KODE-4

Showing posts with label SENI. Show all posts
Showing posts with label SENI. Show all posts

Friday, February 16, 2007

Pertunjukan Old Track Teater Padang

Revolusi Dimulai dari Suku Naga

OLEH Nasrul Azwar

Penguasa, politisi, dan pengusaha seperti anjing berebut tulang. “Tulang” itu adalah Bukit Selako yang sangat kaya dengan emas, intan, dan tembaga lainnya. Bukit Seloka yang jadi incaran investor itu terletak di perkampungan Suku Naga yang berada dalam kekuasaan pemerintahan Astinam. Sri Ratu, pimpinan tertinggi negara Astinam, akan menguasai bukit itu dan menjadikan sebagai daerah tambang dengan dalih pembangunan. Para pembantu Sri Ratu—semenjak perdana mentri hingga mentri-mentri lainnya, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) negara Astinam—berlomba menjadi penjilat yang “santun” dan dengan pelbagai alasan merayu rakyat Suku Naga untuk menyukseskan program pembukaan pertambangan itu.

Kelompok Suku Naga yang berada di Bukit Seloka itu tak merelakan perkampungan mereka dijadikan kota tambang. Kelompok Suku Naga—dibawah pimpinan Abisavam sebagai kepala suku—melakukan perlawanan dan perjuangan. Perjuangan, militansi, dan loyalitas Suku Naga terhadap leluhur mereka, yang dengan sangat teliti telah memilih tempat itu berabad-abad yang lalu, membuat Sri Ratu murka. Suku Naga dianggap telah melakukan tindakan subversif dan pembangkangan. Apalagi, setelah perjuangan Suku Naga melawan keotoriterianisme Sri Ratu dipublikasikan secara internasional oleh Carlos, seorang jurnalis yang berpihak pada perjuangan Suku Naga, mendapat respons dari lembaga-lembaga internasional.

Itulah inti cerita dari naskah Perjuangan Suku Naga karya dramawan WS Rendra yang dipentaskan Old Track Theater Padang di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat pada 10-11 Juni 2004 lalu, yang disutradarai Rizal Tanjung. Cerita yang mengalir seperti menemukan pembenarannya secara faktual. Peristiwa teater yang berlangsung dua hari adalah Sumatra Barat, juga Indonesia saat kini: penuh kebusukan, kerakusan, dan kebiadaban para pejabat, politisi, dan juga pengusaha. Rakyat diperlukan pejabat dan politisi jika itu menyangkut kelanggengan kekuasaannya. Selain itu, “pergilah ke neraka”.

Bentuk garapan dengan mengolabotasikan tari, musik, seni rupa, dan seni tradisi Minangkabau ini, sebagai sebuah tontonan cukup menarik, komunikatif, dan relevantif. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan dengan elemen-elemen teaterikal dan teknis, seperti: gerak, kustum, make-up, penguasaan dimensi ruang, waktu, dramaturgi, dan kecenderungan garapan, memang masih memberi kesan belum demikian tertata rapi. Penguasaan dimensi ruang dan waktu, misalnya, terlihat tumpang tindih di atas panggung. Penggantian adegan dengan interval musik, tidak memberi efek yang signifikan bahwa peristiwa teater telah beralih ke peristiwa lainnya. Memang, risiko demikian acap luput dari perhatian sutradara, apalagi garapannya menggabungkan pelbagai cabang seni lainnya di atas panggung.

Perjuangan Suku Naga bukan kisah yang berlatar Minangkabau, dan juga bukan dikarang oleh pengarang yang berasal dari latar budaya Minangkabau. Namun, keberanian Rizal Tanjung, yang hampir 15 tahun tidak menyentuh teater, mengadaptasinya dengan latar budaya Minangkabau, tentu perlu dihargai. Selain itu, menyertakan koreografer Deslenda dan Ery Mefri dalam penataan gerak, perupa Nazar Ismail pada artistik, dan Kelompok Pentassakral Alda Wimar di musiknya, memang bukan kerja yang sederhana untuk mengemasnya menjadi pertunjukan teater. Sebagai sutradara, Rizal Tanjung tampaknya berhasil membaca kekuatan dan kelebihan masing-masing seniman yang berbeda media ekspresinya itu, walau beberapa hal, seperti diungkap di atas, masih terkesan belum tergarap dengan apik.

