkrutan kultural. Penyebabnya, lemahnya ikatan adat dan tradisi di Minangkabau. Nagari sebagai basis kekuatan dialektika Minangkabau tidak berfungsi lagi. Nagari yang selama ini mengajarkan anak nagarinya tentang adat, budaya, dunia dagang, politik, dan lain sebagainya, kini hanya kenangan. Upaya pemerintah dengan perda kembali ke nagari, tampaknya tidak ada artinya. Malah kembali ke pemerintahan nagari itu cenderung membuka dan memperbanyak lubang-lubang korupsi di tingkat nagari.

Berbagai tantangan dan perkembangan yang bersifat paradoksal di dalam kebudayaan Minangkabau akhir-akhir ini akan menentukan masa depan Minangkabau itu sendiri. Satu sisi, ada tantangan yang dihadapkan secara langsung dengan apa yang disebut dengan globalisasi. Sisi lainnya, muncul berbagai hambatan budaya tradisi secara internal—misalnya rendahnya atensi kaum cendekiawan di nagari-nagari di Minangkabau yang merupakan masalah tersendiri yang harus diselesaikan secara baik, kekuatan dan modal sosial nagari yang demikian berpotensi seolah tak ada artinya lagi. Kahadiran cendekiawan (katakanlah kepemimpinan informal di nagari), tentu diharapkan mampu dan dapat menentukan sikap nagari sebagai landasan normatif dalam merekonstruksi masa depan nagari itu sendiri.

Minangkabau dan Tantangan

Selain itu, perkembangan zaman yang demikian derasnya juga jadi faktor membuat merosotnya nilai budaya dan bangkutnya modal sosial Minangkabau. Menurut Faruk HT, seorang budayawan yang cukup menaruh perhatian terhadap Minangkabau menyebutkan, globalisasi memberikan dampak cukup dahsyat terhadap kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk karakter individu dan juga perilaku sosialnya. Kecenderungan otonomisasi diri—terutama bagi masyarakat Minangkabau yang hidup di kota— dalam kehidupan sehari-harinya tampak telah melemahkan ikatan adat dan nilai-nilai tradisional. Kehidupan sosial mereka telah dipengaruhi kekuatan kebudayaan modern dan juga arus globalisasi.

Pada saat sekarang ini, di kancah deraan arus globalisasi, pola kehidupan masyarakat Minang sudah bertukar dengan menyesuaikan diri dengan eranya. Dulu kehidupan sosial dijalani dengan keluarga besar di rumah gadang kini sudah diganti dengan keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Posisi perempuan dalam keluarga inti tidak lagi seperti di rumah gadang.

Jika dalam sistem matrilineal yang dianut Minangkabau selama ini, bahwa perempuan memegang posisi terpenting di rumah gadang, tidak hanya sebagai penerus generasi tetapi pewaris yang memiliki hak sebagai penentu, serta mengelola harta keluarga tersebut, di dalam keluarga inti hal seperti itu tidak ada sama sekali: Laki-lakli (sebagai kepala keluarga yang menentukan semua kebijakan rumah tangga).

Dampak berkembangnya keluarga-keluarga inti baru di Minangkabau dan juga di perantauan, tampaknya memberi kontribusi yang cukup dominan untuk melemahkan posisi perempuan di Minangkabau dan sebagai determinatif yang cukup signifikans.

Dalam makna tertentu, kebudayaan Minangkabau dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang fungsinya mendorong dan membimbing masyarakatnya menjawab tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai tersebut merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya. Pada masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham egalitarian yang hidup di dalam nagari-nagari.

Nagari-nagari teridealisasikan dengan hadirnya ruang publik di tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang (sasaran), yang merupakan ranah bagi anak nagari untuk mengekspresikan diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di dalam galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan komunal.

