KODE-4

Wednesday, February 28, 2007

Seni Tanpa Kata Padangpanjang


Kecenderungan berteater-tanpa-kata tampak menonjol di dalam satu minggu hajatan seni kontemporer di Sumatra Barat. Tentu saja tanpa kata itu relatif, karena terkadang masih dibutuhkan sejumlah kata, namun pada dasarnya kebanyakan informasi mereka sampaikan lewat cara-cara lain: gestur, gerak-gerik, vokal, atau potongan musik maupun lagu yang asosiatif dengan pemahaman tertentu.
Sedikitnya ada enam kelompok teater setempat yang tampil di dalam "Pekan Seni III/2002" yang berlangsung 26-31 Oktober di Kampus STSI Padangpanjang tersebut. Penyelenggaranya Dewan Kesenian Sumatra Barat menyebutkan mereka inilah yang diketahui masih giat bekerja.

Tradisi Minang, Seni Baru


PARA perempuan yang mengawali, mereka pula yang meneruskan. Sebuah pementasan tari dan musik karya perempuan seniman, Sabtu (26/10/2002), berlangsung di Padangpanjang, Sumatra Barat. Pementasan itu bertempat di gedung bernama Huriah Adam, perempuan yang berjasa dalam membuka wilayah-wilayah baru ungkapan seni, terutama di ranah budaya Minang. Tampil empat tarian dan satu komposisi, sebagian masih kental rasa maupun wujud tradisinya dan sebagian mengisikan rasa seasal ke dalam wadah dan bentuk baru.
Huriah Adam adalah seorang seniman tari yang sekitar 30 tahun lalu mengguncang jagat tradisi dengan pernyataan-pernyataan estetik yang pada saat itu terkesan kontroversial. Para penggiat seni maupun masyarakatnya di awal abad baru ini tidak mudah membayangkan betapa sulit ia bergerak karena setiap perubahan bisa ditafsir sebagai ancaman terhadap bangunan tradisi yang kokoh.

Pentas Seni Kontemporer Minangkabau


PADANG (Media): Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) menyelenggarakan Pentas Seni Kontemporer Minangkabau di Padang, Sumatra Barat (Sumbar), 26-31 Oktober 2002. Pentas Seni ini akan diisi oleh berbagai jenis kesenian, mulai dari seni tari, musik, sampai teater.

Ia Menangis Pagi-pagi saat Kepala Kakaknya Bersua di Tepi Ladang

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—


Malam.
Dongeng berganti cerita ketakutan
“Cobalah pejamkan mata, gelap akan bergayut halus.
Sejak kapan kamu benci sejarah?” tanya kakaknya.
“Sejak aku tak mampu lagi picingkan mata, darah membakar kelopak mataku.
Sejak kapan kakak suka sejarah?” tanya adiknya.
“mungkin esok.”

ada ngeri di daun pintu, juga dalam mimpi
lalu, subuh terkapar sambil hela fajar pagi
loreng-loreng membunuh matahari
hijau-hijau mengikir rembulan
senjata mengikis santri-santri
membenamkan sakit hati

lalu mereka tertawa seraya bersihkah mulut bedil
yang lain menyemir sepatu dan mandi
selanjutnya mereka tegus bir
melayang di dedaunan ganja
menikmati kejantanan

melampiaskan sperma yang terpendam

berulang-ulang
lalu perta lagi
“ini kepala kakakku?”


Padang, 1998-2002

Mereka: Episode yang Dipenggal

jauh sebelum garis peta diberi garis – untuk siapa?—
mereka ungkai tafsir-tafsir butir darah
senyampang asab bedil kabut tipis
tak lebih hanya sebatas pembeda: kau dan aku
teriak dan bungkam sekalipun di ujung rencong
kami bersikap: tak lebih karena itulah sikap
lalu semua berjalan masing-masing dengan nyawanya
sang sakti tak mengais di sarung rencong
mulut sipangkalan cibir detak jantung tamu
dan menebar kematian dini – untuk siapa?—
rencong menitis dendam
tak juga kembali ke sarung
di sana orang berbisa
beri catatan yang tewas
di depan televisi mereka basahi dengan darah bintang empat di bahu
:senyinyir-nyinyirnya berdalih, di matanya sejuta anak menangis
siapa orang itu?


Padang 17 Agustus 1999-2002

Puisi untuk TNI dari Nenek di Kampung

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—

nenek tetap bangun sebelum shalat subuh, seperti dulunya
saat kamu masih tinggal di kampung bersama nenek.
tak ada yangb berubah.
insya allah nenek masih menjaga semua album fotomu,
ketika kamu masih dalam pendidikan militer itu.
nenek bangga, nenek senang, dan nenek cerita pada semua orang
:”surbat— cucu nenek— tentara yang berani.”
nenek tambah muda jika tetangga cerita tentang tentara, apalagi tentang kamu.
tapi, kadang-kadang tetangga bertanya: benarkah kamu ikut ke aceh untuk berperang?
mereka bilang, orang-orang yang menjadi musuh tentara itu, juga saudara kita?
dan tentara banyak menembak mereka?
benarkah itu cucuku?
nenek tak bisa jawab, jika orang bertanya tentang itu!
jelaskan ke nenek dalam suratmu, ya!?

surat nenek belum juga kamu balas!
sudah enam kali nenek kirim surat
tetangga terus bertanya
apa benar kamu ikut menembak orang?
tetangga kita cerita pada nenek, saudaranya di aceh mati terbunuh,
kepalanya dipenggal, dia dibunuh tentara!
kini tetangga itu tidak mau lagi menegur nenek, sebab cucu nenek seorang tentara.
nenek tidak suka kalau cucu nenek jadi tukang tembak orang.
nenek benci, nenek telah bakar semua albummu.
mengapa kamu tidak balas surat nenek!?
nenek tak bangga lagi, nenek tak senang lagi, kamu tidak gagah lagi!

ini surat nenek yang terkhir kali,
jika belum juga kamu balas, nenek akan pergi ke aceh, ke tempatmu berperang itu!
nenek akan paksa kamu pulang, nenek tak ingin kamu membunuh orang,
apalagi saudara kita!
berdosa membunuh orang!


‘surbat titik cepat pulang nenekmu sakit keras titik’
surbat haus, ia tidak pulang
ia suka lihat orang mati di matanya.


Padang, 17 Agustus 1999- 9 Desember 2002

Kubenam Selusin Peluru di Jantung Garuda

—dedikasi untuk saudaraku di aceh—

ia dalam busana loreng memanjangkan rambut
untuk mengikat kaki garuda yang selalu disandang di dada
dan mematuhkan paruhnya di bangkai-bangkai saudaranya yang disembelih tiap pagi
: sebuah kemenangan
tentu ia menyisir saban hari bebuluan garuda yang dipeliharanya menjelang dewasa
barangkali, iapun metamorfosis dari palasik yang disuarakan jakarta
sekalipun seekor burung murai batu lebih berharga daripada garuda,
yang tidak pernah diajarkan menggeleng,
yang tidak pernah bersuara,
yang tidak pernah menitikkan airmata,
dan heh, ia anggap pula unggas yang paling cerdas di muka bumi
“milik bangsa kita,” katanya.
ehm, siapa yang tak jengkel!


Padang, 1999-2003

Friday, February 23, 2007

Kesaksian Seorang Algojo

.oleh nasrul azwar


“seekor kelabang hitam nyanyikan jeritan
lemparkan sejuta bisa
saat laras akan mencabik dinihari
kulihat siulnya pada paku dan selubung hitam
yang kutahu, sampai kini keinginannya tak pernah ada,” kata seorang algojo kepada anak sulungnya.

“ia koyak langit malam
ia congkel perut bumi
ia telan semua nyawa
lalu dimuntahkan di wajah pemegang keadilan
katakanlah: sebuah kerja sia-sia,” ucap algojo itu kepada anak bungsunya.

“kini, disaksikan bulan mencibir itu,
kelelawar yang mengepak
lambang, atribut, dan isi kitab
:lakukan eksekusi wahai kedua anakku.”

halilintar membelah subuh
“perintah telah dilaksanakan,” koor mereka

Padang, 1995-2002

Inyiak Upiak Palatiang

Tak Mengenal Henti Bersilat

OLEH Abel Tasman/DKSB

Namanya Inyiak Upiak Palatiang. Perempuan. Usianya sudah 105 tahun. Malam itu, 19 Maret 2005, di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dalam pertunjukan maestro seni Dewan Kesenian Sumatra Barat dalam Pentas Seni IV, dia jadi “bintang”. Kepiawaian Inyiak Upiak Palatiang dalam seni tradisi silat Minangkabau dan kemerduan suaranya menyanyikan dendang ciptaannya, menjadikan dia sosok yang ditunggu-tunggu penonton.

Di atas pentas, Inyiak Upiak Palatiang terlihat masih lincah. Kaki dan tangannya masih cepat bergerak cepat. Sorot matanya tajam mengawasi gerak-gerik lawan. Malam itu, Inyiak Upiak Palatiang telah memperlihatkan “magis”, filosofis, dan makna dari seorang pesilat atau pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dalam tradisi Minangkabau, serta seorang maestro seni tradisi Minangkabau.

Inyiak Palatiang dalam suatu kesempatan di depan Jam Gadang pada hari Minggu 14 Desember 2003 lalu, di hadapan para pejabat dan Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia, menampilkan silat tua Gunung. Langkahnya gesit, tatapan matanya tajam dan waspada. Ia menghalau serangan lawan dengan elakan (gelek) dan tangkisan (tangkih). Ketika tangan lawan mengarah ke dadanya, secepat kilat ia tangkap dan pelintir dengan satu gerakan mengunci. Lawan pun dibuatnya tak berkutik. Sepertinya fisik Inyiak tak renta dimakan usia, menyaksikannya bersilat, seolah usianya baru 40-an.

Inyiak Palatiang sekarang tinggal bersama anak tertua dan cucu-cucunya di Dusun Kubugadang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Kota Padangpanjang. Sepanjang siang ia tetap beraktivitas: membersihkan halaman rumah rumah, menyiangi padi di sawah atau berjalan ke pasar. Namun menurut pengakuan anak dan menantunya, sejak tiga tahun belakangan, Inyiak tak lagi diizinkan bekerja di sawah. Yang masih ia lakukan adalah mengurut (memijat) bila ada orang yang meminta pertolongannya. Bila tak ada kegiatan sepanjang siang, Inyiak berkeliling ke sana ke mari, ke tempat sanak saudara atau ke tempat anak cucunya yang lain di sekitar Padangpanjang dan Tanah Datar. Sering juga ia duduk-duduk di kedai berbincang-bincang dengan anak-anak muda sambil sesekali berdendang atau memperagakan gerakan-gerakat silat bila diminta. Ia memang lebih senang bergaul dengan anak-anak muda.

