KODE-4

Monday, August 6, 2007

Dari Pemeranan ke Konsepsi Teater: Sebuah Inheren


Catatan Pementasan “Tangga” Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang

OLEH NASRUL AZWAR

Pada Pentas Seni II Tahun 2002 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatra Barat, Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand hadir dengan pertunjukan berjudul “Jenjang”, karya dan sutradara Prel T.

Saat itu, Prel T mengatakan, “Jenjang” digarap dengan konsep eksperimen yang difokuskan adalah teknik estetis pertunjukan. Seluruh pengadegan didominasi oleh konsep fungsional. Pembentukan set di samping bersifat statis, juga dinamis. Maka dengan sendirinya set dibentuk melalui pembentukan adegan. Sentral performance adalah ruang (bukan bidang). Seluruhnya memanfaatkan sejumlah jenjang (dalam berbagai ukuran) sebagai properti utama.

Pertunjukan Teater Eksperimental KPDTI itu telah lewat 5 tahun lalu. Saat itu, saya mencatat, pertunjukan “Jenjang” berhasil dalam konsep eksperimental, tapi gagap dalam penyampaian isi dan pemeranan. Sehingga yang terlihat di atas panggung adalah seperti seorang khatib menyampaikan kutbahnya. Idealnya sebuah pertunjukan teater, tentu, keduanya—konsep garapan dan pemeranan—sebuah yang inheren dan terintegrasi. Keduanya mesti sama-sama diperjuangkan.

Pekan terakhir Juli lalu, 21 Juli dan 27 Juli 2007 di Kota Padang Panjang dan Padang, publik teater disuguhkan dengan pertunjukan teater yang juga eksperimentatif dalam garapannya, yakni pertunjukan teater berjudul “Tangga” yang dipentaskan oleh Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang, sutradara Yusril.

Dari informasi yang diperoleh, “Tangga” bersumber dari dua karya dari penulis yang berbeda, yaitu puisi “Tangga” karya penyair Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T. Inti dari cerita seputar sistem kekuasaan di Minangkabau yang bersumber dari ideologi Datuk Katumanggungan (Koto Piliang) yang lebih cenderung feodalistik dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Bodi Caniago) yang mengarah demokratis dan egaliter. Kedua ideologi itu tidak dimaknai dikotomis oleh masyarakat Minangkabau, tapi lebih pada tataran sinergitas.

Pementasan “Tangga” mengesankan kehendak untuk menyampaikan hal demikian. Maka, muncullah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokoh-tokoh di atas pentas, seperti bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), duduak sahamparan, tagak sapamatang (duduk sehamparan dan berdiri sepematang), indak kayu janjang dikapiang (tiada kayu jenjang dikeping) lah jatuah diimpik janjang (sudah jatuh tertimpa tangga), dan lain sebagainya yang merupakan idiom-idiom sosial yang sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau.

Malam itu “Tangga” dibangun menjadi situs atau lokasi dalam sebuah ruang yang dikonstruksi secara sosial dengan simbolisasi yang relevansinya kadang lepas. Tokoh-tokoh yang niridentitas diberi beban yang cukup rumit dan rijit untuk memanifestasikan makna-makna simbolik dalam sebuah ruang yang sarat dengan kehendak, keinginan, dan juga ambisi, yang akhirnya semua tak terkendali dan tak fokus. Pementasan “Tangga”, malam itu, 27 Juli 2007 di Taman Budaya Sumatra Barat, seperti kehilangan konsentrasinya dan melupakan basis yang sebenarnya telah jadi kekuatan Komunitas Hitam-Putih selama ini, yakni eksploratif dan semiotif visual. Dan saya membandingkan ini dengan pertunjukan sebelumnya, yaitu “Menunggu” dan “Pintu”, sekadar menyebut contoh saja.

Praktik-praktik pemaknaan atau aktivitas penciptaan makna yang selama ini demikian kaya hadir dalam setiap garapan Komunitas Seni Hitam-Putih, seolah tak saya jumpai lagi di “Tangga”. “Tangga” seperti sebuah antiklimaks perjalanan teater kelompok ini. Dalam catatan saya, dan ini bisa diperdebatkan kembali, bahwa Komunitas Seni Hitam-Putih terasa kurang pas bermain dalam tema-tema yang terkait dengan tradisi kultur Minangkabau, dan mereka sepertinya mesti belajar lebih banyak terkait dengan Minangkabau.

Namun demikian, selama ini, sesungguhnya, kelompok ini telah menemukan bentuknya dalam ranah eksploratif dengan tema kontemporer yang universal, dan isu-isu posmodern. Dan gaya ini sesungguhnya telah terbangun sejak berdirinya kelompok ini tahun 1996.

Sepanjang hampir satu jam pertunjukan “Tangga” dengan penjejalan tubuh-tubuh aktor, yang katanya fungsional sebagai properti pentas dan fungsionalisasi propereti tangga (yang jumlah sama banyak dengan aktor, yaitu 8 (delapan), tentu memberi warna lain dalam perkembangan teater di Sumatra Barat. Paling tidak, konsepsi garapan dan bentuk pemanggungan, bagi saya memang berbeda dengan kelompok-kelompok teater lainnya. Kekuatan estetik dengan konsepsi yang membuka kemungkinan-kemungkinan tafsir di atas pentas, adalah kelebihan “Tangga”, tapi—seperti disebut sebelumnya—gagap dalam pemeranan.

Delapan buah tangga yang diusung masing-masing pemain, seperti videp klip yang menghadirkan penggalan-penggalan peristiwa: tangga kadang dikonstruksi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, bangunan penjara kekuasaan, alat penindas bagi penguasa, menara kekuasaan, pembatas kekuasaan, jembatan untuk berkuasa, beban kekuasaan, keranda mayat akibat kekuasaan, dan sebagainya.

Dengan mengenakan busana merah, depalan orang dan delapan jenjang, yang sukar diidentifikasi emosionalnya karena mamang ke delapan orang yang ada di pentas itu niridentitas: Mereka tak punya titik simpul dalam tataran sosial. Maka, hal itu tak mungkin dilakukan. Mengurai identitas delapan tokoh-tokoh itu sama saja dengan mereduksi dalam struktur sosial yang stabil. Mereka bukan berada dalam regularitas sosial dengan memakai pola-pola sosial yang mapan. Mereka adalah representasi sosial yang cenderung resistensif terhadap tatanan yang sosial.

Maka, semua dialog yang muncul di atas pentas, seperti sebuah bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian yang dimanifestasikan dalam beragam gerak dan konstruksi simbol-simbol. Simbol yang dibangun pun kadang bertolak belakang dengan ucapan tokoh. Kata-kata hanya merupakan teriakan di tengah galaunya sistem sosial dan kekuasaan.

Sehingga, content yang susungguhnya tak perlu lagi secara verbal disampaikan aktor, menjadi kehilangan maknanya. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari mulut aktor, menjadi artifisial. Kadang, dialog atau kalimat yang melompat itu, kontradiktif dengan bangunan “peristiwa” teater yang sedang berlangsung di atas pentas. Dalam tradisi Minangkabau, pepatah bajanjang naik batanggo tidak dimaknai secara verbal dan artifisial dengan melakukan gerak turun naik tangga, tetapi lebih kepada mekanisme dan regulasi dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Di “Tangga” aktor melakukan gerak turun naik tangga dengan sangat verbalistik.

Gerak, yang tampaknya banyak dikolaborasikan dengan koreografi, terlihat tak mampu mempertegas maknawi teks yang sastrawai itu. Tokoh-tokoh, karena demikian banyak beban “Tangga” yang ingin disampaikan, tampak lelah. Penggunaan bahasa dalam rentang satu jam itu, mengesankan seperti bukan berasal dari hubungan antarkata yang kompleks, dan bukan berangkat dari karakteristik tokoh-tokoh yang hakiki. Makna kata dan kalimat dialog tokoh-tokoh tidak menemukan relasional dan kontekstualnya. Ada yang lepas antara simbol yang dikontruksi dengan ucapan tokoh.

Maka, beberapa aspek yang sangat perlu didiskusikan lebih lanjut adalah persoalan aktor dan pemahaman naskah itu sendiri. Proses teater bukan semata menuju pada bentuk pertunjukan, tapi, teater juga terkait dengan sejauh mana pemahaman aktor dan juga elemen lain (musik, pencahayaan, dan juga penasihat spiritual Komunitas Seni Hitam-Putih) terhadap tema-tema yang digarap.

