KODE-4

Showing posts with label REPORTASE. Show all posts
Showing posts with label REPORTASE. Show all posts

Monday, February 19, 2007

100 Hari Kinerja GAMMA

Mengecewakan!

OLEH Nasrul Azwar

Media online http://www.ranah-minang.com yang diakses sekitar 2000 user/hari melakukan jajak pendapat tentang kinerja pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman. Jajak dilakukan sejak Desember 2005 sampai Februari 2006. Sekitar 259 pemilih yang terjaring, 200 pemilih (77,22%) menyebut kinerja pasangan ini mengecewakan, 44 pemilih (16,99%) memuaskan, dan 15 pemilih (5,79%) tidak peduli.

Hal serupa pernah juga digelar tentang 5 pasang calon gubernur dan wakil gubernur yang pantas menjadi Gubernur Provinsi Sumatra Barat. Saat itu, 104 pemilih (42,28%) menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman mengugguli 4 (empat) pasang calon lainnya. Yang mengesankan adalah hasil jajak pendapat ini ternyata tak meleset jauh hasil perolehan suara masing-masing kandidat yang bersaing dalam pilkadal 27 Juni 2005 lalu.

Besarnya persentase yang pilihan user pada opsi “mengecewakan”, tentu sesuatu fenomena faktual yang perlu disikapi secara kritis, walau latar belakang pemilih sulit dilacak keberadaannya dan bukan obsolut representasi masyarakat Sumatra Barat. Untuk itu pula, galibnya media massa sebagai salah satu ranah publik, secara faktual jajak pendapat berkaitan dengan salah satu fungsi media-massa untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol serta pertanggungjawan sosial pada audiencenya.

Selain itu, juga berkaitan dengan asumsi dasar bahwa user yang berpartisipasi dalam jajak pendapat sebelumnya tentang pasangan yang pantas menjadi Gubernur Sumatra Barat, perlu kiranya jajak pendapat itu di-follow up. Diupayakan, pertanyaan dalam jajak pendapat keduanya saling berkaitan, tatapi yang kedua ini lebih kepada semacam koreksi terhadap kinerja dan performance pemerintahan kedua pasang yang dipilih rakyat Sumatra Barat.

Alasan yang argumentatif jajak pendapat dilakukan jelas tidak memiliki pretensi dan kepentingan apapun. Jajak pendapat sangat mungkin dilakukan mengingat sebagian besar user atau pengakses situs ini adalah masyarakat yang secara psikologis-emosional dan geneologis berkaitan dengan Sumatra Barat atau ranah Minang, serta tentu saja memiliki kepedulian dengan ranah Minang.

Uniknya, jajak pendapat ini user dipersilakan juga untuk mengomentari terhadap kinerja Gamawan Fauzi-Marlis Rahman. Tentu saja, komentar yang muncul itu sesuai dengan opini, pengalaman, dan latar belakang pendidikannya. Terbukanya kesempatan bagi user berkomentar, membuat jajak pendapat menjadi berbeda dengan jajak pendapat yang dilaksanakan pihak lain selama ini. Untuk diketahui, sampai saat ini pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman telah memasuki 191 hari kerja semenjak dilantik pada 15 Agustus 2005.

Namun demikian, inilah fakta yang berhasil dihimpun dari 14 komentar itu, mencuat pelbagai pendapat tentang kinerja pasangan ini. Paling tidak, dari komentar yang dituliskan user di pada kolom “komentar”, dapat disimpulkan sebagian besar user menyebutkan belum ada program konkret seperti dijanjikan dalam kampanye dulu dan program yang sifnifikans, terarah, gebrakan yang konseptual, dan masih belum jelasnya siapa yang menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan pasangan ini. Selain itu, program kedua pasangan ini masih berkutat pada soal-soal remeh temeh yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan setingkat gubernur.

Selain itu, menyangkut keterkaitan dengan pencanangan pemerintah tentang tahun 2006 sebagai tahun budaya, tampaknya pasangan ini kurang tanggap. Kurang tanggap ini dapat dibaca dalam APBD tahun 2006, baik arah, kebijakan, program, peristiwa-peristiwa budaya yang dibuat instansi pemerintah Provinsi Sumatra Barat.

Akan tetapi, user tetap menaruh harapan kepada pasangan ini dengan memberi catatan “khusus” agar elemen-elemen lembaga publik, cendekiawan, intelektual, institusi legislatif, dan masyarakat Sumatra Barat, baik yang berada di ranah Minang maupun di rantau, dan lain sebagainya untuk tetap mengawasi dan “mengingatkan” jika kebijakan gubernur ditenggarai merugikan rakyat.

Salah seorang user berkomentar, belum terlihat adanya keinginan Gawaman-Marlis untuk menciptakan good government, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang dapat diawasi oleh masyarakat yang mereka pimpin, pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. “Karakter orang Minang sudah bergeser. Keinginan untuk mengkritisi pemegang kekuasaan, sepertinya sudah tidak ada atau sangat jauh berkurang. Masyarakat suka mencari aman, berusaha mendekatkan diri dengan pemegang kekuasaan, berharap datangnya proyek. Tidak ada yang dapat diharapkan dari lembaga legislatif yang semakin adem tanpa gejolak karena berebut mencari lahan, berebut bikin kaukus,” katanya.

