KODE-4

Tuesday, February 20, 2007

APBD Agam Perlu Dikritisi

OLEH Nasrul Azwar

UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tampaknya dipahami secara serta merta dan telanjang oleh lembaga eksekutif dan legislatif (DPRD) di tingkat daerah. Sehingga penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)selalu memunculkan kontroversi, terlebih dalam peyusunan anggaran untuk DPRD.

Tentu saja, arah penyusunan APBD pada intinya merupakan salah satu indikator, alat, piranti, untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat – dan ini sangat sesuai dengan UU No. 22/1999. Penyusunan APBD harus memperlihatkan visi, realistis, nyata, transparansi, akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efesiensi dan efektivitas mata anggaran yang disusun, serta adanya pertanggung jawaban yang tegas dari pihak pemakai dana dari anggaran yang disusun.

Ukuran dan ‘persyaratan’ di atas, memang masih berada dalam tataran idealistik, wacana, dan abstrak. Pada kenyataannya, saat eksekutif dan legislatif menyusun anggaran — baik itu saat masih berada dalam tataran rencana, maupun pengesahan — ukuran dan persyaratan di atas tak pernah dikonkretisasikan. Jarang disosialisasikan. Tak ada keterlibatan publik dalam penyusunan anggaran.

Maka, saat sebuah APBD telah disahkan dan diperdakan, maka kontroversi dan kritikan tajam bermunculan kepermukaan. Paling tidak, yang paling banyak mendapat sorotan adalah menyangkut pos mata anggaran DPRD dan anggaran pembangunan. Dan APBD – baik tingkat provinsi, kabupaten dan kota – dua mata anggaran ini selalu dipertanyakan. Anggaran DPRD yang membengkak, sementara anggaran pembagunan menciut.

Untuk Kabupeten Agam – selain daerah-daerah lainnya di Sumatra Barat – dapat dijadikan salah satu kasus: bagaimana tidak adanya keadilan di dalam penyusunan anggarannya; bagaimana tidak adanya visi dan arah yang jelas dari APBD tahun 2002; dan lain sebagainya.

Dari data-data yang diperoleh, anggaran biaya pembagunan hanya berkisar Rp 61 milyar, sedangkan anggaran rutin Rp 164,5 milyar. Sementara pendapatan daerah ini diperkirakan Rp 225, 8 milyar. Pendapatan yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) sekitar Rp 4,5 milyar. Satu hal yang sangat menarik adalah alokasi dana yang diberikan kepada kecamatan-kecamatan di Kabupaten Agam. Tercatat ada 15 kecamatan di Agam. Masing-masing kecamatan memperoleh dana Rp 50.360.000. Lalu, berapa setiap desa/nagari di dalam sebuah kecamatan mendapatkan dana? Barangkali tak lebih Rp 5 juta/perdesa/nagari.

Jelas, jumlah Rp 5 juta itu sangat tidak masuk akal, dan konyol saat semua pihak sepakat untuk kembali ke nagari. Apa yang mesti dilakukan dengan dana sekecil itu untuk sebuah nagari, misalnya nagari Sianok VI Suku? Atau nagari yang demikian luas lainnya? Jika ada DAU yang diarahkan ke situ, tentu saja hal itu soal lain lagi. Tapi, yang jelas, visi pemerintah Agam dan DPRD Agam dalam penyusunan anggaran itu tidak memperlihatkan kepedulian kepada publik.

Sementara itu, jika dilihat mata anggaran yang dialokasikan untuk DPRD Agam dan Sekretariatnya sebesar Rp 3.450.268.600 sangat jauh sekali perbandingannya dengan mata anggaran untuk kecamatan-kecamatan di Agam. Dana untuk legislatif itu nyaris menyedot semua PAD Agam yang hanya berjumlah Rp 4,5 milyar itu.

Kini, tentu saja, sebutkanlah, misalnya, APBD Agam telah disahkan oleh DPRD Agam, maka langkah selanjutnya tampaknya publik sangat tepat sekali mengkritisi APBD Agam itu. Paling tidak, beberapa mata anggaran perlu direvisi. Langkah awal tentu saja yang mesti dipertanyakan adalah mekanisme penyusunan anggaran tersebut. Apakah telah dilalui dengan prosedur dan hukum yang berlaku? Bagaimana dengan keterlibatan publik? Dan – ini yang sangat penting – apakah penyusunan anggaran DPRD Agam ditempuh dengan pembahasan, atau semata-mata disusun untuk membengkakkan uang ini, uang itu, dan dana lainnya?

Sebab, dalam peraturan dan mekanisme penyusunan APBD apapun jenis mata anggaran yang dicantumkan harus dibahas sesuai dengan mekanismenya, dan ini melibatkan instansi terkait. Pengalaman selama ini terlihat, mata anggaran legislatif kerap disusun tanpa mekanisme yang jelas. Ini terbukti dalam penyusunan RAPBD Provinsi Sumatra Barat. Sehingga banyak pihak yang menuntut untuk direvisi kembali. Dan kasus serupa tidak tertutup akan/dan terjadi juga pada penyusunan APBD Agam. Kita mesti mengkritisinya.***

Dari Nagari ke Forum Wali Nagari

OLEH Nasrul Azwar

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 tentang pemerintahan nagari, sebagai produk hukum, telah jadi acuan penting untuk pengembangan nagari di Kabupaten Agam. Sebagai Perda, acuannya jelas pada produk hukum yang di atasnya: UU No 12 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi kabupaten dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah, UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1999 tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah dan rancangan keputusan presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000.

Dengan demikian, dasar dan landasan hukum Perda No 31 tahun 2001 tentang pemerintahan nagari di Kabupaten Agam amat kuat, terlepas dari soal apakah kelak bisa diaplikasikan dengan baik atau tidak dalam tataran komunitas di nagari-nagari di Kabupaten Agam, tentu masalah lain lagi.

Dalam Perda tersebut dijelaskan juga tentang definisi nagari yaitu nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Kabupaten Agam, yang terdiri dari himpunan beberapa suku di Minangkabau yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dan mempunyai harta kekayaan sendiri, berwenang mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pemerintahannya. Dalam Perda itu ada dicantumkan jumlah nagari yang berada di kabupetan Agam sebanyak 73 nagari.

Namun demikian, belum ada laporan resmi yang diperoleh dari jajaran Pemerintah Kabupaten Agam, apakah semua nagari (73 buah) itu telah memiliki Wali Nagari sesuai dengan peraturan Perda tersebut. Artinya, belum jelas benar berapa dari 73 nagari itu yang Wali Nagarinya telah dilantik.

Satu hal juga yang sangat menarik adalah masih banyaknya kelemahan dan kekurangan dari isi Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000, yang telah ditetapkan DPRD Sumatra Barat 7 Desember 2000 dan diundangkan 16 Desember 2000, yang kini jadi sandaran untuk melahirkan peraturan daerah tentang nagari di tingkat kabupeten.

Paling tidak, menurut, Kamardi Rais Dt. P. Simulie, Ketua Umum LKAAM Sumatra Barat, yakni terkesan masih mengabaikan struktur pemerintahan adat yang dipaturun-dipanaikkan, nan diico nan dipakai, yang secara historis dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga adat tertinggi di nagari-nagari, yang dilambangkan sebagai “babalai – bamusajik, balabuah-batapian, bakorong-ba kampuang, bagalanggang-bapamedan”. “Nah, inilahlah yang tidak tertampung di dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 tersebut. Yang kita niatkan kopiah, tapi yang dapat hanya daster, baiklah kita terima juga sebagai penutup kepala,” katanya.

Juga, tambah Kamardi Rais, yang jadi masalah lain dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 adalah perda tersebut tidak utuh untuk Provinsi Sumatra Barat. Perda tersebut tidak mengatur keberadaan Kabupaten Mentawai dan juga tentang nagari-nagari di kota-kota. “Masalah ini masih ada peraturan yang jadi kendala.”

Sama halnya dengan itu, N. Dt Perpatih Nan Tuo, yang juga salah seorang pengurus LKAAM Sumatra Barat, menekankan pada aspek kemungkinan dampak atas Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 terhadap kehidupan sosial nagari. “Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000 disusun tidak berdasarkan pada hasil penelitian lapangan yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga perda ini tidak menggambarkan nagari secara umum,” katanya dalam sebuah diskusi di LBH – padang baru-baru ini.

Buktinya, katanya, Pasal 2 Perda tersebut menyatakan bahwa setiap nagari mempunyai beberapa suku. Padahal menurut adat, berdirinya suatu nagari paling sedikit 4 suku di dalamnya. “Pasal ini jelas akan memancing jorong suatu nagari ingin mendirikan nagari pula, karena syarat dengan sangat mudah telah dipenuhi. Dan ini jelas akan sangat mudah memicu perpecahan di tingkat nagari,” tuturnya.

Selain itu, perda ini juga membuka peluang kepada Pemerintah Nagari melakukan intervensi atas kekayaan nagari. Karena harta kekayaan nagari tidak serta merta menjadi harta kekayaan pemerintah nagari. “Perumusan yang demikian akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara nagari sebagai pemilik harta kekayaan nagari dengan pemerintah nagari.”

Lebih lengkap

Namun demikian, apa yang jadi sisi kelemahan yang hadir dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9 Tahun 2000, tampaknya mampu ditutupi dan diakomodasi dengan baik oleh Perda Kabupaten Agam No 31 tahun 2001. Paling tidak hal yang dicemasaskan N. Dt Perpatih Nan Tuo, tentang perpecahan nagari karena syarat mendirikan nagari yang tercantum dalam Perda Provinsi Sumatra Barat No 9/2000 itu demikian mudahnya dihadirkan, tidak demikian halnya dengan Perda kabupaten Agam No 31/2001. Walau, hampir setiap produk hukum yang dikeluarkan wakil rakyat selalu memuat sisi lemah yang paling substansi. Tampaknya, pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 lebih lengkap dan jelas.

