KODE-4

Wednesday, April 18, 2007

Tradisi yang Kehilangan Fungsi


OLEH Halim HD
Apa yang bisa kita harapkan dari posisi kehidupan tradisi yang nampaknya kini kian rapuh, betapapun begitu banyak usaha, terutama dalam bentuk pernyataan dari rasa keprihatinan dan uji coba dalam berbagai kegiatan, dan yang paling banyak lagi adalah pidato? Pertanyaan ini kita hadapkan kepada diri kita sendiri sehubungan dengan kian derasnya laju globalisasi dalam wujudnya produksi massal dari sistem industri global kapitalisme yang secara kasat mata nampak menelikung kita dalam berbagai bentuk konsumtivisme yang sudah demikian berurat akar di dalam kehidupan masyarakat kita? 

Kuratorial Tari: Waktu, Data, dan Kejujuran


OLEH Halim HD


Di dalam peristiwa kebudayaan yang kita sebut festival yang telah menjadi tema kehidupan masyarakat seniman yang sepanjang tahun selalu dinanti-nantikan oleh pelaku, kritisi, pengamat dan publik senantiasa berhadapan dengan problema: adakah acara itu sebagai suatu peristiwa milik masyarakat bersama, ataukah hal itu sebagai acara yang digarap oleh event organizer yang kini kian menjamur dimana-mana, yang ingin mengumpulkan kalangan seniman dan mengajak kepada pelaku kesenian untuk menyajikan karya-karya yang dianggap layak untuk ditonton. Pada peristiwa seperti itu, kita sering bertanya-tanya, bagaimana mungkin misalnya sebuah acara dengan sejumlah embel-embel yang telah disebarkan kepada masyarakat, namun selalu kita juga mengalami kekecewaan didalam menyaksikan isian acara itu.

Tuesday, April 17, 2007

Ironi Sebuah Padepokan

OLEH Halim HD
Itulah yang terjadi, yang sesungguhnya sudah begitu banyak saran dan usulan untuk bagaimana menangkap gejala yang demikian deras membentuk menjadi kenyataan, yang kini sangat pahit dirasakan. Hal itu terjadi pada Padepokan Lemah Putih (PLP) yang dikelola dan dimiliki oleh sosok tokoh movement dalam dunia seni pertunjukan, Suprapto Suryodarmo, yang pernah selama rentang waktu tahun 1980-90-an demikian fenomenal sebagai figur yang ikut mengisi bukan hanya dalam bentuk acara, tapi juga khasanah dan pengenalan kepada sisi lain dari kehidupan seni pertunjukan moderen-kontemporer yang berangkat dari berbagai gabungan akar tradisi: Jawa, Buddhisme, Tai Chi, Pencak dari berbagai wilayah nusantara dan tradisi yang diajarkan pada lembaga pendidikan.

Hak-Hak Budaya dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Kalangan seniman moderen yang biasanya hidup di wilayah perkotaan dan dengan kesadaran kepada informasi yang tinggi dan selalu identik dengan mitos tentang proses perubahan kebudayaan dan kondisi kehidupan dalam berbagai seginya, melandasi dirinya kepada cara pandang bahwa kebebasan individu merupakan suatu pertaruhan yang utama, yang perlu dan senantiasa mesti diperjuangkan. Hak dan bahkan kewajiban seperti itu merupakan pandangan dan sikap politik yang dibawa oleh dirinya sejak ratusan tahun yang lampau, ketika masa yang dianggap sebagai suatu jaman pencerahan di mana manusia sebagai makhluk pencipta dan memilki tanggungjawab bukan hanya kepada karyanya saja, tapi juga kepada lingkungannya. 

Catatan Terbuka untuk Staf Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Pada catatan saya yang terdahulu yang saya beri tajuk “Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta” yang saya tulis dari Makassar pada tanggal 12 Maret 2007, saya lebih banyak menekankan kupasan saya kepada posisi dan fungsi kepemimpinan yang pernah diletakan oleh juragane TBS sepanjang hampir 27 tahun (selama rentang waktu kekuasaan 5 presiden, 10 menteri, 10 dirjen, dari jaman Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati sampai SBY). 

Negara, Senirupa, Kenyinyiran, dan Kambing Hitam

OLEH Halim HD
Setiap warga pembayar pajak berhak mempertanyakan dan bahkan menggugat posisi-fungsi negara: sejauh manakah pengelola negara sudah benar-benar menerapkan undang-undang yang telah disepakati, misalnya adakah negara beserta perangkatnya memberikan anggaran yang cukup bagi kehidupan kesenian, dan sejauh manakah anggaran itu memadai bagi missi kesenian yang bisa mencitrakan sebuah bangsa melalui berbagai peristiwa, apakah itu biennale (dan festival). Hal itulah yang dipertanyakan oleh para seniman-perupa dalam diskusi di Yogyakarta seperti yang ditulis oleh Kuss Indarto “Lenyapnya Negara di Seni Rupa” (Kompas Minggu 1 April 2007). Diskusi itu menggugat posisi-fungsi negara yang tidak pernah mendukung missi senirupa moderen keberbagai peristiwa antrar bangsa.

Membayangkan Yogyakarta

OLEH Halim HD
Adakah impian seorang warga tentang suatu kota yang dianggap bisa dinikmati dengan enak sebagai suatu wishful thinking, impian disiang hari bolong, pelarian dari kenyataan kehidupan sehari-hari, frozen into nosltalgia, membeku pada masa lalu? Warga sebagai pembayar pajak sesungguhnya bukan hanya berhakbertanya, tapi juga berkewajiban untuk menggugat. Untuk itulah jika saya kini berusaha membayangkan Yogyakarta yang rindang, dan asap kendaraan bermotor kian susut, dan dada terasa enak, lega, dan mata tak perih kena debu dan asap motor-mobil, dan berjalan bisa dengan santai, serta tak takut diserempet motor-mobil, dan trotoar, side walk leluasa, dan warung-warung tak sekepenake dewek membuang bekas banyu isah-isah ditempat orang lalulalang. Jika impian dan sekaligus usaha menggugat kondisi Yogyakarta kini saya lakukan, karena saya pernah menikmati Yogyakarta seperti yang saya impikan.