Dalam tataran kajian budaya, Minangkabau salah satu suku yang dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Kehidupan tradisional orang Minang adalah kehidupan bersama yang dipimpin oleh mamak (laki-laki) secara demokratis. Baik dalam keluarga, suku atau nagari. Ada mamak adat (nini mamak, pimpinan kaum), mamak ibadat (ulama) dan cerdik pandai.

Namun demikian, semenjak reformasi tahun 1998, lebih jauh lagi sejak ditetapkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 dan direvisi lai dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007 tentang kembali ke nagari di Sumatra Barat, eforia yang cenderung romantik akan kebesaran masa lalu, kian terasa dan mengemuka.

Berkembangnya semangat kembali ke nagari pascaruntuhnya rezim Orde Baru merupakan sebuah reaksi terhadap sifat hegemoni budaya yang melekat pada budaya global, berupa homogenisasi atau penyeragaman budaya secara kolosal, yang menyebabkan semakin sempitnya ruang gerak dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan lenyapnya budaya karena dilindas arus globalisasi.

Nagari dan Sorak-sorai Eforia

Kekhawatiran tersebut telah mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya (cultural repre-sentation), yang di dalamnya respeks terhadap akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator dan anonim globalisasi.

Menurut Yasraf Amir Piliang, globalisasi tampaknya telah menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi dilematis: antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi dilematis ini muncul akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan ‘wajah ganda’.

Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara di sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat desentralisasi, penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan sektarianisme.

Situasi dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu pihak, semangat reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan berbagai sentimen lokal (kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada titik yang ekstrim telah menyulut berbagai bentuk konflik dan kekerasan.

Di pihak lain, kehidupan sehari-hari masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. Pengaruh tersebut telah merubah cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal.

Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi budaya-budaya lokal dalam konteks perkembangan budaya global, tampaknya harus didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif, sehingga globalisasi dapat dijadikan sebagai peluang bagi pengkayaan budaya lokal di dalam kancah budaya global, tanpa ha-rus meninggalkan nilai-nilai kunci budaya lokal itu sendiri

Menarik jika kita mencermati lebih dekat tentang apa yang terjadi antara pemerintahan kabupaten/kota dengan pemerintahan provinsi, dan pemerintahan terdepan, yaitu nagari. Hubungan pemerintahan itu seperti tidak lagi “mesra”. Masing-masing berjalan dengan niat dan strategi masing-masing daerah.

Gagasan menghapus pemerintahan provinsi yang pernah disampaikan Gamawan Fauzi, Gubernur Provinsi Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, dapat dimaknai sebagai indikator adanya hubungan yang tak sedap dengan pemerintahan kabupaten dan kota. Mereka dengan caranya masing-masing memiliki gaya sendiri dalam menyikapi otonomi dan demokratisasi. Dan semua itu membuat pemeritahan provinsi tak ada artinya sama sekali. Demikian juga dengan pemerintahan nagari, yang dengan caranya sendiri bisa mementahkan keputusan pemerintahan di atasnya dengan alasan masyarakatnya tidak menerima. Misal, keinginan investor untuk mengembangkan usahanya di sebuah nagari.

Para pengamat berpendapat, semua itu bermula dari krisis moralitas sebagai dampak dari krisis kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap krisis kepemimpinan hampir di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. Dampak dari krisis kepemimpinan memberi pengaruh terhadap otoritas pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai sebagai pembawa amanat.

Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim, pengadilan dan kepolisian sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak dan ulama. Kepastian hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas kebijakan hukum yang berlaku. Tingginya tingkat pengaduan masyarakat nagari ke pihak polisi untuk menyelesaikan berbagai perkara, membuktikan bahwa pemimpin informal di tengah kaum (masyarakat) sudah tidak dipercaya lagi. ***

Sunday, October 21, 2007

Lowongan aplikasi bantuan dana Arts Network Asia (ANA) 2008

Rekan-rekan sekalian,

Kami mengundang Anda untuk mengirim proposal bantuan dana ANA untuk para seniman, manager dan pekerja seni yang tertarik untuk berkomitmen bekerja dalam ruang lingkup komunitas dan seni di Asia.