Inyiak Palatiang lahir tahun 1900. Selain dikenal sebagai pesilat dan pendendang yang sudah digelutinya sejak kanak-kanak, di masa lalu Inyiak juga dikenal orang kampungnya dan daerah sekitarnya sebagai dukun beranak. Selain mampu menolong seorang perempuan yang akan melahirkan, ia juga sering dimintai bantuan untuk mengobati orang yang kesulitan mendapatkan keturunan, dimintai nasehat bagi yang kesulitan mendapatkan jodoh dan memperbaiki rumah tangga yang terganggu keharmonisannya. Selain itu ia juga menguruti seseorang yang persendiannya sakit atau tulang terkilir.

Inyiak akan terlihat penuh semangat kalau diminta berdendang atau bersilat. Bagi Inyiak, silat merupakan tradisi Minang yang sangat diminati masyarakat. Dalam pandangan Inyiak, silat mengandung nilai dan filsafat yang kuat. Menurutnya, silat pada zahirnya adalah mencari kawan, dan secara batiniah mencari Tuhan. Pengertiannya, silat adalah ajang untuk silaturrahmi, memperkokoh persaudaraan, kebersamaan dan persatuan. Keberadaan seorang guru silat mampu mempersatukan banyak orang, dari mana pun mereka berasal. Jika menyebut nama sang guru, berarti mereka bersaudara.

Mencari Tuhan diterangkan Inyiak lebih jauh, maknanya, bagaimana mendekatkan diri manusia kepada-Nya. Menyadarkan orang yang berniat jahat sekaligus menyadarkan kita sendiri. “Makanya, dalam prosesi bersilat, turun ke gelanggang, berdoa kepada Tuhan dan keselamatan atas Nabi menjadi yang utama. Murid yang ingin menuntut ilmu silat pun harus memenuhi persyaratan. Misalnya mempunyai niat dan hati bersih, tidak untuk gagah-gagahan. Perlu diingat, silat bukanlah untuk membunuh orang, tetapi membunuh sifat-sifat buruk seseorang seperti busuk hati, buruk sangka, dengki, sok jagoan dan sebagainya. Begitulah hakikat silat menurut Inyiak Palatiang. Penuh dengan ajaran-ajaran untuk menuju kebaikan dan kebenaran.

Menurut Inyiak, sebagai ilmu bela diri, silat tak kalah hebat dari ilmu bela diri lainnya. Silat itu ilmu Tuhan. Runcing tapi tidak menusuk. Tajam tapi tak meyayat. Itulah salah satu filsafat silat. Dituturkan Inyiak, letak keunggulan silat tradisi Minang itu di gelek, gerakan refleks yang bagaikan kilat menyambar atau mengelak. Apa pun jenis senjata, termasuk peluru yang ditembakkan, bukanlah hal aneh dalam silat tradisi Minang. Secepat peluru melesat, lebih cepat lagi tangan menangkap. Seseorang yang sudah tinggi ilmu silatnya bisa jatuh bak kapas atau hinggap di daun seringan kapas.

Selain sebagai seorang perempuan pendekar silat satu-satunya yang masih hidup, Inyiak Upiak Palatiang juga seorang seniman yang telah menciptakan ratusan syair/lagu dendang saluang dan pantun-pantun pertunjukan randai. Ia juga adalah seorang pendendang kondang.

Lagu/ syair dendang ciptaan Inyiak yang terkenal anatara lain Singgalang Kubu di Ateh, Singgalang Gunuang Gabalo Itiak, Singgalang Ratok Sabu, Singgalang Layah, Singgalang Kariang, Singgalang Alai, Indang Batipuah, dan Parambahan Batusangka.

Sebagaimana dikatakan Musra Darizal Rajo Mangkuto (56), seniman tradisi Minang dan salah seorang murid Inyiak, “Selain telah menciptakan ratusan syair/ lagu dendang saluang dan pantun-pantun untuk randai yang sampai sekarang karya-karyanya masih dikagumi orang. Inyiak juga seorang pendendang terkenal yang penuh karisma. Pitunang (daya pikat) suaranya amat mengagumkan.”

Menurut Musra, atau yang lebih dikenal Da Katik, yang khas dari syair-syair ciptaan Inyiak, ia suka lagu-lagu ratok (ratap) atau lagu-lagu rusuah (risau hati). Pilihan kata atau sampiran pada lagu/ syair ciptaannya cerdas dan punya logika. Jika syair-syair itu didendangkan sendiri oleh Inyiak, kekuatannya menjadi lain. Garinyiak (vibra) atau pitunang suara Inyiak sangat memukau. Mendengar sura Inyiak, orang bisa tertarik, terkesima, dan jatuh hati. Sesuatu yang jarang dimiliki pendendang lain.

Sekarang, di usianya yang sangat tua, Inyiak ingin selalu bersilat dan berdendang. Sebagaimana dinyatakan anaknya, saat tidur pun ia masih sering berdendang. Bila ditantang bersilat ia masih garang. Inyiak Palatiang benar-benar adalah seorang pewaris dan pelestari tradisi Minang yang tak lekang.***

Wednesday, February 21, 2007

Pendidikan untuk yang Kaya Raya


OLEH Nasrul Azwar

Jika Anda mau sedikit bekerja keras dan membuka lembaran surat-surat kabar yang terbit di Sumatra Barat dalam rentang bulan April-Mei 2004, maka Anda akan menemukan kalimat-kalimat seperti ini: “Jika saya terpilih menjadi anggota DPRD, saya akan membebaskan biaya pendidikan. Orangtua tidak perlu lagi memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya. Semua gratis! Maka, pilihlah saya pada pemilu nanti.”
Saat kampanye pemilu, kalimat demikian tidak asing di telinga kita. Janji-janji itulah yang dilontarkan para calon legislatif di lapangan bola, aula, di sudut-sudut galanggang nagari, dan di mana saja jika ada kesempatan. Kalimat itu menjadi headline di surat-surat kabar atau paling tidak berdiri mencolok di rubrik-rubrik advetorial. Saat itu mereka membutuhkan dukungan dari publik, dan tampaknya, adigium pendidikan gratis bisa menjadi komodifikasi dalam bursa politik untuk menggenjot raihan perolehan suara.
Kini, 2 tahun telah berlalu. Yang pernah berjanji itu telah 2 tahun pula duduk di kursi dewan legislatif dengan fasilitas lumayan mewah dari negara. Merela digaji cukup lumayan besar untuk ukuran penghasilan rata-rata rakyat Sumatra Barat, diberi tunjangan, jaminan ini-itu, ada juga uang insentif kungker, rapat ini-itu, dan lain sebagainya. Pokoknya, mereka tidak perlu pusing-pusing memikirkan “pitmas”, semua sudah oke.
Lalu, bagaimana dengan janji mereka tentang pendidikan gratis itu? Tak usah pikirkan, karena mereka tidak memikirkan itu lagi. Saat kini mereka sedang merayakan hasil kebohongan itu dengan bungkus sebagai wakil rakyat. Berteriak melebihi bunyi petus untuk menagih janji mereka, jangan harap mereka dengar. Datang ke kantor mereka buat menagih janji-janji itu, jangan berpikir mereka akan membuka pintu lebar-lebar. Semua seperti membenturkan sesuatu ke dinding batu.

***
Pada tanggal 23 Juni 2006, harian terbesar di Indonesia memuat iklan dengan judul Himbauan Departemen Pendidikan Nasional yang isinya saya kutip utuh: “Menyongsong Tahun Pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kebersamaan dalam mewujudkan layanan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif. Terkait dengan itu Pemerintah telah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada seluruh satuan pendidikan dasar (SD/MI, SDLB, SMP/MTs, SMPLB atau yang sederajat), sehingga satuan pendidikan dasar dihimbau untuk tidak melakukan pungutan biaya pendaftaran/administrasi dan biaya lainnya yang tidak proporsional kepada calon siswa/orang tua siswa.
Kepada Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota diminta untuk mengendalikan, mengawasi, dan jika diperlukan memberikan sanksi terhadap satuan pendidikan yang melakukan pungutan dimaksud.
Sesuai dengan pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005; guru, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik. Dimohon agar semua pihak terkait memaklumi dan mematuhinya.”
Bersama Asril Koto, Putri Reno Intan, Yurnaldi, dan saya berinisiatif memperbanyak iklan itu dan menyebarkan kepada orangtua murid/siswa. Dengan nama Forum Pemantau Pendidikan Sumatra Barat (FPP-SB) feedback dari penyebaran himbauan itu sungguh di luar dugaan: respons dari orangtua murid/siswa cukup besar. Semua bermuara pada pungutan uang yang dilakukan pihak sekolah, dan itu mencekik leher mereka.
Pungutan uang dengan dalih bermacam-macam, memang bukan hal aneh dalam dunia pendidikan kita. Pada akhir tahun pelajaran dan awal tahun pelajaran merupakan peluang besar bagi pihak sekolah untuk meraup dana sebanyak-banyaknya dari orangtua murid/siswa. Sekolah seperti berlomba memasang tarif. Jika sekolah dinilai publik bagus, elitis, dan berada di tengahn kota, maka tarif masuknya beda sekolah yang berlokasi di ujung kota, dan seterusnya.
Dari informasi yang diperoleh FPP-SB di lapangan, jenis pungutan di sekolah berlainan setiap sekolah, dan jumlah pungutan juga berbeda-beda di dalam Kota Padang. Pascapengumuman kelulusan di masing-masing tingkatan sekolah di Kota Padang, pungutan-pungutan yang terkait dengan siswa yang tamat—jika mengacu kepada himbaun Depdiknas di atas tergolong illegal dan menyalahi peraturan—misalnya, siswa tidak bisa memperoleh ijazahnya jika tidak membayar Rp 50.000. Ini pada tingkat SMU/MA, belum termasuk di tingkat SMP/MTsN, dan SD. Dari informasi yang diperoleh (sementara), FPP-SB telah menerima 15 pengaduaan dari orangtua murid/siswa di Kota Padang dengan pungutun bervariasi, tapi minimal nilainya pungutan terendah Rp 25.000.