Contoh yang jelas adalah Pasal 5 tentang pemekaran nagari di Kabupaten Agam. Untuk Perda Provinsi Sumatra Barat No 9/2000, hanya menyebutkan, syarat pendirian nagari baru harus memenuhi beberapa suku. Kata “beberapa suku” ini memang tidak tegas dan terkesan bias, dan ambigiutas. Namun, pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001, jelas dicantumkan persyaratan pendirian nagari salah satunya adalah ninik mamak nan ampek suku.

Selain itu juga dijelaskan pada pasal 62 tentang pengelolaan kekayaan nagari di kabupaten Agam. Bahwa sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola nagari tidak dibenarkan diambil alih pemerintah, baik provinsi maupun daerah.

Sedangkan tentang pemekaran nagari-nagari baru, hingga kini – jika mengacu pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 berjumlah 73 nagari—memang belum diperoleh informasi tentang hadir nagari baru di Kabapaten Agam. Jum 73 nagari yang dicantumkan dalam perda itu berdasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat Nomor 5/GSB/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari dalam provinsi daerah tingkat I Sumatra Barat dan Surat Gubernur Nomor 156/GSB/1974 tentang kerapatan nagari dalam provinsi daerah tingkat I Sumatra Barat. Keputusan ini dikeluarkan sebelum diberlakukannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa.

Pemberdayaan Komponen Nagari

Sudah tak terbilang banyaknya tulisan dan penelitian yang menyebutkan bahwa polarisasi pemerintahan desa dan penyeragaman bentuk pemerintahan yang “dipaksakan” hadir semasa Orde Baru, lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Paling tidak, yang sangat merasakan kerugian penyeragaman itu adalah masyarakat komunitas Minangkabau, yang sebelumnya berbasis pada pada bentuk komunitas nagari.

Dari rentang semenjak diterapkannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa, hal-hal yang paling terlihat sangat merugikan dan kikis identitas komunal dan individual di nagari itu adalah; pertama, jati diri komunitas nagari di Minangkabau menemukan kebekuannya dan mengalami degradasi yang dasyat, kedua, nagari di Minangkabau tidak lagi memiliki kewenangan politis ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya, ketiga, terjadinya konflik vertikal dan horizontal di dalam tataran nagari itu sendiri. Hilangnya batas nagari, keempat, komunitas Minangkabau kehilangan tokoh panutan yang berwibawa, kelima, terkikisnya rasa memiliki dan nilai-nilai kebersamaan, seperti gotong royong, keenam, mandulnya peran dan fungsi komponen, institusi informal nagari, yang selama ini jadi bagian inheren dengan eksistensi nagari dan anak nagari.

Masalah yang diakibatkan penyeragaman itu, kini, walau telah muncul kehidupan bernagari dalam pemerintahan di Sumatra Barat, bukan serta merta soal yang sangat krusial itu selesai dan hilang demikian saja. Ini artinya, masih ada persoalan yang demikain pentingnya belum terselesaikan dan sangat mendesak diselesaikan di dalam lingkungan nagari itu sendiri.

Dalam struktur pemerintahan nagari, jika mengacu pada peraturan yang berlaku, dan merupakan komponen terpenting untuk menggerakkan potensi nagari adalah; pemeritahan nagari terdiri dari wali nagari, sekretaris nagari, kepala urusan pemberdayaan dan pemerintahan, kepala urusan ketentraman dan ketertiban, kepala urusan kesejahteraan rakyat, kepala urusan administrasi keuangan dan aset nagari, dan kepala jorong.

Struktur ini jelas merupakan ‘perpanjangantangan’ pemerintah dan bagian paling bawah dalam struktur pemerintahan Indonesia. Banyak yang berpendapat, pola seperti ini tak jauh beda dengan saat diberlakukan pemerintahan desa dulunya. Istilah yang dimunculkan adalah “batuka baruak jo cigak”.

Komponen di dalam nagari lainnya juga ada lembaga sejenis legislatif yang disebut dengan Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN). Kedudukan BPRN ini sejajar dan menjadi mitra dari pemerintahan nagari. Keanggotaannya terdiri unsur ninik mamam, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, generasi muda, jumlahnya paling kurang 7 orang (mesti ganjil).

Juga ada komponen dalam nagari yang dinamakan dengan majelis musyawarah adat dan syarak nagari. Fungsinya memberikan pertimbangan kepada pemerintah nagari. Unsur yang ada di dalamnya tidak beda dengan apa yang ada di BPRN. Namun anggotannya, tidak dibenarkan yang telah duduk di BPRN dan juga Wali Nagari.

Juga ada yang lainnya, namanya kerapatan adat nagari (KAN) dan majelis ulam nagari. KAN merupakan lembaga tempat terhimpunnya ninik mamak, dan pemangku adat di nagari. Tugasnya antara lain menyelesaikan sengketa sako dan pusako menurut adat selingka nagari.

Sedangkan majelis ulama nagari merupakan lembaga tempat berhimpunnya para ulama di nagari. Salah satu tugasnya menanamkan aqidah Islam di tengah kehidupan masyarakat nagari.

Selain itu dalam Perda tersebut juga disarankan, nagari-nagari di Kabupaten Agam membentuk lembaga masyarakat lainnya, sesuai dengan aspirasi yang berkembang.

Jika dilihat sepintas saja, maka beban yang ditanggung nagari cukup berat, jika benar-benar nagari bersangkutan dijalankan dengan mengacu pada Perda Kabupaten Agam No 31/2001 itu. Mengapa berat?

Pertama, untuk memungsikan komponen-komponen yang ada di nagari dibutuhkan rekonstruksi modal sosial dan budaya yang selama ini telah hilang. Nagari akan menemukan identitis sosialnya jika semua komponen punya visi yang sama di nagari. Karena masalah ini menyangkut pada kemampuan anak nagari dan segenap perangkatnya mengaktualisasikan diri, interaksi sosial, serta kepekaaan akan perkembangan zaman. Maka, pada batas ini peran wali nagari menjadi sangat penting. Dan ini bukan soal yang hanya selesai di meja rapek nagari. Dan ini jelas menyangkut pada soal komitmen.

Kedua, menjemput potensi komponen nagari dan kepemimpinan tradisional di nagari. Mesikipun telah banyak terjadi perubahan, namun institusi sosial di nagari, seperi keluarga besar, masjid dan surau, ulama dan panghulu, cadiak pandai, bundo kanduang dan juga anak muda nagari, tampaknya masih punya peran sangat strategis dalam pengembangan nagari.

Menurut Emeraldy Chatra, dosen FISIP Unand, dalam struktur pemerintahan nagari, para penghulu pucuak berfungsi sebagai pemimpin Rapek Nagari, sekaligus sebagai anggotanya. Kekuasaan tertinggi tidak terletak pada individu penghulu pucuak, dan tidak pula dibagi‑bagi di antara individu penghulu payuang atau suku.

“Kekuasaan berada pada institusi Rapek Nagari yang di dalamnya berhimpun para penghulu. Berarti setiap individu tanpa mengenal status harus tunduk pada setiap keputusan (mufakat) yang dihasilkan Rapek Nagari. Tak seorang penghulu pun dapat membuat peraturan atau undang‑undang menurut kemauannya sendiri,” katanya Chatra, juga yang menulis buku “Adat Selingkar Desa”.

Ditambahkannya, kehidupan demokratis di nagari dapat menjadi sebab sekaligus akibat dari sistem pemerintahannya. “Gagasan untuk melibatkan banyak orang dalam mengurusi nagari tampak jelas dari dua simbol: mamak dan kemenakan Meskipun makna keduanya mengacu kepada garis keturunan (hubungan geneologis), namun keduanya merupakan komponen dasar dari pemerintahan nagari.”

Oleh karena mamak dan kemenakan adalah komponen, pemerintahan nagari, pola hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin akhirnya jauh dari sekadar hubungan kekuasaan. Hubungan keduanya lebih menjurus ada hubungan batin.

Rapek Nagari tidak hanya menjalankan fungsinya sebagai "'lembaga negara tertinggi" dan "satu‑satunya lembaga pemerintahan" bagi sebuah nagari, tapi sekaligus menjadi lembaga yang mengakomodasikan berbagai kepentingan dan konflik yang timbul akibat perbedaan kepentingan dalam rnasyarakat.

Sebagai lembaga tertinggi tentu saja tidak semua konflik yang terjadi harus dihadirkan dalam sidang para penghulu di tingkat nagari. “Pada Rapek Nagari biasanya yang dibicarakan adalah masalah yang bersentuhan dengan kepentingan warga nagari secara umum,” jelasnya lagi.

Ini soal jadi tantangan yang paling berat bagi kehidupan nagari pada saat sekarang ini. Persoalannya bukan semata kembali dan mengembalikan bentuk kehidupan bernagari semata, namun bagaimana pemimpin masyarakat yang ada dalam nagari bersangkutan mampu mengelola dan sekaligus menyelesaikan persoalan dan konflik yang terjadi di dalam nagari.

Forum Wali Nagari

Munculnya wacana tentang keinginan Wali Nagari di nagari-nagari Kabupaten Agam untuk mewujudkan suatu wadah untuk menghimpun Wali Nagari, apakah namanya kelak, merupakan tanda adanya kemauan dan komitmen yang kuat bagi Wali Nagari untuk meletakkan visi, komitmen yang sama, sekaligus melihat persoalan nagari ditenggari sama persoalan yang dihadapi.

Keinginan untuk melahirkan satu wadah bagi Wali Nagari, pantas disambut baik. Namun demikian, jika polarisasi pemerintah nagari di Kabupaten Agam baru efektif berjalan 4-5 bulan belakang, seperti yang disampaikan Suardi Mahmud, salah seorang tokoh masyarakat yang mengagas perlunya wadah untuk Wali Nagari, kepada Suluh, maka persoalannya bukan lagi semata apakah wadah demikian itu penting atau tidak, akan tetapi yang jadi tujuan utama adalah “kekuatan” posisi Wali Nagari di tengah pemerintah Kabupaten itu sendiri.