Menariknya, semenjak dibukanya jajak pendapat di http://www.ranah-minang.com hingga artikel ini ditulis, opsi “mengecewakan” ini terus berada diperingkat teratas dan tak pernah bergeser. Indikator ini tentu sangat menarik dicermati lebih lanjut. Paling tidak jika kita mencoba mengaitkannya dengan perjalanan 191 hari (sampai saat kini) pasangan Gamawan-Marlis sebagai pemimpin Sumatra Barat.

Jika melihat kondisi semenjak pasangan ini dilantik pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu dan dikaitkan dengan hasil jajak pendapat, yang 77.22% responden mengatakan “mengecewakan” tentu dapat dimaklumi..

Gubernur Sumatra Barat yang hadir sekarang dalam pengertian reformasi kultural, hukum, politik, sosial, dan tuntutan hadirnya tatanan good local governance reform, sangat beda dengan pola dan sistem politik gubernur terdahulu. Seratus sembilan puluh satu hari mestinya telah terjadi perubahan yang sangat signifikan di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat itu sendiri, dan ternyata masih jauh panggang dari api.***

Kontoversi PP No 84/1999:

Semua Pihak Mesti Duduak Barapak

OLEH Nasrul Azwar

Dalam penelusuran dokumentasi perihal hubungan Agam dengan Bukittinggi dalam wilayah pemerintahan ke dua daerah itu, yang mengesankan tidak kundusif ternyata telah berlangsung lama. Perseteruan yang paling mutakhir adalah soal diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 84 Tahun 1999 tentang tapal batas kedua daerah itu.

Pada tahun 1968, perseteruan dua daerah ini menyangkut perkara Pasar Sarikat Bukittinggi. Ketika itu solusi sengketa ini, disepakati masing-masing DPRD-GR membentuk Panitia Khusus. Namun kedua DPRD-GR itu tidak berhasil mencapai kata sepakat alias kandas. Maka, penyelesaian Pasar Sarikat diserahkan kepada masing-masing pemerintahan.

Konflik ini berawal dari dari tuntutan pemerintah Kabupaten Agam dengan mengeluarkan “resolusi”. Agam merasa berhak menerima hasil Pasar Sarikat Bukittinggi yang memang berada di daerah otonomi Nagari Kurai V Jorong. Tuntutan ini dinilai Pemerintah Kotamadya Bukittinggi bersifat sepihak, akhirnya memang tidak dapat dipenuhi.

Perselisihan ini tampaknya menjadi titik awal konflik Agam–Bukittinggi, hingga kini. Padahal dalam sejarah kulturalnya, kedua masyarakat ini badunsanak. Namun, dalam perspektif kekuasaan dan pemerintahan, bagi Bukittinggi dan Agam, badunsanak ini bukan berarti menjadi alasan yang tepat untuk membagi hasil dari aset yang dimiliki Kota Bukittinggi.

Lalu, kini muncul bibit baru yang memperuncing konflik kedua wilayah administrasi yang berbeda ini: PP Nomor 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Agam. Tampaknya, PP yang telah hampir berusia tujuh tahun ini adalah satu pintu yang akan membuka luka lama hubungan yang tidak enak kedua daerah itu. Dan tentu saja tidak diharapkan perselesihan serupa terjadi di tingkat masyarakat bawah.

Memang, kita tidak dapat pula menutup mata, permasalahan yang berkenaan dengan PP No 84/1999, sekarang soalnya bukan lagi pro-kontra belaka. Akan tetapi, telah menjadi komoditas politik dan kepentingan segelintir orang. Artinya, duduk perkara sesungguhnya dari PP tersebut seakan telah diabaikan. Dan substansi dari PP itu pun tidak lagi menjadi pikiran bersama. Seolah dengan terbitnya PP tersebut, semua pihak yang berkaitan dengan itu, kehilangan akal sehat dan pikiran jernih. Yang muncul kepermukaan adalah statement dari beragam kalangan yang cenderung bernada emosional, agitatif, provokatif, dan kontraproduktif. Dan ini membuat masyarakat semakin kian bingung.

Kita bersama pun tentu sepakat, bahwa musyawarah menuju kemufakatan adalah pilihan yang paling tepat untuk membuka dialog dan perbicangan ke arah penyelesaian sengketa PP No 84/1999 ini. Sikap mau bermusyawarah ke arah yang saling menguntungkan – tidak ada pihak yang merasa dirugikan – kiranya sangat perlu sekali diupayakan ke dua belah pihak: pro-kontra. Budaya musyawarah untuk menuju satu kemufakatan, tampaknya telah lama ditinggalkan, baik itu ditingkat elit kekuasaan maupun di tingkat masyarakat.

Konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan semenjak terbitnya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini, yang memang belum memperlihatkan titik terangnya. Ini jelas sekali membuktikan bahwa budaya dan sikap musyawarah telah mulai ditinggalkan. Dan kita cenderung menempuh jalan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Pada batas ini, pihak Agam mencoba mencari solusi dengan cara dan polanya sendiri. Demikian juga dengan Bukittinggi, berjalan sendiri pula dengan caranya. Dan juga sama halnya dengan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, DPRD kedua pihak, DPRD Sumatra Barat, tokoh-tokoh masyarakat kedua pihak, serta masyarakat pun ikut di dalamnya. Sehingga akhirnya, PP 84/1999 tidak akan pernah terselesaikan.

Melihat kondisi demikian, tentu kita merasa prihatin. Mengapa jalur musyawarah tidak pernah ditempuh lagi? Padahal, musyawarah dan duduk bersama dalam satu meja untuk menyelesaikan satu masalah, misalnya, telah berabad-abad diajarkan nenek moyang kita. Dan sikap rela bermusyawarah itu sangat kental terkandung dalam adat dan budaya Minangkabau. Indak ado kusuik nan indak salasai (Tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan). Maksudnya, tentu saja, tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan, jika semua dilakukan dengan bermusyawarah.

Sekaitan dengan itu, tentu, mencari jalan ke luar dari perseteruan Agam – Bukittinggi yang berkenaan dengan PP No 84/1999 itu, kandungan filosofis dari ungkapan adat di atas, jelas sangat perlu kita maknai secara mendalam untuk mencari jalan penyelesaian sengketa PP tersebut. Dan dari perjalanan panjang perkara PP itu, baik pihak Agam, Bukittinggi, DPRD ke dua daerah, dan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, serta tokoh-tokoh masyarakat dari ke dua daerah, juga masyarakat, seperti telah melupakan makna dan nilai-nilai filosofis adat Minangkabau dan juga mamangan yang dikutip di atas. Sikap egaliter, menghargai pikiran dan pendapat orang lain, seakan dengan sengaja dipinggirkan.

Sikap demikian itu, jelas sangat merugikan bagi masa depan masyarakat dan juga bangsa ini. Karena, apa pun bentuk penyelesaian yang ditempuh tanpa musyawarah, jelas sangat berbahaya. Dan yang akan merasakan sekali akibatnya tentu saja masyarakat atau publik. Selain itu—jika kelak persoalan PP No 84/1999 diselesaikan tanpa jalan musyawarah—ia akan muncul sebagai jalan penyelesaian yang bersifat instant. Dan ini akibatnya akan lebih parah dan rumit. Maka, tidak ada jalan lain; penyelesaian pro-kontra PP No 84/1999 harus ditempuh dengan musyawarah, semua pihak diharapkan berbesar hati dan berlapang dada, duduak barapak membincangkan permasalahan ini secara jernih, arif, bijak, dan tetap mengacu pada kepentingan publik. Dan jelas ini menjadi tantangan yang sangat penting bagi kepala daerah yang akan dipilih langsung masyarakat ke dua wilayah itu nanti. ***

Friday, February 16, 2007

Kontroversi PP 84/1999

Konsumsi Elit Politik
OLEH Nasrul Azwar
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipengujung pemerintah Presiden BJ Habibie, hingga kini memang masih memunculkan kontroversi pro-kontra. Mengedepannya pro-kontra tampaknya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Agam. Semenjak diterbitkannya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini sikap menolak terhadap PP muncul sangat dasyat kepermukaan. Seolah-olah inilah suara masyarakat Kabupaten Agam yang sesungguhnya. Sedangkan, sebagian yang setuju perubahan batas wilayah tersebut, juga mengklaim suara masyarakat.

Kontroversi PP No 84/1999

Api dalam Sekam

OLEH Nasrul Azwar

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipengujung pemerintah Presiden BJ Habibie, hingga kini memang masih memunculkan kontroversi pro-kontra. Mengedepannya pro-kontra tampaknya lebih banyak terjadi di dalam lingkungan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Agam. Semenjak diterbitkannya PP No 84/1999 pada tanggal 7 Oktober 1999 hingga kini sikap menolak terhadap PP muncul sangat dasyat kepermukaan. Seolah-olah inilah suara masyarakat Kabupaten Agam yang sesungguhnya. Sedangkan, sebagian tokoh masyarakat yang setuju perubahan batas wilayah tersebut, juga mengklaim sebagai suara masyarakat.

Sikap ambivalensi dan menduanya sebagian tokoh-tokoh masyarakat tersebut dapat dilihat dari suara-suara yang muncul di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam dan juga Kecamatan IV Koto. Baru-baru ini muncul selebaran di Kecamatan Tilatang Kamang berbentuk jajak pendapat menyangkut PP No 84/1999 ini, yang akhirnya memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh masyarakat di kecamatan itu. Dan secara dramatis pula, mereka “menyandara” Bupati Agam, Aristo Munandar, untuk menentukan sikap tegasnya. Akan tetapi, seperti yang telah diduga – jika ada desakan yang demikian keras dari masyarakat—pejabat akan menjawab ‘akan diusut dan tidak mengetahui kejadian itu’. Jawaban demikian mesti dimaklumi.