Festival Kesenian Yogya dan Ruang Publik


OLEH Halim HD


Sebulan-dua yang lalu saya mendapatkan kiriman email dari seorang rekan di Yogyakarta yang mengundang saya untuk terlibat dalam seminar tentang FKY (Festival Kesenian Yogyakarta). Karena saya berada di Makassar, maka saya kirimkan beberapa catatan sebagai kontribusi saya yangs elama ini melibatkan diri dalam berbagai festival di Jawa maupun luar-Jawa. Dalam kaitan dengan hal itu, ada baiknya, yang sesungguhnya untuk kesekian kalinya saya menulis tentang hal ini, membicarakan kembali, merenungi apa sesungguhnya sebuah festival, dan bagaimana sebuah kota yang dilanda oleh derasnya ekonomisasi ruang, mampu membuat festival yang bukan hanya untuk seniman saja, tapi yang terpenting adalah bagaimana melibatkan berbagai lapisan masyarakat.

Suksesi Murti dan Visi Taman Budaya Surakarta

OLEH Halim HD
Bukan bermaksud diri menepuk dada lantaran pernah dan masih tinggal di Solo, jika saya menyatakan, bahwa ada sesuatu yang sangat menarik dari posisi dan fungsi TBS (Taman Budaya Surakarta). Yang menarik itu, bukan lantaran TBS memiliki sejumlah sarana yang boleh dikatakan memadai, jauh lebih memadai dibandingkan diantara berpuluh Taman Budaya (TB) yang ada di seantero nusantara yang pernah saya kunjungi. 

Sriwedari: Hak Sejarah dan Ruang Publik

OLEH Halim HD
Dari suatu kota yang memiliki situs sejarah dan telah menjadi landmark kota yang telah berumur ratusan tahun, yang oleh warganya dianggap sebagai suatu wilayah dimana mereka mengikatkan memori sosialnya kedalam lingkungan tradisi yang menjadi salah satu cikalbakal perkembangan kehidupan tradisi kota, disitu pula warga memandang suatu wilayah sebagai milik bersama. Sebuah ruang yang dianggap sebagai milik bersama betapapun kini dalam kondisi yang merana, hampir-hampir mendekati amburadul karena tiadanya strategi kebudayaan pengelola kota di dalam pengembangan tata kota, tetap saja warga menganggap bahwa ruang itu menjadi bagian dari sejarah kehidupan sosial mereka. Marilah kita tengok Taman Sriwedari, suatu nama yang sangat indah yang diangkat dari mitos kehidupan wayang yang selama seribuan tahun telah berakar didalam benak dan tata laku warga kota, hampir-hampir kondisinya tidak lagi bisa dianggap sebagai sebuah “taman”. 

Seni Rupa di Makassar: Labirin Masalah

OLEH Halim HD
Banyak kalangan perupa di Makassar dan daerah sekitarnya di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), termasuk juga diantaranya kalangan perupa dan pengamat dari luar wilayah itu bertanya: kenapa kehidupan senirupa di Makassar dan Sulsel tidak pernah dibicarakan, dan kenapa gaung kehidupan senirupanya tak pernah kalau tidak ingin dikatakan disinggung oleh kalangan media dan pengamat? Pertanyaan itu, selalu saya dengar dari kalangan perupa Makassar sendiri maupun mereka yang berminat. Dan selama kurang lebih sekitar 10-an tahun saya bolak-balik antara Solo dan ke wilayah kebudayaan yang memiliki tiga pendukung sub-etnis (Makassar, Bugis, Toraja; dahulu empat, ditambah Mandar. 

Monday, April 16, 2007

Perjalanan Eduardo Galeano

Oleh Halim HD
“To be alive: a small victory. To be alive, that is: to be capable of joy, dispite
the good-byes and the crimes, so that exile will be a testimony to another,
possible country ……. Joy take more courage than grief. In the end,
we are accustomed to grief”.

Riwayat Singkat
Galeano dilahirkan di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 3 September 1940, dari keluarga Katholik kelas menengah, dikenal sebagai jurnalis dan penulis yang sangat produktif dengan 36 judul buku dalam bentuk novel, kumpulan esai serta reportase dan esai-kolaboratif bersama beberapa fotografer. Beberapa bukunya telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Sebagai penulis Galeano lebih daripada penulis yang bergaya ortodoks (orthodox genre) yang menggabungkan dokumentasi, fiksi, jurnalisme, analisis politik, dan sejarah. “I’m a writer obsessed with remembering, with remembering the past America, intimate land condemned to amnesia”.

Balekambang: Ruang Publik Tradisi

OLEH Halim HD
Beberapa waktu yang lalu seorang teman mengirimkan email kepada saya, sebagai bagian memanfaatkan tehnologi jagat maya itu menjadi media diskusi. Dalam kiriman kabar kepada saya itu, dia menyinggung tentang usaha beberapa seniman yang konon ingin membuat “gerakan kebudayaan” melalui rancangan tata ruang publik Balekambang sebagai titik tolak “gerakannya”. Didalam proposal itu, secara rinci dijelaskan apa tujuan dan sasarannya, dan yang terakhir inilah yang terpenting: UUD, ujung-ujungnya duit, yang sekian miliar, yang membuat wawalkot Solo kaget: kenapa pula seniman yang ingin membuat “gerakan” yang belum kelihatan jelas kemana arah dan tujuannya walaupun, seperti siapa saja bisa menyusun, tertulis di dalam proposal.

Degradasi Posisi Keluarga Pengemban Tradisi

OLEH Halim HD
Asumsi bahwa perkembangan dan pertumbuhan ekonomi menciptakan suatu kehidupan kesenian tradisi yang kian kuat, dan mempunyai konsekuensi logis bahwa dengan hal itu maka posisi dan fungsi keluarga pengemban tradisi semakin baik posisi sosial ekonominya, nampaknya kini perlu disanggah, dan bahkan sangat perlu digugat. Rejim Orba yang meletakan dasar-dasar pembangunan dengan tekanan kepada aspek ekonomi selama 30-an tahun nampaknya hanya menciptakan segelintir orang kaya baru (OKB), dan itupun nampaknya tanpa memiliki selera yang bagus terhadap kehidupan kesenian khususnya tradisi. Marilah kita tengok wilayah kebudayaan Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar.

Wednesday, April 11, 2007

Rusli Marzuki Saria




Maestro Sastra dari Sumatra Barat

My Imagination is a monastery and I am its monk. Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya. Ungkapan dari John Keats yang dikutip sang tokoh ini dalam sebuah esainya amat tepat menjelaskan proses kreatifnya sebagai seorang penyair. Memang begitulah seorang Rusli Marzuki Saria. Ia seakan ditakdirkan untuk jadi seorang penyair yang menempatkan imajinasi sebagai ranah yang amat luas untuk melahirkan karya-karya puisinya.