Posisi demikian tampaknya amat penting jika dikaitkan dengan soal otoritas nagari dalam menentukan visi ke depan pembangunan, penguatan, pemberdayaan komunitas nagari yang dipimpin Wali Nagari bersangkutan, misalnya. Forum, atau apakah namanya, akan memposisikan Wali Nagari sebagai representasi dari kamauan publiknya, kemauan BPRN dan elemen-elemen yang ada dalam nagari. Selain itu, Forum Wali Nagari Kabupeten Agam—jika kelak ini namanya— akan menempatkan nagari sebagai basis penguatan pemberdayaan masyarakat nagari. Dan, paling sederhana, wadah ini jelas dapat “memotong” jalur birokrasi dan prosedur yang berbelit jika seorang Wali Nagari ingin menyampaikan aspirasinya ke DPRD, ke Pemkab, atau yang lainnya. Cukup forum ini saja yang bergerak.

Akan tetapi, satu hal yang perlu dibenahi dalam proses bernagari di kabupaten Agam, yang masih tergolong baru itu, adalah pembenahan ke dalam, penguatan internal. Ini jelas sangat penting dalam proses menuju arah keseimbangan antara Forum Wali Nagari dengan nagari-nagari yang ada di dalamnya. Jika, satu pihak berada pada posisi yang kurang mendapat perhatian dari Wali Nagari, maka persoalan akan menampakkan konflik yang kian tajam, baik horisontal maupun vertikal di tengah publik.

Maka, penguatan pada nagari masing-masing menjadi soal yang utama dan penting, sebelum Wali Nagarinya mendirikan satu wadah. Menurut, Abdul Aziz Saleh, guru besar Sosiologi Universitas Andalas, dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal Genta No 3 Tahun I 1996, hal yang perlu dikembangkan dalam pemerintahan nagari adalah: pertama, proses dan mekanisme pengambilan keputusan. Secara tradisional, baiyo batido adalah konsep kunci dalam proses pengambilan keputusan. Suatu proses musyawarah adalah tempat setiap orang (pihak) dapat menyatakan ya (pernyataan persetujuan) atau tidak (pernyataan penolakan). Dengan demikian dalam proses pengambilan keputusan itu, perbedaan pendapat diakui dan diterima sebagal suatu hal yang wajar. Bahkan dianggap sebagai suatu proses penting yang perlu dilalui untuk memperoleh suatu keputusan yang berkualitas, dan dapat diterima oleh semua pihak.

Memang, proses musyawarah ini membutuhkan waktu yang relatif panjang, karena melibatkan berbagai berkepentingan dan harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya. Sehingga keputusan yang diambil, dapat mengakomodir kepentingan dan aspirasi sebagian besar masyarakat. Di dalam setiap musyawarah, semua pihak mempunyai kedudukan yang sama, seperti diungkapkan dalam pepatah tegak sama tinggi dan duduk sama rendah.

Di tingkat keluarga besar musyawarah dilakukan di antara sesama anggota keluarga yang sudah dewasa, baik laki‑laki maupun perempuan. Musyawaah ini dipimpin mamak yang dituakan atau disebut tungganai. Di tingkat kaum atau suku musyawarah dilaksanakan di antara para tungganai atau mamak yang dituakan, dipimpin penghulu kaum atau penghulu suku. Sedangkan di tingkat nagari musyawarah dilakukan antara anggota Kerapatan Adat Nagan (KAN).

Kedua, Konsep tentang pemimpin,kekuasaan,dan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Konsep ideal masyarakat Minangkabau tentang pemimpin dinyatakan dalam ungkapan adat teluk timbunan kapal, adat tua menanggung ragam. Maksudnya seorang pemimpin yang ideal adalah pemmpin yang tahan kritik. Seorang yang suka mendengarkan pendapat dan saran yang dipimpin dan tidak bersifat suka menggurui.

Ketiga, sikap terhadap perubaban dan terhadap sesuatu yang baru. Dalam masyarakat manapun juga, setiap perubahan selalu menimbulkan pro dan kontra, termasuk dalam masyarakat Mmangkabau.Ini telah dibuktikan oleh sejarah, seperti ketika masuknya Agama Islam, dan masuknya bangsa dan kebudayaan Barat. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau cukup lentur dan terbuka serta dapat menarik manfaat dari sesuatu yang baru. Hal ini diperlancar oleh kenyataan bahwa budaya Minangkabau tidak begitu cenderung membakukan menyakralkan sesuatu.

Keempat, konsep tentang hubungan sesama. Masyarakat Minangkabau relatif lebib bersifat egaliter dan demokrafis. Nilai ini juga dioperasionalkan di dalam kehidupan sehari‑hari, termasuk dalam hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Di dalam hubungan yang demikian, tidak ada yang memerintah dan tidak ada yang diperintah, karena yang dilaksakanakan adalah keputusan bersama melalui proses musyawarah. Peranan pemimpin lebih berupa koordinator. Inilah yang menentukan pola interaksi antara sesama anggota masyarakat dan juga dengan pemimpin. Sifat demokratisnya juga dinyatakan dalam penghargaan terhadap sesama dan dikuatkan dalam ungkapan, lamak dek awak, katuju dek urang. Penghargaan terhadap manusia sebagai

individu dan haknya untuk ikut ambil bagian di dalam kegiatan dan kehidupan masyarakat, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dinyatakan dalam ungkapan; yang buta meniup lesung, yang lumpuh menjaga padi yang dijemur, yang lumpuh untuk menembakkan meriam.

Kelima, sistem pemilikan tanah, dan penggunaannya dalam masyarakat. Bagi masyarakat Minangkabau tanah merupakan faktor yang penting bukan hanya dari sudut ekonomis dan nilai praktisnya saja. Orang Minang, termasuk mereka yang berada di rantau yang sebetulnya tidak mengandalkan hidupnya dari mengolah tanah tetap melihat tanah sebagai faktor penting, karena memiliki nilai yang bersifat emosional dan sentimental. Hal ini disebabkan adanya anggapan yang tumbuh dengan kuat dalam masyarakat, orang Minang baru diakui sebagai orang Minang kalau dapat memajukan nagarinya, sukunya, rumahnya, tanahnya (ulayatnya).

Dari itu pula, soal penguatan ke dalam jadi kian teramat penting. Jika semua nagari-nagari di Kabupaten Agam—yang dalam Perda Kabupaten Agam No 31/2001 disebutkan berjumlah 73 nagari— jika semua telah memiliki Wali Nagari, dan berarti otomatis ada 73 orang Wali Nagari di Kabupetan Agam, tentu bukan sebuah wadah yang kecil. Paling tidak dalam tataran “posisi tawar” untuk sebuah kebijakan publik, misal yang dikeluarkan pemkab Agam, tentu forum ini akan ditempatkan pada posisi yang penting.

Namun, tentu, ada beberapa hal yang perlu dicermati jika kelak Forum Wali Nagari ini hadir, yakni persoalan politik dan kepentingan kekuasaan menjelang Pemilu 2004 nanti. Tentu banyak pihak yang akan tidak setuju, jika forum ini dimanfaatkan jadi kendaraan partai politik untuk mengumpulkan suara pada pemilu 2004.

“Jika ini terlaksana, ekses dan prsedennya akan sangat jelek sekali,” kata Ivan Adilla, seorang pengamat kebudayaan Minangkabau. Maka, ia menyarankan Forum Wali Nagari ini hendaknya lebih mengedepankan dan mengutamakan program ketimbang demi kepentingan partai politik. Baginya, Forum semacam perlu dikembangkan dan disosialisakan. “Sebab, inilah semacam wadah yang pertama hadir di Sumatra Barat yang bisa menghimpun Wali Nagari dalam satu forum. Daerah lain belum melakukan ini. Sementara Wali Nagari se Agam telah melakukannya,” jelas lagi.

Diterangkannya, untuk Kabupaten Solok, yang pertama sekali mengeluarkan Perda tentang kembali ke nagari di Sumatra Barat, belum muncul pikiran untuk mendirikkan wadah semacam itu. “Saya kira ini perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain. Dan juga, tidak salah jika forum ini diperluas ke tingkat lebih tinggi, misalnya Forum Wali Nagari Se-Sumatra Barat, misalnya. Dan tentu akan sangat menarik jika kekuatan Wali Nagari yang terhimpun dalam satu wadah yang lebih luas bisa terwujud,” tambah Ivan, yang juga salah seorang putra Solok dan staf pengajar di jurusan Minangkabau Universitas Andalas Padang.

Namun, ia juga mengingatkan, forum semacam ini sangat rentan disusupi kepentingan politik dan kekuasaan, maka sangat penting ditangani dengan hati-hati.

Lain halnya dengan Syuhendri, salah seorang panghulu di nagari Malalak. Ia lebih menekankan kepada pemberdayaan nagari masing-masing terlebih dahulu, baru kelak jika proses pengembangan nagari berjalan baik, Wali Nagari masing-masing perlu memikirkan ke luar.

“Polarisasi pemerintahan nagari masih baru di Kabupaten Agam, maka alangkah baiknya jika nagari masing-masing yang dibenahi. Dan mencoba menyatukan visi, komponen, dan semua elemen yang ada di nagari,” katanya.

Namun tak salah kan jika keduanya berjalan dengan baik. nas/dari berbagai sumber

Catatan Pertunjukan Teater Noktah Padang

Tafsir Dua Teks Kultural Minangkabau

OLEH Nasrul Azwar

Tafsir terhadap teks telah menjadi wilayah kuasa sutradara teater yang paling absolut. Pada wilayah teks budaya yang maha luas itu, sutradara merambah belantara ikon, simbol budaya, dan penanda sosial lainnya untuk diwujudkan dalam estimasi ruang dan waktu dalam satu frame panggung dengan pertanggungjawaban kreatif sutradara.

Tafsir yang direpsentasikan dengan sebutan pementasan teater kerap memiliki kecenderungan pengaktualisasian tematik dengan kondisi kekinian. Teks budaya (tradisi) yang mendasarinya menjadi pijakan dan landasan kreatif sutradara untuk merentangkan sebuah “historiografi” perjalanan masa, katakanlah, semenjak munculnya sebuah cerita dengan tradisi oral hingga ke tradisi tulis pada saat sekarang. Masa atau zaman yang panjang itu—terlihat mencengangkan—dapat dimanpatkan dalam satu kerangka panggung dengan durasi cerita yang singkat oleh sutradara teater. Nyaris semua kelompok teater yang ada di Indonesia tak lepas dari pola dan tafsir seperti itu.