Makna Referensial

Menyaksikan pertunjukan teater Perjuangan Suku Naga seperti diajak menonton secara langsung tentang perangai busuk dan mentalitas korupsi para pejabat negara, aparat hukum/birokrat, dan politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) yang kini masih terus berlangsung di negeri ini, termasuk di Sumatra Barat.

Pementasan Perjuangan Suku Naga di Kota Padang seakan menemukan momentumnya. Mengapa tidak? Tindakan korupsi berjamaah yang dilakukan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat, DPRD Kota Padang, DPRD Kota Payakumbuh, dan mungkin menyusul yang lainnya merupakan fakta dan realitas yang sulit dimungkiri masyarakat Minangkabau. Ia menjadi sejarah hitam di daerah ini. Sangat memalukan.

Semula, Old Track Theater akan mementaskan Perjuangan Suku Naga ini di halaman Kantor DPRD Provinsi Sumatra Barat, akan tetapi, karena alasan teknis yang tak mungkin disiasati, maka pagelaran dilakukan di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dengan tetap mengundang anggota legislatif yang terpilih pada Pemilu legislatif 5 April 2004 lalu dan juga yang masih aktif. Namun, dua hari pertunjukan, tak satupun yang hadir.

Di luar konteks proses kreatif seniman, para politisi, birokrat/penegak hukum, aparat negara berlomba menistakan dirinya. “Proses kreatif” juga berlangsung di panggung-panggung gedung rakyat, kantor-kantor dinas, dan departemen. Penghuninya menghadirkan “teater” bagi diri mereka. Tetapi tidak ada manusia di dalamnya. Yang ada hanyalah keserakahan, kerakusan, kedustaan, dan politik kotor, mirip dengan anjing berebut tulang. Pada posisi ini, Perjuangan Suku Naga telah memberi penjelasan paling terbuka tentang manusia yang bertabiat demikian.

Keotoriteran Sri Ratu (dimainkan Deslenda), kemunafikan Perdana Mentri (Ery Mefri), Mentri Pertambagan (Syarifuddin Arifin), dan Ketua Parlemen (Saparman) adalah karakter yang diidentifikasikan sebagai obsesi purba manusia yang selalu meminta kepuasan ruang-ruang nafsu “kebinatangannya” ketika tampuk kekuasaan berada di tangannya. Dengan dalih “demi pembangunan”, nafsu-nafsu binatang itu dioperasikan dengan memproduksi pelbagai undang-undang, paraturan, dan semua diklaim sudah disetujui rakyat. Produk hukum sepihak itulah yang digelindingkan kehadapan Suku Naga. Kelompok Suku Naga dipaksa untuk pindah dari desanya dengan alasan pemerataan penduduk, akan tetapi mereka tak mau menerima kebijakan Sri Ratu. Jalan yang dipilih adalah melawan penguasa yang otoriter dan sewenang-wenang. Dibantu Carlos (Ode Barta Ananda)—seorang jurnalis—(tokoh Carlos ini mengingatkan saya pada Sidney Jones, wakil International Crisis Group, yang izin kerja dan visanya tak bisa diperpanjang, setelah Kepala Badan Intelijen Negara memberikan informasi yang ganjil kepada DPR dan aparat pemerintah), bersama-sama Suku Naga mereka menolak perintah Sri Ratu, yang akhirnya memang kasus Caslos mirip Sidney Jones. Dia diusir dari negara Astinam, sedangkan Sidney Jones diusir dari Indonesia.

Pada posisi demikian, pementasan Perjuangan Suku Naga dalam sirkulasi non-artistik-estetikanya, menemukan relasi yang erat dengan konteks sosial, politik, dan budaya Indonesia mutakhir. Dalam resepsi dan interkoneksi seperti itu, proses penggarapan teater yang dilakukan Old Track Theater, jelas memiliki orientasi dan capaian tertentu secara politis dan kultural, tentu, terlepas pencapaian artistiknya.