Lain halnya dengan Nagari Sianok VI Suku Kecamatan IV Koto, yang juga salah satu nagari masuk dalam peta perubahan batas wilayah. Di tengah nagari yang kini banyak ditinggalkan masyarakatnya, muncul suara-suara yang tidak satu irama. Sebagian tokoh masyarakatnya—yang diwakili Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sianok VI Suku—setuju dengan masuknya Nagari Sianok VI Suku ke dalam wilayah Kota Bukittinggi dengan bersyarat: tidak ada intervensi bentuk apa pun dalam pengaturan hukum adatnya. Sebagian lagi menolak tanpa ada syarat apa pun. Artinya, masih terjadi suara ambivalensi.

Jika dalam sebuah seminar yang dilaksanakan di sebuah hotel di Bukittinggi pada 14 November 1999, sosiolog Mochtar Naim menyebutkan bahwa gambaran perluasan kota itu adalah gambaran Indonesia dan dunia ketiga lainnya di mana pun di dunia ini, di mana struktur ekonomi dan sosialnya timpang dan dualistik. Kelompok kecil pemilik modal yang menguasai bagian besar dari kekayaan nasional, bekerja sama dengan para penguasa, sementara jumlah terbesar dari rakyat hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Mochtar secara eksplisit menolak perubahan batas wilayah yang dikeluarkan eksekutif itu, sebab ujungnya akan menyengsarakan rakyat saja. “Jika KAN dan pemuka-pemuka masyarakat sepakat bulat untuk menolak masuk kota maka tidak siapa pun yang bisa memaksakannya,” ucap Muchtar dalam makalahnya.

Maka, selanjutnya dalam seminar itu, KAN bersama para pemuka masyarakat Anak Nagari se-Agamtuo menghasilkan butir-butir kesepakatan antara lain: menolak diberlakukannya PP No 84 tahun 1999. Kelompok yang menamakan dirinya Badan Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Anak Nagari Agamtuo menjadi wujud komunitas sebagai fasilitas yang tegas-tegas menolak PP No 84/1999 itu. Suara-suara penolakan dari kelompok ini terus menghiasi opini yang dilansir media massa.

Namun demikian, suasana justru sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat kota Bukittinggi sendiri, baik dari kalangan eksekutif (pemerintah kota Bukittinggi), legislatif (DPRD Kota Bukittinggi), atau tokoh-tokoh dan pemuka masyarakatnya. Respon terhadap perubahan batas wilayah itu terlihat dingin dan terkesan amat apatis. Ada apa dibalik itu?

Sikap dingin dan apatis itu pada sisi tertentu memang dapat dimaklumi. Sebab, pada posisi ini pemerintahan Kota Bukittinggi lebih diuntungkan ketimbang Agam. Akan tetapi, beberapa kalangan yang dekat dengan birokrat Kota Bukittinggi menilai, sikap demikian itu sebagai representasi ketertutupan pemerintahan Kota Bukittinggi terhadap wacana dan perubahan yang berkembang.

Dibalik Penolakan

Polemik tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam dan sekaligus diiringi dengan pro-kontranya kini tampaknya bukan semata soal telah diberlakukannya secara resmi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dan terbitnya PP No 84 Tahun 1999 itu sendiri. Akan tetapi, dari sekian banyak informasi dan wacana yang berkembang menyangkut PP tersebut, secara strategis saya ingin mengatakan bahwa penolakan PP penuh dan diwarnai dengan intrik politis dan kepentingan tertentu. Tepatnya, penolakan sebagian tokoh-tokoh masyarakat itu hanya sebagai tujuan antara, yang pada akhirnya nanti berujung kepada sebuah rencana besar untuk mendirikan secara primodialistik sebuah wilayah yang disebut Luhak Agam. Luhak Agam inilah yang dijadikan semacam acuan untuk menyatukan kembali apa yang disebut dengan ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’.

Rencana ini makin kian menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Sebab, pemikiran yang kini terus bergulir seiring dengan desentralisasi adalah budaya lokal (local culture). Maka, akan sangat relevan sekali, untuk mewujudkan sebuah wilayah dengan ikatan budaya, wacana budaya lokal memang menjadi konsep yang paling tepat untuk diterapkan dan diapungkan.

Dari itu pula, untuk mengembalikan konsep yang pernah ada di tengah kehidupan sosial masyakat: ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’, penolakan terhadap perubahan batas wilayah menjadi sangat penting. Sebab, seandainya PP itu diterapkan, tidak bisa tidak, rencana besar untuk menyatukan konsep dan rencana besar itu akan menemukan kesulitan, memakan waktu yang panjang sekaligus melelahkan.