Pada “Tangga” saya menjumpai bagaimana aktor kurang demikian akrab dengan apa yang disebut dengan simbol-simbol dan kalimat-kalimat penuh filosofi yang dijadikan basis garapan Komunitas Seni Hitam Putih. Dan kasus serupa juga terjadi saat Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand mementaskan “Jenjang”, kendati untuk menghadirkan simbolisasi, memang lebih kaya Yusril.

Tapi, sisi yang menarik adalah pemanfaatan dan eksplorasi panggung yang dilakukan Yusril cukup inovatif: Pentas bisa saja hadir di dinding panggung dan samping panggung. Apa yang dikatakan dengan “meruang” tampak menemukan realitasnya. Gaya demikian tentu dimaknai sebagai suatu praktik pemaknaan yang melibatkan objek-objek (tangga dan ruang pentas) dalam kaitannya untuk membangun semiotika visual sebagai tanda kultural.

Selain itu pula, satu hal yang juga menarik, saya melihat pertunjukan ini sukses dari sisi penonton, lebih kurang 200-an penonton memenuhi Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, malam itu. Tapi, saya juga bertanya-tanya, apakah penonton nyaman menikmati pertunjukan itu? Semoga saja. ***

Saturday, August 4, 2007

Ditunggu Dogot: Menunggu, Merenung, Pasrah...


Samuel Beckett menggambarkan manusia hanya bisa pasrah.Namun,Komunitas Seni Hitam Putih memaknai berbeda dalam pementasan Ditunggu Dogot. Sepasang manusia –lelaki (Rudyaso) dan perempuan (Elisza)— asyik meluncur dengan sepeda kayuh.

Mula-mula keduanya santai menelusuri jalan berkelok-kelok yang hening.Mereka menuju suatu tempat, hendak menjumpai orang yang menunggu mereka. Identitas orang yang hendak mereka temui belum diketahui. Pun tempat, di mana mereka ditunggui juga tidak jelas.Hanya ada satu keyakinan bahwa mereka sedang ditunggu.

'Ditunggu Dogot': Interprets duality of waiting...

Waiting for Godot was authored by Irish poet, dramatist and novelist Samuel Beckett in English, and in French as En Attendant Godot. Beckett started writing the drama in Paris on Oct. 9, 1948, and finished it on Jan. 29, 1949.

It is a play with diverse interpretations, ranging from an indeterminate piece to a comedy, from a tragedy to a drama imbued with religious spirit.

Friday, August 3, 2007

Malin Kundang dan Perantaun Budaya [1]

Oleh Edy Utama

Dalam beberapa dekade terakhir, kebudayaan kita telah melakukan perantauan yang jauh ke negeri asing, dan sekali-kali pulang kampung dengan wajah malu-malu. Tetapi ada juga yang merantau Cina karena tidak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Ia menjadi si Anak Hilang yang terlupakan. Kebudayaan kita bagaikan legenda Malin Kundang. Malin Kundang pergi merantau dan kemudian pulang kampung setelah Kaya dan punya seorang isteri cantik dari negeri yang jauh. Ia membawa berbagai atribut dan simbol-simbol baru, yang relatif belum begitu dikenal di negeri ibunya sendiri.perjumpaan terjadi, antara keduanya tidak lagi begitu saling mengenal dan tidak lagi merasa memiliki masa lalu yang sama. Bahkan keduanya merasa asing dan berjarak. Diantara keduanya terdapat tirai pemisah yang sulit dipertemukan.

Syukurlah kemudian, Sang Ibu yang setia menunggu kampung Malin Kundang, dalam kenangan masa lalunya masih dapat mengenal sedikit tanda dalam diri anaknya. Sang ibu sangat yakin, lelaki yang didampingi perempuan cantik dengan segala atribut tersebut, adalah anak kandungnya. Anak yang dilahirkan dari rahim warisan budaya nenek-moyangnya. Sang ibu menyapa anaknya dengan perasaan balau dan cemas, karena khawatir Sang Anak tidak lagi mengenal dirinya. Sang ibu berharap Malin Kundang tidak melupakan. Namun Malin Kundang tidak lagi begitu mengenali masa lalunya, meskipun di dalam dirinya kadang-kadang muncul lintasan-lintasan kenangan tentang kampung, tentang ibunya, tentang masa kecilnya, tentang saudara-saudaranya, tetapi semuanya berwujud dalam kesamaran ingatannya. Ia tidak begitu yakin tentang masa lalunya tersebut, karena bagi Malin Kundang yang telah merantau tidak lagi memerlukan masa lalu tersebut. Ia telah menjadi masa kini, di tengah zaman yang dapat menyediakan kebutuhan duniawinya. Itu pulalah sebabnya, ketika perjumpaan budaya terjadi antara ia dan ibunya, antara rantau dan kampung, antara masa lalu dan masa kini, ia tidak lagi merasa ada hubungan emosional di antara keduanya. Malin Kundang tidak lagi mampu mengenal dan mengarifi perjumpaan tersebut sebagai peristiwa kultural yang memiliki tali sejarah yang berkesinambungan. Tali sejarah itu telah terputus atau diputuskan oleh pengalaman kekinian, yang begitu bergemuruh, memukau, instan, exotis, telanjang, memabukan, dunia yang selalu bergoyang dan segala bentuk kesenangan sesaat yang selalu dimimpikan. Malin Kundang telah mengalami keterputusan sejarah dengan lingkungan budayanya sendiri, yang sebelumnya telah mengasuh dan membesarkan.

Seperti yang kita ketahui, mitos Malin Kundang beerakhir dengan sebuah tragedi. Sebuah chaos. Tetapi, mungkin juga merupakan sebuah pembebasan budaya dari penjelajahan duniawi yang dilakukan Malin Kundang. Ia telah menjadi sebuah simbol yang asing bagi masa lalu dari kebudayaannya sendiri. Sebuah simbol yang tidak lagi mengenal bumi yang melahirkannya. Karena itu, ia kemudian dikutuki sang ibu sebagai anak yang durhaka, dan kemudian menjadi batu. Malin Kundang kemudian menjadi simbol pembangkangan budaya dan penafian masa lalu. Bahkan ia dikutuki secara bersama-sama.

Tetapi salahkah Malin Kundang? salahkan ibu yang telah melahirkannya Salahkah masa lalunya? Salahkah masa kininya? Salahkah tempat ia dibesarkan? Salahkan masyarakat yang telah mengasuhnya? Entahlah. Apakah Malin Kundang yang pergi disebabkan ketidaknyamanan lingkungan budaya yang mengasuhnya dapat disalahkan sebagai anak yang durhaka? Bukankah perantauannya didorong oleh kenyataan, bahwa lingkungan budaya dan masyarakat tempat ia tumbuh tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang dapat menentramkan kegelisahan kulkural yang dirasakannya? Jadi ada alasan-alasan tersembunyi di dalam kebudayaan ibunya, yang tidak lagi begitu disadari dan dipertanyakan sebagai sumber-sumber kegelisahan kultural dari Malin Kundang. Dalam konteks ini, Malin Kundang dapat dilihat sebagai sosok yang ingin mencari sorga baru yang lebih sesuai dengan gejolak bathinnya sendiri, namun tidak terpahami oleh sejarah budayanya dapat dianggap sebagai sebuah pembangkangan? Atau hanya sekedar pilihan, karena tekanan, kepungan dan godaan budaya di sekitarnya yang tak terelakan?

Namun ibunya yang merupakan masa lalu Malin Kundang, mungkin juga tak dapat disalahkan. Ia telah menunggu dan menjaga rumah budaya yang ditinggalkan Malin Kundang. Sang Ibu selalu menanti dan berharap, Malin Kundang suatu saat akan kembali lagi dan dapat mengenal masa lalunya. Sang ibu masih ingin menuturkan kembali dongeng-dongeng dari negari antah baratah, yang menjadi permainan tidur Malin Kundang pada kecilnya. Sang ibu sngat berharap Malin Kundang kepangkuannya di dalam rumah warisan budaya, yang sudah mulai ditinggalkan oleh banyak orang kampungnya.

Sebuah legenda, sebuah peristiwa budaya, baik yang datang dari masa lalu maupun yang akan datang dari masa kini, sangat terbuka untuk ditafsirkan dari berbagai perspektif. Tak ada yang dapat ditafsirkan secara tunggal. Tafsiran ini bergerak dan berkembang sesuai dengan konteks zamannya dan pengalaman manusia yang ada di dalamnya. Sebuah kebudayaan apapun bentuknya, selalu membutuhkan tafsiran yang baru yang bersifat dinamis, sehingga mampu menangkap tanda-tanda zaman yang berubah. Mampu membaca dan sekaligus memberikan tafsiran tentang masa lalu, tentang apa yang telah terjadi serta kecendrungan-kecedrungan masa depan yang mengepung dar segala penjuru.