Rusli Marzuki Saria yang akrab disapa Papa ini dikenal sebagai seorang sastrawan-budayawan yang karya-karyanya tak bisa dilepaskan dari khazanah kesusastraan Indonesia dalam 50 tahun terakhir. Puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Ia pun sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air.

Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah. Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Rusli sebagai seorang penyair.

Bersastra Sepanjang Hayatnya

Rusli lahir pada tanggal 26 Januari 1936 di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Rusli adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Rusli memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).

Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Rusli kemudian dibawa tinggal dii Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Rusli meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Rusli melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.

Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Rusli meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Rusli untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Rusli melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian.

Semenjak sekolah rakyat, minat Rusli pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah-nya Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli. Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Rusli.

Tak hanya menyukai bacaan sastra, Rusli juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis. Bacaan-bacaannya itu menjadikan Rusli sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.

Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Rusli untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.

Pada tahun 1956 Rusli lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Rusli di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.

Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Rusli berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Rusli. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Rusli dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.

Usai PRRI, meski ada peluang, Rusli tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Rusli menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara.. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik.

Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Rusli menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Rusli dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.

Pada tahun 1969, Rusli mengawali karirnya sebagai wartawan. Rusli bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Rusli bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Rusli mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Rusli pensiun dari Haluan pada tahun 1999. Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki.

Jurnalis yang Menyair

Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Rusli terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Rusli tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.

Aktivitas Rusli sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.

Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Rusli. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.

Sebagai seorang penyair, Rusli mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli banyak dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Rusli. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.

Puisi-puisi Rusli adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Rusli juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun krtitik sosial dan politik. Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat. Pusi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.

Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa Rusli masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya. Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.

Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya. Membaca sosok Rusli adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Rusli, berarti membaca sejarah hidupnya.

Sebagai seorang penyair, wartawan, pejuang dan politisi, Rusli adalah seorang idealis yang berani menyatakan kebenaran yang dirasakannya. Makanya untuk menggambarkan idealisme Rusli, amatlah tepat yang dikatakan Umar bin Khatab, “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.” Narasi oleh Abel Tasman