Menoleh ke belakang (tradisi) sebagai basis kreativitas bukan hal baru dalam teater modern Indonesia. Tendensi serupa ini telah berlangsung lama. Dalam tafsir yang demikian, ada “kesombongan tradisi” masa lalu yang menjadi kebanggaan kreativitas. Pada batas ini, kecelakaan tafsir sering terjadi—seperti yang diungkapkan Ninuk Kleden (2004)—anggapan bahwa kebudayaan dapat berperan sebagai identitas etnik mempunyai konsekuensi teoritis yang mengharuskan orang memperlakukan kebudayaan sebagai “tanda”. Sementara pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Kalau semula hubungan tersebut boleh dikatakan memiliki makna tunggal, kini tidak demikian lagi. Jadi, tafsiran tentang representasi identitas, dalam hal ini identitas etnik, bukan merupakan hubungan yang linear dan bukan merupakan hubungan yang final.

Tafsir terhadap representasi identitas etinik, taruhlah Kaba Sabai Nan Aluih yang berasal dari etnis Minangkabau, adalah tanda yang ditandai dengan memakai perangkat kekinian dalam pertunjukan teater Perempuan itu Bernama Sabai, yang dipentaskan Teater Noktah Padang di Taman Budaya Sumatra Barat pada 6-7 Agustus 2005 dan 13 Agustus di Tapian Nagari Balingka, dengan sutradara Syuhendri, tampaknya—sepanjang pertunjukan—mengalami metamorfosis pengerucutan simbolisasi dengan menafikan kekuatan tradisi oral (lisan) budaya etnik Minangkabau. Pertunjukan sepanjang lebih-kurang 50 menit itu memang berada dalam cengkeraman “kekuasaan” tafsir sutradara. Kaba Sabai Nan Aluih sebagai tradisi oral laksana lukisan realis yang diresepsi lalu ditafsirkan sebagai karya lukis surealis dengan penamaan Perempuan itu Bernama Sabai. Kekuatan kata-kata dalam Kaba Sabai Nan Aluih tak lagi ditemukan dalam pertunjukan teater Perempuan itu Bernama Sabai. Semua telah digantikan dengan tanda dan simbol yang dihadirkan di panggung.

Rentang zaman—semenjak Kaba Sabai Nan Aluih ditulis Dr. Ph. S. van Ronkel dalam TBG. deel 56 – 1914 (Anas Nafis, 2005), hingga Perempuan itu Bernama Sabai, cerita ini memang telah terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa saja. Akan tetapi, ia akan menjadi sangat berbeda dan perlu dipertanyakan juga alasannya ketika kehadiran Perempuan itu Bernama Sabai tidak dikaitkan dengan Kaba Sabai Nan Aluih. Keterkaitan itu jelas telah berlangsung dalam wilayah tafsir teks Kaba Sabai Nan Aluih dengan melewati kode-kode budaya lisan sampai memunculkan teks-teks baru dengan kode-kode budaya kontemporer menurut tafsir sutradara.

Menurut Anas Nafis (2005) dalam pengantar saduran cerita klasik Kaba Sabai Nan Aluih, sebenarnya kaba atau cerita Sabai Nan Aluih ini tidaklah tertata dalam struktur adat Minangkabau yang baku. Dalam cerita ini diriwayatkan Rajo Nan Panjang membunuh Rajo Babandiang, yaitu ayah si Sabai karena lamarannya ditolak. Dalam adat Minangkabau seorang ayah tidaklah berperan atau menentukan jodoh anak-anaknya. Sebagai seorang sumando dalam keluarga isterinya sang bapak boleh dikatakan sebagai tukang aminkan saja. Seharusnya Rajo Nan Panjang berang kepada mamak Sabai, sebab mamaknyalah yang berperan dalam menentukan jodoh Sabai dan bukan ayahnya, yaitu Rajo Babandiang.

Dalam pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai karya/sutradara Syuhendri gagasan yang dimunculkan tak jauh beda dengan sumber ceritanya, namun pada Perempuan itu Bernama Sabai porsi lebih besar ditujukan kepada perjuangan Sabai terhadap eksistensinya sebagai perempuan.

Mamak dalam struktur adat Minangkabau secara genetikal adalah saudara laki-laki dari ibu. Posisi mamak sangat dominan dan penting dalam keluarga dan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau. Pada naskah Sabai Nan Aluih klasik dan juga pada teater Perempuan itu Bernama Sabai, posisi mamak memang tidak tampak, dan dari itu pula tidak relevan menggugat dan mencari posisi mamak dalam kedua naskah itu. Karena aksentuasinya akan berbeda.

Dalam Perempuan itu Bernama Sabai posisi penceritaan berada dalam kapasitas “audio visual” yang berlangsung di atas pentas. Dalam kaba klasik Sabai Nan Aluih posisi penceritaan dipegang tukang cerita atau tukang kaba dengan kapasitas “audio” minus visual. Dari dua wilayah cerita yang berangkat dalam titik yang sama itu menandai sejarahnya masing-masing, menyimbolkan tanda dan penanda yang berbeda. Artinya, telah terjadi transformasi kultural dalam konteks pemaknaan yang berubah. Pemikiran tentang hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier) telah mengalami perubahan. Perempuan itu Bernama Sabai adalah penanda kultural yang diaktulisasikan dengan kuasa tafsir sutradara, sedangkan kaba klasik Sabai Nan Aluih menempati kuasa tafsir dalam “teks” yang si tukang kaba. Ada dua wilayah historis kultural yang berdialog dengan bahasanya sendiri.

Selain itu, pilihan Teater Noktah bermain di alam terbuka dalam keterkaitannya dengan teks yang sesungguhnya telah demikian menyatu dengan masyarakat Minangkabau, bagi saya merupakan pilihan yang tepat. Kaba klasik Sabai Nan Aluih merupakan cerita rakyat telah akrab dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Minangkabau, dan hampir semua orang mengenalnya. Pilihan di alam terbuka juga berkaitan dengan seni pertunjukan randai Minangkabau yang dimainkan di alam terbuka (galanggang). Pilihan demikian memperlihatkan sinkronistis yang menautkan dua wilayah teks. Kaba Sabai Nan Aluih adalah cerita rakyat yang acap dimainkan dalam pertunjukan randai di nagari-nagari di Sumatra Barat. Maka, pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai yang dipentaskan Teater Noktah tak lebih sebagai “reinkarnasi” dalam resepsi publik yang telah membenam di ruang-ruang “imajinasi” mereka.

Dari itu pula, pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai yang dilangsungkan di Tapian Nagari Balingka Kabupaten Agam pada 13 Agustus 2005, yang audiennya adalah masyarakat nagari itu sendiri, sambutan penonton sangat antusias. Dan sangat berbeda dengan pertunjukan yang digelar sebelumnya di Plaza Taman Budaya Sumatra Barat, yang memang penontonnya tidak lagi memiliki memori ingatan dengan teks kaba Sabai Nan Aluih.

Pada batas ini, teater berada posisi yang sangat terbuka untuk ditafsirkan. Pementasan Noktah memperlihatkan kuasa tafsir yang berlangsung dalam resepsi dan memori ingatan penonton tampak sangat dominan. Publik penonton di Nagari Balingka lebih leluasa memberi makna baru terhadap teks teater yang disuguhkan di galanggang ketimbang penonton di Kota Padang. Pengayaan tafsir berkembang dalam ingatan publik dengan referensial yang pernah singgah dalam memori masa kecil mereka, sementara resepsi dan referensial publik yang menyaksikan pertunjukan Perempuan itu Bernama Sabai di Padang mengalami distorsi tafsir. Artinya, mereka kurang leluasa. ***

Pementasan Teater Sakata Padangpanjang:

Pelajaran Berharga dari “Pelajaran”

OLEH Nasrul Azwar

Dalam sebuah tulisan Eugenio Barba dan kawan-kawan berjudul Anatomie de L’ Acteur (1985) yang diterjemahkan Yudiaryani ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan: kata “teks” sebelum menunjukkan teks tertulis maupun lisan, dicetak atau tulisan tangan, berarti rajutan bersama. Dalam pengertian ini, tidak ada pementasan yang hadir tanpa rajutan bersama tanpa “teks”. Artinya, apa yang berhubungan dengan “teks” (rajutan) dapat diartikan sebagai ‘dramaturgi’—yang berarti drama-eregon—suatu kerja, penampakan bekerjanya sebuah laku dalam pertunjukan plot. Memang sulit membedakan dalam pendekatan dramaturgi, pementasan yang dianggap sebagai “penyutradaraan” seorang sutradara dan apa yang disebut sebagai “penulisan” seorang pengarang. Perbedaannya hanya tampak dengan jelas melalui penggarapan teater, melalui penafsiran sebuah teks tertulis.

Dari itu pula, menilik sebuah hasil garapan teater, yang menghasilkan pementasan teaterikal, penonton akan berhadapan dengan apa yang disebut laku. Laku menjadi pusat perhatian dalam dramaturgi. Perhatian yang diberikan bukan saja apa yang didialogkan aktor, akan tetapi juga suara-suara, transformasi properti, dimensi ruang dan waktu, cahaya, musik, karakter, emosi, tempo permainan, dan laku sebagai “teks”.

Kutipan tulisan Eugenio Barba di atas, bagi saya sangat perlu guna menjelaskan apa yang terjadi dalam peristiwa teater yang berlangsung pada pementasan Pelajaran karya Eugene Ionesco yang disutradarai Tia Setiawati dari Ruang Studi Teater Sakata Padangpanjang, pada 26 Juni 2004 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat.

Pendekatan dramaturgi yang coba saya pasangkan itu semata-mata berguna untuk membaca kemampuan tafsir teks tertulis yang naskahnya bukan dikarang oleh sutradara, juga kamampuan aktor menyerap makna teks tertulis itu sendiri, sekaligus menjenguk “hasilnya” di atas panggung. Selain itu, juga berkorelasi dengan daya jelajah imajinasi referensif saya terhadap kejadian di atas panggung yang berlangsung tak sampai 60 menit itu. Artinya, mencoba mengukur “daya jelajah” imajinasi saya.