Didirikan oleh sekelompok seniman, manajer dan pekerja seni independen, ANA adalah lembaga pendonor dana yang bekerja dalam lintas perbatasan di berbagai disiplin di Asia dan menggunakan 11 bahasa.

ANA mendukung kegiatan-kegiatan di Asia walaupun tetap memfokuskan diri pada ruang lingkup Asia Tenggara dan daerah Mekong.

Anda mungkin memiliki kegiatan yang cocok dengan pola pikir dan cara pandang kami.

Kami akan mempertimbangkan kegiatan yang mendukung kolaborasi dan pertukaran yang menantang dan provokatif antar budaya di Asia. Kami sangat tertarik pada berbagai tendensi kontemporer di Asia yang berhubungan dengan tradisi termasuk di dalamnya ekspresi urban, seni kontemporer, dan seni kontemporer yang berhubungan erat dengan seni tradisional.

Kolaborasi dan pertukaran budaya ini dapat meliputi keragaman budaya dari negara yang sama atau juga ruang lingkup kota yang sama.

Salah satu visi dari ANA yang baru adalah mengeksplorasi potensi hubungan lokal-regional- global. Oleh karena itu, kegiatan yang mengangkat isu kontinuitas local dalam usaha mengaitkan generasi yang berbeda, menghubungkan memori, pola pikir local dan budaya yang berkelanjutan juga dapat dipertimbangkan.

Dukungan utama ANA tertuju pada kegiatan yang berdasarkan pada proses dan bukan pada produk. Kami terbuka untuk mendukung sebagian kagiatan yang sudah berjalan atau kegiatan baru. Dalam mempertimbangkan proposal, kami akan melihat secara positif kegiatan yang memiliki sumber dana dari institusi lain.

Untuk setiap kegiatan, bantuan dana kami dapat mencapai maksimum US$10 000.

Proyek Anda harus dimulai pada bulan Maret 2008.

Acuan dalam mengirim proposal dengan segera

Kami berharap dapat menerima dari Anda satu halaman proposal dan biografi dalam 200 kata dengan format PDF. Formulir aplikasi dapat di download pada akhir halaman ini.

Batas akhir penerimaan satu halaman proposal ini adalah 1 Desember 2007 dalam bahasa Inggris atau bahasa pilihan Anda (Indonesia, Jepang, Khmer, Korea, Laos, Mandarin, Singhalese, Tamil, Thai dan Vietnam)

Satu halaman proposal Anda harus meliputi isi, konsep/prinsip dan tujuan dari kegiatan Anda.

Anda harus mencantumkan pada awal proposal Anda sebagai berikut:

  1. Nama pengirim aplikasi
  2. Judul kegiatan

Prosedur baru yang harus diperhatikan

Pengirim aplikasi harus mengirimkan satu halaman proposal online via website ANA www.artsnetworkasia .org

Pengiriman secara online via website merupakan kebutuhan ANA sebagai bagian dari proses jangka panjang untuk menyesuaikan proses aplikasi

JIKA ADA KESULITAN UNTUK MELAKUKAN APLIKASI ONLINE ATAU ANDA TIDAK DAPAT MENGIRIMKAN APLIKASI ONLINE KARENA ALASAN KHUSUS YANG TERDAPAT DI KOTA ANDA, MOHON KONTAK SEGERA

airmanuporn@ artsnetworkasia. org OR FAX +65 6737 7013.

Bila aplikasi Anda sesuai dengan visi ANA, Anda dapat menerima undangan untuk mengembangkan aplikasi Anda dalam bentuk proposal utuh. Batas akhir proposal yang harus kami terima adalah akhir Januari 2008. Secara bertahap, aplikasi yang lolos uji akan diumumkan pada akhir bulan Februari 2008.