Tuesday, April 10, 2007

Yusaf Rahman


Maestro Seni Musik Kontemporer Minang
Yusaf Rahman, lahir tanggal 4 Juni 1933, di Muaro Labuah, Sumatra Barat. Kampung kecilnya bernama Kampung Lurah Pasar Muaro Labuah (sekarang dikenal dengan Pasar Muaro Labuah). Yusaf, anak sulung dari dua belas bersaudara. Ayahnya seorang mantri kesehatan (juru rawat kelas satu) dan juga pemain biola. Ibunya yang bernama Badariah juga mahir memainkan kecapi, walau di zaman itu jarang sekali perempuan bisa bermain alat musik.
Darah seni kedua orang tua itulah yang diwarisinya. Bakat yang kemudian berkembang dengan belajar secara otodidak. Yusaf mencoba menggunakan sendiri berbagai alat musik tanpa guru. Walau dulunya kuliah di Fakultas Pertanian, kemampuan, wawasan, dan pengetahuannya dalam bidang komposisi musik, tak diragukan lagi. Musiklah yang dicintainya.
The Short Second Life of Bree Tanner: An Eclipse Novella (Twilight Saga)Yusaf juga seorang yang kreatif dalam mengembangkan alat-alat musik dan membuat alat musik dari bahan-bahan sederhana. Dia selalu membawa kikir dan pisau untuk membuat alat musik tiup dari bambu dan paralon. Satu lompatan besar yang dibuat Yusaf dalam musik tradisi Minangkabau yaitu menciptakan tangga nada diatonis untuk talempong pada tahun 1968. Talempong yang selama ini dimainkan dengan nada pentatonis dikembangkannya menjadi tangga nada diatonis.
Dengan tangga nada diatonis talempong bisa mengiringi musik modern. Hingga kini, semua grup musik tradisional Minangkabau memainkan talempong dengan tangga nada diatonis. Beliau juga mengembangkan teknik pembuatan alat musik yang akurat nadanya serta mengembangkan cara memainkan musik modern agar menghasilkan suara alat musik tradisional.
Selain bermain musik, Yusaf juga menciptakan lagu-lagu Minang, Jepang, lagu nasional dan beberapa lagu perguruan tinggi di Sumatra Barat. Sejak tahun lima puluhan Yusaf telah berkarya. Di zaman perang PRRI pun beliau masih mencipta lagu, yaitu lagu “Hiasan Desa”. Waktu itu beliau terinspirasi oleh suara burung di Hutan Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Lagu-lagu lain yang diciptakannya antara lain; Indak Kabarulang, Kelok Sambilan, Lindok-lindok, Perak-perak, Takana Bundo (Rusuah Hati), Usah Diratok’I, Taserak Kasiah di Bukik Tinggi, Indahnya Alam Neg’ri Moyangku, Indonesia-Malaysia, Dendang Tahniah, Kota Bersaudara, Payung Terkembang, Seri Menanti, ASMI Padang, Himne Universitas Bung Hatta, YPTK Padang, Indonesia Persada Tercinta. Lagu Jepang yang beliau ciptakan antara lain; Kwo wa Owakare (Saatnya Berpisah), Mata Aimasyo (Sampai Berjumpa Lagi) dan Nihon wa Utsukusu (Jepang Yang Indah).
Lagu Payung Terkembang dan Indahnya Alam Negeri Moyangku merupakan lagu permintaan Datuk Samad Idris Menteri Belia dan Sukan Malaysia yang masih keturunan Pagaruyung. Rasa cinta Yusaf terhadap tanah air juga terlukiskan dalam lagu Hiasan Desa dan Rusuah Hati.
Musik jugalah yang mengantarkannya ke berbagai negara. Pada tahun 1963 sebagai pemusik beliau pergi ke Pakistan mengikuti Presidential Cultural Mission selama dua puluh hari. Beliau beberapa kali ke Malaysia sejak tahun 1968 sampai 1998 sebagai pemimpin misi Muhibah Kesenian Sumatra Barat, pemusik dan sebagai juru latih serta sebagai pensyarah musik. Pada tahun 1984 Yusaf pergi ke Prancis sebagai peserta Festival Kesenian Rakyat Seluruh Dunia, dan tahun 1986 kembali ke Prancis sebagai Pemimpin Kesenian Islam Sumbar dalam Festival Kesenian Islam Seluruh Dunia, serta pada tahun 1991 untuk ke dua kalinya pergi ke Prancis sebagai peserta Festival Kesenian Rakyat Seluruh Dunia. Beliau juga pernah ke Brunei Darussalam pada tahun 1989 sebagai pemimpin kesenian Sumatra Barat dan pada tahun 1987 ke Yunani, tepatnya di Lefkada sebagai peserta International Festival Folk Lore Lefkadas Island. Negara Eropa lainnya yang pernah ia kunjungi, Italia, yakni pada tahun 1986 sebagai pemimpin kesenian Islam Sumbar dalam Festival Musik Islam Seluruh Dunia dan tahun 1987 beliau kembali ke Italia sebagai peserta pertunjukkan kesenian.
Guru Musik yang Beda
Yusaf adalah guru bagi banyak seniman musik di Sumatra Barat. Beliau mendirikan jurusan seni, drama, tari dan musik IKIP Padang dan bekerja sebagai dosen di IKIP Padang. Yusaf adalah orang yang diminta Profesor Yakub Isman yang waktu itu rektor IKIP padang untuk menyusun kurikulum jurusan tersbut. Selain sebagai sebagai guru formal beliau juga guru informal bagi banyak seniman musik. Ia tidak pernah pelit membagi ilmu pada murid-muridnya.
Salah seorang murid Yusaf Rahman yang dikenal sebagai seniman musik dan pencipta lagu-lagu Minang bernama Asnam Rasyid. Asnam mengenal beliau sejak tahun 1968 ketika Yusaf pergi ke Malaysia sebagai pemimpin tim Muhibah Kesenian Sumatra Barat. Kebetulan Kakak dari Asnam ikut dalam tim yang dipimpin Pak Cap, panggilan Yusaf Rahman bagi murid-muridnya dan orang-orang yang mengenalnya. Namun Asnam baru belajar musik dengan Yusaf pada tahun di Bukittinggi. Yusaf mengajar tentang partitur dan ilmu musik. Dalam mengajar, murid-murid beliau dituntut mencari sendiri pengetahuan dan ketrampilan, selain yang beliau ajarkan. Banyak seniman yang “menjadi” di bawah bimbingan beliau. Yusaf dan Asnam pernah menggarap musik dari lagu “Dendang Tahnia”
Informal yang Bersahaja
Pak Cap dikenal sebagai orang yang kurang suka formalitas. Dalam mengajar Pak Cap tak minta pamrih dan tak kenal waktu. Prinsip mengajar yang sering beliau sampaikan “Kalau ingin tahu gula itu manis, coba dulu gula itu, baru tahu rasanya.” Metode mengajar yang langsung praktek.
Waktu pertama diminta sebagai pengajar di Malaysia (professor tamu) beliau mengajar musik tardisional. Suatu waktu, Dekan mengajak Pak Cap melihat peralatan marching band dan beliau memainkan semua alat musik modern yang ada di sana. Karena kemampuan beliau memainkan berbagai alat musik modern, beliau akhirnya dipercaya mengajar alat musik modern. Dari tahun 1993 sampai 1997 Yusaf Rahman menjadi dosen tamu di Universitas Utara Malaysia.
Beliau juga mengenal budaya dan tradisi berbagi suku dan bangsa. Bisa berbicara dalam beberapa bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Aceh, Melayu, Mandailing dan Nias.
Pak Cap menikah dengan Sovyani pada tanggal 23 Agustus 1964. Istri tercinta juga seorang seniman tari. Selama perjalanan rumah tangga mereka, Yusaf sering membantu Sovyani menciptakan musik untuk tari garapannya. Pernikahannya dengan Sovyani dikaruniai lima orang putri dan satu orang putra.
Yusaf sangat mencintai keluarganya. Salah satu lagu yang diciptakannya, konon terinspirasi karena kecintaan beliau kepada sang istri. Beliau juga penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Menurut seorang putri beliau, kalau anak-anaknya pulang sekolah dengan wajah cemberut karena gagal ujian matematika beliau mengajak mereka bermain musik, karena baginya musik bisa menenangkan dan menghibur hati yang gundah.
Pada tahun dua ribu-an beliau mulai diserang penyakit jantung. Ketika sering terjadi gempa di Padang, beliau meminta untuk tinggal di Bandung bersama anaknya. Beliau khawatir, seiring usia senja tubuhnya semakin lamban saat berlari menghindari bencana. Akhirnya beliau meninggal di Kota Bandung pada tanggal dan dilepaskan dengan duka yang mendalam banyak pihak. Namun beliau sudah berpesan sebelumnya agar jangan bersedih dengan kepergian beliau, seperti syair yang ditulisnya “Usah Dirato’i”.
Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau memiliki kepekaan terhadap kehidupan. Kehidupan dunia yang penuh dengan godaan tidak membuat Yusaf terhanyut. Keinginannya untuk lebih dekat dengan sang Khalik diberi jalan melalui pertemuannya dengan Professor Khadirun Yahya yang juga pimpinan tarekat Nahsyabandiyah. Akhirnya beliau mengembangkan kehidupan spiritual di tarekat Nahsyabandiyah sampai akhir hayatnya. Beliau pun berwasiat, bila meninggal minta dimakamkan di surau tarekat Nahsyabandiyah, tempat orang-orang berzikir seperti nyanyian yang mengantar beliau ke hadirat “Sang Maha Seniman”. (Sondri BS, dan TIM DKSB)