***
Demikianlah dunia pendidikan kita, yang seyogyanya mengajarkan kejujuran dan kepatuhan terhadap peraturan, malah mempertontonkan sebaliknya. Lembaga dan fasilitas yang seharusnya tersedia cuma-cuma bagi anak sekarang malah menjadi proyek para birokrat pendidikan yang berkuasa. Dan juga sama halnya dengan nasib anak-anak yang tidak lulus ujian akhir nasional mengikuti Paket C dengan keharusan membayar Rp 300-600 ribu/siswa. Bermainnya kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat lokal agar anak atau saudaranya diterima di sekolah-sekolah negeri, semakin terbuka dilakukan di segala lapisan, padahal nilai anak/saudaranya itu lepas makan saja. Uang pelicin dan lain sebagainya bermain dengan cantik di birokrat pendidikan agar si anu bisa diterima. Tampaknya, korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela mulai dari perguruan tinggi sampai SD di nagari-nagari.
Akhirnya, memang betul, sistem pendidikan bangsa Indonesia hanya untuk yang berkuasa dan kaya raya. ***

Rabun Senja, Buta Sejarah


OLEH Nasrul Azwar

Apa yang membuat Minangkabau terpeta dengan tinta emas dalam sejarah kehidupan intelektual di Nusantara ini—taruhlah, misalnya, jauh sebelum bangsa Belanda masuk, atau saat Islam bertegur sapa dengan adat dan tradisi kulturalnya pada awal abad ke 16 M—tak lain karena kultur Minangkabau yang sangat fleksibel dan keterbukaan berpikir. Karakteristik yang unik dari masyarakat Minangkabau adalah kemampuan mengelola sistem budaya matrilineal dan memaknai filosofi adatnya, sehingga ideologi dan paham jenis apa saja yang masuk ke ranah ini, tidak ada masalah. Ideologi kiri, kanan, tengah, malah paham gado-gado.
Pada tahun 20-an, secara nyata berkembang berbagai aliran ideologi di ranah Minang termasuk paham komunis radikal yang berlanjut dengan pemberontakan komunis pada 1926-1927 di Silungkang. Pada 1940-an tercatat beberapa partai politik Islam di Minangkabau bergenggaman erat dengan koalisi komunis radikal. Semuanya berjalan dengan baik: menghormati paham dan mengharagai perbedaan ideologi itu tanpa kecurigaan.
Masa-masa seperti itu bukan saja berjalan dengan penuh keharmonisan, lebih jauh lagi membuka lebih luas dialektika masyarakat Minangkabau dalam menata pola pendidikan. Misal, pada akhir periode penjajahan Belanda—saat itu rasa nasionalisme Indonesia mengakar kuat pada masyarakat Minangkabau—tercatat jumlah institusi lembaga pendidikan dasar, menengah, dan lain sebagainya, jumlahnya jauh melampuai kawasan lain di Indonesia. Di mana-mana muncul institusi pendidikan yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan quo vadis negeri ini. Minangkabau saat itu seperti sebuah “tangki pemikiran” Indonesia dalam konteks Indonesia dan menempatkan Sumatra Barat pada posisi yang sangat penting. Akan tetapi, karena pola menata Indonesia bertolak belakang dengan pola kekuasaan yang dianut penguasa dengan kultur feodalisme, maka terjadilah pertentangan dan “perlawanan” terhadap pemerintah pusat. Meletusnya PRRI pada tahun 1958 sebagai manifestasi perlawanan itu.
Polarisasi, kemampuan beradaptasi, dan kelincahan membaca situasi yang berkembang adalah modal dasar bagi masyarakat Minang saat itu. Dan selanjutnya, dengan penyesuaian kultur adatnya, Minangkabau muncul sebagai kekuatan yang berpengaruh di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah pemikiran, masyarakat Minangkabau menafikan bentuk kecurigaan terhadap beragam ideologi dan aliran yang berkembang dan masuk ke ranah ini. Saat itu, tidak pernah muncul klaim atau pelarangan terhadap hasil pemikiran manusia. Semua paham, ideologi, dan apu pun namanya dipelajari dan diterima yang kelak akan memunculkan dialektika pemikiran “baru”. Dan sejarah mencatat, tokoh-tokoh politik, negarawan, ulama, budayawan, dan penulis kuat yang mencuat dari ranah Minang bukan karena mereka takut dengan beragam ideologi yang masuk ke negeri ini, tapi disebabkan pergaulan dan daya jelajah pemikiran yang berbasis pada kekuatan kultural dan agamanya. Mereka tidak gagap dan cemas, teguh dalam bersikap, kritis, tidak plin-plan, lapang cara pandangnya, tidak picik, berbuat tanpa tendensi, tidak arogan, terang jalan pikirannya. Inilah yang membuat tokoh-tokoh Minang yang muncul pra-kemerdekaan Republik ini sampai tahun 60-an berkharisma, penuh pesona, dan dihormati masyarakat.
Kini, semuanya terbalik. Berputar seratus delapan puluh derajat. Segelintir—malah tak sampai hitungan jari—orang-orang yang mengatasnamakan apa saja yang menurut mereka cocok, mengklaim dirinnya atau kelompoknya sebagai pihak yang paling benar dalam bidang apa saja. Kelompok ini dengan nama-nama yang berbeda tapi orang di dalamnya itu-itu juga bergerak seperti bunyi iklan: “Apa yang kamu minta, saya punya”. Mereka ini seperti menguasai produk dari hulu hingga hilir. Mengapa tidak? Jika ada yang bicara tentang korupsi di Sumatra Barat, kelompok ini punya lembaga untuk mengkonternya. Kata mereka, para koruptor yang telah divonis pengadilan itu dizalimi dan tidak bersalah. Di bidang pemikiran, misalnya pluralisme, secara lantang mereka juga bersorak: “Haram pluralisme itu!” Adat dan budaya, mereka ini, yang orangnya itu-itu juga, menegakkan pula sebuah majelis tinggi adat Minangkabau. Malah, tentu saja dengan mengklaim atas nama masyarakat Sumatra Barat—padahal jumlah mereka tak lebih 6 orang—memberikan pula anugerah/award kepada orang-orang tertentu yang mereka ponten tidak sejalan dengan kebenaran yang mereka anut dengan aksi menginjak foto-foto mereka di depan masjid. Tentu, yang lebih menggelikan lagi adalah pelarangan terhadap orang lain untuk mempelajari Minangkabau dan sampai kepada pengusiran sepanjang adat jika orang tersebut tetap bersikeras melakukan aktivitas menyangkut Minangkabau.
Sepintas, ini terlihat seperti sebuah opera sabun dan sinetron yang ditayangkan televis kita. Penuh ketidakmasukakalan. Konyol. Dan menyebalkan. Mereka tidak pernah berkaca dan belajar daeri sejarah yang ada di depan matanya. Itulah mereka. Biarkan sajalah, karena itu semua ciri-ciri manula. ***

Sekolah Air Mata


OLEH Nasrul Azwar

Namanya Dimas Gumilar Taufik, siswa SMA kelas II IPS Sandy Putra, Bandung. Matanya tampak memerah dan berkaca-kaca menyiratkan sesuatu yang tidak sulit untuk dimaknai. Dia berdiri dalam barisan bersama temannya. Dia gelisah. Tiap sebentar menoleh kiri-kanan.
Saat yang sama, di lapangan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melangkah menuju podium. Dia akan memberi sambutan pembukaan Jambore Nasional 2006, Minggu, 16 Juli 2006.
Setelah Presiden berdiri dan tersenyum di podium khusus yang dibawa dari Jakarta, Dimas Gumilar Taufik berlari meninggalkan barisan pramuka. Tak seorang pun yang mengetahui apa yang akan dilakukan siswa ini. Sesampainya di podium, dia langsung menyerahkan sebuah map putih kepada Presiden tanpa berkata-kata. Malu, tapi harus dilakukan. Aksi mengejutkan ini ternyata luput dari pengawasan pasukan pengamanan presiden (paspampres).
Ada apa gerangan? Menapa Dimas begitu nekat menghampiri presiden? Apa yang diinginkannya? Ternyata aksi yang dilakukan Dimas hanyalah meminta bantuan biaya sekolah kepada Presiden. Dimas Gumilar Taufik mengatakan, dirinya sangat ingin sekolah dan menuntut banyak ilmu. Apa mau dikata kedua orangtuanya menganggur tanpa pekerjaan. Dirinya bingung hendak meminta bantuan pada siapa. Saudaranya juga sama-sama susah dan miskin.
Aksi siswa cerdas dan aktif ini, memang sengaja dilakukannya dan sudah dipersiapkan sebelumnya. Terbetik pikiran menyampaikan masalahnya langsung kepada Presiden. Toh bukan aksi kejahatan, bukan pula salah kirim. Ia berikan langsung kepada Presiden, karena di tangannyalah nasib pendidikan jutaan anak bangsa, termasuk dirinya.
Tidak sesuai prosedur? Memang, tapi ia sadar jika sesuai prosedur, suratnya tidak akan sampai ke tangan Presiden.
Presiden kaget, memang, menerima surat tersebut. Namun dengan bijak ia menerimanya dan ia simpan untuk ditindaklanjuti. Namun sampai kapan akan disimpan kita, tidak tahu, jikapun ternyata ditindaklanjuti dan dibantu biaya sekolahnya.
Sepenggalan kisah itu di-posting seorang wartawan radio Dakta 107 FM Bandung di mailing list jurnalisme. Dimas Gumilar Taufik reprsentasi satu dari sekian puluh juta anak Indonesia yang miskin. Dapat dibayangkan, bagaimana repotnya seorang Presiden jika semu siswa dan anak Indonesia meniru apa yang dilakukan Dimas. Di Sumatra Barat, hal serupa—sepanjang informasi yang saya dapat—belum pernah terjadi. Tapi, mata tak dapat ditutup, kondisi yang persis dengan Dimas Gumilar Taufik tidak sedikit jumlahnya. Barangkali, jumlahnya tegak lurus dengan jumlah penduduk miskin di Sumatra Barat: data resmi dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat mencapai 20% dari jumlah penduduk daerah ini.