AKHIR KATA

Anda dapat melihat kegiatan-kegiatan terdahulu yang pernah ANA dukung di www.artsnetworkasia .org - Mohon dicatat bahwa kegiatan tersebut hanya sebagai bahan acuan.

Setelah Anda mengirim aplikasi, ANA akan memasukkan nama/grup/nama organisasi dan kontak detil (email, telefon, fax, website dan alamat)

Hal tersebut merupakan tujuan kami untuk mendukung networking di Asia.
Jika Anda mempunyai pertanyaan lebih lanjut, harap menghubungi Tay Tong, Direktur: taytong@theatrework s.org.sg dan Manuporn Luengaram, Manager: airmanuporn@ artsnetworkasia. org atau fax ke +65 6737 7013.

Anda mungkin ingin mengkontak anggota ANA Peer Panel yang berada di negara Anda. Anggota panel ANA dapat membantu memperkaya ide dan memberikan bimbingan tetapi mereka tidak dapat menuliskan proposal untuk Anda. Anggota Peer Panel dan daftar kontak mereka terdapat pada website kami.

Bila Anda mengenal rekan-rekan lain yang mungkin juga akan tertarik dengan program ini, kami akan sangat menghargai bila Anda dapat menyebarkan informasi ini kepada mereka.

Kami sangat mengharapkan aplikasi Anda.

Hormat kami,

Tay Tong
Direktur, Arts Network Asia
Alamat fax:Arts Network Asia +65 6737 7013

Alamat surat menyurat: Arts Network Asia

c/o 72-13, Mohamed Sultan Road Singapore 239007

Petunjuk:

1. Download formulir pendaftaran.

2. Klik disini untuk mengirimkan lamaran dan proposal anda.

Giliran Sejarah Perang Paderi yang Hendak Direvisi?

Oleh Suryadi

Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi dalam perang di dataran tinggi Minangkabau (1803-1837). Laporan itu dipicu oleh dipublikasikannya kembali buku Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006) (pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan, Djakarta, [1964]) dan satu buku lain karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007).

Saturday, October 13, 2007

Pers, Sejarah dan Rasialisme

OLEH Andreas Harsono



KALAU Anda memperhatikan harian Jurnal Nasional di Jakarta, Anda takkan sulit melihat sebuah logo “Seabad Pers Nasional” di halaman depan. Di dalamnya, Anda akan menemukan logo serupa dan sebuah kolom. Ia setiap hari menyajikan satu sosok organisasi media. Proyek ini diasuh oleh Taufik Rahzen, seorang penasehat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, redaktur senior Jurnal Nasional, sekaligus pemimpin Indexpress, organisasi yang menaungi kolom ini.

Menurut Rahzen, tahun 2007 adalah seabad pers nasional. Tarikh ini dihitung sejak Medan Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah “tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi.” Dua kegiatan itu dilakukan oleh hoofdredacteur-nya Tirto Adhi Surjo. Jurnal Nasional menghadirkan 365 koran, yang mereka anggap ikut membangun nasionalisme Indonesia. Hitungannya, antara 1 Januari hingga 31 Desember 2007, ada 365 hari. Jadinya, 365 media dalam 365 kolom.

Saya berpendapat ada 150 tahun sejarah sebelum Medan Prijaji, yang harus diperhitungkan oleh siapa pun yang hendak bikin ulasan sejarah media di Hindia Belanda. Kalau mau mencari data siapa yang terbit lebih awal, Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut suratkabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, atau sekitar 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia.

Mengapa patokan Taufik Rahzen bukan 1744? Mungkinkah karena Bataviasche Nouvelles diterbitkan dalam bahasa Belanda? Kalau patokannya bahasa Melayu, Claudine Salmon dalam Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, menyebut suratkabar-suratkabar berbahasa Melayu, antara lain milik orang Tionghoa, misalnya Soerat Chabar Betawie (1858), terbit sekitar 50 tahun sebelum Medan Prijaji? Salmon membuktikan bahwa suratkabar-suratkabar Tionghoa Melayu ini berperan dalam penyebaran bahasa Melayu di seluruh Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda.