Monday, April 9, 2007

SAWIR SUTAN MUDO Seni Tradisi Dendang Minang

Nama : Sawir Sutan Mudo
Tempat dan Tanggal Lahir: Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tahun 1942
Pekerjaan: Berdagang dan Berdendang
Pendidikan: Sekolah Rakyat
Anak: 8 orang
Karya dan Pergalaman Kesenian
          • Pada Juli 1999 tampil di tujuh kota di Jerman bersama Kelompok Musik Talago Buni
          • Mengisi Acara Bergurau di RRI Bukittinggi setiap hari Senin.
          • Pada 1968-1970 lagu Talago Biru dan Suntiang Patah Batikam direkam di piringan hitam dan diedarkan ke tengah masyarakat
          • Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 2000 sudah lebih 100 rekamannya di pita kaset yang beredar luas dan dikoleksi masyarakat Minang di kampung dan perantauan, juga dikoleksi sejumlah peneliti. Antara lain, Danau Mamukek (1985), Hujan Baribuik (1985), Danau Mamukek (1985), Banda Gantuang (1985), Sarasah Aia Badarun, Katangih Sudah Mimpi, Talempong Anam Koto, Ratok Kaki Limo
          • Pernah empat kali juara pertama festival saluang dengan dendang, dan juga pernah jadi dosen tamu di Akademi Seni Karawitan Indonesia (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang.
Prihatin dengan Isi Dendang
Sebagai seorang seniman tradisi di ranah ini, ia menyimpan keprihatinan mendalam akan kondisi kekinian kebudayaan, adat, dan tradisi Minang. Ia menilai, Minang dalam pengertian luas mengalami kemerosotan luar biasa. Kekhawatirannya itu terungkap lewat sampiran penuh peringatan; “Jaan sampai rusak kapa dek nangkhododoh, binaso kayu dek tukang, rusak adat dek pangulu, jalan dialiah dek urang lalu. (Jangan sampai rusak kapal disebabkan oleh nakhoda, hancur kayu karena tukang, rusak adat karena penghulu, jalan digeser orang lewat).
Sebagai seorang pendendang, dia pun resah dengan lagu-lagu dendang yang ada saat ini. Dendang saat ini telah dirusak oleh lirik-lirik yang berbau pornografi yang semata-mata hanya mengedepankan hiburan semata, namun terperangkap dalam selera rendahan. Lagu-lagu dengan judul Kutang Barendo, Rok Baremot dan sejenisnya adalah ekspresi dari makin merosotnya daya cipta seniman Minang saat ini.
Itulah keresahan dari Sawir Sutan Mudo—seorang pendendang, seniman tradisi sejati yang hingga saat ini tetap mencipta dan melantunkan dendang. Sawir—bungsu dari empat bersaudara ini lahir di Nagari Koto Kaciak, Tanjung Raya. Kabupaten Agam pada tahun 1942. Kedua orangtua Sawir adalah petani. Ibunya bernama Siti Saleah dan ayahnya Muhammad Isa. Sawir telah ditinggal kedua orangtuanya sejak ia masih kanak-kanak. Ibunya meninggal dunia tak lama setelah ia lahir. Sedangkan ayahnya berpulang ke rahmatullah saat Sawir berusia enam tahun.
Karena ditinggal kedua orangtua sejak masih kanak-kanak, Sawir harus belajar hidup mandiri. Ia tak sempat meniti jenjang pendidikan formal yang tinggi. Ia hanya bersekolah sampai kelas empat Sekolah Rakyat. Putus dari sekolah, Sawir pergi merantau mengikuti saudara-saudaranya. Padang, Palembang, Lubuk Linggau adalah kota-kota tempat Sawir merantau. Sejak umur 13 tahun Sawir sudah berdagang berbagai macam barang dagangan. Pada tahun 1968 barulah Sawir kembali ke kampung halaman. Pada tahun itu pula ia menikah untuk pertama kalinya. Dari pernikahannya yang pertama ini Sawir memunyai seorang putri bernama Sumiati. Pada tahun 1972 Sawir menikah lagi. Dengan istrinya yang kedua Sawir memunyai tujuh orang anak. Sekarang bersama keluarganya ini, Sawir menetap di Bukittinggi.
Bakat Sawir sebagai pendendang sudah terasah sejak masih kanak-kanak. Ia bergabung dengan grup randai yang ada di kampungnya sebagai penyanyi randai. Sejak itu pula Sawir belajar pada seorang seniman alam bernama Angku Katik; ”Baguru mangko pandai (berguru makanya pandai),” ungkap Sawir tentang proses belajar yang ia lalui.
Berguru pada Alam
Kemampuannya sebagai seniman makin terasah setelah di perantauan. Pada masa itu para perantau Minang di mana pun berada selalu membangun kelompok-kelompok kesenian sebagai wadah bagi anak-anak rantau untuk memupuk bakat seni yang dimiliki. Namun sekarang, kebiasaan ini sudah hampir hilang, orang Minang pun terdesak dan dipaksa menikmati kesenian populer yang membanjir saat ini. Seni tradisi Minang makin lama makin terpinggir, bahkan di pelosok-pelosok nagari pun, kesenian tradisi Minang hampir musnah sama sekali.
Dalam tradisi Minang ada seni yang disebut bagurau. Bagurau dilakukan dengan saluang jo dendang tidak hanya pada acara pernikahan, tetapi juga pada acara sunatan, “Alek Nagari” (acara menghimpun dana untuk pembangunan di kampung), Lebaran, batagak panghulu (pengukuhan gelar adat/kaum) serta pada acara bagurau lamak (dengan kalangan pendengar terbatas, 10-15 orang). Sawir kerap diundang dalam acara-acara demikian
Sejak di perantauan Sawir sudah dikenal sebagai pendendang. Dan ketika kembali ke kampung halaman, kemampunnya berdendang tetap diteruskan. Tak hanya menyanyikan lagu-lagu dendang, Sawir juga mencipta puluhan lagu dendang yang sampai sekarang masih sering dibawakan banyak pendendang. Suntiang Patah Batikam (tahun 1970), Talago Biru (1968), Danau Mamukek (1985), Hujan Baribuik (1985), Danau Mamukek (1985), Banda Gantuang (1985), Sarasah Aia Badarun, Katangih Sudah Mimpi, dan Talempong Anam Koto adalah di antara lagu-lagu dendang ciptaan Sawir. Malereang Tabiang salah satu versi lagunya juga merupakan ciptaannya.
Sekarang, Sawir tetap berdendang bila diundang. Baik ke acara baralek, batagak pangulu, dan tampil di acara-acara yang diundang orang rantau. Sawir juga sering diundang tampil ke berbagai pertunjukan kesenian, baik di Sumatra Barat, ke berbagai daerah di Sumatra, maupun ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Tak hanya itu, bersama grup Talago Buni, pada bulan Juli 1999 Sawir pernah tampil di tujuh kota di Jerman. Di samping diundang untuk bernyanyi dan berdendang, Sawir juga diminta sebagai pembicara pada beberapa seminar tentang kesenian dan budaya tradisi.
Waktu tampil di beberapa pertunjukan dan festival internasional itulah, Sawir merasa bahwa karya seni bisa menjadi alat untuk menjalin komunikasi antarbangsa meski tak mengerti bahasanya. Melalui karya seni kita bisa mengenal karakter dan nilai-nilai yang dimiliki oleh beragam bangsa. Dan ternyata, kekayaan seni tradisi yang dimiliki Minangkabau bisa mendapat tempat penting dalam khazanah seni dunia.