***

Pendidikan di Indonesia adalah dunia ironis. Paradoks. Juga menyebalkan. Sisi alokasi dana di anggaran pemerintah, sektor ini terbilang sangat besar. UUD 1945 menuntut 20% dari total anggaran, walau belum terpenuhi. Taruhlah, rata-rata setiap provinsi di Indonesia mengalokasikan dana untuk pendidikan 10% (termasuk Sumatra Barat APBD 2007 diproyeksikan lebih 10% dari Rp 1,3 triliun). Lebih kurang Rp 130 milyar lebih untuk tingkat provinsi, dan belum terhitung di kota, kabupaten, dan pusat dalam APBN-nya.
Dana yang mengalir di sektor ini sangat melimpah. Persis dengan “melimpahnya” jumlah anak didik yang tak bisa menikmati pendidikan secara benar, tersebab karena miskin.
Selain itu, dana “membanjir” tak menutup kemungkinan korupsi bak air bah di tubuh institusi pemerintah ini. Semenjak hulu hingga hilir, sudah jadi buah bibir, sebut saja satu sektor, misalnya pengadaan buku-buku bacaan penunjang pendidikan pelbagai jenjang, korupsi dan pembengkakan anggaran menjadi menu setiap proyek.
Sementara, Dimas Gumilar Taufik dan sekian juta lainnya, meneteskan air mata saat hendak menuju sekolahnya, karena ia tak mampu membeli buku dan seragam. Mereka malu. Malu pada dirinya, tapi riwatat seperti ini selalu berakhir dengan kejayaan. ***

Hasil Kongres Cerpen Indonesia IV: Pekanbaru, 26-30 November 2005



PROLOG
Mencermati perkembangan cerpen Indonesia, maka dilaksanakan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) ini sebagai kelanjutan dari KCI I Yogyakarta, KCI II Bali, dan KCI III Lampung. Memperhatikan berbagai gagasan yang muncul dari semua sesi diskusi selama KCI IV berlangsung, maka dihasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut:

I. KESIMPULAN
1. Lokalitas dalam konsep budaya pada hakikatnya bukan merupakan wilayah yang terikat pada batas ruang tertentu, melainkan berkaitan dengan kesamaan sekaligus keberagaman budaya
2. Konsep estetika lokal sebagai wilayah penciptaan yang dinamis dan terbuka merupakan daya tawar global-lokal yang perlu dipahami dalam bentuk jamak dan cita rasa seni serta kaidahnya dalam proses penerimaan dan pembentukan karya kreatif berdasarkan berbagai interaksi pengaruh dan dinamika budaya lintas batas
3. Lokalitas cerpen Indonesia bukan sekadar sebagai asesoris melainkan sebagai bagian yang integral dari substansi karya yang bersangkutan
4. Estetika lokal dalam perjalanan panjang cerpen Indonesia sejak awal sangat dipengaruhi oleh budaya tempatan sehingga secara historis berakar pada nilai dan tradisi Indonesia
5. Identitas cerpen Indonesia sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan mutakhir memperlihatkan kecenderungan adanya ikatan dengan latar budaya tempatan dan pengaruh global
6. Untuk mencapai nilai estetika sebagai esensi karya diperlukan dukungan obsesi dan penguasaan bahasa secara kreatif sebagai dasar penciptaan
7. Pertumbuhan dan perkembangan cerpen Indonesia bersinergi dengan media massa dan industri penerbitan yang perlu dipertahankan secara berkelanjutan

II. REKOMENDASI
Kongres Merekomendasikan:
1. Guna menggairahkan kehidupan cerpen Indonesia khususnya, dan penulisan karya kreatif umumnya, maka perlu dibentuk satu organisasi yang bernama Komunitas Cerpen Indonesia
2. Pembentukan Komunitas Cerpen Indonesia itu perlu disosialisasikan ke berbagai daerah
3. Komunitas Cerpen Indonesia akan diresmikan pada Kongres Cerpen Indonesia V, dan kepada panitia Kongres Cerpen Indonesia V ditugaskan untuk membuat anggaran dasar dan rumah tangga , struktur dan kepengurusan
4. Dewan kesenian, lembaga pemerintahan, institusi pendidikan, pers, dan lembaga penerbitan diharapkan dapat menggairahkan kehidupan cerpen Indonesia.
5. Kongres Cerpen Indonesia V tahun 2007 diselenggarakan di Kalimantan Selatan

Pekanbaru, 29 November 2005


TIM PERUMUS

Ahmadun Y Herfanda (Ketua/Anggota)
H.S.S. Sei Gergaji (Sekretaris/Anggota)
Maman S Mahayana (Anggota)
Isbedy Stiawan ZS (Anggota)
Nasrul Azwar (Anggota)

Dari Kongres Cerpen Indonesia-IV Pekanbaru

Membaca Cerpen Indonesia Hari Ini


OLEH Nasrul Azwar

Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV yang dilangsungkan di Pekanbaru, Riau, pada 26-30 November 2005 telah usai. KCI IV merupakan kelanjutan dari KCI I yang dilaksanakan di Jogjakarta para tahun 2000, KCI II di Bali tahun 2002, dan KCI III di Lampung tahun 2003. Memang, galibnya setiap pertemuan, semisal KCI ini, serta merta akan menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tidak pernah tuntas terjawab di forum demikian.
Rentetan permasalahan yang menyangkut kondisi cerpen kontemporer Indonesia, latarbelakang tematik, kecenderungan ideologi, peran penerbitan pers, posisi kritikus sastra, estetika lokal, dan historistif eksistensi cerpen itu sendiri, adalah istilah-istilah yang mengedepan dalam KCI-IV itu. Namun semua istilah-istilah tak kunjung selesai diperiksa secara benar. Ia masih terpahat di atas lembar-lembar kertas yang disajikan masing-masing pemakalah dan mengambang di atas langit-langit.
Jika demikian, pertanyaan selanjutnya adalah apa makna yang dapat dipetik dari empat kali KCI dengan empat tempat penyelenggaraan yang berdeda? Apa yang dapat disimpulkan dari beragam makalah yang direntangkan dalam diskusi di KCI itu? Benang merah macam apa pula yang menghubungkan antara kondisi kontemporer cerpen Indonesia yang setiap minggu dimanjakan surat kabar dengan minimnya kritikus di negeri ini?
Dalam perjalanannya, KCI telah dilaksanakan empat kali di empat tempat yang berlainan. Keempat KCI itu memiliki sejarah dan muatan serta hasil yang berbeda satu sama lainnya, juga tema-tema yang diangkatpun masing-masingnya berbeda. Pada KCI I di Jogjakarta tahun 2000 lebih memokuskan perbincangan seputar eksplorasi tema pada wilayah kreator (pengarang) dan kritikus yang berada di luar wilayah kreator. Dari KCI I ini lahirlah sebuah jurnal dengan nama Jurnal Cerpen yang hingga kini masih tetap terbit. KCI II di Bali pada 1-3 Februari 2002, menurut Saut Sitomorang, membuat kongres ini menjadi lebih populer dan posisinya makin penting dalam setiap perbincangan di ranah kesusastraan Indonesia. Tentang cerpen koran menjadi persoalan yang mencuat hampir setiap sesi diskusi. Selain itu, KCI II ini merekomendasikan agar pada KCI III diharapkan penyelenggara mengangkat tema tentang anatomi cerpen Indonesia. Maka, pada KCI III yang diselenggarakan di Lampung pada 11-13 Juli 2003 tema utama yang diangkat merupakan hasil rumusan dari KCI II yaitu “Memeriksa kembali anatomi cerpen Indonesia” serta sebuah tema pendukung “Membangun basis pembaca cerpen Indonesia”. Pada KCI –IV yang baru usai dilaksanakan pilihan tema yang diperbicangkan adalah “Estetika lokal”.
Tema ini sesungguhnya bukan barang baru. Hal serupa ini pernah mencuat dan menjadi mainstream dalam jagad sastra dan teater di Indonesia pada era tahun 70-an. “Kembali ke akar, kembali ke sumber” saat itu mendominasi hampir semua karya-karya yang lahir. Namun, seperti yang telah disinggung di atas, hampir semua diskusi dangan pemberian label “kongres”, tetap saja tidak akan pernah menuntaskan persoalan-persoalan yang muncul. Layaknya, “pekerjaan rumah” semua dipulangkan ke masing-masing individu untuk menyelesaikannya dengan cara masing-masing pula.
Yang membedakan dari tiga kali KCI itu dengan KCI-IV adalah disepakati lahirnya satu organisasi yang diberi nama Komunitas Cerpen Indonesia. Untuk membentuk sususan kepengurusan Komunitas Cerpen Indonesia diamanatkan kepada penyelenggara daerah Kalimantan Selatan sebagai tuan rumah untuk KCI-V tahun 2007. Kalimantan Selatan diberi kepercayaan untuk membentuk susunan pengurus, draf AD/ART-nya, selanjutnya kepengurus itu diresmikan saat dilangsungkan KCI-V di Banjarmasin. (Baca: Hasil Kongres Cerpen Indonesia-IV).