Atau mengapa bukan bahasa Jawa, misalnya, Bromartani (1865) yang terbit di Solo? Di luar Pulau Jawa, juga ada Tjahaja Sijang di Minahasa (1868) atau Bintang Timoer di Padang (1865). Kalau bicara soal pengaruh dan perjuangan melawan ketidakadilan, saya juga ingin mengingatkan kita pada Multatuli, yang mengarang buku Max Havelaar (1859). Mengapa semua diabaikan? Multatulis alias Eduard Douwes Dekker menggunakan penanya buat menggugat kolonialisme Belanda di Jawa.

Saya mendapat jawaban Indexpress dari Agung Dwi Hartanto ketika hendak mewawancarai saya. Rencananya, Indexpress hendak memasukkan Pantau, organisasi di mana saya bekerja, ke dalam barisan 365 media tersebut. Dalam suratnya kepada saya, Agung menulis, “Medan Prijaji adalah pers yang sejak pertama terbit diawaki pribumi. Tirto Adhi Soerjo juga yang mendirikan NV Medan Prijaji.”

Tjahaja Sijang, menurut Agung, diabaikan karena “… sebelum diawaki pribumi menjadi milik zending Belanda. Demikian juga dengan Soerat Chabar Betawi. Koran ini bukan milik pribumi.”

Saya agak kaget mendapat jawaban tersebut. Benarkah Indexpress memakai ukuran yang rasialis tersebut? Tidakkah mereka sadar rasialisme hanya akan melahirkan diskriminasi. Rasialisme juga akan melahirkan rasialisme? Saya bikin riset lagi. Saya menemukan Taufik Rahzen juga memakai kriteria “pribumi” dalam sebuah kolom Jurnal Nasional, dengan judul, “Pers adalah Senjata.”

Rahzen menulis, “Salah satu penanda penting dari menyingsingnya fajar nasionalisme adalah tumbuh-kembangnya pers pribumi ….” Rahzen menganggap “… indikator dimulainya kebangkitan nasional, tumbuhnya pers-pers pribumi, yang diterbitkan oleh pribumi, yang mengangkat berita dan persoalan riil yang pribumi ….”

Saya rasa ada racial tone dalam proyek Indexpress. Saya menganggap tak ada masalah dengan memilih Tirto Adhi Soerjo. Dia termasuk penerbit yang berani melawan ketidakadilan pada zaman Hindia Belanda. Pengarang Pramoedya Ananta Toer menulis soal Tirto Adhi Soerjo dalam buku Sang Pemula maupun Tempoe Doeloe.

Tapi Tirto pun memakai pendekatan rasial ketika menyerang E.F.E. Douwes Dekker, wartawan Bataviaasch Nieuwblad dan cucu Multatuli, yang belakangan mendirikan Indische Partij. Pada 1908, organisasi Boedi Oetomo hendak menerbitkan suratkabar dan mencalonkan E.F.E. Douwes Dekker sebagai editornya. Alasannya, Boedi Oetomo membatasi keanggotaannya hanya untuk orang “Jawa, Sunda dan Madura.” Douwes Dekker orang Eurasian alias Indo. Paul W. van der Veur, penulis biografi Douwes Dekker, The Lion and the Gadfly, mencatat serangan ini, secara fiktif, diteruskan Pramoedya dalam tetralogi Pulau Buru.

Penelitian Indexpress ini bermasalah, ketika mengabaikan para penulis lain dengan dasar Tirto dan Medan Prijaji adalah "pribumi." Pada 1907, negara Indonesia belum ada. Slogan Medan Prijaji pun masih memakai nama Hindia Belanda. Pramoedya menulis soal Tirto dengan kedekatan emosional. Tirto dan Pramoedya sama-sama kelahiran Blora.

Benedict Anderson dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api menulis bahwa pada awal abad XX, "Koran mulai tumbuh di ampir setiap kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan. Timbullah djagoan2 masa media pertama di Hindia Belanda, termasuk diantaranya Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco, Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'."