Begitu juga dengan Malin Kundang. Malin Kundang sebagai manifestasi kultural mungkindapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda pula. Selama ini ia lebih banyak dipandang sebagai anak dan kemudian menjadi batu karena mendurhaka kepada ibunya. Pandangan tentang Malin Kundang sebagai anak durhaka sepertinya telah menjadi bagian dari paradigma kebudayaan kita. Namun bagi sastrawan A.A. Navis, justru sebaliknya. Bagi A.A. Navis yang mendurhaka itu justru adalah. A.A. Navis telah memberikan suatu tafsiran baru tentang Malin Kundang.

Dalam konteks inilah saya kira menarik untuk menyimak kembali apa yang telah ditulus sastrawan A.A. Navis. Dalam salah satu cerita pendeknya, Malin Kundang Ibunya Durhaka A.A. Navis dengan tajam telah mengaktualkan berbagai persoalan yang lebih kontektual dari lingkungan budaya tersebut. Melalui cerita pendek ini, A.A.Navis mengemukan berbagai persoalan mendasar dalam kehidupan kebudayaan kita, baik yang bersumber dari masa lalu maupun masa kini, ppersoalan gap antar generasi, kesetiaan budaya dan sekaligus penghianatan yang ada di dalamnya, telah digambarkan melalui interpretasi baru legenda Malin Kundang. Dengan argumentasi yang berbeda, A.A Navis memberikan alasan-alasan baru kenapa Malin Kundang sebagai anak zaman melakukan pembangkangan dan pendurhakaan terhadap ibunya. Dalam cerita pendek tersebut, A.A. Navis tampaknya ingin menegaskan kembali, bahwa pendurhakaan Malin Kudndang terhadap ibunya, bukanlah tersebab oleh Malin Kundang itu sendiri, tetapi lebih didorong oleh prilaku budaya masyarakat yang telah ditinggalkan Malin Kundang. Malin Kundang bagi A.A. Navis telah menjadi simbol pembangkangan budaya yang bersifat konstruktif.

Seperti diceritakan dalam cerpen tersebut, ketika Malin Kundang pulang kampung dengan membawa isteri yang cantik, dan tentu saja dengan kekayaannya yang diperoleh di perantauan, Malin Kundang marah besar karena melihat kampungnya sendiri telah berubah. Telah menjadi wilayah yang gersang, kering kerontang karena digerogoti untuk berbagai kepentingan. Kekayaan alamnya, budayanya, dan segala hal yang indah-indah yang masih terpelihara ketika Malin Kundang akan pergi ke perantauan, telah lenyap di telan bumi. Malin Kundang menemukan kerusakan yang luar biasa dari tanah kelahirannya. Ia tidak lagi menemukan keakraban masa lalunya. Itulah yang menyebabakan Malin Kundang menganggap ibunya tak mampu menjaga dan memeliharanya.

Amukan Malin Kundang tidak membuat ibunya marah, karena memang telah merasa bersalah menjaga amanah. Ibunya bahkan berhiba-hiba pada Malin Kundang. Itu pulalah dalam versi cerita pendek ini Sang Ibu tidak mengutuk Malin Kundang sebagai anak durhaka. Namun Malin Kundang yang kemudian mengutuki dirinya sendiri, sehingga menjadi batu. Malin Kundang tidak mau memjadi anak yang durhaka, tetapi ia juga merasa bersalah membiarkan negerinya dihancurkan ketika ia sedang melakukan perantauan. Malin Kundang marah kepada sendiri dan mengutukinya. Malin Kundang telah memilih keberanian kultural untuk melakukan sebuah otokritik yang radikal terhadap dirinya sendiri. Sebuah keberanian yang sangat jarang terjadi.

Dari sinilah tragedi baru Malin Kundang mulai menjadi persoalan kebudayaan kita. Tragedi yang melahirkan berbagai kecemasan budaya karena setelah itu, semakin banyak yang meninggalkan kamoungnya dan melakukan perantauan yang jauh ke dunia lain, yang penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakkepastian. Bamyak orang berangkat meniggalkan tradisinya dan merayakan tanpa mempersoalkanmasa lalu dan masa depan. Perayaan inilah yang sekarang kita sebut dengan perayaan budaya massa. Semuanya tumpah ke daratan kehidupan budaya yang begitu hiruk pikuk dan memabukan. Tapi tak banyak yang berani memilih menjadi Malin Kundang seperti dalam cerita pendek A.A. Navis.

Tafsiran A.A. Navis tentang legenda Malin Kundang melalui cerita pendeknya ini, saya kira sesuatu yang sangat tepat untuk menggam,barkan situasi kultural kita dewasa ini. Situasi kultural yang compang-camping, tanpa akar budaya, penuh dengan paradok, serta tercabik-cabik akibat tarik menarik antara keinginan untuk melanjutkan tradisi yang diwarisi dengan budaya massa yang digerakkan oleh kekuatan industri-kapitalisme dengan segala kekuatan teknologinya. Malin Kundang yang ingin digambarkan A.A. Navis, adalah Malin Kundang yang tanpa sabar telah melakukan penyebrangan kultural dari wilayan tradisi kepada budaya massa dengan sebuah pertanggungjawaban kultural.

Beberapa dasawarsa terakhir dalam kehidupan kebudayaan kita, memang telah terjadi migrasi budaya besar-besaran. Telah terjadi perantauan yang jauh denganmeninggalkan kampung halamannya sendiri. Banyak pendukung kebudayaan tradisi dari berbagai etnik di Indonesia, yang berimigrasi ke kota-kota sebagai rantau yang menjadi basis pertumbuhan dari budaya massa tersebut. Sekarangpun kampung-kampung telah dirambah pula oleh budaya massa tersebut. Banyak perantau yang pulang, dan menularkannya, baik secara langsung maupun melalui teknologi yang makin canggih. Sayangnya tak banyak yang mau menjadi Malin Kundang seperti yang digambarkan A.A. Navis, yang memiliki keberanian untuk mengutuki dirinya sendiri, sebagai sebuah pertanggungjawaban kultural. Kita lebih senang menyalahkan orang lain, sehingga terhindar dari perasaan berdosa.***

Thursday, August 2, 2007

Pembakaran Buku dan Politik Iliterasi

OLEH Nurani Soyomukti


Belakangan ini panggung budaya kita diwarnai dengan adanya razia buku-buku sejarah yang dianggap “menyesatkan”. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Negeri Kota Depok memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004. Bahkan secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).

Berawal pada tanggal 9 Maret 2007, saat Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.

Tindakan merazia dan men-sweeping buku yang dianggap melanggar hukum tersebut terjadi secara meluas di berbagai daerah. Yang perlu dicatat, kejadian semacam ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bangsa kita. Pelarangan, pembakaran, dan represi terhadap aktivitas menerbitkan buku atau terbitan lain selalu terulang-ulang. Apalagi, pada saat masyarakat kita saat ini tengah dihegemoni oleh budaya tonton (terutama didominasi acara sinetron, telenovela, dan gosip), keberadaan buku sebagai bacaan yang mencerahkan masyarakat begitu tentan untuk terancam. Pongahnya jaksa agung mengeluarkan larangan tersebut salah satunya juga karena ketidakpedulian masyarakat terhadap dunia buku dan budaya baca-tulis, karena budaya tonton bagai penjara yang memasung naluri kritis dan kesadaran demokrasi.

Kemunduran Budaya Literer

Buku adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah Negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.

Ketidakproduktifan masyarakat Indonesia memang berkaitan dengan sejarahnya. Sebelum modernisasi masuk, budaya baca-tulis tidak terbangun karena rakyat hanya menerima dan memberi informasi dan pengetahuan berdasarkan dongeng-dongeng yang tersebar, yang melekat pada pemahaman yang membodohi rakyat dan menguntungkan kaealang raja-raja (bangsawan). Melalui dongeng rakyat harus menerima pemahaman bahwa raja adalah gusti (wakil Tuhan/Dewa), yang harus dituruti perintahnya. Ini menunjukkan bahwa budaya oral (lisan) di mana budaya baca-tulis tidak hidup, sebuah masyarakat bukan hanya tidak dapat maju, tetapi juga diwarnai hubungan penindasan dan penipuan.

Asumsi tentang masyarakat literer dan modernisasi dapat kita pahami dari studi ilmu-ilmu sosial seperti dalam studi Daniel Learner yang mempelajari tradisi, transisi, dan modernisasi di enam Negara Timur Tengah. Dalam bukunya The Passing of Traditional Society: Modernizing The Middle East, Learner menerapkan asumsi ketat bahwa perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern ditandai oleh akses kepada tulisan atau aksara (baik buku maupun koran) dan kepada media komunikasi massa lainnya seperti radio.