Hadirnya Institusi
Memang, pembentukan sebuah institusi untuk penulis cerpen yang telah dilabeli dengan nama Komunitas Cerpen Indonesia bisa jadi akan memunculkan pro-kontra dikemudian hari. Tapi, yang mendasari pemikiran pentingnya sebuah institusi itu bisa jadi berangkat dari pijakan yang berada di luar wilayah kreativitas penulis cerpen, wilayah yang berada di luar teks cerpen itu sendiri. Sedangkan yang kontra bisa jadi mengatakan bahwa organisasi itu bukan wilayah kreativitas dan tak ada kaitannya dengan titik yang paling personal dalam berkarya. Dua wilayah ini akan tarik menarik dan dan malah dapat mengarah menjadi kontraproduktif jika susunan dan draf yang akan diperbicangakan di KCI V tidak didasari pemikiran dan tujuan yang jelas. Tampaknya, bagi Kalimantan Selatan, amanat yang telah berada di pundak mereka mestinya disikapi hati-hati dan selalu membuka ruang komunikasi yang seluas-luasnya. Jika tidak, perseteruan akan muncul dan ini akan melelahkan.
Sesungguhnya, kehadiran Komunitas Cerpen Indonesia dapat dimaknai sebagai respons dan jawaban terhadap tuntutan logis perkambangan zaman. Dunia informasi yang berkembang sangat cepat, tidak bisa tidak, akan memberikan aksentuasi terhadap kreativitas dunia kepenulisan di Indonesia. Kehidupan manusia yang nyaris serba dijital dan “hadirnya dunia” lain di jagad maya merupakan sisi lain yang mustahil dielakkan. Maka, produk yang dihasilkan dari dunia kepenulisan cerpen mesti mampu mensinergikan wilayah perkembangannya dengan dunia dijital itu.
Komunitas Cerpen Indonesia dalam program kerjanya seyogyanya mampu menjawab tantangan itu. Tidak adanya database yang lengkap dan akurat tentang sejarah dunia kepenulisan cerita pendek di Indonesia adalah salah satu contoh langkanya informasi mengenai itu. Jikapun ada, misalnya, tempatnya pun berserakan entah di mana. Maka, sudah saatnya Komunitas Cerpen Indonesia berpikir ke arah itu untuk membangun semacam pusat data cerpen Indonesia dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Apa pun yang dihasilkan dari pemikiran yang cemerlang, dan apa pun yang direkomendasikan oleh sebuah kongres, tentu tak ada artinya jika pemikiran dan gagasan itu tidak dapat dioperasionalkan, yang cuma untuk dibaca-baca saja.
Stigma Komunis Harus Dicabut


Pada sesi diskusi Kongres Cerpen Indonesia (KCI)-IV di Pekanbaru, Minggu (27/11) mencuat kepermukaan persoalan stigma komunis yang dilekatkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru kepada sejumlah sastrawan dan yang menulis berdasar inspirasi lokalitas desa. Stigma komunis itu hingga kini masih terus disandingkan kepada penulis yang beraliran realisme sosial. Stigma yang tidak mengenakkan ini diungkapkan Ahmad Tohari dalam makalahnya yang mengangkat tema “Lokalitas Desa” dalam rangkaian diskusi KOC-IV.
“Stigma komunis yang dilekatkan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai sastrawan kiri yang komunis atau prokomunis kepada para penulis yang beraliran realisme sosial sudah saatnya dihilangkan karena bukan zamannya lagi. Banyak penulis cerpen—yang lahir dalam ruang lokalitas desa pun—banyak yang kurang berminat menjadikan kondisi “ibu” mereka sebagai sumber inspirasi karya, karena enggan dikatakan sebagai penulis yang beraliran realisme sosial,” kata Tohari.
Dia mengungkapkan, dulu—sampai tahun 1965-an—aliran ini (realisme sosial-Red) berjaya, dan memang banyak di antara mereka kemudian dicap sebagai sastrawan kiri. Kemudian terjadi stigmatisasi terhadap siapapun yang punya hubungan dengan PKI. Stigma yang dilekatkan oleh Pemerintah Orde Baru menyebabkan mengerdilnya semangat para cerpenis yang ingin “berpihak” kepada rakyat kecil. Karena istilah rakyat kecil bahkan kosakata rakyat, dianggap asosiatif terhadap semangat kiri alais komunis
“Stigmatisasi komunis terhadap cerpenis kiri yang sudah berusia 40 tahun dan sudah saatnya kita kubur. Yang jelas menjadi cerpenis beraliran realisme sosial yang mengangkat tema-tema kemiskinan, ketidakadilan, ketertidasan, kesewenangan penguasa bukanlah dosa,” tutur Ahmad Tohari.
Perjuangan atas stigmatisasi komunis pada sastrawan yang menganut aliran lokalitas desa telah lama dilakukan seperti yang menimpa Pramudya Ananta Toer. “Karyanya berhasil membuka mata batin semua orang dari seluruh dunia tentang makna kemanusian,” ungkapnya.
Ahmad Tohari hadir dalam sesi diskusi itu bersama dengan Taufik Ikram Jamil dengan makalah “Lokalitas Melayu” dan Ahmadun Y Herfanda dengan makalah “Tradisi dan Lokalitas”.

Teks Sastra yang Mandiri
Pada sesi diskusi, Senin (28/11), sastrawan Gus tf Sakai mengatakan, teks sastra sangat berbeda, bahkan bertolak-belakang, dibanding teks lain. Jika semua perangkat sistem pada teks lain bekerja dalam kerangka acuan menjadi ada, sebaliknya seluruh perangkat teks sastra direpotkan oleh persoalan bagamana menjadi tak ada. Di telinga masyarakat modern yang terbiasa dengan sifat guna dan kepraktisan, menjadi tak ada akan terdengar ganjil. Tetapi bagi teks sastra yang tak berada dalam posisi memberi “memberi” , karena sejatinya memang hanya “pembangkit” menjadi tak ada adalah keharusan.
“Menjadi tak ada di sini jelas maksudnya bukanlah nol, nihil, ataupun kosong. Lazimnya sebuah perangkat tentu saja ia hanya cara kerja khas, konsekuensi dari apa yangt disebut ‘menempatkan pembaca sebagai subjek’. Hanya dengan menjadi tak adalah teks sastra bisa memosisikan pembaca sedemikian rupa, jadi penuh dengan dirinya dengan dunia dan cara pandangnya. Nah, di tingkat (tahap) inilah teks sastra bersetuju dan bahkan lalu bersekutu dengan estetika, sekaligus tak berterima dengan lokal,” kata sastrawan Gus tf Sakai.
Gus tf Sakai mengungkapkan, karena kemampuan teks sastra berdiri di sembarang teks, maka estetika menjadikan teks sastra “terberi” ke dalam subjek apa pun itu latar subjeknya. Sementara lokal, karena sifatnya yang keras sebagai sesuatu, urusannya tak lain kecuali “memberi”, sesuatu yang karena satu dan lain hal bisa saja ditolak subjek, tak lain karena setiap subjek pada hekekatnya punya kosmologis jagat maknanya sendiri.
Dalam diri teks sastra, estetika bukan satu-satunya. Teks sastra bekerja dengan (karakter) bahasa (metaforis dan figuratif) yang memungkinkan terjadinya komunikasi semantik.
“Semacam komunikasi, di mana teks sastra tak lebih cuma media bagi subjek untuk mengaksentuasi dan “menemukan” diri. Tetapi mesti digarisbawahi, untuk dapat berkomunikasi dan menampung aksentuasi subjek, teks sastra mesti selalu tumbuh jadi entitas yang kalau tak cerdas setidaknya berwawasan,” papar Gus tf Sakai yang tampil memaparkan makalahnya bersama Joni Ariadinata dan Hamsat Rangkuti.
Sedangkan cerpenis Joni Ariadinata mengatakan pemahaman unsur lokal adalah pemahaman objek yang paling dekat secara menyeluruh. “Bagi saya, pemahaman unsur lokal bagi saya adalah persetubuhan yang tuntas terhadap tema yang dipilih,” katanya.
KCI IV yang dilangsungkan dari 26-30 November 2005 di Pekanbaru, Riau, merupakan kelanjutan dari KCI pertama di Jogjakarta tahun 2000, kedua di Bali tahun 2002, dan ketiga Lampung tahun 2003. Dalam KCI IV ini juga menampilkan pembicara antara lain Hasanuddin WS, Meliani Budianta, Nirwan Dewanto, Budi Darma, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, Abdul Hadi WM, dan Hamsat Rangkuti.
KCI-IV dibuka secara resmi oleh Gubernur Riau dan ditutup resmi oleh Taufik Ikram Jamil, Ketua Yayasan Pusaka Riau. Semua rangkaian acara dilangsungkan di Hotel Nuansa, Pekanbaru. Pada malamnya, setelah peserta penat menguras pikiran di siang hari, disuguhi dengan pembacaan cerpen, teater yang dibawakan oleh mahasiswa Akademi Melayu Riau (AKMR), dan penampilan kelompok musik Sagu yang kini sedang naik daun, serta musik Melayu. ***

Melawan Lupa Sejarah


OLEH Nasrul Azwar

Delapan tahun yang lalu, 21 Mei 1998. Puing-puing sisa kobar api sepekan lalu masih mengoyak langit di beberapa kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Padang. Bangunan rumah, toko, dan pusat-pusat belanja, tampak buram. Dinding semula bersinar, kini bagai lukisan yang tak inspiratif. Sepi, menghitam, dan angker: Buah amuk yang keluar dari riwayat beradaban purbawi manusia. Massa marah entah pada siapa, entah apa yang menggerakan massa dengan mata merah menjarah, membakar, dan memperkosa. Sadis. Saat itu Indonesia sangat menangis. Tangis misteri. Semisteri peristiwa yang teramat tragis itu.
Tepat 21 Mei 1998, mata bangsa ini—mata yang masih bengkak karena derai air mata yang tak henti—memelototi pesawat televis sosok yang melangkah menatap lantai menuju mikrofon. Tubuh yang dipelototi itu adalah Presiden Soeharto: Anak petani berhati milter telah menjadi orang nomor satu di Indonesia selama 32 tahun. Ia berpidato. Suaranya tidak setegar sebelumnya, tapi tetap melempar senyum yang terkenal itu. Dengan dialek, “kan” dibaca “ken”, dia mundur. Mahasiswa dan semua bangsa Indonesia sujud syukur. Ada sedikit senyum, tentu, itu tanda bahagia. Tapi, tak semua bisa seperti itu, ada yang manangis dan terisak, karena menyadari ada yang hilang dalam diri mereka: anak mereka tewas di ujung peluru aparat keamanan. Rumah dan lahan tempat menumpukan hidup keluaga besar telah kosong, dirampas dan dibakar. Ada anak gadis mereka yang menahan malu sepanjang hidup, meratap dan tak tahu apa mesti dibuat, ada juga yang hilang ditelan reruntuhan dan terpanggang.
Reformasi. Demikianlah setiap detik lantang terucap. Saat itu, delapan tahun lalu, bangsa ini seperti menarik garis jauh ke belakang, dan membuat demarkasi sebagai titik awal pada saat pergantian kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Ingin berubah, berniat jadi negara yang demokratis, dan mendahulukan kepentingan rakyat Indonesia. Itulah harapan saat itu.
Kini, 21 Mei 2006. Sudah depalan tahun lamanya. Orang yang pada 21 Mei 1998 yang terpaksa meninggalkan kursi RI-1, kini masih diberi usia panjang oleh Sang Pencipta, walau terbaring lemas karena sakit. Sepanjang 40 senti meter ususnya dibuang. Tapi, ia kini, satu-satunya manusia di atas dunia ini dibebaskan dari segala tuntutan hukum yang disangkakan kepadanya, termasuk kroni-kroninya. Soeharto dapat berkah. Ia beruntung. Sangat beruntung karena tinggal di sebuah negeri yang pemaaaf sekaligus suka melupakan sesuatu. Memang inilah negeri yang berjalan dengan langkah irrasional. Negeri yang besar tak bisa dilihat dan dikaji dari sudut ilmu apapun di atas dunia ini. Secanggih apapun ilmu itu. Pemerintah dan lembaga hukum sangat mudah “menghapus” ingatan kolektif dengan dasar yang dicari-cari.
Panyakit suka melupakan itu juga menjadi tren bagi tokoh politik, aktivis, budayawan, organisasi masyarakat, partai politik, dan sebagian rakyatnya. Sepertinya, semua tokoh-tokoh yang selama ini meneriakkan pengadilan terhadap Soeharto karena memperkaya dirinya dan menyengsarakan rakyat Indonesia, telah dengan sengaja seolah-olah lupa. Dari sumber majalah Time menyebutkan saat kini kekayaan keluarga Soeharto berjumlah US $ 15.000.000.000. Mungklin takut kehilangan kekuasaan, para totoh-tokoh dan aktivis yang kini duduk di kursi empuk, melengahkan saja bagaimana riwayat Soeharto pernah menghabisi rakyat secara massal di tahun 1965-1966, melupakan bahwa pada tahun 1998 negeri ini penuh darah penculikan, pembunuhan, mahasiswa luka, buruh mati, petani tewas, nelayan tewas, perempuan berdarah-darah. Semua seperti dilupakan demikian saja.
Mengutip lapotan majalah Time yang melakukan investigasi selama 3 bulan pada tahun 1999 menulis, Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskalanasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun.
Di sini saya bersetuju dengan Milan Kundera: Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa. ***