"Timbul djuga djago2 pers Belanda, termasuk Zengraaff, jang dengan keras membela pengusaha swasta sampai ditakutin pemerintah kolonial sendiri, dan D.W. Beretty, seorang Indo keturunan Italia-Djawa Jogja, jang selain mendirikan persbiro pertama di Hindia Belanda --Aneta, Pakdenja Antara-- djuga menerbitkan madjalah radikal-kanan, berdjudul De Zweep (Tjamboek)." Anderson menulis adanya keragaman dunia media yang mulai tumbuh subur pada awal abad XX.

Kriteria “pribumi” itu bakal menimbulkan dampak yang tidak tepat. Bila kriteria "pribumi" ini dipakai untuk menerangkan suratkabar dan "kebangsaan" Indonesia, sebelum dan sesudah Medan Prijaji, bisa kacau-balau penelitian ini.

Sekadar contoh. Kalau Anda perhatikan thesis Daniel Dhakidae di Universitas Cornell, Anda akan membaca setidaknya tiga suratkabar sekarang --Kompas, Sinar Harapan dan Tempo-- yang punya cikal bakal "non pribumi." Harian Djawa Pos di Surabaya didirikan The Chung Sen, seorang penerbit Tionghoa, pada 1949 sebelum dibeli PT Grafiti Pers, yang memiliki saham Tempo, pada 1982. Bagaimana Indexpress bikin barisan 365 media itu tanpa memasukkan Kompas, Sinar Harapan, Jawa Pos dan Tempo?

Tjahaja Sijang di Minahasa, sebelum diawaki orang Minahasa, antara lain, A.A. Maramis, memang milik Nederlandsch Zendeling Genootschap, sebuah lembaga zending Belanda. Namun NZG adalah lembaga yang melahirkan Gereja Masehi Injili di Minahasa, dengan kebaikan dan jasa sangat besar di bidang pendidikan dan kebudayaan. Saya kira mengabaikan Tjahaja Sijang, dengan alasan ia milik "Belanda," akan membuat wartawan di Minahasa bertanya-tanya. Maramis tak punya rekaman antagonistik terhadap orang-orang Belanda.
Contoh lain. Harian Flores Pos (1999) terbitan Ende, yang dipilih Indexpress, juga milik Societas Verbi Divini (SVD), sebuah organisasi Katolik dengan pusat di Roma. SVD adalah organisasi multinasional. Bisa jungkir balik Indexpress kalau mau dicari SVD itu pribumi mana? Cikal bakal Flores Pos adalah majalah Bintang Timoer (1928) dan dwimingguan Bentara (1948), yang juga punya komponen "non pribumi."

Lantas apa kriteria sih pribumi? Kalau kategori "pribumi" juga dipakai di Papua, bagaimana Taufik Rahzen memandang Eri Sutrisno? Dia orang Jawa, sekarang pemimpin redaksi mingguan Suara Perempuan Papua, suratkabar paling bermutu di Jayapura. Namun di Papua, Eri Sutrisno dianggap bukan “penduduk asli.” Bagaimana menyusun logika "pribumi" Indexpress terhadap orang Jawa, yang berjasa untuk jurnalisme di Papua, namun secara umum dianggap bukan pribumi Papua?

Kalau kriteria pribumi diletakkan di Timor Leste, negara yang baru meraih kedaulatannya, saya kira Rahzen juga akan jungkir balik. Irawan Saptono, orang Jawa warga
Indonesia, lama bekerja di harian Suara Timor Timur pada zaman pendudukan Indonesia. Kini Timor Lorosae sudah merdeka. Irawan juga kembali ke Jakarta. Apakah Irawan tak berjasa dalam pengembangan jurnalisme di Dili?