Korupsi secara gotong-royong yang dilakukan anggota legislatif di Sumatra Barat merupakan aib dan nista yang demikian memalukan dan sangat sulit diterima masyarakat Sumatra Barat (Minang). Suku Naga adalah sekelompok minoritas yang mencoba memberi makna lewat perjuangannya melawan penguasa dan politisi yang korup, bebal, dan kotor di dalam tubuh negara Astinam. Seniman, juga kelompok minoritas, tampaknya berupaya memberi ruang-ruang responsif kondisi demikian. Pun, hanya sekelompok orang saja yang menghadang tindakan korupsi ramai-ramai wakil rakyat di Sumatra Barat. Akhirnya, revolusi memang dimulai dari keompok minoritas: yaitu Suku Naga, dan berhasil.***

Indang yang Nyaris Terbenam

OLEH Nasrul Azwar

Mentari baru saja menyurukkan wajahnya. Tak lama berselang, temaram cahaya membungkus nagari yang di tengahnya tampak dari jejauhan sebuah surau berdiri tegap yang usianya mungkin sama dengan usia nagari itu. Orang-orang mengalir seolah tertumpah ke sana. Suara bilal melantun dari pengeras suara yang kurang terawat. Magrib pun masuk.

Malam itu, beberapa waktu lalu, masyarakat Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabapaten Padangpariaman, Provinsi Sumatra Barat—sekitar 60 km dari Kota Padang—sejak Magrib telah memadati surau yang tidak demikian besar itu. Masyarakat dari kampung yang berdekatan juga sudah tampak berdatangan: Ada yang sengaja singgah di lapau (kedai) dan ada pula yang langsung menuju surau. Laki laki-perempuan, tua-muda, dan anak-anak, semua satu tujuan: melihat kesenian baindang.

Nagari Padang Bintungan memang sedang berhelat. Mereka menyebutnya Alek Nagari. Malam itu akan tampil seni indang. Ada indang tigo sagi (tiga segi) yang akan bermain indang, yaitu indang Sikabu dari Nagari Lubuak Aluang, Toboh Parupuak dari Nagari Toboh Gadang, dan indang Bayua dari Nagari Pauh Kamba. Semuanya dari Kapupaten Padangpariaman.

Malam terus bergerak, tak lama terdengar dari pengeras suara surau tadi dendang pemain indang: Piaman tadanga langang, baindang mangkonyo rami, tuan kanduang tadanga sanang, bao tompanglah badan kami. (Pariaman terdengan lengang, berindang makanya ramai, saudara terdengar senang, bawa jua badan kami).

Demikianlah masyarakat kecil merayakan sekaligus merawat seni dan budayanya dengan cara mereka sendiri. Tak ada seremonial seperti festival-festival seni yang digelar di kota-kota. Tak ada pejabat yang berpidato dengan janji melestarikan budaya dan seni. Mareka menghidupi seni dan budaya itu berangkat dari ketulusan hati dan ikhlas. Tak ada tendensi material. Walau eksistensi seni tradisi itu berada dalam ancaman organ tunggal, tapi ia tetap kokoh. Karena masyarakat sebagai pemiliknya, menjaga dan menumpahkan perhatian.

“Seni indang ini akan tetap hidup di tengah masyarakat, walau pemerintah kurang menyokongnya. Indang berfungsi memberikan ajaran agama Islam, sopan santun, dan nilai-nilai adat. Anak nagari terus bermain di surau-surau dan menjaganya agat seni mereka tak punah,” kata H Umar Datuak Alaiyah Cumano, salah tetua indang dan tokoh masyarakat Nagari Padang Bintungan.

Secara historis disebutkan bahwa kehadiran kesenian indang merupakan manifestasi pendidikan surau dan pengaruh budaya Islam di Minangkabau. Selain indang, seni tradisi lainnya, seperti zikir, barzanji, tabuik, salawaik, dan dabuih, juga tak lepas dari pengaruh Islam.

Kesenian indang merupakan hasil “perkawinan kultural” Minangkabau dengan peradaban Islam sekitar abad-14. Peradaban Islam diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Islam yang masuk dari Aceh melalui pesisir barat Pulau Sumatra dan selanjutnya membiak di Ulakan-Pariaman. Proses perkawinan kultural yang damai itu tampak pada nyanyian indang, seperti maqam, iqa’at, avaz, dan musik-musik gambus. Maqam merupakan ciri yang dapat menggambarkan tangga nada, struktur interval, ambitus, dan sebagainya. Iqa’at adalah ide tentang modus-modus atau pola-pola ritme pada musik Islam, seperti pola-pola ritme yang terdapat pada musik gambus. Avaz adalah ciri musik yang dipergunakan dalam musik Islam dalam bentuk melodi yang bergerak secara bebas tanpa birama. Kemudian modus-modus itu berpadu dengan budaya musik Minangkabau (Ediwar Chaniago, 2003).