Pada dasarnya, arah, rancangan pemikiran dan wacana yang demikian itu sangat menarik sekali, jika acuannya pada basis kekuatan dan pemberdayaan kehidupan sosial masyarakat. ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’ menjadi satu referensi budaya dan sosial yang cukup dasyat sinerginya jika benar-benar terealisasikan dalam tatanan yang benar dan terarah. ‘Bukittinggi Koto ‘Rang Agam’ diwujudkan sebagai basis partisapasi masyarakat secara menyeluruh. Akan tetapi, celakanya, perkembangan dari polemik tentang penolakan PP tersebut, hingga kini, saya kira, tetap masih bersifat eksklusif, elitis, dan hanya segelintir orang tertentu saja yang bersuara dan berperan di dalamnya. Lalu pertanyaannya, ada apa dibalik semua ini?

Bagaimana dengan suara dari masyarakat akar rumput, baik yang berada di Kota Bukittinggi maupun yang berada di wilayah Kabupaten Agam? Hingga kini memang tidak pernah terdengar secara tegas, apa sesungguhnya keinginan kedua wilayah masyarakat itu?

Bagi saya untuk menemukan titik persoalan pro-kontra PP No 84/1999 itu mesti mengacu pada partisipasi dan aspirasi masyarakat secara total. Dan selama berkembangnya pro-kontra PP itu, eksistensi dan keberadaan masyarakat secara luas tidak pernah digubris, baik itu pemerintahan, tokoh masyarakat, dan DPRD dari kedua wilayah yang berseteru, maupun institusi yang berkait dengan masalah ini. Saya masih yakin benar, hampir 99% masyarakat kedua wilayah itu belum mengetahui apa itu PP No 84/1999 tentang perubahan batas wilayah mereka. Padahal, ini menjadi sesuatu yang sangat ironis sekali jika suara masyarakat tidak didengarkan untuk sebuah kebijakan yang kelak akan sangat menentukan nasib sosial mereka.

Maka, hingga ini ke atas, suara masyarakat di kedua wilayah itu tidak bisa tidak mesti disertakan secara signifikan. Dan inilah penyebabnya PP No 84/1999 itu tidak pernah terselesaikan secara baik. ***

Kontroversi PP 84/1999

Quo Vadis Masyarakat Luhak Agam?

OLEH Nasrul Azwar

Musyawarah Masyarakat Luhak Agam yang pernah dilangsungkan di Istana Negara Bung Hatta Bukittinggi pada 18-19 Desember 2002, memang tidak menghasilkan “pernyataan bersama” tentang penolakan atau menerima terhadap salah satu produk hukum yakni Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1999 (PP 84/1999) tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari keterangan Panitia Pelaksana, agenda untuk membahas hal demikian memang tidak akan disinggung.

Sekretaris Panitia Pengarah, Drs. H. Hawari Siddik dan Ketua Panitia, Drs. Suardi Mahmud mengatakan, dalam Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini tidak akan menyinggung persoalan PP 84/1999 tentang pemekaran Kota Bukittinggi sebagai bagian dari materi bahasan. Sebab, kata Hawari Siddik, persoalan PP 84/99 telah diserahkan penyelesaiannya kepada Gubernur Provinsi Sumatra Barat, Bupati Agam, dan Wali Kota Bukittinggi. “Semua berkasnya telah berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno (semasa Presiden Megawati Soekarno Putri-Red). Mendagri yang akan memutuskan yang terbaik bagi kedua daerah. Kini tinggal bagaimana keputusannya, itulah nanti yang kita terima,” katanya.

Satu sisi, tidak diperbincangkannya persoalan PP 84/1999 dalam Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini disayangkan banyak pihak. Paling tidak, Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, dalam perspektif dan kekuatan strategisnya, tentu pada saat sekarang—pada saat kondisi masyarakat Luhak Agam dan juga Kota Bukittinggi—menunggu kepastian tentang masa depan dan konsekuensi jika PP 84/1999 diterapkan, baik itu konsekuensi pada aspek budaya, ekonomi, sosial, dan juga nagari, maupun apa manfaatnya bagi masyarakat jika masuk dalam wilayah administrasi Kota Bukittinggi, tampak soal PP 84/1999 jadi “menggantung” di langit.

Sementara, salah seorang tokoh masyarakat Agam, Masfar Rasyid, juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat, sempat bersikeras memasukkan PP 84/1999 dalam agenda pembahasan materi. Namun, dengan pelbagai alasan, permintaan wakil rakyat ini tidak dikabulkan panitia. Ini soal jadi dilematis. Apa lagi, jika ada keinginan tokoh-tokoh masyarakat yang selama ini dinilai vokal menyuarakan penolakan PP 84/1999, ternyata suaranya hilang, dan semua soal diserahkan ke pemerintah. Paling tidak, melunaknya suara yang lantang dulu, menjadi tanda tanya.