Pada 1995, saya ada di Dili dan melihat sendiri kerja keras dan keberanian Irawan membela orang-orang
Timor dari tentara Indonesia. Irawan belakangan terpaksa lari dari Dili karena ketidaksukaan militer Indonesia. Irawan bekerja untuk melayani masyarakat Dili dengan informasi tanpa ribut soal "kebangsaan" Timor Leste atau Indonesia. Tidakkah ini tindakan terpuji? Bagaimana perasaan Irawan Saptono bila namanya dihilangkan begitu saja dari sejarah Timor Lorosae? Tidakkah tujuan utama jurnalisme adalah memberitakan kebenaran? Tidakkah bisa dipertanyakan metode Rahzen ketika jurnalisme disejajarkannya dengan advokasi? Tidakkah ini menyamakan suratkabar partai dengan harian independen?

Saya kira logika ini bisa menjelaskan bahwa orang-orang macam F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, G. Franscis, ter Haar, Kwee Kek Beng, J.H. Pangemanann, F.D.J Pangemanann dan sebagainya juga, bekerja keras menyampaikan kebenaran kepada pembaca mereka, sama dengan Tirto. Mereka tak bisa diabaikan dengan mengambil Medan Prijaji sebagai tonggak media yang menyuarakan "kebangsaan" Indonesia.

Ide soal nation-state juga bukan pribumi di Hindia Belanda, atau yang sekarang disebut Indonesia. Ide ini mulanya berkembang di Perancis dan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun lalu. Ide ini menyebar tanpa mengenal batas kerajaan, etnik, agama maupun lautan. Ia juga mendarat di Hindia Belanda dengan segala macam tafsir dan variasi. Kalau tiba-tiba ide soal nasionalisme ini “dipribumikan” ala Indexpress, saya kuatir, mereka kini sedang memberikan informasi yang menyesatkan kepada masyarakat. Proyek ini kurang mendidik warga Indonesia untuk belajar dari masa lalu dengan sebaik-baiknya.

Pramoedya Ananta Toer menulis dalam Sang Pemula bahwa guru Tirto dalam jurnalisme adalah Karel Wijbrands, warga Prancis, kelahiran Amsterdam dan meninggal di Batavia pada 1929. Tirto patuh dan hormat pada Wijbrands. Tirto juga bekerja bersama dengan F.D.J. Pangemanann, orang Minahasa. Tirto juga bekerja dengan F. Wiggers. Tirto menghormati tradisi Wiggers, yang menghargai dan menghormati golongan Tionghoa. Namun Tirto juga termasuk anak emas Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira militer yang memimpin Prang Athjeh dan membunuh cukup banyak warga Aceh pada awal abad XX. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seorang politikus macam Tirto, yang dekat dengan van Heutsz, yang tangannya berlumuran darah orang Aceh, bisa diterima oleh wartawan di Aceh sebagai “pahlawan”?

Saya berpendapat Indexpress salah memakai kriteria “pribumi.” Kelak 100 tahun lagi, kalau kriteria ini konsisten dipakai terhadap Pantau, maka Pantau akan diabaikan karena ada “non pribumi” dalam komunitas ini. Ada juga wartawan-wartawan "non-pribumi" –Fikri Jufri, Toriq Hadad, Yosep Adi Prasetyo, Lenah Susianty dan lainnya-- ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen maupun Institut Studi Arus Informasi masing-masing pada 1994 dan 1995. Dua organisasi ini mendirikan media bawah tanah pada zaman Presiden Soeharto, guna menyiasati sensor dan bredel, sehingga beberapa anggotanya dipenjara. Tidakkah logika macam Indexpress ini juga kelak akan menghapus AJI dan ISAI berhubung ada “non-pribumi”?***

Andreas Harsono adalah ketua Yayasan Pantau, bergerak di bidang pelatihan wartawan dan sindikasi feature, dari tiga kantor Jakarta, Banda Aceh dan Ende. Dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi.

Tulisan Terkait

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu

Hari (Jadi) Pers Nasional: Meremehkan Peran Surat Kabar Lain