Tuesday, February 20, 2007

Membaca Minangkabau di Helai-helai Benang

Data buku

Judul : Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
Penulis : Bernhard Bart
Pengantar : Edy Utama

Penerbit : Studio Songket ErikaRianti Padang, 2006
Tebal : xi + 132 halaman

OLEH Nasrul Azwar

Salah satu kekayaan tradisi di Minangkabau adalah corak tenun songket. Beragam rupa corak songket berkembang dengan baik di tengah masyarakat tradisi Minangkabau. Beberapa nagari di Minangkabau memiliki kekayaan corak dan rupa songket dan merupakan karya seni yang sangat kaya kadar filosofi, ajaran, dan nilai-nilai kehidupan.

Beberapa peneliti pernah mencatat, sekitar 90 lebih ragam corak pada kain songket lama Minangkabau telah muncul di ranah Minang. Namun, saat ini, corak-corak tersebut sudah jarang ditemui. Kalau pun ada, hanya sebagian saja dan terbatas pada corak-corak sederhana. Itu pun sudah dimodifikasi sesuai dengan kehendak pasar dan massif. Bentuk dan coraknya tidak berkembang. Sementara, beberapa corak lainnya hampir hilang terkubur oleh zaman, bahkan tidak dikenal lagi oleh para penenun masa kini.

Corak songket Minangkabau yang telah langka (bahkan nyaris punah) itu, kini direvilatisasi oleh Bernhard Bart, 59 tahun, seorang arsitek berkebangsaan Swiss. Dia 10 tahun terakhir sangat intens meneliti corak-corak songket lama Minangkabau.

“Bagi saya, melihat sehelai kain songket tidaklah sekadar mengamati selembar kain yang ditenun dengan ribuan helai benang. Memandang sehelai kain songket, saya dapat melihat sebuah dinamika dalam proses kehidupan yang kompleks dan beragam.”

Kalimat itu ditulis Bernhard Bart, 59 tahun, dalam introduksi buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau yang diterbitkan Studio Songket ErikaRianti Padang. Bernhard Bart adalah seorang warga Swiss 10 tahun terakhir melakukan penelitian songket lama Minangkabau. Buku ini membentangkan secara luas dan detail perjalanan dan upaya Bart merevitalisasi motif-motif lama songket yang pernah berkembang di Minangkabau pada abad-19 hingga awal abad-20.

Songket sebuah nama dari bahasa Melayu untuk kain brocade yang ditenun di Indonesia dan Malaysia. Hingga Perang Dunia II kain itu dikenal dengan nama kain makau. Tenun songket adalah seni kerajinan yang cukup tua di Nusantara dan masih bertahan hingga sekarang. Di Sumatra Barat, ada beberapa sentra tenun yang tetap produktif menghasilkan kain songket Minangkabau. Bertahannya produksi tenun ini, karena masih ada konsumen yang membutuhkan. Selain itu, faktor yang membuat tenun songket masih eksis karena masyarakat Minangkabau hingga kini masih kuat mempertahankan adat dan budayanya: kain songket menjadi properti yang wajib dalam setiap pelaksanaan upacara adat.

Namun demikian, kain songket Minangkabau yang beredar di pasaran pada saat sekarang ini hadir dengan motif sederhana, dikerjakan dengan mudah dan cepat karena pasar menjadi target utama. Sebaliknya, jarang ditemui kain songket Minangkabau yang ditenun dan dikerjakan dengan menabur motif lama yang unik dan cerdas, yang setiap motif memiliki makna mendalam menyangkut filosofi hidup.

Songket Minangkabau yang pernah ditenun oleh para penenun masa lalu, dapat disebut sebagai karya seni yang berkualitas tinggi. Motifnya unik, rumit, dan kaya makna. Songket lama Minangkabau memang sudah langka dan sulit ditemukan di pasaran. Jika ingin menemukannya, tentu bukan di toko-toko sovenir yang menjual busana adat, melainkan di toko-toko antik, museum, atau pada beberapa keluarga yang masih menyimpan kain songket lama sebagai warisan. Salah satu sumber yang memungkinkan untuk melihat kembali kain songket lama Minangkabau, yakni di Negeri Belanda, baik kain yang dikoleksi oleh museum maupun koleksi perorangan. Itupun jika belum rusak akibat situasi Perang Dunia II. Karena kekuasaan kolonial Belanda mempunyai kemungkinan untuk mengoleksi kain yang benar-benar tua di Indonesia. Kain songket lama yang masih bisa ditemukan pada beberapa keluarga telah berusia sekitar 100-150 tahun.

Buku Reviltalisasi Songket Lama Minangkabau, selain ditulis Bernhard Bart sebagai penulis utama, juga diperkaya oleh beberapa penulis, yaitu Rifky Effendy (kurator seni rupa), Alda Wimar (budayawan), Suwati Kartiwa (peneliti songket), Jupriani (dosen seni rupa UNP), Nasrul Azwar (aktivis budaya), dan diberi pengantar oleh Edy Utama (pengamat budaya Minangkabau).

Kain songket lama—yang nyaris jadi barang langka—di dalamnya terbaca perjalanan peradaban dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Melalui motifnya yang begitu beragam, tergambar makna dan pesan-pesan adat, moral, nilai-nilai kemanusiaan. Semua itu yang bersumber dari filosofi alam terkembang jadikan guru. Motif-motif tersebut terukir kuat, rapi, dan memperlihatkan tingkat kerumitan yang sulit dikerjakan oleh tukang tenun masa kini.

Pada awalnya, tahun 1996, Bernhard Bart terpesona memandang kain songket basa hitam dari Nagari Tanjung dan Koto Gadang yang dihiasi corak dan motif yang penuh dengan nilai kearifan adat Minangkabau. Kain basa hitam, saat itu hanya ditenun Hj Rohani, satu-satunya penenun perempuan yang bisa menenun dengan teknik yang benar, yaitu sisinya kain dibalik, yang bagus ke bawah. Galibnya corak lama songket Minangkabau ’tempo dahoeloe’ memang ditenun dengan teknik seperti ini.

Setelah mengenal lebih dekat kain songket basa hitam pun ingin menemui penenunnya, Hj Rohani, saat itu berusia 76 tahun. Dalam tradisi Minangkabau, kain songket basa hitam yang digunakan untuk tangkuluak (penutup kepala) oleh perempuan dan selendang oleh laki-laki (penghulu).

Latar pendidikan Bernhard Bart memang bukan berangkat untuk mendalami tenun songket, keahliannya di bidang arsitektur. Akan tetapi, karena kegemarannya berkeliling dunia dan berkunjung ke situs-situs sejarah dan sentra-sentra kerajinan rakyat di pelosok Nusantara ini—terutama kerajinan menenun—“memaksa” dirinya sejenak meninggalkan dunia arsitektur.

Bernhard menyadari, sepintas, tampaknya, hasil seni tenun dan arsitektur jauh berbeda, tetapi pada sisi cara bekerjanya hampir sama. Seorang arsitek, katanya, harus tahu tentang statik, teknik atau fungsi listrik, air, saluran, mutu bahan bangunan, aturan pemerintah, pengaruh warna kepada orang, mencari solusi yang harmonis di antara lingkungan, gedung, dan masyarakat yang tinggal/bekerja di dalam gedung itu.

“Saya hanya bisa berhasil dengan baik, kalau saya mendapat sebuah solusi yang optimal (tak pernah mungkin maksimal, selalu ada kompromi) bersama orang yang ingin membangun gedung. Hampir sama dengan seni tenun. Saya harus tahu fungsi alat tenun, seperti ATBM, alat tenun gedogang, sistem dobi, pelengkapan atau penambahan alat tenun (karok, sisir, turak, dan lain-lain), teknik tenun (ikat, songket, tapestry weaving dan lain-lain), mutu bahan (sutra ulat, katun, rami, polyester, benang makau, dan lain-lain),” paparnya.

Selain yang bersifat teknis tadi, tambahnya, kita harus memahami dengan baik sisi filosofi Minangkabau yang sangat berkait dengan adatnya. Kain songket ditenun sesuai dengan aturan fungsi dan tujuan penggunaannya (deta, selendang, sarung, ikek pinggang, dan lain-lain). Juga, ada corak yang spesifik atau unik dalam kain songket, misalnya, corak kepala kain ("tumpal-dobel", pucuak-rabuang timba baliak) hanya untuk selembar sarung, tak pernah untuk selendang. Semua ini harus diteliti/diperiksa sebelum menggambar kain songket Minangkabau dengan corak lama, yang nanti ditenun dengan tehnik yang dipakai penenun-penenun Minangkabau ratusan tahun sebelum masa kini. Semua memiliki kandungan filosofi.