Untuk itulah, bagi seorang Sawir, kekayaan seni tradisi Minang harus dipelihara, digali terus menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya. Seni tradisi Minang memiliki keluhuran nilai-nilai yang sangat kuat berpijak pada akar kebudayaan Minang yang senantiasa mengedepankan kebaikan, budi pekerti dan kandungan estetika yang amat tinggi. Seni tradisi merupakan media untuk pendidikan adat istiadat, budaya dan agama. Lewat seni tradisi, ketinggian mutu nilai-nilat keminangkabuan tetap terpelihara dan terwariskan.
Sawir tak menolak mentah-mentah kesenian Minang kontemporer yang mencoba berkompromi dengan arus budaya populer. Namun Sawir berharap, jangan terlalu jauh menyimpang. Etika dan prinsip-prinsip adat dan budaya Minang mestinya tetap dijaga. Kalau tidak orang Minang sendiri yang menjaganya, kesenian tradisi Minang akan musnah ditelan zaman yang makin lama makin dikendalikan uang.
Kesenian Minang dalam hal ini dendang, menurut Sawir punya bahasa tersendiri untuk menyampaikan pesan. Dendang tak hanya berisikan kepiluan dan problem batin yang dialami seseorang, masyarakat maupun etnik Minang, tapi dendang juga punya idiom dan bahasa tersendiri yang mengisahkan romantika asmara dan gejolak perasaan yang dialami anak muda. Bahasa dendang amat indah, halus dan penuh dengan irama. Jauh dari kata-kata vulgar, kasar dan nuansa pornografi yang menunjukkan kerendahan. Dendang juga punya ruang untuk mengekspresikan kegembiraan yang biasa disebut bagurau. Dalam bagurau, ekspresi keriangan, kelucuan dan kejenakaan disajikan, namun tetap dengan bahasa yang santun, indah dan berpijak pada estetika yang kuat.
Bagi Sawir, dendang tak ditentukan oleh kemerduan suara sang pendendang, tapi lebih ditentukan oleh pemahaman yang kuat seorang pendendang tentang adat, budaya, agama dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat yang kemudian disampaikan melalui lirik dan irama dendang dengan penuh perasaan dan imajinasi yang amat tinggi. Dendang juga merupakan tangisan seorang pendendang. Dalam konteks ini, seorang pendendang adalah seorang cerdik cendikia atau intelektual yang mencoba mengingatkan masyarakat dan lingkungannya.
Untuk itulah, bagi Sawir seni tradisi harus tetap digali, dikembangkan, dipelahara dan diwariskan pada generasi berikutnya. Adalah omong kosong, slogan baliak ka nagari, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah terus digaungkan, tapi budaya dan seni tradisi diabaikan. Lembaga dan penanggung jawab kesenian harus membantu, mendorong dan memfasilitasi perkembangan kesenian tradisi. Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab dalam bidang kesenian dan kebudayaan mesti diisi orang-orang yang memunyai kompetensi yang memadai di bidang ini. Hampir tak bisa diharapkapkan, seni dan budaya tradisi akan berjaya jika tetap dipimpin orang-orang yang salah tempat dan tak memiliki tanggung jawab.
Itulah seorang Sawir Sutan Mudo, seorang maestro dendang yang sampai sekarang tetap berdendang. Di samping berdendang, kesehariannya ia jalani dengan berdagang pakaian seken dari pekan ke pekan di sekitar danau Maninjau. Di setiap Senin malam ia juga mengisi acara dendang di RRI Bukittinggi. Namun berdagang kaki lima pada masa sekarang katanya tak lagi terlalu menguntungkan. Ekonomi masyarakat semakin sulit. Makanya, lewat lagu ciptaannya yang baru, Ratok Kaki Limo, keresahannya itu ia sampaikan.
Bagi Sawir, seni tradisi harus tetap dijaga dan diwarisi. Seni tradisi adalah penopang adat. Jika seni tradisi tetap terpelihara, akan terjaga pula adat dan budaya. Jika seni tradisi rusak, rusak pula adat. Jika adat rusak, hilang pusako dan hancurlah budaya.
Dendang dan Posisi Pedendang
Nada dasar yang dominan dalam saluang dengan dendang adalah ratok, nada-nada yang meratap. Bila pendendang bercerita soal nasib manusia, maka nasib manusia itu disimbolkan pada sesuatu dengan cerdas lewat pantun-pantun. Umumnya pendendang mewakili masyarakat marjinal.
Jadi, dalam kesenian saluang dengan dendang, yang sangat berperan sekali adalah pendendang. Dari hitungan jari sebelah tangan pendendang lelaki yang kini masih eksis, hanya ada seorang pendendang yang punya yang kuat dan terkenal di Sumatra Barat dan luar Sumatra Barat, bahkan di mancanegara, yakni Sawir Sutan Mudo.
Sawir Sutan Mudo mengaku tidak dengan serta merta menjadi terkenal. Penuh lika-liku dan perjuangan. Bermula dari anak randai (pemain teater tradisional Minangkabau) di Kotokaciak, Kabupaten Agam, pada usia 13 tahun. Saat itu, tugas yang diembannya adalah sebagai pendendang.
Tahun 1951, karena tuntutan hidup, ia merantau ke Palembang, Sumatra Selatan. Di rantau, di samping menggalas buah-buahan di kaki lima ia tetap mengembangkan kesenian tradisi. “Saya menyintai kesenian tradisi randai dan saluang jo dendang, karena pantun-pantun atau syair-syair dalam kesenian itu sangat menarik dan mengandung unsur pendidikan. Selain itu saya tertantang untuk membuat pantun-pantun yang bisa membuat penikmat kesenian tradisi itu puas dan terkesan,” kata Sawir.
Sebagai pendendang, Sawir belajar dari pengalaman, belajar dari alam: alam takambang jadi guru. Seorang pendendang, menurut dia, harus kaya bahan, kalau tidak tak akan diterima masyarakat. Dari pantun-pantun itu, ada yang berisi nasihat, perasaan hidup, dan asmara muda-mudi. Saking tersentuhnya perasaan para penikmat seni tradisi itu, sering orang menangis spontan karenanya. Itu salah satu kelebihan Sawir. Ia secara spontan mampu mengembangkan improvisasi dalam pantun. Pada sampiran dari pantun, ia selalu bisa mengolah dari lingkungan tempat ia bermain (orang, tempat),” kata Yusrizal KW, pengamat seni dan Ketua Yayasan Citra Budaya Indonesia, menilai.
Makanya jangan heran, saking cerdasnya pantun-pantun yang dibuat Sawir ini, baris-baris pantunnya sering diambil untuk inspirasi dan judul-judul lagu-lagu pop Minang dewasa ini. Bahkan ratusan pantun yang ia ciptakan kini sudah menjadi dendang-dendang tradisi, seperti antara lain “Suntiang Patah Batikam”, “Banda Guntuang”, “Hujan Baribuik”, “Danau Mamukek”, dan “Talempong Anam Koto”. (Abel Tasman, dan Tim DKSB)
Peluncuran Buku Israr Iskandar