Bagi saya Pelajaran karya Ionesco itu bukan semata kecaman dan kritikan yang diarahkan kepada hegemoni ilmu pengetahuan yang telah mengacaukan cara berpikir manusia yang natural, bukan hanya sebatas bahwa ilmu pengetahuan adalah segalanya, bukan juga bagaimana otoriternya seorang guru terhadap muridnya, akan tetapi menyangkut persoalan mendasar dan hakiki manusia: bahwa hidup adalah pelajaran itu sendiri. Memang sampai batas ini, secara general, pementasan Pelajaran belum sempurna membongkar soal mendasar dan hakiki itu.

Kehilangan Roh Ionesco

Mengapa saya katakan belum? Inilah alasannya. Pertama, secara teknis dramaturgi, pementasan nyaris mendekati sempurna. Laku—yang dimainkan aktor Depra Yoza sebagai Profesor, Ichi Desi sebagai Murid, dan Surya Sahminaldi sebagai Marie—mampu memberi ruang komposisi permainan secara fleksibel, tempo yang terjaga, intensitas alur/plot yang tidak kedodoran, kekuatan musik, cahaya, dan sebagainya—menjadikan Pelajaran tontonan teater yang berhasil. Akan tetapi—ini merupakan risiko yang mesti diterima jika sebuah garapan teater dengan naskah yang memiliki beban latar belakang kultural, problem politik dan sosial yang berbeda dalam konteks zamannya. Konteks munculnya naskah Eugene Ionesco itu, jelas sangat berbeda dengan kondisi kekinian. Maka, ia akan terlihat sebagai pertunjukan teater yang “biasa-biasa” saja, jika peristiwa teater yang dibangun di atas panggung tidak diiringi dengan kajian mendalam tentang historistik naskah, kondisi zamannya, dan mainstream pemikiran dan aliran seni yang berkembang saat itu. Tampaknya, inilah yang saya rasakan saat menyaksikan Pelajaran pada malam itu.

Pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan representasi munculnya modernisme adalah satu sisi yang pada akhirnya menghadirkan manusia-manusia mekanistis, antihumanistis, sistematis, dan kering. Ilmu menjadi “mesin” pembunuh. Ilmu pengetahuan dengan kedispilinan, keteraturan, dan sistematisasinya yang ketat telah merebut pikiran-pikiran kreatif manusia yang paling primitif dan purba. Ilmu yang dimiliki Profesor dalam Pelajaran—dan selanjutnya akan dituangkannya kepada Muridnya—adalah simbol imaji manusia yang “menuhankan” pengetahuan sebagai “kebenaran” hakiki. Rumus-rumus ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang berada di atas segala-galanya. Murid-murid sebagai objek eksperimennya dibunuh secara sadis oleh Profesor dengan alasan keluar dari frame keilmuan dan “kebenarannya”. Padahal, pada hakekatnya manusia, semenjak dari kandungan hingga lahir dibekali Sang Pencipta dengan kecerdasan yang tinggi—dengan mengacu pada hasil penelitian—tingkat sampling error-nya 0% (nol persen). Jika pada akhirnya manusia tidak “menampakkan” kecerdasannya, kering rasa, bebal, kejam, dan sadis disebabkan faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Faktor-faktor yang berada di luar diri manusia itulah yang sesungguhnya ingin dikesankan dari naskah Pelajaran itu. Dan inilah yang sebanarnya kurang tergarap dalam “teks” panggung, sehingga kehadiran Pelajaran hanya sebatas menghadirkan realitas bukan substansi.

Kedua, kemiskinan simbol dan eksplorasi properti. Alasan kedua ini memang berkaitan dengan alasan yang di atas. Akan tetapi, sepanjang tontonan yang saya nikmati, miskin simbol dan ekplorasi seolah tertolong dengan permaian ketiga aktor itu. Menjaga keseimbangan tempo permainan sepanjang 50 menit pertunjukan dan capain klimaks yang diinginkan, dilakoni dengan baik dan berhasil. Kekuatan aktor memberi kontribusi cukup besar untuk menyelamatkan miskinnya simbol-simbol teaterikal dan eksplorasi properti. Tampaknya, pada sisi ini, sutradara lebih memberi perhatian khusus kepada permainan aktor, sedangkan sisi lainnya tidak mendapat penekanan yang sama. Sehingga, elemen lain yang justru menjadi sangat penting memberi “energi” dari keseluruhan pementasan, seperti kehilangan fungsinya.

Miskinnya simbol dan eksplorasi itu terbukti dari ruang belajar Profesor dan Murid yang dibangun di atas panggung yang tidak mampu menyibak dan mengatantarkan imajinasi saya—maaf, mungkin karena keterbatasan pembacaan saya di atas panggung—untuk mengakui bahwa ruang itu adalah milik seorang Profesor yang ternama di sebuah kota. Tak ada simbol atau penanda yang demikian substantif dihadirkan agar saya yakin bahwa itu memang itu ruang kuliah, ruang belajar, dan ruang lainnya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, sekaligus ruang pembantaian.

Perilaku tokoh, properti, simbolisasi dari bahasa tubuh, tekanan dialog dari 3 tokoh, dimensi waktu dan ruang, dan capaian yang dihadirkan dalam “teks tulis” menjadi “teks panggung” menjadi dunia yang asing di dalam diri masing-masing laku. Memainkan pisau tajam oleh Marie secara berulang-ulang dengan cara menyayatkannya secara tak beraturan ke sayur-sayuran sebagai gambaran kejengkelannya pada Profesor, memang berhasil digambarkan bahwa ruang kerja Profesor bukan semata tempat mendidik, akan tetapi sebagai ranah penghilangan nyawa murid-muridnya yang tidak mampu dia didik. Telah 40 orang murid tewas di tangan Profesor itu.

Capaian yang diharapkan dalam Pelajaran itu adalah bahwa perilaku sadis Profesor itu pada setiap muridnya bukan berlangsung pada tingkat paling sadar seorang pendidik, seorang manusia. Jika hal ini yang diinginkan, maka aksi pembantaian Profesor itu jatuh kepada tindakan kriminal. Sementara, naskah Pelajaran Ionesco—dan juga berlaku pada semua karyanya—intinya tidak mempresentasikan tindakan yang berada dalam kerangka kesadaran normatif manusia yang memang secara sadar melakukan tindakan kriminal. Dengan pengertian lain, apa yang dialami dan dilakukan Profesor terhadap 40 murid-muridnya itu mesti dimaknai dalam frame ketidaksadaran seorang manusia, perspektif alam bawah sadar dan keabsurditasan hidup.

Dari itu pula, karena capaian demikian tidak berhasil diimplementasikan Tia Setiawati di atas panggung, maka apa yang dilakukan Profesor terhadap muridnya, mengarah pada tindakan kriminal murni dan terencana. Dan ini, pada sisi yang paling subtansi dan penting pada karya-karya Ionesco, menjadi terabaikan. Pada sisi lain, Tia tetap menyajikan pertunjukan teater dengan “bahasa” lain. Pendek kata, Ruang Studi Teater Sakata Padangpanjang sedikit kewalahan menangkap “roh” Ionesco.

Fragmentasi panggung dan juga sorotan cahaya terang yang mendominasi panggung tidak bersimultan dengan “teks” yang seyogyanya menghendaki meruaknya kemungkinan-kemungkinan antoropologis dan identifikasi “laku” di dalamnya. Penempatan tangga sebagai “singgasana” Profesor, dua kursi dan meja yang diisi patung, satu level trap, serta kain hitam digantung seperti kelambu yang diisi dengan sobekan lembaran kerta-kertas, seperti “asesoris” yang kehilangan fungsionalisasinya dalam pertunjukan itu. Hampir sebagian besar properti itu menjelma menjadi benda mati yang mengering di atas panggung. Hanya kursi yang diduduki Murid untuk menerima curahan ilmu dari Profesor yang sedikit tergarap dan multifungsi. Celakanya, eksplorasi terfokus hanya di satu benda ini saja, dan tidak membuka keseimbangan untuk yang lainnya. Kahadiran prop lainnya di atas pentas seperti tidak efektif.

Akan tetapi, sepanjang pertunjukan itu, sebagian apa yang dimaui Tia Setiawati telah tercapai. Naskah Eugene Ionesco yang terkenal dengan tingkat kerumitan filsafat dan kecenderungan absurditasnya, memang menjadi pertunjukan yang enak, jelas, dan mudah dicerna bagi siapa saja. Di tangan Tia Setiawati, naskah Pelajaran sangat komunikatif, familiar, dan renyah. Mengutip dari yang tertera pada leaflet pertunjukan, “Banyak ikon-ikon yang coba dibangun bukan dalam kerangka “memberatkan” teks Ionesco agar semakin kelihatan “eksklusif”, tapi justru mempermudah komunikasi tentang (salah satunya) kebuntuan komunikasi.” Memang, untuk hal ini Tia berhasil. Akan tetapi pada penyutradraan ketiganya di Ruang Studi Teater Sakata ini, Tia kehilangan substansi, mungkin juga Ionesco. Semoga “Pelajaran” menjadi pelajaran yang berharga.***

Catatan Pementasan Teater Size Padang

“Menjadi Manusia di Taman”

OLEH Nasrul Azwar

Di sebuah taman entah di mana. Galibnya sebuah taman, ia hadir sebagai ruang publik. Ruang sosial, mungkin juga ruang antisosial. Pohon-pohon rindang dan juga bunga-bunga hadir dalam keteraturan dan beku. Bangku-bangku terpaku di sudut-sudut taman. Kadang taman itu sangat sepi, pun sebaliknya. Orang-orang singgah melepas semua yang terasa lalu pergi: bertemu dan berpisah. Taman adalah “rumah” bagi manusia yang lelah dan ruang gembira bagi binatang piaraan. Taman juga lanskapis nan indah tapi kemurungan tak mungkin menghidar darinya.