Kini, Bernhard Bart telah menikmati hasil jerih payahnya. Paling tidak, untuk saat kini, lebih 1000 corak songket Minang telah dikembangkannya, dari yang paling sederhana (hanya 2 baris yang berbeda) sampai corak yang sangat rumit dengan 110 baris dan lebar sampai 260 “gigi” sisir tenun. Katanya, yang sebesar 260 “gigi” hanya ditemukan di dalam kain songket Koto Gadang yang sangat khas.

“Saya telah mencoba mendesain sendiri alat tenun yang bisa dipergunakan oleh penenun di Sumatra Barat, dan membuatnya dengan bantuan seorang tukang kayu yang cukup ahli. Beberapa alat tenun telah saya buat dan alat itu pun kini telah menghasilkan beberapa lembar replika kain songket lama. Sekarang, saya sudah punya mesin tenun sesuai dengan desain saya, dan juga mesin untuk menggintir benang dari sutra tunggal yang cukup kuat untuk losen dan pakan,” ujar Bernhard Bart.

Pada awal penelitiannya, Bernhard Bart sudah mempunyai rencana untuk menghidupkan kembali corak lama songket Minangkabau. Jika tidak dilakukan semenjak sekarang, kekhawatiran punahnya tradisi menenun motif lama Minang akan terbukti. Dia melihat, kain tenun songket yang beredar di Sumatra Barat saat ini, motif-motifnya terasa membosankan karena sudah masuk dalam industri yang massif. Tidak ada perkembangan corak lagi. Komposisi kain tetap (statis), selalu sama: pinggir kiri-kanan lebar, di antaranya banyak pengulangan baris bercorak kecil. Tentu tidak jadi masalah jika dipakai untuk sarung atau selendang, karena pinggirnya harus sama lebar. Yang divariasikan dan selalu dikembangkan pada kain songket di pasaran saat ini adalah kain dengan warna yang kerap menggunakan warna tren pada masa kini. Hampir tidak terlihat warna yang menjadi tradisi Minangkabau, misalnya merah terang, merah hati, biru tua (indigo), kuning, coklat, dan lain sebagainya. Banyak hal harus diteliti lebih dulu untuk menenun kain songket seperti yang ditenun 100 tahun yang lalu.

Kehadiran buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau, paling tidak telah mengisi khasanah referensi tentang songket Minangkabau yang selama ini diisi Fables Cloths of Minangkabau (1991) karya John Summerfield, terbitan Santa Barbara of Art. Selain ditulis dalam bahasa Indonesia, buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau juga akan diterbitkan dalam bahasa Inggris. ***


Catatan Seorang Jurnalis Senior

Data Buku

Judul: Mesin Ketik Tua
Penulis: H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie
Penerbit: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau (PPIM) Sumatra Barat

Mei Tahun 2005
Pengantar: Khairul Jasmi
Halaman: xx + 271 Halaman

OLEH Nasrul Azwar

“Demikianlah ceritanya tentang mesin ketik tua yang sangat berjasa kepada saya sejak tahun 1970-an. Bagi saya gemerincing bunyi mesin ketik tua tersebut telah ikut memberikan inspirasi untuk menulis artikel by line di perbagai surat kabar di daerah ini. Setelah saya berpikir beberapa menit, terlintaslah dalam kepala saya jasa mesin ketik tua yang amat setia menemani saya selama berpuluh-puluh tahun. Secara spontan, terlompatlah dari mulut saya bahwa judul buku yang ada di tangan para pembaca ini namakan saja dengan Mesin Ketik Tua.”

Kutipan di atas bukan punya saya. Kalimat itu milik H. Kamardi Rais Dt P Simulie. Susunan kata-kata itu saya kutip dari pengantar penulis dalam buku itu. Mengapa saya kutip? Karena saya nilai keberadaan sebuah mesin ketik ternyata masih sangat penting di dalam jagad dijilitalisasi pada saat sekarang ini. Katakanlah, pada saat kini, dunia tulis menulis tidak bisa melepaskan dirinya dari kompeterisasi itu. Tapi, sebuah mesin ketik yang dulunya boleh disebut sebagai pelajaran wajib bagi siswa SMEA, nyatanya, buah pikiran yang dihasilkan dari sebuah mesin ketik, dan hasilnya tampak dalam wujud buku, ia mampu mencairkan perbedaaan perangkat yang digunakan. Tak ada lagi batas sebuah tulisan dihasilkan dengan apa.

Pada batas demikian, proses kadang tidak menjadi penting. Yang dilihat adalah hasil. Maka, apa yang dihasilkan dalam sebuah petualangan kreativitas menulis tidak demikian saja dapat dilepaskan dari sebuah ketekunan, ketelitian, dan kerja keras. Untuk itu, soal apa yang digunakan untuk menulis, tentu bukan masalah yang signifikansi. Dari fakta yang ada di Sumatra Barat—sekadar informasi—memang masih banyak dijumpai penulis-penulis yang berusia di atas 60 tahun mengunakan mesin ketik untuk menuangkan pikirannya. Namun, tak dapat dipungkiri, tulisan yang dihasilkan tidak kalah bernasnya dengan penulis yang memakai komputer, termasuk jika diadu dengan produktivitasnya.

Dalam buku ini, 42 buah artikel dihadirkan dengan 3 bagian: Tuangan Limbago, Kesan dan Pesan, serta Serba-serbi. Bagian “Tuangan Limbago” membicarakan tentang adat dan budaya Minangkabau. Kapasitas dan kompetensi penulisnya sebagai ketua umum LKAAM Sumatra Barat, terlihat dari tulisan dan buah pikiran yang dimuat di dalam buku ini. Cukup informatif, historistik, dan kaya dengan data-data. Dalam bagian “Kesan dan Pesan” serta “Serba-serbi”, penulisnya berbicara menyangkut sensitivitasnya terhadap persoalan sosial, politik, ekonomi, sejarah, budaya, dan juga tentang “kepergian” satu per satu tokoh-tokoh pers di Sumatra Barat, antara lain, almarhum Annas Lubuk dan Kasoema. Ada kepekaan dari seorang yang selama ini bergelut dengan peristiwa, fakta, dan data-data.

Buku ini sesungguhnya sebagai representasi dari ketekunan mencatat apa saja peristiwa yang dianggap penting dari seorang jurnalis. Selain itu, buku ini sebenarnya juga ingin mengatakan bahwa profesi jurnalis bukan semata sebagai pelapor informasi (reporter) pada masyarakat, tapi lebih jauh dari itu, jurnalis adalah seorang pencatat setiap data dan fakta yang berkembang dan menuliskannya kembali dalam wujud tulisan dengan perspektif lain. Intinya, seorang jurnalis mesti mampu menuangkan pangana-nya dalam bentuk tulisan yang dalam dan komprehensif. Buku ini layak dibaca oleh para jurnalis, budayawan, penelitis sosial dan sejarah, juga mahasiswa. ***

Membuka Mata Jurnalis


Data Buku

Judul: HAK MEMBERITAKAN: Peran Pers dalam Pembangunan Ekonomi
Diterjemahkan dari THE RIGHT TO TELL: The Role of Mass Media in Economic Development
Penerjemah: M. Hamid
Editor:Bambang Bujono, Dian R. Basuki
Editor Bahasa: H. Sapto Nugroho, Hasto Pratikto
Desain Kulit Muka: Edi RM
Tata Letak: Agus Darmawan S., Aji Yuliarto, Sony Bambang T, Tri Watno W
Indeks: Sri Mulungsih, Ade Subrata
Cetakan Pertama: April 2006
Penerbit: Pusat Data dan Analisa Tempo
ISBN: 979-9065-16-X

Tebal: xiii + 401 halaman


Apa yang bisa diberikan oleh pers bebas kepada masyarakat membuat masyarakat lebih mampu membuat keputusan berdasarkan informasi yang baik, membeberkan korupsi, menekan pemerintah ketika pemerintah itu tidak berlaku semestinya. Jika institusi dapat menjamin akuntabilitas dan transparansi, pemerintah akan lebih mungkin membuat keputusan yang mementingkan rakyatnya. Pemerintah lebih bisa mengutamakan pelayanan yang lebih baik, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Kalimat di atas milik Presiden Bank Dunia, Paul Wolfowitz, disampaikan di National Press Club, Desember tahun 2005. Makna kalimat itu tentu saja sangat mudah dipahami bagi siapa saja. Namun demikian, dalam tingkat operasionalnya—taruhlah dalam penyajian liputan jurnalistik—terkesan jauh panggang dari api, terutama pers lokal.

Sepintas saja, misalnya, sejauh mana masyarakat di Sumatra Barat saat mengambil keputusan dalam ranah layanan publik mengacu pada informasi yang disajikan pers cetak yang terbit di Sumatra Barat? Atau bagaimana posisi pers dalam menyajikan kasus-kasus korupsi di tubuh pemerintah dan juga kesemrawutan birokrasi pemerintah daerah? Jika kita menjawab sepintas juga, kita akan mengatakan pers lokal di Sumatra Barat belum mampu berada dalam tatanan sebagai penyaji informasi yang dapat menjadi referensi publik, sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Juga, pers lokal Sumatra Barat masih barada dalam tahap dan memilih posisi sebagai “pelapor” saja, belum masuh ke dalam wilayah apa yang disebut dengan penyajian duduk perkara sebuah persoalan.

Buku ini ditulis 28 orang yang memiliki latar belakang jurnalistik dan pakar media massa dari berbagai negara di dunia. Sayangnya, bangsa Indonesia tidak tercatat di dalamnya, kecuali kata pengantar dari Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Penekanan buku ini lebih kepada pembuktian ilmiah korelasi yang ketat antara kemerdekaan pers, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, serta kesejahteraan sosial. Juga, barangkali, inilah buku pers pertama yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia yang cukup komprehensif mengaitkan hubungan timbal balik pembangunan ekonomi dan liberalisasi pers.

Buku yang cukup tebal ini dibagi dalam bagian: Bagian I mengupas tentang media dan pasar. Bagian II tentang landasan ekonomi dan hukum media, dan Bagian III menyangkut orang media tentang media.

Pengalaman menunjukkan bahwa independensi media bisa rapuh dan mudah terkompromikan. Sudah terlalu sering pemerintah membelenggu media. Kadang kontrol oleh berbagai kepentingan pribadi yang kuat telah membatasi kebebasan penyampaian informasi. Tingkat melek huruf, investasi manusia, dan teknologi yang rendah bisa juga membatasi peran positif yang bisa dimainkan media. Dan kita telah menyaksikan dampak manipulasi dan pela­poran yang tidak bertanggung jawab. Jelas bahwa untuk mendukung pembangunan, media perlu lingkungan yang baik, dalam arti kebebasan, kemampuan, serta checks and balances.