Pada awal perkembangannya, seni musik indang merupakan salah salah instrumen pengembangan ajaran Islam di tengah masyarakat. Isian dan muatan dalam musik indang juga terasa pada cara-cara berzikir, mengaji sifat Tuhan, riwayat Nabi, dan lain sebagianya. Pengajian biasanya dinyanyikan sembari duduk bersila dan mengoyangkan badan ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang. Pengajian yang dilagukan itu diiringi dengan instrumen rapa’i (rebana ukuran kecil). Pada awalnya, seni indang mengunakan rapa’i ukuran besar, tapi karena perkembangan seni ini terus berubah, guru-guru di surau menukarnya dengan ukuran kecil. Tujuannya agar anak indang lebih lincah dan cepat dalam menari,

Pertunjukan kesenian indang dibagi atas kelompok-kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 orang pemain yang semuanya laki-laki. Pemain duduk secara bersyaf bersila yang sangat rapat, sambil memegang satu buah rapa’i, berpakaian rapi dan mengenakan sarung. Tujuh orang ini disebut anak indang. Anak indang dipimpin seorang guru yang disebut tukang zikir (tukang dikie).

Dalam alek nagari yang digelar di Nagari Padang Bintungan itu, tampil tiga kelompok kesenian indang dari nagari yang berbeda. Mereka akan bertanding selama dua malam. Sebelum memulai, masing-masing kelompok mengambil posisinya dengan membentuk segi tiga. Masing-masing kelompok duduk bersila dan berderet dengan jalan menghimpitkan paha kanan pada paha kiri temannya. Ketiga kelompok indang melakukan tanya-jawab atau sindir-menyindir berbagai persoalan yang terjadi saat pertunjukan berlangsung. Satu kali penampilan indang ketiga kelompok ini disebut sapanaiak.

Jumlah pemain indang setiap kelompok sekitar 8 hingga 22 orang. Satu orang tukang zikir dan lainnya yang berjumlah ganjil duduk berderet di depan tukang zikir itu. Dalam seni indang mereka ini disebut, tukang aliah, tukang apik, tukang pangga, dan tukang palang. Selain itu, ada pula tuo indang. Tuo indang bertugas menjaga keselamatan anggota pemain secara keseluruhan baik lahir maupun batin. Setiap penyajian indang selalu dimulai dengan basmalah berdoa untuk menyatukan diri menghadap Allah SWT. Maka dengan itu pula, pemain indang harus mampu memaparkan dan sekaligus menjalankan ajaran Islam dengan benar.

Banyak yang berpedapat bergesernya keberadaan kesenian indang di surau di Minangkabau disebabkan masuknya sistem pendidikan sekuler di ranah Minang. Surau tidak lagi satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengecap pendidikan. Hadirnya madrasah dan sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum Barat, secara drastis menggeser fungsi surau. Selanjutnya menekan keberadaan kesenian indang dan juga seni lainnya.

Kesenian indang yang semula sarat dengan sajian yang bernapaskan syiar Islam, kisah Nabi, dan juga pujian pada Allah SWT, mencoba menggeser muatannya pada masalah adat istiadat, sosial, politik, dan juga ekonomi. Seni indang menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang berkembang. Namun, akibat penyesuaian itu muncul dua kubu: kubu pertama tetap mempertahankan indang sesuai dengan napas Islam dan pertunjukannya di surau-surau, sedangkan yang kedua melakukan pertunjukan di luar surau dan kerap bermuatan hal-hal yang berkaitan dengan keduniawiaan.

Munculnya dua pola indang itu tidak serta merta menjadi dikotomik, malah memperkaya seni di wilayah yang membesarkannya di Padangpariaman. Dan kesenian indang akhirnya menuju perkembangan yang signifikans. Hal ini dapat dilihat banyaknya kelompok indang di nagari yang tumbuh. Alek nagari yang digelar masyarakat nagari Padang Bintungan diikuti 12 kelompok indang dari berbagai nagari di Padangpariaman.