Seorang lelaki tua menyeret tubuhnya yang renta menuju taman yang kosong. Senja mulai turun. Di atas sana, awan gelap bertanda hujan, terlihat. Guruh bersahutan dari jauh. Orang Tua (Muslim Noer) terus mengitari taman yang sepi. Tak lama berselang Lelaki Setengah Baya (Fauzul el Nurca)—tampak ada kesombongan dalam langkahnya—menuju taman. Sejenak mereka asyik dengan pikiran-pikiran masing-masing.

“Tidak, tidak! Yang tua mesti tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.”

“Tidak, tidak! Yang lebih muda mesti tahu menghormati yang lebih tua. Ini musim hujan.”

Penggalan dialog kedua tokoh Orang Tua dan Lelaki Setengah Baya itu membuka perdebatan tentang “posisi” manusia, dan juga absurditas keberadaan “musim”. Secara faktual, memang tampak hujan akan turun tapi dalam pandangan berada dan tidak berada (Korrie Layun Rampan, Ed-1985), malah sebaliknya. Perdebatan tentang musim selanjutnya membuka cerita manusia-manusia yang tidak pernah kunjung selesai. Ada kegetiran dan tragik di dalamnya. Saat itu pula, Penjual Balon (Syafar Alamsyah) datang dengan kecengengan masa lalunya. Pertemuan tiga “jiwa” dengan masa hidup dan pengalaman yang berbeda bukan menyuguhkan sebuah perdebatan yang “solusif”, malah memperuncing posisi dan eksistensi mereka. Balon yang dijual si Penjula Balon —yang memang sesuatu yang lazim di taman-taman orang menjual balon— malah jadi “sesuatu” yang mengiris kenangan kanak-kanak yang tidak sedap bagi Orang Tua. Sebuah balon bagi Orang Tua bukan kesukaan tapi kenangan.

Segumpal taman, di petang itu, mendedahkan manusia yang sia-sia. Wanita dengan kereta bayi (hasil hubungan Wanita (Esthi Bayu) itu dengan Entah Siapa) menambah deretan manusia-manusia yang punya sisi gelap, murung, dan muram. Lengkaplah. Petang itu, taman kecil dipenuhi suara-suara yang keluar dari jiwa yang renta, sedih, obsesif, penuh kegagalan, nafsu, dan juga nista. Manusia yang tersingkir.

Demikianlah cerita tentang orang-orang kalah yang berkumpul di sebuah taman mengalir begitu saja selama dua malam di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, 24-25 November 2006. Kelompok Teater Size Padang mengangkat naskah Senja di Taman karya Iwan Simatupang (sebelum terbit jadi buku berjudul Taman, setelah diterbitkan pada tahun 1958 bertukar judul Petang di Taman. Dia meninggal dalam usia 42 tahun, umur yang masih produktif sebagai penulis pada 4 Agustus 1970 di Jakarta) dengan sutradara Zamzami Ismail, dan dengan alasan agar lebih familiar, Size menggantinya dengan Senja di Taman.

Pertunjukan Senja di Taman menyita waktu 75 menit. Bentuk garapan dan eksplorasi di atas panggung mengesankan memenuhi harapan penonton. Paling tidak dalam aspek komunikasi. Tapi, dari beberapa elemen artistik dan capaian yang dimaui dari naskah yang penuh gagasan, ide, dan pemikiran filsafat eksistensialisme, kehadiran Senja di Taman terasa belum maksimal.

Memilih naskah dari penulis, seperti Iwan Simatupang yang menganut paradigma postmodernisme dan civil society internasional, bukan tanpa risiko. Karena, dalam pandangan Iwan Simatupang, penyakit kebudayaan seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya sastrawan--penulis) secara proporsional, sistematis, dan universal. Dari itu pula, hampir semua karya-karya Iwan Simatupang, termasuk naskah yang digarap Teater Size Padang ini, sarat dengan gagasan perlawanan terhadap sistem-sistem yang menyingkirkan keberadaan manusia. Empat sosok manusia yang berdebat tentang ego dan eksistensi diri mereka di sebuah taman adalah potret “perlawanan”, walau akhirnya tampak tak mampu berbuat banyak. Paling tidak, untuk memetik bunga saja mereka dilarang. Sebuah taman, dengan pelbagai aturan-aturan yang dibuat telah menyesakkan diri mereka ke berbagai arah.

Secara umum, karya seni pertunjukan teater harus diartikan sebagai kesatuan hal-hal yang universal dan khusus. Maka, dengan demikian, teater tidak dapat dinikmati jika tidak disertai dengan nilai kesatuan/unitas. Pada karya teater simbolis, nilai kesatuan dari yang universal sampai dengan yang khusus (lokal) dapat diterima sebagai suatu kenyataan tanpa adanya pertimbangan lain; sedangkan pada karya surealisime nilai kesatuan/unitas selalu dihadirkan oleh adanya hal-hal yang bersifat tidak langsung. Definisi-definisi demikian sesungguhnya belum selesai. Masih banyak ruang yang perlu diperdebatkan. Namun, saya saat ini tidak tertarik mengurai panjang lebar tentang aliran dan ideologi berbagai kelompok teater di Sumatra Barat.

Komposisi ruang pementasan Senja di Taman menyita pentas secara penuh. Ada tiga level di atas panggung, dan seonggok perkakas pembersih taman di sisi kanan pentas. Aktor menuju panggung melewati empat penjuru, kakan-kiri panggung, digunakan sebagai pintu masuk masing-masing aktor. Artinya, taman bisa dimasuki dari arah mana saja. Di tengah panggung, batang kayu yang meranggas berdiri memokus. Sesekali ruang itu disiram dedaunan. Lucunya, dedaunan itu gugur saat-saat dialog aktor di atas pentas. Dialog berhenti, daun pun tak gugur. Tidak natural. Secara estetis, terasa kurang indah.

Dalam pementasan teaterikal, laku (akting) yang dibawa pelaku di atas pentas memilih ukurannya sendiri. Biasanya, laku bukan hanya apa yang dilakukan atau yang dikatakan oleh aktor, tapi ia akan merambat pada suara-suara musik, keributan, suara hempasan di atas panggung, dan perubahan ruang dan waktu yang dilakoni. Juga, ia akan masuk dalam ruang karakter, konflik, alur cerita, dan elemen penting, yakni klimaks.

Senja di Taman punya dialog kunci, yang bagi saya inti dari semua problem cerita, yaitu kalimat yang diucapkan Lelaki Setengah Baya, “Dilarang memetik bunga.” Bagi orang lain, kalimat ini terasa biasa-biasa saja, namun bagi keempat tokoh dengan problem eksistensi sosial mereka, justru suatu penghinaan terhadap keberadaan harga diri mereka. Kalimat larangan itu sangat melecehkan ego mereka sebagai manusia. Posisi kalimat itu menjadi penting saat ia dibaca secara utuh. Namun, sayang, capaian Teater Size di atas panggung tergelincir ketika kalimat itu diucapkan dengan datar dan nonekspresi. Padahal, jika tokoh Orang Tua dan Lelaki Setengah Baya mampu menjaga tempo dan timing, kalimat itu akan terdengar cukup dasyat. Ruang dan waktu akan terseret kembali untuk mencapai klimaks cerita.

Tokoh-tokoh yang hadir karya Iwan Simatupang, baik novel, cerpen, puisi, dan juga drama, adalah manusia-manusia marginal, aneh dalam kehidupan sosial, bukan para hero yang ingar-bingar yang penuh gegap gempita dan senang retorika, serta hidup dala sepi tapi optimis. Dalam drama Senja di Taman yang liris puitis, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya (K. Usman, Sinar Harapan, 18 Januari 2003).

Dari itu pula, membawa ke atas pentas karya Iwan Simatupang bukan tidak ada konsekuensi. Minimal, konsekuensi yang mesti diawasi adalah latar belakang pemikiran dan pandangan penulisnya. Sisi ini memang mesti dipertajam oleh Teater Size Padang. Apa yang dituju oleh naskah Senja di Taman, bukan semata menyangkut bahwa naskah itu sangat ideal untuk dimainkan dalam kondisi carut marut bangsa ini. Tapi, bagaimana Iwan Simatupang dalam setiap karyanya menyimpan persoalan dan memproyeksikan tentang situasi kesenian Indonesia di masa depan, walau drama Senja di Taman itu lahir 58 tahun yang lalu, tapi teks dan referensi teksnya sarat dengan pikiran dan pandangan sosial masyarakat tentang manusia itu sendiri. Itu pula barangkali mengapa nyaris semua karya Iwan Simatupang tokoh-tokohnya tidak diberi “nama” kecuali “sebutan”.

Apa yang disuguhkan Teater Size Padang malam itu memang menawarkan sisi lain dari semangat berteater di Sumatra Barat, setelah Size hampir satu dasawarsa “berkontemplasi”, tapi masih tetap mampu “menyihir” penikmat teater di daerah ini. Dalam cacatan perjalanan Teater Size Padang, kelompok ini didirikan 19 Maret 1988. Senja di Taman merupakan produksi ke delapan. Sebelumnya mereka mengangkat Penjual Bendera (karya Wisran Hadi) , Malin Kundang (Wisran Hadi), Pinangan (Anton Chekov), Perkawinan (Anton Chekov), Tanda Silang (Eugene O’ Neil), Salonsong (Wisran Hadi), dan Kereta Kencana (Ionesco). ***

Pementasan Old Track Teater Padang (2)

Menertawakan Minangkabau dari Dalam

OLEH Nasrul Azwar

Saya kutip Wiratmo Soekito (1984). Ia menulis, “Setiap karya yang besar merupakan suatu pementasan politik, seperti karya Beumarchais Le Mariage de Figaro (1784) yang meramalkan pecahnya Revolusi Prancis (1789) atau karya Chekhov “Vishnyvy Sad” (1904) yang meramalkan pecahnya Revolusi Rusia (1917), atau karya Shaw Heartbreak Hoese (1919) yang meramalkan pecahnya Perang Dunia Kedua (1939).”