Masyarakat modern Indonesia yang dicangkokkan oleh penjajah Belanda melalui kolonialisme juga dengan sendirinya melahirkan masyarakat literer modern. Untuk mempercepat eksploitasi kapitalisme, maka harus ada infrastruktur politik dan budaya yang mendukungnya. Kapitalisme, berbeda dengan feodalisme kerajaan, membutuhkan masyarakat yang mengenal tulisan dalam tujuannya untuk menciptakan tenaga kerja yang modern seperti administrasi rasional yang membutuhkan dokumentasi dan publikasi, pekerja-pekerjanya yang membutuhkan kerja-kerja menulis (mulai juru ketik hingga akhirnya juga muncul penerbitan-penerbit an koran dan buku-buku).

Tak diragukan, kemunduran budaya literer barangkali terjadi ketika Orde Baru bercokol sebagai rejim yang takut pada kata-kata dan suara-suara dari rakyatnya. Setiap suara kritis dibungkam dan dikambing hitamkan. Membawa buku ditangkap, menulis ditangkap, dan menerbitkan koran dan majalah juga tidak aman.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah sejak ketuntuhan Orde Baru budaya literer kita meningkat? Modernisasi pasca-Soeharto membawa lompatan kualitas modernisasi di bawah payung sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal. Basis kebudayaan dihiasi dengan liberalisme, kebebasan untuk mengontestasikan ekspresi budaya yang salah satunya munculnya banyak penerbit media cetak baru, salah satunya juga penerbitan buku. Tetapi meragukan apakah menjamurnya penerbitan tersebut dapat berpengaruh pada cara masyarakat kita bersikap memandang realitas. Jika banyak orang yang menulis buku, banyak terbitan, bahkan banyak artis-artis yang menulis buku, ternyata dengan serta merta budaya literer juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat—sebagaimana jaman pergerakan kekuatan baca-tulis sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran rakyat.

Budaya baca-tulispun masih belum dapat mengalahkan saingannya dalam ranah budaya, yaitu budaya menonton (TV) yang juga sekaligus meningkatkan budaya oral seperti semaraknya acara infoteinmen (gosip). Kebiasaan gosip peranh jaya pada masa kegelapan jaman kerajaan di mana rakyat hanya menerima kabar dan perkembangan social dari getok-tular mulut dan dongeng. Budaya oral ini lebih banyak tidak objektifnya dan banyak manipulasinya. Selain itu budaya menonton tidak memicu produktifitas dan kreatifitas (imajinasi) otak. Berbeda dengan budaya baca-tulis yang membentuk kualitas pribadi, selain memasok dan mentransfer pengetahuan dan ideologi.

Masyarakat yang didominasi budaya tonton pastilah hanya memperbanyak generasi yang berpikir dan bertindak secara—apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai—“satu dimensi” (one-dimensional man). Mereka hanya bisa meniru dan lahirlah masyarakat permisif dan konsumtif—tidak produktif dan kreatif. Pada hal, untuk membangun bangsa ini kita butuh manusia yang berkarakter yang punya gairah untuk memahami persoalan dan memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencipta.

Mau tak mau, masyarakat literer harus dirumuskan pembangunannya. Bagaimana strateg-taktik untuk menciptakan masyarakat literer tentu saja membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Pemerintah harus mendukungnya, lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, dan penerbitan memiliki peran yang strategis. Selain itu juga komunitas-komunitas baca tulis yang kini semakin banyak bermunculan juga menandai adanya harapan bahwa masyarakat literer masih dapat diharapkan untuk mendukung pembangunan bangsa yang terseok-seok karena makna aksaranya sendiri.***

Nurani Soyomukti, Penulis Buku “REVOLUSI BOLIVARIAN: HUGO CHAVEZ DAN POLITIK RADIKAL”; berkhidmat di JARINGAN KEBUDAYAAN RAKYAT (JAKER); pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) Jakarta

DKI, dari Fakta ke Rekayasa

OLEH NASRUL AZWAR

Salah satu dari empat butir keputusan yang dihasilkan dalam Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia yang dilangsungkan di Jayapura, 22-25 Agustus 2005, adalah dibentuknya Dewan Kesenian Indonesia atau DKI. Selain keputusan yang dikeluarkan itu, kongres juga menerbitkan dua belas butir rekomendasi.

Salah satu butir rekomendasi itu adalah meminta kepada Presiden dan pemerintah untuk mengukuhkan berdirinya Dewan Kesenian Indonesia dengan surat keputusan presiden (keppres).

Setelah hasil kongres itu tersiar, sikap menolak atas rencana pembentukan DKI tidak dapat dibendung lagi. Berderet-deret tulisan di media cetak dan aksi dilakukan sejumlah seniman di Jakarta, beberapa waktu lalu, memunculkan satu kata: tolak (DKI)!


Akan tetapi, sebagian besar dari tulisan dan aksi penolakan itu ditulis dan dilakukan oleh orang yang tidak terlibat langsung dalam kongres. Hanya satu tulisan Isbedy Setiawan ZS yang dimuat di Media Indonesia ( 11 September 2005) yang berasal dari peserta sekaligus tim perumus kongres. Sementara tulisan Putu Fajar Arcana dalam Kompas edisi Minggu, 4 September 2005, lahir karena ia bertugas meliput jalannya kongres.

Bagi saya itu tidak jadi soal penting. Untuk itu pula tulisan ini mencoba menggambarkan perjalanan menuju lahirnya DKI itu karena saya utusan Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) sebagai peserta.

Fakta

Pada tanggal 15 Oktober 2004, DKSB menerima surat undangan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Undangan yang sama saya kira juga diterima oleh dewan kesenian (DK) lainnya di Indonesia.

Perihal undangan itu adalah Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Dalam undangan itu terlampir surat kesediaan Dewan Kesenian Tanah Papua (DKTP) sebagai tuan rumah/penyelenggara Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia. Kesediaan DKTP sebagai penyelenggara karena diamanatkan dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia V yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 3-7 Meret 1999. Adapun DKJ sendiri adalah sebagai Badan Kontak Antardewan Kesenian se-Indonesia.

Lembaran lainnya ada formulir tentang pernyataan keikutsertaan dalam Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia beserta kolom saran atau masukan. Formulir ini dikirimkan kembali paling lambat 31 Desember 2005. Surat tersebut ditandatangani Ratna Sarumpaet (Ketua Umum) dan Harris Priadie Bah (Sekretaris) Dewan Pekerja Harian DKJ.

Dalam undangan itu tertulis agar diinformasikan kepada DK kabupaten dan kota di wilayah masing-masing. Selain itu, dalam undangan juga tertera top pimpinan DKJ sebagai steering comitte (SC) sekaligus menetapkan tema musyawarahnya, yaitu ”Posisi Kebudayaan dalam Pembangunan Indonesia ke Depan”.

Waktu terus berputar. Sembilan bulan setelah surat pertama diterima, pada 17 Juli 2005, DKSB kembali menerima surat undangan dari DKJ. Surat undangan kedua ini substansinya berbeda dengan surat pertama. Perbedaan paling mencolok adalah berubahnya subtansi dan tujuannya.

Surat pertama mengundang DK untuk ikut serta dalam Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia, sedangkan surat kedua mengundang DK untuk ikut serta dalam Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Surat kedua itu disertai lampiran proposal, agenda dan materi acara, serta susunan kepanitiaan. Menyangkut jadwal dan tempat tidak ada perubahan. Surat undangan masih tetap ditandatangani orang yang sama.

Rekayasa

Perubahan dari musyawarah ke kongres, sepanjang informasi yang saya dapat, tidak pernah dijelaskan pihak DKJ maupun DKTP sebagai penyelenggara. Padahal, posisi beberapa pengurus DKJ yang menjadi SC sudah seharusnya menjelaskan perubahan yang sangat prinsip itu. Jika dipelajari lebih jauh, kesimpulan saya, dua surat yang dikirimkan itu memang sangat kontradiktif dan mengarah pada perbuatan manipulasi terhadap fakta yang sebenarnya, serta penuh dengan rekayasa.

Isi kedua surat itu dapat membuktikan bahwa DKJ sebagai SC telah ”mengatur” permainan menuju DKI itu. Pada surat pertama secara jelas tertulis akan digelar Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia 2005 seperti yang diamanatkan dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia V yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 3-7 Maret 1999. Musyawarah ini dilakukan berkala. Sedangkan surat kedua-di sinilah bermula manipulasi dan rekayasa itu-amanat di Yogyakarta itu bertukar dengan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia 2005. Tema pertemuan pun bertukar dengan ”Seni untuk Semua”.