Tampaknya, kesenian indang bukan jenis kesenian yang kaku. Semula indang bergerak di surau-surau kini telah masuk ruang-ruang publik, dan sudah melintas ke daerah-daerah sekitar, seperti Provinsi Riau, Sumatra Utara, dan lain sebagainya.

Kini, indang yang terus bergerak di nagari-nagari Padangpariaman, dan masyarakat terus merawatnya dengan baik, dapat dimaknai sebagai sebuah perjalanan kultural yang “berhasil”. Akan tetapi, soal akan jadi lain ketika pemerintah daerah (terutama Dinas Pariwisata) memaknai indang sebagai kekayaan tradisi yang harus dijual ke hotel-hotel untuk konsumsi wisatawan lokal atau mancanegara. Kecenderungan kebijakan dinas-dinas pariwisata di seluruh Indonesia, tampaknya memang seperti itu.

Kesenian indang, dan juga seni tradisi lainnya yang ada di seluruh pelosok Tanah Air, bisa mengalami nasib “sial” dan hidup dalam negeri yang serakah mengisap darah seni tradisi itu. Fenomena yang kian berkembang di Provinsi Sumatra Barat, terutama di tingkat kaputaten dan kotanya, seni tradisi dibina, diberi bantuan untuk kepentingan kepariwisataan. Termasuk seni tradisi indang. Kesenian indang dikemas untuk selera penikmatnya yang baru, pertunjukan disesuaikan dengan selera wisatawan itu, dan ini terbukti, misalnya, ketika Pemerintah Provinsi Sumatra Barat menggelar Pekan Budaya Sumatra Barat pada 27 November– 3 Desember 2006.

Pada Pekan Budaya itu, semua kabupaten dan kota di Sumatra Barat mengirimkan kontingen kesenian mereka. Dengan pemikiran yang biasa merasuki para birokrat kebudayaan, kesenian tradisi dihadirkan ke tengah-tengah khalayak yang dinilai sebagai wisatawan, dengan kurang memahami konsep dan estetika kesenian tradisi itu sendiri. Padahal, kesenian tradisi memiliki konsepsi estetika dan kosmos tersendiri, yang dibutuhkan dalam kehidupan keseniannya. Perbedaan ini akan terlihat secara nyata bila kita melihat kesenian tradisi yang hidup dan ditampilkan di daerah dan masyarakat pendukungnya dengan kesenian tradisi yang ditampilkan dalam helat di hotel-hotel atau ruang lainnya.

Jalan tengahnya tentu saja tetap ada. Helat seni tradisi tetap dapat dibawa dan masuk dalam ruang di luarnya, namun ini membutuhkan penanganan dan kearifan pada seni tradisi itu sendiri. Birokrat kebudayaan, dan pemerintah secara umum, mesti memahami realitas ini. Konsepsi kebudayaan dan pariwisata dalam sebuah relasi yang harmonis harus dibangun dengan tanpa menghancurkan salah satunya. Hal ini sudah menjadi kekhawatiran banyak pihak, namun yang sering terjadi adalah pengabaian terhadap kekhawatiran ini. Kalau sudah begini, ya tunggu saja kehancuran budaya dan identitas kita. Dan ucapan H Umar Datuak Alaiyah Cumano, salah tetua indang dan tokoh masyarakat Nagari Padang Bintungan, menemukan pembenarannya. “Indang kami yang menghidupi, bukan orang lain.”***

Teater Sumatra Barat: Mencari Posisi yang Hilang (2)

OLEH Nasrul Azwar

Teater Indonesia lahir dari urbanisasi. Perpindahan yang terus berlangsung tak pernah henti. Perpindahan dalam bentuk apa saja. Maka dengan demikian, dalam sejarahnya, teater terus perpacu dalam urban-urban yang menyuarakan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan, kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal. Proses urbanisasi itu yang kemudian membentuk kata-kata, sakigus ideologi. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain. Semua terus berlangsung dalam urbanistis.

Seperti menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.

Maka, dari itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi. Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Ada penonton yang menyaksikan dengan latar belakang “ideologi” yang berbeda pula. Klaim penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima. Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas. Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.

Pertimbangan demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk dalam suatu masyarakat yang heterogen. Maka, peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.

Kondisi yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater. Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”

Dengan pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran, keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.