Dibaca dari pelbagai laporan media cetak tentang Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini, pada pembukaan resmi oleh Gubernur Sumatra Barat, disebutkan bahwa jajaran pejabat Pemko Bukittinggi dan DPRD Kota Bukittinggi tidak hadir dalam acara tersebut. Ini soal lain tentunya. Namun, apakah ini bisa kita asumsikan sebagai penolakan secara tak langsung terhadap musyawarah tersebut. Ketidakhadiran jajaran Pemko Bukittinggi dan DPRD Kota Bukittinggi ini dapat dimaknai bahwa musyawarah itu hanya ajang “romantisme” masa lalu bagi tokoh-tokoh mayarakat Agam, atau tak lebih sekadar pertemuan biasa yang tidak pantas diikuti jajaran Pemko Bukittinggi dan DPRD-nya, karena tidak ada agenda yang jelas dan terarah.

Memang, telah diperkirakan sejak semula, apa yang dihasilkan dari Musyawarah Masyarakat Luhak Agam itu akan kehilangan vitalitas dan semangat untuk membuka ruang wacana dan dialog yang cerdas. Gemuruhnya terbenam di antara ketidakpastian nasib masyarakat di sekitar daerah-daerah yang masuk dalam PP 84/1999 itu. Tentu ini jadi preseden buruk bagi masyarakat, sebab tokoh-tokoh masyarakat yang bisa mewakili aspirasi dan kemauannya, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Paling tidak, harapan bagi masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri, kini tergantung kepada pemerintah. Jika pemerintah mengatakan untuk pelaksanaan PP 84/1999, harus dilakukan segera mungkin, maka tidak bisa tidak, tentu harus dijalankan.

Posisi Tawar

Permasalahan yang mengemuka antara Agam-Bukittinggi, yang telah memasuki tahapan konflik vertikal dan horisontal, sejatinya bukan dimaknai dalam perkara PP No 84/1999 saja. Akan tetapi, jauh sebelum keluarnya PP No 84/1999 telah mengapung keinginan mendirikan Kabupaten Agamtuo.

Dalam “sejarahnya” gagasan pemekaran Agam ini disuarakan LIMBAGO AGAMTUO (Lembaga Koordinasi Penampung dan Penyalur Aspirasi Masyarakat Agamtuo) sebelum PP 84/1999 disahkan. Rencana tersebut ditandatangani dalam Musyawarah Kerapatan Adat Nagari bersama pemuka masyarakat se-Agamtuo di Gadut. I. K. Angku Payung Ameh sebagai Ketua Umum, Suardi Mahmud Bandaro Putiah sebagai Sekretaris Umum, tertanggal 22 September 1999. Bagi tokoh-tokoh tersebut, pemekaran Kabupaten Agam sangat perlu sekali. Pemekaran itu berorientasi pada optimalisasi pengembangan potensi wilayah masing-masing. Jadi, dengan demikian, pemekaran Kabupaten Agam bukan untuk memecah belah orang Agam. Bila PP 84/1999 dibatalkan, maka ide pembentukan Kabupaten Agamtuo bisa lekas direalisasikan.

Kini, gagasan itu tampaknya dimentahkan kembali lewat apa yang disebut dengan Musyawarah Masyarakat Luhak Agam baru-baru ini. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, para penggagas dan panitia musyawarah tidak lepas dari tokoh-tokoh yang sama. Tampaknya visi ke depan tentang Luhak Agam, belum duduk betul bagi mereka yang selama ini ngotot menolak PP No 84/1999 itu. Gagasan pemekaran Kabupaten Agam itu, memang masih dalam tataran wacana, namun momen sepenting Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, jadi tanda tanya: mengapa ide ini tidak menjadi bahan materi bahasan yang dalam., jika memang pemekaran dianggap sebagai jalan keluar pemecahan konflik PP No 84/199 itu.

Sejauh ini, masyarakat memang belum membaca apa yang dihasilkan dari Musyawarah Masyarakat Luhak Agam itu. Dan hingga kini “butir-butir” yang ditelorkan dalam pertemuan itu, masih disimpan dan file-file penyelenggara. Publikasi dan sosialisasi kepada publik belum terlihat, baik itu di pers maupun media lainnya.

Jika ada informasi yang menyebutkan bahwa hasil musyawarah ini diserahkan kepada Gubernur Sumatra Barat, tentu itu soal lain. Yang pasti hingga kini masyarakat Agam dan juga Bukittinggi, tidak jelas betul apa isi “rekomendasi” yang diserahkan ke gubernur itu. Ketidaktransparanan ini menjadi ironi dan aneh, tentunya.

Bom Waktu

Pada batas ini, tampaknya kekuatan publik sebagai modal utama untuk “penekan” kebijakan pemerintah yang dinilai kurang akomodatif dan berpihak kepada masyarakat, menjadi tenggelam. Dikarenakan, kekuatan itu “dimafaatkan” dan “diminimalisasikan” oleh “kekuatan lain” yang mengklaim sebagai penyampai aspirasi masyarakat bawah. PP No 84/1999 dapat membuktikan hal demikian. Karena tidak mengagendakan materi bahasan tentang pro-kontra PP No 84/1999, maka aspirasi yang berkembang dan kekuatan publik dihilangkan demikian saja dalam sebuah musyawarah yang juga mengatasnamakan masyarakat Luhak Agam. Ini menjadi sangat ironis jika dikaitkan dengan gejolak, polemik, ekses-ekses, dan akibat dari pemberlakukan PP No 84/1999 ini.