Untuk itu pula, DK yang hadir di Jayapura, pada sidang pleno pertama mempertanyakan perubahan dari musyawarah ke kongres. Pertanyaan yang mendasar ini dijawab bahwa selama ini DKJ merasa sangat terbebani sebagai Badan Kontak Dewan Kesenian se-Indonesia yang diamanatkan dalam musyawarah di Yogjakarta, maka perlu kiranya dibentuk lembaga atau institusi yang dapat memayungi semua DK di Indonesia.

Jawaban itu jelas tidak memuaskan peserta. Seperti kongres partai politik, sidang diskors 30 menit. Akhirnya didapat kesepakatan, 10 utusan DK memilih nama kongres, 2 memilih nama musyawarah, dan 1 memilih keduanya. Maka, selanjutnya digunakan nama Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia.

Kondisi saat itu memang sangat dilematis dengan segerobak pertimbangan. Satu sisi para peserta harus menghormati kerja keras tuan rumah untuk mempersiapkan sedemikian rupa acara itu yang telanjur disosialisasikan dengan nama kongres. Dan rasanya sangat tidak menghargai mereka, tiba-tiba semuanya ditukar dengan nama musyawarah.

Sisi lain, sikap ”sepakat” menerima nama kongres seolah berkompromi dengan fakta yang telah dimanipulasi. Hasil bincang-bincang dengan kawan-kawan peserta, hampir semua beralasan memilih nama kongres karena pertimbangan kebersamaan, menghormati, dan menghargai DKTP dan masyarakat Papua sebagai tuan rumah.

Pertimbangan demikian memang memiliki efek dan konsekuensi. Paling tidak, keberadaan Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia seolah ”legitimed” dan keputusan yang dihasilkan juga diandai-andaikan berasal dari keinginan peserta kongres. Padahal, kondisi dilematis yang demikian itu dapat diraba sebagai upaya yang sengaja diciptakan demikian rupa yang memaksa peserta tidak punya pilihan lain.

Untuk yang satu ini, harus diakui, SC dan juga kelompok yang mendukungnya sangat cerdik dan lihai mem-plot kongres seolah terlegitimasi. Memang, harus dikatakan, peserta kongres telah dikelabui dan dimanipulasi.

Maka, apa yang dicurigai Arie F Batubara (Kompas, 19 September 2005) tentang keterlibatan DKJ atau sejumlah oknum anggotanya menyangkut plotting kongres itu menemukan pembenaran. Menurut dia, keterlibatan DKJ atau sejumlah oknum anggotanya, yang secara terang-terangan membawa nama DKJ sebagai sebuah lembaga, adalah tindakan yang bersifat manipulatif. Dalam hal ini, peserta kongres yang lain—yang bisa jadi hadir dengan membawa mandat resmi dari daerahnya—sesungguhnya bisa dikatakan sudah terkelabui.

Untuk itu pula, penelusuran lebih lanjut sangat dimungkinkan untuk membaca kembali hasil Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se-Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1999 itu. Paling tidak untuk memastikan apakah benar musyawarah itu menghasilkan butir tentang Kongres Dewan Kesenian seperti yang tertulis dalam surat kedua itu. Jika ditemukan yang sebaliknya, rumusan yang dihasilkan di Jayapura dapat dianggap tidak ada, termasuk pembentukan DKI itu. Karena semua berawal dari fakta menuju rekayasa.***

Klik Kompas, Senin, 26 September 2005

Wednesday, July 25, 2007

Catatan Kritis Pekan Budaya Sumatra Barat 2007:

Dari Program yang Gagal sampai Mainan Anak-anak

Oleh Nasrul Azwar, Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 resmi ditutup oleh Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, pada 14 Juli 2007 di Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat. Di tempat ini juga, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada 8 Juli 2007 membuka secara alek yang sama.

Galibnya sebuah alek—katakanlah Pekan Budaya—yang disponsori langsung dan tunggal oleh APBD Sumatra Barat yang dikelola dan dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat, maka laporan yang disampaikan berkisar kesuksesan besar alek tersebut. Seperti yang sudah-sudah, indikator keberhasilannya adalah jumlah pengunjung yang datang ke Pekan Budaya itu.

Dalam laporan Ketua Umum Pekan Budaya di depan Gubernur Sumatra Barat, dikatakan, sebanyak 65.000 orang datang ke Taman Budaya Sumatra Barat semenjak tanggal 8-14 Juli 2007. “Jumlah ini cukup menggembirakan,” kata James Hellyward dalam pidatonya.

Selain jumlah pengunjung, yang kita sendiri tak tahu bagaimana mengukur dan mendapatkan hasil yang demikian itu, juga disebutkan bermacam acara seni dan budaya yang diikuti kota dan kabupaten se-Sumatra Barat, berjalan dengan baik dan sukses, termasuk los lambuang itu.

“Los lambuang yang kita sediakan mendapat sambutan yang antusias dari pengunjung dan masyarakat. Hampir 24 jam los lambuang itu selalu dipenuhi pengunjungan,” tuturnya Kepala Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Sumatra Barat itu penuh semangat. Lalu, ia melanjutkan, tahun depan Pekan Budaya ini terus kita lanjutkan. “Jadwalnya minggu kedua bulan Juli.”

Memang, demikianlah sebuah laporan. Apalagi laporan itu mesti didengar atasan, dan juga publik, tentu isinya berkisar pada keberhasilan dan lancarnya sebuah acara dilaksanakan. Tak ada laporan yang berisikan sejauh mana target dari acara itu terpenuhi. Misalnya, untuk program “Lomba Bakaba”, “Lomba Mewarnai Gambar”, “Lomba Melukis”, “Tari Piring”, “Festival Legenda”, “Seni Tradisi Spesifik”, dan lain sebagainya, berapa jumlah masing-masing item acara itu diikuti oleh peserta dari kota dan kapupaten yang ada di Sumatra Barat? Berapa persentase capaian keberhasilan dari target yang dibuat?

Bagi publik (seniman, budayawan, pemerhati budaya, lembaga terkait, DPRD, dan juga bagi panitia sendiri), capaian dan target keberhasilan itu penting artinya. Sebab, dari hasil itu, semua pihak bisa mengevaluasi, semua orang bisa berpikir berdasarkan data dan fakta, dan selanjutnya terbaca titik-titik kelemahan dan kekurangan. Dan semua kita tentu akan sangat sepakat untuk menutupinya dengan persiapan dan konsep yang lebih jelas.

Dari “pencatatan” yang saya lakukan semenjak, persiapan Pekan Budaya ini pada bulan Januari 2007 hingga usai acara ini pada 14 Juli 2007, saya menyimpulkan, pola kerja sangat terkesan birokratif, tertutup, dan jumlah panitia yang sangat gemuk.

Pola kerja seperti itu memang bukan saja terjadi pada Pekan Budaya saat sekarang ini. Semenjak tahun 2004—Pekan Budaya pertama sejak reformasi—aroma serupa sudah kental melekat. Selain itu pula, bahwa ini diasosiasikan sebagai proyek bagi para birokrat terkait dan juga pejabat-pejabat yang punya kuasa, jelas memperburuk kondisi dan kerja, serta hasil yang mau dicapai dari Pekan Budaya itu sendiri.

Baiklah, sementara berbicara mengenai pola kerja itu kita tinggalkan. Kini kita coba membaca dengan saksama kinerja dan sejauh mana capaian dari sekian banyak program yang dibuat panitia Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Jika mengacu pada sistem dan pola kerja yang berbasis pada partisapasi publik, maka ukurannya adalah kuantitatif. Jumlah keterlibatan publik, keikutsertaan, dan keterlibatannya dalam sebuah program. Pekan Budaya ini menggunakan pola itu. Maka, 19 kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat sebagai partisipan atau target yang mau dicapai. Keberhasilan program terukur dari jumlah yang mau berpartisipasi.

Maka, dari semua item, iven, dan mata acara yang sudah disiapkan pada Pekan Budaya ini, bagaimana tingkat teterlibatan dan partisipasi kota dan kabupaten yang ada di daerah ini yang jumlah 19 itu? Tercapaikah target yang diinginkan?