Saya tidak ingin membayangkan bahwa naskah Pangeran Anggang karya Chairul Harun sedang menggugat dominasi kekuasaan darek terhadap wilayah rantau. Juga, saya tidak sedang meramalkan—seperti kutipan di atas—akan terjadi revolusi besar untuk merubah sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau menjadi sistem patrilineal atau parental plus, yang pernah diwacanakan Syafroeddin Bahar beberapa tahun lalu. Memang, sejak naskah itu lahir, pada akhirnya, tetap sebagai sebuah naskah drama. Tak lebih. Tak ada revolusi.

Chairul Harun lahir di Kayutanam tahun 1940, dan meninggal 19 Februari 1998 di Padang. Naskah drama Pangeran Anggang ditulisnya di tahun 80-an. Selain itu, ada juga naskah drama Hari-hari Terakhir Datuk Katamanggungan yang dilahirkannya sebelum Pangeran Anggang.

Pada 28 Juli 2006, di Teater Tertutup Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat, Old Track Teater Padang, mengusung naskah itu ke atas panggung yang disutradarai Rizal Tanjung. Seperti garapan sebelumnya, yaitu Perjuangan Suku Naga karya WS Rendra yang pernah dipanggungkan pada 10-11 Juni 2004 di pentas yang sama, pola penggarapan, dan konsep penyutradaraan dan panggung, tidak bergeser. Beberapa simbol dan elemen yang ada di atas pentas, malah secara sadar dihadirkan kembali di atas panggung pertunjukan. Pada Perjuangan Suku Naga, beberapa adegan yang menggunakan bayangan dari pantulan cahaya lampu, juga muncul hal serupa pada pementasan Pangeran Anggang. Pada batas ini, yang ingin dikatakan bahwa pola garapan panggung Rizal Tanjung, tampaknya, belum beranjak lebih jauh ke wilayah eksplorasi panggung dan tubuh tokohnya. Sepintas, ia masih percaya dan mengandalkan pada “kekuatan” lampu dan bayangan yang dihasilkannya.

Membuka banyak alternatif untuk eksplorasi, baik dalam ranah panggung, properti, lampu, musik, naskah, tubuh tokoh, maupun visualisasi dengan memanfaatkan media lain, dalam dunia teater, jelas menjadi sebuah keniscayaan. Galibnya seni pertunjukan teater, kekuatan yang diembannya tidak menutup pilihan-pilihan. Ia membuka lebih luas simbol dan juga konflik. Naskah Pengeran Anggang sarat dengan konflik kekuasaan, simbol-simbol politik dan juga dominasi kekuasaan perempuan. Pusat cerita—gugatan terhadap sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau—tokoh Pangeran Anggang yang masih meyakini kekuatan roh dewa kayangan, dan kemunafikan penasihat rohaninya, Katimuno, (Raja memanggilnya dengan Bapak) yang dimainkan oleh Ery Mefri, dan keyakinan Datuk Parpatiah pada Nan Bana (Tuhan) sekaligus ketidaksepahaman dengan kabijakan Raja dan Pendeta, merupakan konflik keyakinan reliji, politik, dan kekuasaan.

Dalam cerita itu, Pangeran Anggang (dimainkan Dadang Leona) sebagai raja di Minangkabau tetapi tidak memiliki kekuasaan. Sistem kultural dan kekuasaan yang berlaku di ranah Minang tidak mengakomodasi kekuasaan raja yang absolut. Cerita Pengeran Anggang diawali dengan suatu kondisi Minangkabau yang damai dan rakyatnya makmur. Namun, kedamaian itu terusik saat skuad armada datang ke ranah Minang dengan menyertakan pasukan tempur yang kuat yang dipimpin Anggang. Menghadapi musuh, rakyat Minangkabau jelas tak mampu, maka pilihan negosiasi dengan musuh menjadi solusi yang tepat. Maka, Anggang diangkat menjadi raja di Minangkabau yang hanya memiliki kekuasaan di daerah rantau atau pesisir.

Semua keinginan Anggang dipenuhi, mempunyai istana tempat bersemayam dan seorang isteri. Datuk Perpatih (diperankan Herry Ghoib) pun menyediakan adiknya sendiri Puti Jamilan (dilakonkan Eri Komachi) sebagai permaisuri Anggang. Pendapat Datuk Perpatih, jika punya anak, maka, menurut sistem adat Minangkabau anak itu adalah kemenakan Datuk Perpatih dan berhak mewarisi gelar pusaka. Sementara, Anggang menganggap anaknya dari perkawinannya dengan Puti Jamilan itu akan menjadi putra mahkota yang berhak mewarisi tahta kerajaan.

Tokoh yang Tidak “Menjadi”

Problem dalam naskah Pangeran Anggang adalah representasi dialektika Minangkabau—antitesis-sistesis-tesis—dengan segenap konflik kultural dan keyakinan agama. Masuknya paham—taruhlah ideologi dan agama yang berbeda dengan anutan masyarakat Minangkabau—yang dibawa rombongan Anggang, paling tidak memperlihatkan sikap kultural Minangkabau yang sangat terbuka. Konflik dan perang terbuka, yang seyogyanya terjadi saat pasukan Anggang menginjakkan kakinya di Minangkabau, dapat dihindari dengan kemampuan dan strategi yang sangat cerdas. Negosiasi Datuk Parpatih dengan Anggang adalah gambaran kelihaian diplomasi masyarakat Minangkabau saat itu.

Namun demikian, di atas penggung—di tangan Rizal Tanjung— naskah itu, seperti memiskinkan kutup konflik antartokoh, dan sangat terasa adanya pembatasan munculnya kemungkinan-kemungkinan penciptaan makna baru di atas panggung. Tokoh-tokoh yang hadir di atas pentas tidak mampu keluar dari kehariannya. Yang hadir tokoh-tokoh seperti kita jumpai setiap hari. Peristiwa dramatik yang menjadi keniscayaan dalam pertunjukan teater tidak tercapai. Naskah yang menuntut kekuatan karakter tokoh seolah menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi pelakon.

Untuk hal ini, saya mempercayai apa yang pernah ditulis Eugenio Barba dan kawankawan, pada tahun 1985 dalam buku Anatomie de L’Acteur, adanya kemungkinan-kemungkinan dramaturgi disemua tingkatan dan elemen pementasan yang berbeda dirangkai satu demi satu, seperti halnya jalinan plot. Aktor mendapat efek simultan secepat ia memutuskan skema gerakan. Aktor merancang lakunya menjadi suatu sintesa yang berbeda jauh dari sikap hidup kesaharian.

Dalam pertunjukan Pangeran Anggang, semua tokoh-tokoh, yaitu Pangeran Anggang, Datuk Perpatih, Puti Jamilan, Katimuno, Tan Tejo Gurano, dan Puti Kusumbo, menata setiap adegannya tanpa efek simultan satu sama lainnya. Tokoh berada dalam teks yang sesungguhnya masih berada dalam tingkatan “teks” yang dihapal. Tokoh-tokoh belum masuk pada observasi dan riset mendalam yang berkaitan dengan psikologis tokoh, antropologis tema naskah, dan juga historis. Dan hal seperti ini, bukan semata dialami pemain Old Track Teater Padang, juga terjadi pada kelompok-kelompok teater yang lainnya.

Namun demikain, teater tetap sebagai manifestasi dari gejolak sosial dan politik. Dan sutradara tetap akan memilih posisi yang paling mungkin untuk menertawakan apa saja, termasuk kulturnya. Sementara naskah akan rendah hati mengatakan: teater ada karena aku ada. ***

Membaca Probelem Kultural yang Berjarak

OLEH Nasrul Azwar

Jika tak ada kendala yang berarti, pada 23-25 Agustus 2004, jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa-Sastra-Budaya Minangkabau Fakultas Sastra Universitas Andalas akan melaksanakan seminar bertaraf internasional. Dari informasi yang didapat, seminar ini mengapungkan tema ‘Kebudayaan Minangkabau: Potensi, Pewarisan, dan Pengembangannya dalam Paradigma Multikultural’. Selanjutnya, diikuti dengan sub-sub tema, antara lain, ‘Potensi budaya etnik (agama, tradisi, sejarah, kesenian, dan lainnya) dan prospek pengembangannya dalam konteks otonomi daerah, dalam menata masyarakat baru dan peningkatan kesejahteraan ekonomi melalui pariwisata budaya: Kasus Sumatra Barat dan komparasinya dengan daerah lain di Indonesia, bangsa serumpun, dan dunia)’.

Membaca tema yang diapungkan, memang memiliki relevansi dengan kondisi kekinian bangsa Indoensia, terutama yang terkait dengan budaya etnik, sekaligus potensi yang ada di dalamnya. Akan tetapi, mengangkat kebudayaan Minangkabau sebagai tema sentralnya, atau katakanlah sebagai “kasus”, mengesankan adanya “potensi” kekhawatiran, malah kecemasan akan masa depan eksistensi budaya salah satu etnik di Nusantara ini. Akan tetapi, dari dasar pemikiran yang ditulis panitia di brosur, tidak memaparkan argumen yang mendasar, mengapa kebudayaan Minangkabau yang diangkat dalam tema seminar berskala internasional itu? Padahal, problem serupa (mungkin) terjadi juga pada budaya etnik di daerah lainnya. Jika ada alasan yang tidak “dibunyikan”, misalnya, karena seminar ini diselenggarakan oleh jurusan Sastra Daerah (Minangkabau), jelas sekali sangat paradoks dan bertolak belakang dengan skala dan cakupan seminar, yakni internasional. Kandungan maknawi dari tema itu sendiri, malah sangat mengesankan mempersempit space komparasi kulrural. Karena ruang lingkupnya telah diperkecil dengan pilihan frase ‘Kebudayaan Minangkabau’. Tentu, alangkahnya cerdasnya, jika ‘Minangkabau’ itu diganti dengan ‘Lokal’, ‘Etnik’, atau ‘Melayu’, misalnya.

Pada sisi yang berkaitan dengan aspek kultural, kebudayaan Minangkabau jelas melampaui bata-batas administrasi yang ada sekarang ini. Dalam pemaknaan selama ini, kebudayaan Minangkabau tentu lebih luas dari wilayah administrasi Sumatra Barat. Akan tetapi, akselesari perkembangan kebudayaan yang terus berubah—termasuk kebudayaan Minangkabau—pada saat kini, pemahaman kebudayaan dipahami identik dengan wilayah administasi dan hukum. Kekuasaan pemerintah daerah sebanding dengan cakupan luas wilayahnya, sekaligus juga dengan luas cakupan kebudayaannya. Artinya—dalam pengertian “kontemporer”—luas wilayah administrasi sebanding dengan wilayah kebudayaan itu sendiri, sekaligus penguasaannya.