Jakarta/Padang, Awal April 2007

Perihal :Undangan Launching Buku

Kepada Yth Bapak/Ibu/Sdr:

Bersama ini kami mengundang Bapak/Ibu menghadiri seremoni Peluncuran Buku berjudul ELIT LOKAL, PEMERINTAH & MODAL ASING: Kasus Gerakan Menuntut Spin-Off PT Semen Padang dari PT Semen Gresik Tbk (1999-2003),
karya Israr Iskandar,
Terbitan Yayasan SAD dan CIRUS, pada:

Kamis, 12 April 2007, jam 16.00-18.00
Di TB Kinokuniya, SOGO Plaza Senayan Lt 5, Jakarta.
Pembahas Faisal H Basri (tentatif ).

Demikian undangan dari kami. Atas rencana kehadiran Bapak/Ibu/Sdr kami haturkan banyak terima kasih.

Salam,
(Israr Iskandar & Panitia)

Friday, April 6, 2007

In Memoriam Soeman Hs

Komunitas Paragraf Gelar "In Memoriam Soeman Hs"

UNTUK mengenang salah satu sastrawan besar yang pernah lahir di Riau, Soeman Hs, Komunitas Paragraf akan menggelar acara bertajuk "In Memoriam Soeman Hs" pada Ahad (8/4) malam pukul 19.30 WIB di Galleri Ibrahim Sattah Kompleks Bandar Serai, Pekanbaru. Beberapa materi acara akan digelar, di antaranya pembacaan karya-karya Soeman Hs oleh mahasiswa-mahasiswi Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), pemutaran film biografi Soeman Hs dan diskusi tentang karya-karyanya yang akan menampilkan dua pembicara, yakni dua sastrawan Riau, Fakhrunas MA Jabbar dan Abel Tasman.

Menurut Koordinator Komunitas Paragraf, Marhalim Zaini, acara ini diselenggarakan untuk mengenang seorang Soeman Hs, sastrawan paling berpengaruh di Riau di era modern, yang menjadi salah seorang pencetus lahirnya karya cerita pendek di Indonesia. "Kami memilih bulan April, karena Soeman lahir pada 4 April 1904. Momen kelahirannya yang kami ambil untuk acara ini," jelas staf pengajar di AKMR ini.

Menurut sastrawan muda Riau ini, acara ini akan diselenggarakan dengan sederhana dan tidak akan menghabiskan banyak biaya seperti acara-acara sastra lainnya yang digelar di Riau. "Yang kami ambil adalah esensi dari acara ini, dan bukan pada kemegahan penyelenggaraannya. Kami mengundang para sastrawan, penikmat, pecinta, mahasiswa, siswa guru-guru pengajar bahasa dan sastra dan masyarakat luas untuk menghadiri acara ini," jelasnya.

Soeman Hs adalah salah seorang sastrawan terkemuka Indonesia yang berasal dari Riau. Soeman lahir di Bengkalis dari keluarga Batak di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Ayahnya yang seorang guru ngaji, Lebai Wahid, memilih pindah dan menetap di Bengkalis karena terjadi pertikaian suku di tanah kelahirannya. Meski berasal dari keluarga Batak, Soeman sangat kental dengan budaya Melayu. Saking cintanya kepada Melayu, Soeman menyingkat marganya, Hasibuan, menjadi Hs. "Darah saya Batak, tetapi saya orang Melayu tulen," kata Soeman suatu saat seperti diberitakan Suara Merdeka. "Di sini, marga tidak begitu penting, makanya saya singkat saja, tak seperti AH Nasution yang malah menyingkat namanya. Hahaha..." kata Soeman seperti ditulis Tempo.

Semasa muda, Soeman sangat suka membaca novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan M Kasim, yakni Teman Duduk. Inilah yang kemudian menjadi inspirasi dua karyanya, yakni cerpen "Kawan Bergelut" (yang dianggap menjadi tonggak kelahiran cerpen asli Indonesia pertama) dan tiga novelnya, Mencari Pencuri Anak Perawan, Kasih Tak Terlerai dan Percobaan Setia.

Di tengah jor-joran karya-karya sastra dari Sumatera Barat dan Medan yang menjadi unggulan Balai Pustaka, karya-karya Soeman Hs cukup membanggakan orang Riau meski ketika itu masih satu provinsi dengan Sumbar dan Jambi, yakni Sumatera Tengah. Ciri khas karya-karya Soeman adalah pendobrakan terhadap tradisi dan adat-istiadat yang sangat kaku dalam masyarakat Melayu. Yang menarik, hingga akhir hayatnya (meninggal 1988), Soeman lebih dikenal sebagai penghulu adat Melayu ketimbang Batak.

Selain terkenal sebagai sastrawan, Soeman adalah seorang tokoh pendidikan dan pendiri SLTA pertama di Pekanbaru, yakni SMA Setia Dharma pada tahun 1954. Ketika diresmikan oleh Mentri Pendidikan dan Perkembangan Kebudayaan waktu itu, M Yamin, Soeman dengan lantang di depan M Yamin berujar, "Riau ini anak tiri pusat. Di sini tidak ada SMA Negeri, saya mengimbau kepada Bapak Mentri untuk menempatkan guru negeri ke sekolah ini," kata Soeman.