Saya kira, inilah persoalannya. Beberapa contoh dapat kita buktikan untuk menjawabya. Misal, program yang disebut dengan “Lomba Bakaba”. Peserta mata acara ini cuma 3 orang, dan “Festival Legenda” malah diikuti 1 orang, puisi 12 orang (minus Kota Padang), tari piring 5 utusan, melukis 9 orang, dan juga kota dan kabupaten yang mengisi “los lambuang” yang terlihat dalam papan nama cuma Dharmasraya, selebihnya tak kita jumpai makanan yang khas yang jadi unggulan dari kota dan kaputen yang ada di Sumatra Barat. Yang hadir dalam los lambuang itu adalah pedagang biasa berjualan di kaki lima.

Dari sebagian data-data itu tergambar sudah sejauh mana capaian itu. Untuk “bakaba” dan “legenda”, misalnya, jelas sangat jauh dari harapan dan malah angka itu sangat ironis. Hampir semua kota dan kabupaten, sampai tingkat nagari-nagari di Minangkabau ini memiliki tradisi bakaba dan juga punya legenda masing-masing. Jika dalam Pekan Budaya yang dikesankan sangat hebat dan penuh warna-warni ini hanya diikuti tak sampai hitungan sebelah jari itu, jelas ada yang salah di tubuh pelaksanaan Pekan Budaya itu. Dan demikian juga dengan mata acara lainnya.

Persiapan yang dilakukan semenjak Januari 2007, tentu sangat mengesankan menjadi kerja yang setengah sia-sia jika diukur dari hasil yang dicapai pada hari pelaksanaannya, yang sebagian mata acara itu tingkat keberhasilannya tak mencapai 50%, dan memang ada juga beberapa mata acara yang cukup sukses dilaksanakan. Tapi, secara umum, Pekan Budaya tak memberi capaian yang memuaskan dariu sudut pastisipasi kota dan kabupaten.

Menilik hal ini, tentu ada sesuatu salah. Paling tidak ada permasalahan di dalamnya. Pertama, tak jelasnya konsep program yang dirancang. Kedua, sudahlah konsep tak jelas, sosialisasi pun tak dilakukan secara maksimal di tingkat partisipan. Ketiga, banyak panitia yang tak tahu apa yang mesti dikerjakan karena tidak adanya pola kerja yang jelas. Dan keempat, tidak ada kewajiban bagi pemerintah kota dan kabupaten yang ada di Sumatra Barat untuk ikut secara aktif dengan mengalokasikan dananya secara maksimal dalam Pekan Budaya yang diprakarsai Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Namun, terkait dengan ini, sesungguhya masalahnya bisa diatasi jika panitia secara serius mau berdialog dan mengkomunikasikannya dengan pemko dan pemkab. Tapi inilah yang tak dilakukan.

Pekan Raya Provinsi Sumatra Barat

Merunut pada hakikat pada kata “pekan” yang melekat pada Pekan Budaya Sumatra Barat, serta keterkaitannya dengan “menghimpun” pedagang di dalam Taman Budaya Sumatra Barat, memang tepat adanya. Memang benar demikian arti dari sebuah “pekan” jika kita mau membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), yaitu pasar malam dengan bermacam-macam pertunjukan.

Itu pula sebabnya muncul yang namanya Pekan Raya Jakarta, Pekan Raya Padang (Padang Fair), dan Pedati untuk Kota Bukittinggi, sekadar menyebut contoh. Karena memang dalam program yang memakai “pekan” itu—tapi kini banyak diganti dengan fair—diformulasikan sebagai ajang untuk berjualan, promosi pruduk, dan sekaligus “melegimasikan” keberadaan pedagang kaki lima yang biasanya kerap kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Kini, atas nama bayaran sewa tempat, tenda, listrik, dan lain sebagainya, mereka tak cemas lagi diusir petugas. Mereka berdagang.

Biasanya setiap acara yang begini selalu ramai. Selain berjualan dan berpromosi, di arena itu juga disiapkan beragam hiburan, lomba, dan pertunjukan seni yang menarik bagi masyarakat. Inilah hakikat dari sebuah “pekan”. Karena konsep “pekan” itu adalah keramaian, maka, tuntutan pertunjukan dan lomba adalah yang mampu mengumpulkan banyak orang. Atau paling tidak harus terkesan ramai.

Maka, Pekan Budaya Sumatra Barat tak jauh berbeda dengan pekan-pekan yang digelar berbagai kota di Indonesia, dan sudah jelas tidak akan berbeda jauh dengan Padang Fair yang akan digelar pada 8-16 Agustus 2007. Malah, saya memprediksi jauh lebih bagus dari Pekan Budaya Sumatra Barat, baik persiapan maupun materinya. Selain itu pula, mereka tidak mau memberi embel-embel “budaya” di dalam judul besar acaranya. Dan sepanjang yang saya ketahui, ukuran keberhasilan setiap program Parsenibud Provinsi Sumatra Barat adalah angka dan jumlah orang yang datang ke suatu ivennya.

Tentu, jika hakikat Pekan Budaya Sumatra Barat sama dengan “pekan-pekan” yang pernah digelar di berbagai kota di Nusantara ini, sebaiknya dibuang saja kata “budaya” dan diganti dengan “raya”, maka selanjutnya disebut “Pekan Raya Sumatra Barat”. Dan panitia atau pihak terkait bisa melepaskan diri jika ada yang menuding “berladang di punggung budaya”. ***

Multikulturalisme Teater Indonesia: Menghormati Keberagaman

(Catatan PAT 2003, STSI Padangpanjang)
Oleh Sahrul N
Benny Yohannes dalam makalahnya mengatakan bahwa “multikulturalisme dalam teater seyogyanya dipahami dalam prinsip hadir yang selalu tidak ada (absent present). Bahwa budaya itu tidak pernah memiliki transendensi atau Pengada-Besar, atau asal-usul arkaiknya. Sebab pelacakan terhadap asal-usul seperti itu selalu membikin kita yatim dan semakin yatim. Namun rentangan keyatiman itu adalah sumber-sumber epistemik yang tak pernah menyediakan batas, kefinalan atau kesudahan”.

Meramu Mimpi Teater Indonesia Atawa Selamat Pagi

Oleh Sahrul N
Kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya kebudayaan asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakukan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia
(Haviland, 1988:251).

Teater Indonesia, Refleksi Identitas Kebhinekaan

(Catatan Menjelang Pekan Apresiasi Teater 2003 STSI Padangpanjang)
Oleh Sahrul N
Wacana multikulturalisme telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari persoalan politik, sosial, rasa kebangsaan, kebudayaan, sampai pada persoalan kesenian yang salah satunya adalah teater. Multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisan, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Arahnya adalah keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Catatan Pementasan "Tangga" Hitam-Putih Indonesia


Menggugat Demokrasi Minangkabau
Oleh Sahrul N

“dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras dua lelaki yang berbeda pikiran, orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang bagai lukisan perdamaian”
Dialog demokrasi tak bernama inilah yang diusung dalam pementasan teater yang berjudul “Tangga” sutradara Yusril dari Komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang Sumatra Barat. Pementasan yang berdurasi sekitar satu jam ini ditampilkan di STSI Padangpanjang tanggal 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 2007. Karya seni teater ini terinspirasi dari dua karya sebelumnya yaitu puisi “Tangga” karya Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T.

Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung

Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat. Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan.

Pernyataan Sikap sebagai berikut:

  1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya
  2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika
  3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:

01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad
33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha'b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)90. 91. Langlang
Randhawa (Serang)
92. Muhzen Den (Serang)
93. Renhard Renn (Serang)
94. Fikar W. Eda (Aceh)
95. Acep Iwan Saidi (Bandung)
96. Usman Didi Hamdani (Brebes)
97. Diah S. (Tegal)
98. Cunong Suraja (Bogor)
99. Muhamad Husen (Jambi)
100. Leonowen (Jakarta)
101. Rahmat Ali (Jakarta)
102. Makanudin RS (Bekasi)
103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
104. Syarif Hidayatullah (Depok)
105. Moh Hamzah Arsa (Madura)
106. Mita Indrawati (Padang)
107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
108. Sri al-Hidayati (Bandung)
109. Nabilah (DKI)
110. Siti Sarah (DKI)
111. Rina Yulian (DKI)
112. Lilyani Taurisia WM (DKI)
113. Rina Prihatin (DKI)
114. Dwi Hariyanto (Serang)
115. Rachmat Nugraha (Jakarta)
116. Ressa Novita (Jakarta)
117. Sokat (DKI)
118. Koko Nata Kusuma (DKI)
119. Ali Muakhir (bandung)
120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
121. Denny Prabowo (Depok)
122. Ratono Fadillah (Depok)
123. Sulistami Prihandini (Depok)
124. Nurhadiansyah (Depok)
125. Trimanto (Depok)
126. Birulaut (DKI)
127. Rahmadiyanti (DKI)
128. Riki Cahya (Jabar)
129. Aswi (Bandung)
130. Lian Kagura (Bandung)
131. Duddy Fachruddin (Bandung)
132. Alang Nemo (Bandung)
133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
134. Tena Avragnai (Bandung)
135. Gatot Aryo (Bogor)
136. Andika (Jambi)
137. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)