Teater di Sumatra Barat yang Terkoyak

Teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih panjang. Pijakan tradisi randai dan juga teks-teks kaba melahirkan sebuah "tradisi baru" dalam teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat. Puluhan kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an 80-90-an dan dilanjutkan pada di awal abad 21 adalah sebagai representasi praktik-praktik pemaknaan yang bermaian dalam aktivitas-aktivitas penciptaan makna. Produksi dan pertukaran tanda yang bernilai yang menghasilkan makna dan pemahaman baru tentang teater. Proses urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan ke kultur teks visual panggung berlangsung secara ketat. Tema-tema dan konsep penyutradaraan kerap dibasiskan pada tradisi lokal.

Sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra Barat itu pula, kontribusi yang paling berarti bagi jagad teater di Indonesia dapat dikatakan cukup signifikans. Saat itu, kehidupan teater di Sumatra, tampaknya cerita menjadi primadona. Naskah-naskah yang berbasis tradisi dan kultur Minangkabau dirayakan dengan sangat semarak. Era tahun 70-80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.

Saat itu pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era demikian tidak berjalan sepanjang masa. Tahun 90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian ditenggarai bahwa para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90-an terjadi “kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan tinggi yang ada di Sumatra Barat. Beberapa iven pertemuan teater dari berskala lokal hingga regional pernah dilangsungkan di daerah ini. Dan yang mengembirakan pada era ini adalah Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang membuka jurusan teater. Dari itu pula, ada harapan bahwa teater di Sumatra Barat akan menemukan lagi eksistensinya. ***

Bahaya Laten “Teks” di Luar Teater (1)

OLEH Nasrul Azwar

TEKS teater memang telah mati, dan memang mati. Sudah lama sekali mati, malah. Siapa yang demikian tangguh jadi “algojo” yang membunuhnya? Jawab adalah teater itu sendiri plus pelakunya. Lalu di mana kuburnya? Tak ada yang tahu. Karena sejarah, hidup dan matinya tak ada yang mengawasinya. Ia lahir dari rahim festival, pertemuan, undangan, dan juga tugas mata kuliah jika ia mengambil jurusan sastra atau teater di perguruan tinggi. Festival, pertemuan, serta beragam nama yang domodifikasi adalah “orangtua” teater. Dan orangtua itu jelas tidak akan bertanggung jawab membesarkan, mengawasinya, dan lain sebagainya. Sebab, ia bukan tipe orangtua yang diharapkan demikian. Ia hanya menitikkan satu “benih” dari sekian juta benih bertebaran. Terserah, mau diapakan setelah itu: mati, atau setengah mati, atau mati-mati hidup, atau hidup lagi setelah ada orangtua baru hadir, dan seterusnya.

Maka, teater di pulau Sumatra, Jawa , Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, bukan lagi jadi satu ikon “perlawanan” pada mainstream kondisi stagnasi atas kebekuan pemikiran tentang teater itu sendiri. Ia telah berwujud pada pelarutan diri ke kondisi realitas kekiniaan. Teater telah kehilangan identifikasi dirinya, dan jadi teramat sulit untuk diurai, karena antara panggung politik, sinetron, dan sihir AFI dengan teater telah saling membocorkan diri. Teater kehilangan satu-satunya barang berharga yang dipunyainya: kebaruan militansif.

Dari sinilah proses awal dari pembantaian terhadap teater, dan ini telah berlangsung cukup dasyat 13 tahun terakhir, untuk Sumatra Barat, yang saya tahu, lebih lama dari itu, sekitar 17 tahun terakhir. Jadi apa yang mesti dikatakan lagi? “Dicoba untuk membangun harap?” kata seorang pegiat teater.

Kini, untuk beberapa kota di Indonesia, tampaknya harapan itu ada, walau bukan jaminan untuk menghidupkan kembali teater dapat dilakukan dengan baik. Paling tidak—sementara—tumpuan itu ada di perguruan tinggi. Lima tahun terakhir pertumbuhan teater di perguruan tinggi umum/seni di pelbagai kota, memperlihatkan warna yang jelas. “Gerakan” dapat dipantau dari aktivitas dan progam festival dan pertemuan yang digelar di masing-masing kampus mereka, baik dalam skala lokal maupun nasional.