Dalam logika paling sederhana, empat tahun terakhir polemik dan pro-kontra – menerima atau menolak PP No 84/1999, telah menjadi bahan gunjingan sehari-hari masyarakat yang daerahnya masuk dalam PP No 84/1999. Sepanjang itu pula polemik telah berkembang, yang kadang telah ke luar dari substansi dan permasalahan yang sebenarnya. Lalu, permasalahan ini dihapus dalam agenda Musyawarah Masyarakat Luhak Agam, tentu ini perlu jadi pertanyaan publik: Ada apa sesungguhnya?

Jika alasan yang disampaikan penyelenggara bahwa persoalan PP No 84/1999 telah berada di tangan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Sumatra Barat, dan tidak perlu lagi dibahas, maka untuk apa musyawarah dilakukan, dan mengapa sebanyak 12 nagari yang masuk dalam daftar PP No 84/1999, kini menggugat Presiden RI sebesar Rp 12 milyar? Secara kasat mata, tampaknya memang telah terjadi dualisme dan perpecahan dalam menyikapi eksistensi PP No 84/1999 itu. Lalu, pertanyaan yang lebih “ekstrem”: siapa sesunguhnya “di belakang” musyawarah ini, dan akan dibawa ke mana Luhak Agam itu, sehingga kehilangan posisi tawar yang sangat strategis, jika Musyawarah Masyarakat Luhak Agam ini membahas soal PP No 84/1999, terlepas bagaimana output yang dihasilkan?

Dari berbagai laporan media cetak, banyak hal yang terungkap bahwa PP No 84/1999 telah memicu konflik di tengah masyarakat, terutama konflik yang terjadi dalam tubuh lembaga publik, seperti KAN (Kerapatan Adat Nagari). Misalnya, baru-baru ini, seperti dilansir Singgalang (12/12/2002), pengurus KAN Kurai Bukittinggi telah membantah keikutsertaan anggota dari lima KAN Kurai Bukittinggi dalam rombongan masyarakat Agam yang akan membicarakan masalah PP No 84/1999 dengan DPRD Sumatra Barat. Sekaligus KAN Kurai Bukittinggi membantah kahadiran Forum Komunikasi Masyarakat Kurai. Forum ini telah mengeluarkan pernyataan bahwa identitas sosial, budaya, dan juga batas-batas kultural masyarakat Kurai akan lenyap drastis jika PP No 84/1999 pelaksanaannya direalisasikan.

Fakta-fakta demikian menjadi indikator penting untuk melihat dan menganalisis dampak serta ekses jika PP No 84/1999 diterapkan. Tampaknya, perkaranya bukan semata bahwa keputusan pelaksanaan PP No 84/1999 mesti diserahkan ke Mendagri, akan tetapi lebih jauh dari dan bukan sesedehana itu.

Memang benar, baru-baru ini, tujuh pejabat tinggi di Sumatra Barat dipanggil Hari Sabarno – Mendagri – untuk menghadap, dan sekaligus membicarakan masalah PP No 84/1999. Tujuh orang petinggi itu adalah Gubernur Sumatra Barat, Kepala Kantor Linmas Kesbang Kantor Gubernur Sumatra Barat, Ketua DPRD Sumatra Barat, Bupati Agam, Wali Kota Bukittinggi, Ketua DPRD Agam, dan Ketua DPRD Kota Bukittinggi.

Sebelum bertolak ke Jakarta, DPRD Agam menggelar rapat dengan materi bahasan tentang penolakan pelaksanaan PP No 84/1999. “Jika PP No 84/1999 itu dipaksakan pelaksanaannya, maka pihak DPRD Agam tidak akan bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan dari penerapan PP No 84/1999 itu. Maka, jika muncul gejolak dan konflik di tengah masyarakat, yang bertanggung jawab adalah Gubernur Sumatra Barat, Wali Kota Bukittinggi, dan DPRD Kota Bukittinggi,” ungkap Yosiano Muchtar, Wakil Ketua DPRD Agam, seperti dikutip Singgalang (12/12/2002).

Dari itu pula, agar tidak terjadi konflik di tengah masyarakat, DPRD Agam, tambah Yosiano Muchtar, PP No 84/1999 harus dicabut, dan selanjutnya program kerja sama yang menyenergikan kekuatan masing-masing antara Agam dengan Bukittinggi, menjadi pilihan yang paling tepat.

“Sebab proses lahirnya PP No 84/1999 penuh dengan unsur paksaan terhadap pejabat saat itu.”

DPRD Agam menolak keras pemberlakuan PP No 84/1999 itu karena amanat dan aspirasi dari masyarakat Agam, baik itu tertulis maupun lisan. Semua aspirasi itu telah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Sumatra Barat sebagai bahan kajian dan pertimbangan.