Menurut Marhalim, apa yang dilakukan Soeman Hs sebenarnya sudah sangat pantas mendapatkan apresiasi besar masyarakat Indonesia umumnya, dan Riau khususnya. "Sayangnya, karya-karya Soeman Hs kini sangat sulit ditemukan karena tak dicetak lagi," jelas Marhalim.***

Catatan:

Komunitas Paragraf adalah sebuah komunitas sastra yang didirikan oleh empat pecinta sastra di Riau, yakni Hary B Kori¢un (Novelis/Redaktur Budaya Harian Riau Pos), Marhalim Zaini (Sastrawan/Staf Pengajar Akademi Kesenian Melayu Riau [AKMR]), Olyrinson (Sastrawan Riau) dan Budy Utamy (Penyair Riau). Tujuan utama komunitas ini adalah sebagai wadah untuk diskusi sastra, menerbitkan jurnal/majalah sastra dan menerbitkan buku sastra.

Tuesday, April 3, 2007

Pertunjukan Teater "DITUNGGU DOGOT"

Pertunjukan Teater "DITUNGGU DOGOT"

Karya: Sapardi Djoko Damono

Sutradara: Kurniasih Zaitun (TINTUN)

Tanggal 26 April 2007 Pukul 1930 WIB

Di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta - Solo




Konsep Garapan

Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. "Teks" cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan "menunggu" tidak akan lengkap jika tidak ada "ditunggu", dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak "apa", tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Profil Kelompok

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler di SMU Plus INS Kayu tanam Sumatera Barat. Kemudian di tahun 1998, atas beberapa pertimbangan, kelompok ini berubah nama menjadi komunitas seni HITAM-PUTIH dan hingga saat ini tetap eksis sebagai salah satu kantong seni di Sumatera Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga merambah beberapa tempat di Jakarta. Sejak awal kehadirannya, komunitas ini cukup memberikan warna baru pada perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat. Hal ini tampak dari beberapa pentas keliling di wilayah Sumatera dan Jakarta yang digelar pada kurun waktu 1998-2000, di samping juga melakukan beberapa kali workshop teater di Sumatera Barat.

Selain membidangi seni Teater, komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa pentas Tari, Workshop Sastra, dan Pagelaran Musik Etnik. Sedangkan dalam bidang perfilman, komunitas ini menyelenggarakan kegiatan diskusi, pemutaran dan produksi film, di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater dengan memberikan kesempatan kepada penonton untuk memberikan penilaian lewat diskusi pasca pentas.

Profil Sutradara

Kurniasih Zaitun lebih akrab dengan panggilan TINTUN kelahiran, Padang 20 April 1980. Salah satu dari sekian banyak perempuan yang aktif dalam kesenian Teater. Telah meluluskan pendidikan S-1 nya di STSI Padangpanjang Jurusan Teater dengan Minat Utama Penyutradaraan.

PENGALAMAN KESENIAN

TEATER

Menjadi Sutradara:

  • Pertunjukan "Ditunggu Dogot" Karya Sapardi Djoko Damono di Padangpanjang, Pasar Seni Pekan Baru-Riau dan Taman Budaya Prop. Sumatra Barat-Padang (2005-2006)
  • Pertunjukan "Kura-Kura Bekicot"Karya Ionesco di Padangpanjang (2004)
  • Puisi Pertunjukan dengan tema "Seks, Teks dan Konteks"di Univ Padjajaran Bandung (2004)
  • Pertunjukan "Cleopatra" karya Shakespeare di Padangpanjang (2003)
  • Pertunjukan "Cermin" karya Nano Riantiarno di Festival Pesisir- Taman Budaya Padang (2002)
  • Pertunjukan "Pintu Tertutup" karya Jean P Sartre di Padangpanjang (2002)
  • Pertunjukan "Topeng" karya Yusril di Univ Bung Hatta Padang, Taman Budaya Bengkulu, GOR Payakumbuh Sum-Bar (2000-2001)
  • Pertunjukan "Komplikasi" karya Yusril di Pertemuan Teater Eksperimental Internasional Fak Sastra Univ Andalas Padang (2000)
  • Pertunjukan "Malam Terakhir" karya Yukio Mishima di Padangpanjang (2000)
  • Pe0rtunjukan "The Song Of The Death" karya Kurniasih Zaitun di Padangpanjang (2000)
  • Dramatisasi Puisi "Menjelang Hari Pemilu" karya Gunawan Muhammad di Padangpanjang (2000)
  • Pertunjukan "Orang-Orang Kasar" karya Anton P.Chekov di Padang Panjang (1999)

Menjadi Aktor:

  • Pembaca Cerpen "Surat untuk Guru(ku)" di Univ Andalas Padang" (2006)
  • Pertunjukan "Pintu"karya/ Sutradara Yusril di Taman Budaya Padang (2002)
  • Pertunjukan "Menunggu" karya/Sutradara Yusril di TAMAN Budaya Padang, Event Pertemuan Sastrawan Nusantara Tiga Negara Tetangga di INS Kayu Tanam Sumatra Barat, Taman Budaya Jambi, Balai Dang Merdu Riau, Pertemuan Teater Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru Riau, STSI Padangpanjang, Teater Utan Kayu Jakarta dan Teater Luwes IKJ Jakarta (1997-2000)
  • Pertunjukan "Menanti Kasih di Ujung Tanduk" karya/ Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ.Andalas Padang, SMKI Padang, STSI Padangpanjang (199)
  • Dramatisasi "Sembilu Darah" karya/Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ Bung Hatta Padang (1997)

Menjadi Penulis:

  • Naskah Perempuan di Ruang Kerja
  • "tak ada yang sempurna di dunia, hanya DIA yang memiliki kesempurnaan itu. Maka nikmati apa yang telah dianugrahkan, apapun……."(2005)
  • Naskah The Song Of The Death"
  • "aku hanya mampu melihat, mendengar, dan menyaksikan…. .(2000)
  • Artikel "Jual Obat sebagai Teater alternativ" di Harian Mimbar Minang Padang (2000)
  • Artikel "Grotowsky dan Konsep Teater Melarat" di Booletin Teater Jur Teater STSI Padangpanjang (2000)
  • Puisi di Majalah Horison Jakarta (1996)

Non Teater:

  • Aktor Utama Film Indipendent "Sedikit Sekali Waktu Untuk Cinta" Sutradara Yusril Produksi Studio Hitam-Putih (2003)
  • Narator Film-film Dokumenter Produksi Studio Hitam Putih (2001- sekarang)
  • Pembaca Puisi, pada Event lokal dan nasional (1997- sekarang)

    Salam budaya,

Evi Widya Putri
Promotions and Media Relations
Komunitas Seni Hitam Putih
Sekretariat Jakarta
Jl. H. Samali no. 11 Pejaten Barat - Pasar Minggu
Jakarta Selatan