Namun demikian, di luar teks teater, kenyataan memang tidak berpihak pada teater itu sendiri. Faktor yang kuat adalah soal dominasi teks-teks kapitalisme, konsumerisme selanjutnya juga pengdangkalan makna teater itu sendiri yang dilakukan para “dewa-dewa” dan “abdi-abdi” teater. Teater dijelmakan sebagai metamorfosis untuk memproklamasikan diri sebasgai stigma-stigma pembenaran. Di luar dirinya, yang bukan teater dianggap tidak benar. Sementara, ruang publik sebagai basis teater kini ditukar dengan “layar kaca” dan orientasi massif dengan baragam kemudahan dan kenyamanan, dan semua itu menyajikan efek-efek motoris bagi publik untuk bertahan berlama-lama di depannya.

Di depan layar kaca berlangsung “interaksi” kebutuhan: semenjak pembalut perempuan, makanan ringan, transaksi hingga kebutuhan biologis manusia. Semua dihadirkan dengan banyak pilihan-pilihan. Setelah letih mata memelototi layar kaca, di luar akan menanti kenikmatan lainnya. Ada makanan cepat saji, plaza, mall, panti pijat, seks, dan café-café, dengan tetap menyajikan kemudahan dan kenikmatan syaraf motorik kita.

Paradoks dan memilukan. Sisi lain, teater tetap dalam pengembaraan yang miskin, nestapa, dan dekil. Tak ada infrastruktur penunjang aktivitas teater yang representatif. Fasilitas gedung pertunjukan yang demikian jelek, membuat teater hancur-hancuran menerima nasibnya, terus mengaburkan identitasnya. Inilah sepanjang hari yang menggerogoti tiang-tiang teater, selain, tentu saja, pelakunya sendiri yang lari terbirit-birit saat teater itu roboh. Dan akan muncul lagi ketika ada undangan, festival, pertemuan, atau sejenis ini. Seperti siklus dan hukum alam, kondisi demikian telah lama berlangsung. Selama itu pula teater sebenarnya telah tiada: telah mangkat.

Kini ahli “waris”—yang menamakan dirinya pelaku teater—mencoba meneruskan cita-cita teater itu, walau tantangan untuk itu lebih berat lagi. Tampak ada juga kegagapan saat mereka mencoba mengidentifikasi persoalan “teks” teater itu. Ada juga kebingungan yang terlihat saat mereka kehilangan juru bicara untuk menjelaskan apa sesungguhnya keinginan teater mereka. Kesan ini bukan saja terjadi pada kelompok-kelompok teater yang berada di luar kampus, di dalam kampus sendiri juga demikian: kesulitan “intelektual” memaparkan dan menjelaskan identitas teks teaternya. Belum lagi masalah yang berada di luar teks teater itu sendiri, semua bagabalau.

Tentu, soal yang paling dasar adalah internal teater itu sendiri. Pengidentifikasian masalah teater yang bersifat internal, menjadi sangat krusial sekali, jika mau melihat persoalan eksternal teater. Dan jika ini telah dilakukan, maka soal eksternal akan mudah dipecahkan. Polarisasi program, visi, arah, serta target berteater, tentu soal ke dalam. Menjalin jaringan, membuka diri untuk kerja sama dengan pihak luar, adalah soal ke luar. Dan semuanya itu disinergikan dalam sebuah komitmen bersama, baik itu yang berada dimanajerial maupun pelaku teater di kelompok itu sendiri. Bukan hal demikian itu merupakan bahaya laten teater. ***

Thursday, February 15, 2007

Pertunjukan Koreografi Susasrita Lora Vianti:

Tiga Narasi Perempuan
OLEH Nasrul Azwar
Pertunjukan koreografi ini memang telah lama berlalu, dan tulisan ini juga telah lama Di atas pentas Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, sorot lampu bercahaya temaram dan terlihat usang, menyapu bagian tengah ruang pentas. Cahaya itu membasahi sepasang tubuh yang meliuk-meliuk tegas dalam gerak silek harimau (salah satu anasir tradisi silek di Minangkabau), tampak “bertutur” dengan fasihnya tentang tatanan dan sistem adat Minangkabau yang melarang kawin sesuku. Jelas, bahasa koreografi Susasrita Lora Vianti pada malam itu memperlihatkan perlawanan terhadap sistem adat dan kekerabatan matrilineal Minangkabau, yang memang ditabukan kawin sesama suku (sepersukuan).