Maka, keberadaan dan luas wilayah administrasi provinsi Sumatra Barat, segaris dengan luas kebudayaan Minangkabau. Sekaligus, di dalamnya kemungkinan besar hadir hegemoni kekuasaan pemerintah provinsi menyangkut pada pengembangannya. Tidak masuk akal, jika pemerintah provinsi Sumatra Barat memberi perhatian khusus kepada kebudayaan Minangkabau yang secara administrasi, etnis pendukungnya berada di wilayah administasi provinsi Riau, misalnya. Demikian pula sebaliknya.

Tentu, jika persoalan di atas dikaitkan dengan frase ‘Kebudayaan Minangkabau’ yang dipilih panitia, tampaknya, apa yang ingin disasar dan dicapai seperti kehilangan pembenarannya, malah terkesan egosentris.

Dalam Belukar Persoalan yang Berjarak

Tahun lalu, di Bukittinggi dilaksanakan Kongres Kebudayaan V. Tema dengan makna serupa juga diperbicangkan, sehingga menghasilkan 18 butir rekomendasi, yang salah satunya menyinggung tentang potensi dan kearifan lokal dalam tradisi etnik, yang dijadikan sub tema pada seminar ini.

Juga, pada tahun 1988 di Bukittinggi digelar seminar dengan skala internasional dengan problematik yang sama, tentu dalam perspektif yang lain, namun “benang merahnya” segaris dengan tema yang diapungkan pada seminar yang akan dilaksanakan oleh Fakultas Sastra Universitas Andalas, pada 23-25 Agustus 2004 yang akan datang.

Namun, terlepas dari itu—pada dasar pemikiran seminar ini pada alenea kedua dan seterusnya, yang menyinggung tentang problematik seniman tradisi, sangat menarik. Dikatakan, seniman tradisi bersama khasanah budaya yang diperjuangkannya, satu persatu berguguran. Menjadi seniman tradisi yang kaya dengan simbol identitas etnik, ibarat sebuah pengorbanan yang sia-sia, karena kesenian yang mereka hidupi tidak menghidupi mereka secara ekonomik. Pewarisan budaya menjadi hal yang dilematis pula. Di samping tidak dianggap bernilai ekonomis (karenanya tidak menarik minat pendidik dan peserta didik), soal pewarisan budaya juga dipahami secara berbeda, dengan rujukan dan orientasi yang tidak sinergis, terutama antara kaum akademis dan non-akademis.

Mengapa menarik? Pertama, keberhasilan seniman tradisi diukur dengan besar-kecilnya penghasilan yang didapat seniman itu. Sandarannya, nilai ekonomis. Kedua, pewarisan budaya dikaitkan dengan nilai ekonomis, yang menyebabkan kurang berminatnya pendidik dan peserta didik.

Bagi saya, dasar pemikiran ini sangat-sangat tidak akademik, sekaligus subjektif. Ukuran keberhasilan seniman tradisi dan pewarisan budayanya, tidak akan tepat jika diukur dengan pola kapitalis seperti itu. Seniman tradisi—terutama seniman tradis Minangkabau—nilai ekonomis yang diterimanya sebagai kontraprestasinya, tidak menjadi tujuan yang paling utama. Dan jika itu diterimanya, hanya merupakan turunan dari jasa yang diberikannya. Sama halnya dengan pewarisan budaya tradisi, di dalam proses pewarisan yang berlangsung, misalnya, seorang seniman tradisi memberikan “ilmunya” kepada lingkungan keluarganya, atau kaumnya, tak lebih hanya persoalan pertanggungjawaban kultural dan sosial. Artinya, proses dan keberhasilannya tidak diukur secara ekonomis.

Dari itu pula, saya tidak memahami, dari perspektif dan sisi mana panitia seminar mengukur bahwa gugurnya satu persatu seniman tradisi berkaitan dengan nilai ekonomis yang diterimanya, dan pergorbanan seniman tradisi, diibaratkan sia-sia, karena kesenian yang mereka hidupi tidak menghidupi mereka secara ekonomik.

Beberapa hal yang sesunguhnya terlupakan menyangkut “militansi” seniman tradisi—utamanya—di Sumatra Barat, mengapa seni tradisinya bisa bertahan hingga kini adalah pola interaksi yang demikian naturalis antara pelakunya dengan lingkungan sosialnya. Seniman tradisi sebagai bagian dari masyarakat—katakanlah dalam sebuah nagari di Minangkabau—berada pada posisi penting dalam pranata sebuah nagari. Maka dengan demikian, seni tradisi menjadi inheren dengan keberadaan sebuah nagari.

Dari itu pula, akan menjadi sangat menarik jika seminar ini juga memperbincangkan korelasi nagari dengan seni tradisi Minangkabau. Sejauh mana kaitannya, dan sejauh mana pula nagari di Sumatra Barat mengsinergikan keberadaan seni tradisi itu sendiri.

Namun, seminar tetap seminar. Dan bukan menjadi kebiasaan sebuah seminar yang diselengarakan perguruan tinggi di negeri ini, memperbincangkan problem yang sesungguhnya tengah berlangsung di tengah masyarakat. Ia selalu berada pada tataran yang “berjarak” dengan publik. Itu sudah biasa.***

Monday, February 19, 2007

Menyilang Data, Merajut Sejarah

OLEH Nasrul Azwar

Judul: TITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966
Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970
Pengarang: Rum Aly
Cetakan Pertama, Juli 2006
Tebal : liii + 350 halaman
Penerbit KATA HASTA PUSTAKA


Dalam pembacaan saya terhadap tulisan sejarah perjalanan bangsa Indonesia—terutama yang mengupas peristiwa politik dalam rentang tahun 1945-1966— Soekarno menjadi pusat cerita yang selalu dipersalahkan sebagai sumber utama dari rangkaian roller coaster krisis politik pada bangsa Indonesia, khususnya karena konsepsi demokrasi terpimpinnya.

Pusat cerita itu berkisar antara kekuatan revolusioner dan nekolim. Ketika ada orang atau sekelompok masyarakat dipersepsikan oleh penguasa dalam kategori antirevolusi, maka itu berarti anteknekolim yang harus dienyahkan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Soekarno saat itu sedang terobsesi oleh romantika revolusi.

Namun demikian, disadari atau tidak, sejarah sebuah bangsa di manapun di dunia ini—termasuk bangsa Indonesia yang plural dan majemuk—tak selalu berlangsung lancar mengikuti garis lurus yang diinginkan. Mochtar Pabottingi, peneliti LIPI, mengatakan, “Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 barulah menuju “pintu gerbang kemerdekaan”, belum merupakan kemerdekaan itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa baru tujuh belas tahun kemudian kemerdekaan (independence) benar-benar dimiliki bangsa, setelah terusirnya penjajah dari seluruh bumi Indonesia. Dan bahkan, kebebasan (freedom)—yang merupakan unsur utama dari kemerdekaan suatu bangsa— baru mulai dirasakan bangsa Indonesia setelah 53 tahun, saat dimulainya era reformasi Mei 1998. Begitu kemerdekaan–baik dalam makna independence maupun freedom–dimiliki oleh bangsa Indonesia, para pemimpin kitapun dihadapkan oleh problem “rumah tangga negara” yang tidak ringan sebagai negara yang baru berdaulat.”

Maka, dalam era Demokrasi Terpimpin, puncak keseluruhan proses politik telah menyeret bangsa Indonesia ini ke dalam konflik-konflik ideologis yang “panas” dan berkepanjangan, ekonomi terbengkalai dan rakyat terhimpit berbagai kesukaran. Keadaan diperparah lagi dengan meletusnya pemberontakan G-30S-PKI, yang banyak menelan korban anak bangsa. Soekarno pun akhirnya jatuh dengan meninggalkan luka sejarah yang menyakitkan.

Orde Baru muncul di atas reruntuhan peninggalan Orde Lama. Sejarah juga mencatat bahwa Orde Baru pun kemudian terperangkap ke dalam bandul ekstrim lain, yakni dari ekstrem “idiology oriented” ke ekstrem “development oriented”, yang pada kenyataannya justru mempunyai kesamaan atau pengulangan dari praktik-praktik kekuasaan dari rezim sebelumnya. Apa yang kemudian diketengahkan sebagai “pembangunan manusia seutuhnya”, “stabilitas nasional”, “prinsip kekeluargaan”, dan sebagainya pada kenyataannya telah berubah menjadi “doktrin politik” yang tertutup.

Rum Aly dalam buku ini bicara tentang hal demikian. Ia bagian dari perjalanan kemelut politik yang berlangsung saat peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Saat itu, ia aktif di pers kampus Mingguan Mahasiswa Indionesia, dan perjalanan jurnalistiknya mempertegas dirinya untuk terlibat dan mengikuti proses perubahan politik. Sebagai jurnalis, Rum Aly secara intensif berkomunikasi dengan sejumlah pelaku sejarah, kalangan akar rumput, aktivis semenjak yang moderat, hingga yang paling radikal, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan.

Buku ini terdiri 6 (enam) bagian, ditambah dengan Bab Referefnsi Tema, Esei Bergambar, Indeks, Daftar Narasumber. Bagian Satu buku ini bicara tentang tradisi tumpah darah, Bagian Kedua tentang Di Bawah Selimut “Bendera Revolusi”, Ketiga tentang Konspirasi dan Pertumpahan Darah, Keempat tentang Mahasiswa dan Para Jenderal, Kelima tentang 1966, dalam Dilema dan Mitos, dan Keenam tentang Catatan dan Analisis Akhir.

Buku setebal hampir 400 halaman ini dan mengunakan huruf yang cukup kecil, memang sangat melelahkan mata saat membacanya. Namun, buku ini cukup kaya dengan data, fakta, dan hasil wawancara dengan pelaku sejarah. ***