Buku ini juga memuat bab khusus mengenai peran media dalam pembangunan. Ini merupakan sumbangan penting kepada pemahaman kita mengenai pengaruh media terhadap hasil pembangunan dalam berbagai situasi yang berbeda-beda, dan juga menyajikan bukti-bukti mengenai lingkungan kebijakan semacam apa yang dibutuhkan agar media dapat mendukung pasar ekonomi dan politik dan membawakan suara mereka yang tercabut hak-haknya.

Untuk itu, buku ini merangkum berbagai pandangan para akademisi serta perspektif dari mereka yang berada di garis depan, yaitu para jurnalis itu sendiri. Buku ini menarik untuk dibaca para pembuat kebijakan, lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, peneliti, dan penuntut ilmu pada umumnya. ***

Manti Menuik

Merawat Seni TradisI Minang dengan Tulus

OLEH Abel Tasman/DKSB


Namanya Manti Menuik. Laki-laki. Usianya sudah 81 tahun. Malam itu, 19 Maret 2005, di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dalam pertunjukan maestro seni tradisi Minangkabau yang digelar oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) dalam Pentas Seni IV 2005, dia tampak masih tegar memainkan silek jalik, tari Adok, dan Tan Bentan, salah satu seni tradisi Minangkabau yang masih ada sampai sekarang. Lelaki itu salah seorang pewarisnya. Kepiawaian Manti Menuik memainkan silek jalik, tari Adok, dan Tan Bentan, bagian seni tradisi Minangkabau menjadikan dia sosok yang ditunggu-tunggu penonton. Manti Menuik malam itu hadir sebagai salah seorang maestro seni Minangkabau dari tiga orang maestro yang diundang khusus DKSB, yaitu Islamidar dan Upiak Palatiang.

Di atas pentas, karena usianya yang sudah tua, gerakannya tampak agak lamban. Namun, kaki dan tangannya masih bergerak mantap. Sorot matanya tajam mengawasi gerak-gerik lawan. Tubuhnya merespons sangat baik. Malam itu, Manti Menuik telah memperlihatkan “magis”, filosofis, dan makna dari seorang pesilat atau pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dalam tradisi Minangkabau, serta seorang maestro seni tradisi Minangkabau.

Mendengar bunyi adok (sejenis gendang) yang elok, apalagi suara penyanyi (pendendang) yang rancak, dia akan menari dengan totalitas dirinya: “Raso ka patah lantai (Rasa mau patah lantai),” katanya. Begitulah spirit tari Adok atau Tan Bentan yang dirasakan Manti Menuik—sang maestro penari tradisi paling gaek yang ada di ranah Minang saat ini. Tari Tan Bentan, Tari Piriang, silat Jalik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hayatnya. Bila menari, Manti Menuik seperti ekstase—larut dalam irama dan liukan gerak tubuh yang seolah tak ingin berhenti.

Nama Populer

Manti Menuik adalah panggilan populer. Ia diberi nama oleh orangtuanya Jamin, yang setelah dewasa ditambah dengan gelar Manti Rajo Sutan. Manti (panungkek atau tangan kanan dari penghulu) merupakan gelar warisan dari sukunya Guci. Manti Menuik lahir pada tahun 1924 di kampung halamannya Saniangbaka, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Sejak kecil sampai sekarang, ia tetap tinggal di kampung, tak pernah merantau seperti banyak warga Saniangbaka atau lelaki Minang lainnya.

Pendidikan formalnya hanya sampai kelas dua Sekolah Rakyat, hanya sampai bisa tulis baca. Katanya tak sanggup meneruskan sekolah karena uang sekolah mahal. Namun belajar Al-Quran atau mengaji di surau ia jalani sampai tamat, sehingga ia sekian lama menjadi guru mengaji di sebuah surau dekat rumahnya beberapa tahun lamanya.

Sebagaimana pemuda Minang lainnya, Manti Menuik belajar bersilat. Belajar tradisi bela diri Minang ini ia mulai sejak tahun 1938. Ia belajar silat pada Said Sutan Basa—seorang Pandeka Saniangbaka yang terkenal dengan silatnya Singo Barantai. Tentu saja Manti Menuik juga belajar silat asli Saniangbaka Balam Balago. Namun dikatakannya, ia tak terlalu menguasai silat Singo Barantai, penguasaannya lebih fasih pada silat Jalik—silat bungo atau kata dalam bela diri karate. Silat Jalik lebih sebagai peragaan keindahan gerakan silat. Dan memang ia lebih menonjol kemampuannya dalam bidang tari.

Sejak Kecil Belajar

Setelah cukup dengan bekal kemampuan bersilat yang ia miliki, Manti Menuik belajar tari pada tahun 1948. Ia berguru pada Tamin Sutan Sati dan Husin Mantiko. Ia mempelajari Tari Piriang, tari Tan Bentan dan randai. Beberapa lama setelah itu, ia sudah sering tampil menari di berbagai nagari dan daerah sekitar seperti Malalo, Paninggahan, Padangpanjang dan Bukittinggi. Puluhan tahun belakangan ia bersama kelompoknya juga sering tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bersamaan dengan penguasaannya dalam bidang tari itu ia, juga mulai mengajar tari. Ia menjadikan lapaunya sebagai sasaran (tempat belajar silat atau tari) di malam hari atau halaman rumah gadangnya sebagai tempat belajar silat. Kadang ia juga melatih muridnya bersilat dan menari di surau milik kaumnya. Dalam mengajarkan tari, Manti Menuik langsung mengajak muridnya satu per satu dan berganti-ganti untuk menari. Ia tak melatih tari seperti gaya latihan menari saat ini, yakni dengan memberi contok gerakan, lalu menyuruh murid menirukannya secara serempak. Dengan demikian, saat melatih murid-muridnya, Manti Menuik tak pernah berhenti menari.

Manti Menuik adalah maestronya Tari Piriang, Tan Bentan dan silat Jalik. Tari Piriang yang ia mainkan khas tari piringnya Saniangbaka. Gerakannya indah, enerjik dan mengagumkan. Begitu pula bila ia menampilkan silat Jalik. Yang paling menarik adalah bila ia membawakan tari Tan Bentan, tarian khas yang ada di kenagarian sekitar Danau Singkarak. Konon tarian ini asalnya memang dari Saniangbaka.

Tari Tan Bentan adalah bercerita tentang cuplikan kisah perebutan Puti Bungsu oleh Imbang Jayo dan Cindua Mato. Karena kesaktiannya, Cindua Mato berhasil mengalahkan Imbang Jayo. Tari ini terdiri dari lima bagian yang merupakan peristiwa perseteruan antara Cindua Mato dengan Imbang Jayo: Pada-pada (pado-pado), Dendang-dendangan, Adau-adau, Din-din dan Jundai.

Menitis pada Anaknya

Pado-pado adalah pengungkapan filosofis dalam bentuk gerak tari dari ungkapan; babuek baik pado-padoi, babuek buruak sakali jaan. Dendang-dendangan, lagu-lagu menyenangkan yang dibawakan Cindua Mato di hadapan Imbang Jayo supaya Imbang Jayo tak mencurigai Cindua Mato. Adau-adau adalah cerita atau lagu yang diusampaikan Cindua Mato untuk membuat Imbang Jayo tertidur, pada tahap ini Puti Bungsu ikut menari yang makin menghibur Imbang Jayo. Tertidur atau talalok dalam pengertian ini adalah talalok dalam pengertian karakter atau talalok yang dimaksudkan di sini adalah takicuah, karena Cindua Mato bermaksud merebut Puti Bungsu.

Din-din adalah usaha yang dilakukan Cindua Mato untuk mendinginkan atau menyejukkan hati Imbang Jayo dan masyarakat Sungai Ngiang supaya mereka tidak curiga sama sekali dengan tindakan yang akan dilakukan Cindua Mato. Jundai berkisah tentang serangan atau perang batin yang dilakukan Cindua Mato terhadap Imbang Jayo. Imbang Jayo akhirnya kalah dan bangun dari tidurnya dalam keadaan gila (jundai). Itulah makna tari Tan Bentan yang sering ditampilkan Manti Menuik.

Di samping menari dan bersilat atau melatih tari dan silat, sehari-harinya Manti Menuik menjalankan kegiatan hidupnya dengan pergi ke sawah pada pagi hari. Sehabis Zuhur dia pulang, kemudian meneruskan kegiatan di lapau atau kedai kopi yang dimilikinya. Di tempat ini pula setiap pekan ia melatih tari dan silat.

Manti Menuik menikah untuk pertama kalinya pada tahun 1944. Sampai sekarang ia telah menikah dengan delapan orang perempuan. Namun dari kedelapan istrinya itu ia hanya memiliki tujuh orang anak. Di antara tujuh anaknya itu, empat orang telah meninggal dunia. Tiga orang yang masih hidup hidup yakni Safri (52), Eri Mefri (47), dan Rahmi (17). Eri Mefri adalah pewarisnya dalam bidang tari. Eri adalah seorang penari dan koreografer terkenal pimpinan Sanggar nan Jombang.

Di hari tuanya saat ini, Manti Menuik tinggal dengan istri termudanya Nisma dan dengan putrinya Rahmi, di lapaunya yang sudah berubah fungsi menjadi rumahnya. Sejak beberapa tahun terakhir, lapau itu tak lagi berfungsi sebagai kedai kopi. Sehari-harinya Manti Menuik tetap pergi ke sawah, “Untuk tetap mengeluarkan keringat, kalau tak berkeringat badan menjadi lemah,” katanya. Setiap Senin malam ia melatih tari di rumah gadang milik Tarmizi, Wali Nagari Saniangbaka yang sekaligus bertanggung jawab memimpin kelompok tari yang terdiri dari sekitar 30-an anak muda itu.

Sampai usia tuanya saat ini, Manti Menuik, masih terus menari, mempertahankan dan melestarikan seni tradisi. Tradisi yang sudah lama sepi di negeri ini. Begituh Manti Menuik, sang maestro seni tradisi, ia tak akan pernah berhenti menari. Panggilan hidupnya adalah menari. Dan ia akan menari sampai mati.***