*) Kepada kawan-kawan sastrawan lain yang senada dan hendak ikut mendukung pernyataan ini, diharapkan melayangkan secarik pernyataan yang menyatakan dukungan melalui email: odekampung2@yahoo.com

Tuesday, July 24, 2007

PERTUNJUKAN TEATER HITAM-PUTIH INDONESIA

Pertunjukan Teater "DITUNGGU DOGOT"

Karya: Sapardi Djoko Damono

Sutradara: Kurniasih Zaitun (TINTUN)

Bandung : 25 Juli 2007
  • CCF Bandung (depan Bandung Electronic Center, jl. Purnawarman No. 32, pukul 19.30
Jakarta : 27 - 28 Juli 2007
  • 27 Juli, pukul 20.00 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat. Terbuka untuk umum.
  • 28 Juli, pukul 19.30 di Taman Kambojo, Kampus UIN Ciputat, Jakarta

Konsep Garapan

Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. "Teks" cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan "menunggu" tidak akan lengkap jika tidak ada "ditunggu", dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak "apa", tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Profil Kelompok

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler di SMU Plus INS Kayu tanam Sumatera Barat. Kemudian di tahun 1998, atas beberapa pertimbangan, kelompok ini berubah nama menjadi komunitas seni HITAM-PUTIH dan hingga saat ini tetap eksis sebagai salah satu kantong seni di Sumatera Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga merambah beberapa tempat di Jakarta. Sejak awal kehadirannya, komunitas ini cukup memberikan warna baru pada perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat. Hal ini tampak dari beberapa pentas keliling di wilayah Sumatera dan Jakarta yang digelar pada kurun waktu 1998-2000, di samping juga melakukan beberapa kali workshop teater di Sumatera Barat.

Selain membidangi seni Teater, komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa pentas Tari, Workshop Sastra, dan Pagelaran Musik Etnik. Sedangkan dalam bidang perfilman, komunitas ini menyelenggarakan kegiatan diskusi, pemutaran dan produksi film, di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater dengan memberikan kesempatan kepada penonton untuk memberikan penilaian lewat diskusi pasca pentas.

Profil Sutradara

Kurniasih Zaitun lebih akrab dengan panggilan TINTUN kelahiran, Padang 20 April 1980. Salah satu dari sekian banyak perempuan yang aktif dalam kesenian Teater. Telah meluluskan pendidikan S-1 nya di STSI Padangpanjang Jurusan Teater dengan Minat Utama Penyutradaraan.

PENGALAMAN KESENIAN

TEATER

Menjadi Sutradara:

* Pertunjukan "Ditunggu Dogot" Karya Sapardi Djoko Damono di Padangpanjang, Pasar Seni Pekan Baru-Riau dan Taman Budaya Prop. Sumatra Barat-Padang (2005-2006)
* Pertunjukan "Kura-Kura Bekicot"Karya Ionesco di Padangpanjang (2004)
* Puisi Pertunjukan dengan tema "Seks, Teks dan Konteks"di Univ Padjajaran Bandung (2004)
* Pertunjukan "Cleopatra" karya Shakespeare di Padangpanjang (2003)
* Pertunjukan "Cermin" karya Nano Riantiarno di Festival Pesisir- Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Pintu Tertutup" karya Jean P Sartre di Padangpanjang (2002)
* Pertunjukan "Topeng" karya Yusril di Univ Bung Hatta Padang, Taman Budaya Bengkulu, GOR Payakumbuh Sum-Bar (2000-2001)
* Pertunjukan "Komplikasi" karya Yusril di Pertemuan Teater Eksperimental Internasional Fak Sastra Univ Andalas Padang (2000)
* Pertunjukan "Malam Terakhir" karya Yukio Mishima di Padangpanjang (2000)
* Pe0rtunjukan "The Song Of The Death" karya Kurniasih Zaitun di Padangpanjang (2000)
* Dramatisasi Puisi "Menjelang Hari Pemilu" karya Gunawan Muhammad di Padangpanjang (2000)
* Pertunjukan "Orang-Orang Kasar" karya Anton P.Chekov di Padang Panjang (1999)

Menjadi Aktor:

* Pembaca Cerpen "Surat untuk Guru(ku)" di Univ Andalas Padang" (2006)
* Pertunjukan "Pintu"karya/ Sutradara Yusril di Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Menunggu" karya/Sutradara Yusril di TAMAN Budaya Padang, Event Pertemuan Sastrawan Nusantara Tiga Negara Tetangga di INS Kayu Tanam Sumatra Barat, Taman Budaya Jambi, Balai Dang Merdu Riau, Pertemuan Teater Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru Riau, STSI Padangpanjang, Teater Utan Kayu Jakarta dan Teater Luwes IKJ Jakarta (1997-2000)
* Pertunjukan "Menanti Kasih di Ujung Tanduk" karya/ Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ.Andalas Padang, SMKI Padang, STSI Padangpanjang (199)
* Dramatisasi "Sembilu Darah" karya/Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ Bung Hatta Padang (1997)

Menjadi Penulis:

* Naskah Perempuan di Ruang Kerja
* "tak ada yang sempurna di dunia, hanya DIA yang memiliki kesempurnaan itu. Maka nikmati apa yang telah dianugrahkan, apapun……."(2005)
* Naskah The Song Of The Death"
* "aku hanya mampu melihat, mendengar, dan menyaksikan…. .(2000)
* Artikel "Jual Obat sebagai Teater alternativ" di Harian Mimbar Minang Padang (2000)
* Artikel "Grotowsky dan Konsep Teater Melarat" di Booletin Teater Jur Teater STSI Padangpanjang (2000)
* Puisi di Majalah Horison Jakarta (1996)

Non Teater:

* Aktor Utama Film Indipendent "Sedikit Sekali Waktu Untuk Cinta" Sutradara Yusril Produksi Studio Hitam-Putih (2003)
* Narator Film-film Dokumenter Produksi Studio Hitam Putih (2001- sekarang)
* Pembaca Puisi, pada Event lokal dan nasional (1997- sekarang)

Salam budaya,

Evi Widya Putri
Promotions and Media Relations
Komunitas Seni Hitam Putih
Sekretariat Jakarta
Jl. H. Samali no. 11 Pejaten Barat - Pasar Minggu
Jakarta Selatan

Sunday, July 15, 2007

Pekan Budaya Sumatra Barat 2007

Berladang di Punggung Budaya

OLEH Nasrul Azwar

Gendang Pekan Budaya Sumatra Barat 2007 telah ditabuh. Penabuhnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, walau tampak kacau balau dan penuh kepanikan di wajah panitia pelaksana, tapi, sejak Minggu, 8 Juli 2007 alek yang disebut sebagai revitalisasi budaya tradisi Minangkabau ini, resmi dibuka. Bersamaan dengan itu pula, dicanangkan Hari Permainan Anak Nusantara.

Surat kabar lokal menyebut, Pekan Budaya Sumatera Barat 2007 merupakan Pekan Budaya yang ke-X (sepuluh). Dari cerita tokoh-tokoh yang pernah terlibat langsung dengan Pekan Budaya di Sumatra Barat, mengatakan iven ini dimulai sejak tahun 1982. Namun, jangan berharap banyak jika ingin menelusuri bukti-bukti tertulis berupa buku acara atau dokumen lainnya, kliping-kliping media cetak atau media audio visual yang berkaitan dengan perjalanan Pekan Budaya itu. Kita tidak akan menemukannya, malah di institusi atau badan yang relevan dengan kearsipan sekalipun. Hal itu jauh api dari rokok. Bahwa etnis Minang sangat kental dengan tradisi lisan (niraksara) mendapatkan pembenarannya di sini. Kita hanya bercerita saja, tidak mau menuliskannya.

Jika Anda berniat mendokumentasikan, menyusun, dan selanjutnya, misalnya, menuliskannya menjadi sebuah buku atau berupa skiripsi, Anda mungkin layak menerima penghargaan dari Gunernur Sumatra Barat (itupun jika dia punya apresiasi yang sungguh-sungguh terhadap karya Anda). Sebab, Andalah yang orang pertama di ranah Minang ini yang mampu menulis tentang itu: Sebuah iven budaya yang cukup penting di negeri ini, yang melibatkan banyak pihak dan sudah menelan dana yang besar, terwujud berupa karya tulis.

Sejenak kita lupakan itu dulu. Kembali ke Pekan Budaya yang kini sedang bakatuntang di Taman Budaya Sumatra Barat sampai tanggal 14 Juli 2007. Ini Pekan Budaya ketiga sejak reformasi tahun 1999 yang digelar di tempat seniman dan budayawan Sumatra Barat berkumpul itu. Dulu, Pekan Budaya digelar di kota dan kabupaten di Sumatra Barat: Kabupaten 50 Kota/Kota Payaklumbuh, Kota Bukittinggi dan Agam, dan Kabupaten Tanahdatar, pernah merasakan suka duka sebagai sipangka dalam alek Pekan Budaya itu. Kini, pola seperti arisan itu tak ada lagi. Peran sepenuhnya diambil Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Maka, beruntunglah Pemerintah Kota Padang sebagai ibukota provinsi, karena setiap tahun Pekan Budaya dilaksanakan di “rumah”nya tanpa perlu mengalokasikan anggaran dalam APBD-nya.

Sementara itu, 6 kota dan 12 kabupaten yang berada di luar Kota Padang sangat mengesankan sekali sebagai pelengkap penderita dan sekaligus peramai alek belaka, malah secara pemerintahan mereka telah dilecehkan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Mengapa tidak, di depan undang-undang otonomi daerah sesungguhnya posisi pemerintahan kota dan kabupaten sejajar. Tak ada yang istimewa. Pertanyaannya, apa alasan bagi Pemerintah Provinsi Sumatra Barat untuk memilih Kota Padang tempat digelarnya Pekan Budaya Sumatra Barat secara berturut-turut sejak tahun 2004? Alasan karena ibukota provinsi, saya kira bukan alasan yang realistis pada saat sekarang. Karena fasilitas di pertunjukan seni Kota Padang lebih lengkap, itu pun tak masuk akal. Untuk itu, sudah saatnya wali kota dan bupati yang di Provinsi Sumatra Barat mempertanyakan hal itu kepada gubernur.

Sebab, salamo hiduang ditampuah anggok, iven Pekan Budaya tak akan pernah menghadirkan tontonan seni yang membutuhkan gedung dengan akustik yang bagus, lampu yang lengkap, dan alat musik yang jernih dan kuat. Pekan Budaya Sumatra Barat sejak dulunya memang sudah diorientasikan sebagai sebuah pakan, atau pasa. Maka, yang hadir setiap iven ini digelar adalah hamparan lapak-lapak dagangan para penggelas dengan seribu cara menarik perhatian tamu yang datang.

Lalu, jangan pula kita heran saat datang ke arena ini, mendengar secara bersamaan suara saluang dan pedendang, suara anak randai yang sedang membawakan tokoh Anggun nan Tongga, suara ginset, suara biduan orgen tunggal, dan teriakan pedagang pakaian anak-anak dengan kalimat terkenal di kaki lima “tigo saribu, tigo saribu!”

Inilah yang namanya Pekan Budaya Sumatra Barat. Iven “budaya dan seni” yang mengatasnamakan seni dan budaya (Minangkabau) Sumatra Barat. Seni dan budaya tradisi yang tumbuh dan berkembang di nagari-nagari yang dibesarkan oleh anak-anak nagari, yang dalam pikiran para pejabat Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi, belum dikenal masyarakat luas, telah dijadikan alasan pembenaran untuk dengan mudahnya menghamburkan uang sebasar Rp 1,2 milyar. Uang sebanyak itu, dalam logika paling sederhana, sepeser pun tak akan pernah dirasakan para seniman tradisi yang tampil mewakili kota dan kabupatennya. Malah, semua kebutuhan transportasi, akomodasi, honor, dan lain sebagainya ditanggung pemerintah masing-masing. Panitia Pekan Budaya tak bertanggung jawab menyangkut biaya dan dana. Dan, malah untuk memperagakan keunggulan dareah di stand-stand yang disediakan, mereka mesti bayar listrik ke panitia. Konon, untuk stand di dalam komplek Taman Budaya sebesar Rp 300.000/selama acara, dan di luar mereka bayar Rp 400.000/selama acara. Lalu buat apa uang yang dialokasikan dari APBD Sumatra Barat sebesar Rp 1,2 milyar itu, jika para peserta dari kota atau kabupaten tetap membayar?

Pekan Budaya tahun 2007 tak jauh beda dengan yang sudah-sudah. Materi acarapun berkisar di situ-situ juga: ada lomba ada festival. Saluang jo dendang dilombakan, randai juga. Ada lomba lagu pop Minang, memakai baju kurung, mewarnai dan baca puisi. Pesertanya sudah dapat diduga: rata-rata 10 orang/kelompok. Untuk mewarnai hanya diikuti 9 orang.

Dari jumlah peserta itu, pelaksanaan dan pola kerja Pekan Budaya jelas sangat memprihatinkan. Selain itu pula, iven yang dianggap penting ini tidak pula menyediakan buku acara atau buku panduan yang bisa dijadikan pedoman bagi para pengunjung. Kalau ada alasan sudah ditulis dalam undangan, tentu tidak semua mendapat undangan. Inilah satu-satunya di atas muka bumi, sebuah acara yang dibuka resmi oleh orang nomo 2 di Indonesia tidak mengeluarkan atau mencetak buku. “Alah kanai ota se masyarakaik ko tamasuak rang sumando awak tu,” kata teman saya.

Inilah sebuah peristiwa budaya yang dirancang jauh-jauh hari tanpa tujuan yang jelas. Tak jelas capaian apa yang dikehendaki. Jika dicium acara ini kental dengan aroma proyek. Satu lagi bertambah deretan-deretan “iven budaya” dengan mengatasnamakan seni dan budaya tradisi Minangkabau, dan ternyata mereka berladang di punggung seni dan budaya itu. ***

Saturday, July 7, 2007

Konser Musik Kua Etnika


"Raised From The Roots, Breakthrough Borders"

Graha bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli 2007, pukul 20.00 WIB Sebelum menampilkan karya terbaru mereka di Festival Nusantara,Brisbane, Australia, Agustus mendatang, pemusik Djaduk Ferianto bersama grupnya, Kua Etnika, akan menampilkan karya-karyanya di depan publik Jakarta. Setelah dipentaskan untuk menandai kegiatan Yayasan Bagong Kussudiardja, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, akhir Mei lalu, Konser Musikbertajuk “Raised From The Roots, Breakthrough Borders” ini akan dipangungkan di Graha Bhakti Budaya TIM, Kamis dan Jumat, 12 & 13 Juli, pukul 20.00 WIB mendatang....

Dalam
konser yang menggunakan aneka macam instrumen etnik ini, Djaduk menyajikan 11 repertoar dengan dukungan vokalis Trie Utami. Seperti biasanya, dalam bermusik Djaduk berangkat dari semangat mengolah seni tradisi dan modern. Karya komposisinya merupakan pertemuan perjalanan musikalitas yang berusaha menautkan kutub-kutub aliran, gaya, dan genre. Kua Etnika mengolah dan mengambil inspirasi dari berbagai khasanah tradisi, sembari terus mempertemukannya dengan berbagai bentuk cara ungkap kontemporer. Menurut Djaduk, yang mendasari kerja kreatif mereka adalah keterbukaan musik etnik di Indonesia terhadap berbagai kemungkinan baru, baik instrumen, melodi, maupun iramanya. Termasuk di dalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari khasanah musik Nusantara.

Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik. Melalui seluruh reportoar garapan terbaru mereka, Kua Etnika, Djaduk Ferianto dan Trie Utami akan membagi perjalanan mereka. Perjalanan yang mendasari dirinya dari gamelan Jawa, Sunda, Bali, dan khasanah musik tradisi, untuk menemukan daya ungkapnya dalam musikalitas hari ini.

Suatu perjalanan yang,
menilik judulnya, berangkat dari suatu akar untuk mencapai dan kemudian menembus batas-batas, penuh percobaan teknik dan gaya dari berbagai sumber inspirasi. Namun, alih-alih menjadi rumit, mereka bersetia untuk lugas, sederhana, dan pada saat yang sama, menghadirkannya dalam suasana yang akrab dan hangat, hampir seperti tanpa pretensi.Selama dua jam penuh, penonton akan mereka ajak untuk bersama-sama menempuh perjalanan musikalitas mereka,menempuh pertemuan-pertemuan antar bunyi dan budaya. Tiket bisa diperoleh di 021-3154087 atau Pak Isa 081317028139. ***