Namun demikian, bagi Syamsu Z.A, salah seorang tokoh masyarakat Uba Koto Tangah Tilatang Kamang Agam, punya pendapat lain bahwa keberadan PP No 84/1999 pada intinya hanya mengatur bidang administrasi dua wilayah itu. Katanya, dengan direalisasikan PP No 84/1999 jelas tidak akan mengganggu dan berakibat negatif bagi adat, budaya, dan tatanan sosial, baik itu bagi masyarakat Kurai di Bukittinggi, maupun masyarakat Agam sendiri, yang daerahnya masuk PP No 84/1999 itu. Disebutkannya lagi, masyarakat sekitar Bukittinggi—Tilatang Kamang, IV Angkek Canduang, Banuhampu, dan IV Koto, justru sangat mendambakan masuk wilayah Kota Bukittinggi.

Dari pernyataan Syamsu Z.A itu, bahwa masyarakat Agam yang masuk dalam PP No 84/1999 mendambakan masuk dalam wilayah Kota Bukittinggi, ternyata tidak benar sama sekali, jika itu dikaitkan dengan munculnya gugatan 12 Nagari di Luhak Agam kepada Presiden RI. Gugatan ganti rugi immaterial dan budaya sebesar Rp 12 milyar bukan saja ditujukan ke Presiden, tetapi juga kepada Mendagri, Gubernur Sumatra Barat, Wali Kota Bukittinggi, DPRD, dan Bupati Agam. Dua belas nagari di Agam yang menggugat itu adalah Cingkariang, Gaduik, Sianok VI Suku, Guguk Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia IV Angkek, Kapau, Batu Taba IV Angkek, dan Koto Gadang.

Menurut Miko Kamal, kuasa hukum penggugat, objek gugatannya adalah tindakan para penggugat yang tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi publik dalam proses melahirkan PP No 84/1999, dan tuntutannya meminta hakim untuk membatalkan PP No 84/1999 dengan rekomendasi yang dikeluarkan tergugat (Singgalang 21/12/2002).

Menyedihkan

Musyawarah Masyarakat Luhak Agam yang dilansungkan 2 hari itu pada akhirnya memang menghasilkan “butir-butir” visi dan misi Agam ke depan. Dari pelbagai laporan yang dilansir media cetak, butir-butir itu diharapkan sebagai acuan bagi pihak eksekutif dan legislatif dalam mengambil kebijakan pembagunan Luhak Agam di masa yang akan datang. Semua hasil itu, kata penyelenggara musyawarah, akan diserahkan kepada Gubernur Sumatra Barat, Bupati Agam, Wali Kota Bukittinggi, DPRD Agam, dan DPRD Kota Bukittinggi.

Sejauh yang dilaporkan media cetak itu, hasil musyawarah terlihat masih bersifat umum dan masih bias, belum mengarah pada acuan yang detail dan rinci tentang masa depan Agam-Bukittinggi. Persoalan yang menggantung, selain PP No 84/1999, juga belum terbahas secara tuntas, misalnya tentang Pasar Serikat Bukittinggi, aset Agam yang berada di Bukittinggi, persoalan pendidikan, dan sosial.

Dalam musyawarah itu, secara khusus direkomendasikan kepada DPRD Agam dan Bupati Agam bahwa semua keputusan musyawarah itu betul-betul menjadi acuan bagi legislatif dan eksekutif Kabupaten Agam untuk membangun Agam yang mandiri, berprestasi dan aspek pembangunan yang berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Permintaan “khusus” ini, secara konseptual jelas masih bersifat normatif, dan sangat bias, serta kurang jelas bentuk konkretnya sebagai acuan DPRD dan Pemkab Agam untuk melihat Agam ke depan. Dalam perhitungan yang sederhana saja, bagaimana mungkin sebuah visi dan acuan dibangun, sementara soal masa depan wilayah/daerah Agam yang masuk dalam PP No 84/1999 tidak menjadi pertimbangan bagi peserta musyawarah, yang menurut laporan panitia hampir mencapai 800 orang itu, terdiri pelbagai elemen?

Jelas, dalam hal ini ada kekaburan membuat sebuah rumusan dan acuan dari persoalan yang demikian besarnya, yakni PP No 84/1999. Pertanyaannya: Apa yang mesti dilakukan oleh pihak Agam, seandainya PP No 84/1999 direalisasikan dengan segenap konsekuensinya kelak? Maka, tidak dimasukkannya materi persoalan PP No 84/1999 dalam musyawara itu, tentu sangat menyedihkan. Sementara, tenaga, pikiran, dan dana untuk menyelenggarakan musyawarah, yang katanya telah dipikirkan 5 tahun terakhir, telah terkuras habis, dan hasilnyapun diasumsikan akan berantakan jika suatu saat nanti PP No 84/1999 harus dilaksanakan.

Satu sisi, di tengah masyarakat Agam yang nagarinya tercantum dalam PP No 84/1999, masih terjadi dualisme aspirasi: menolak dan menerima. Selain itu tentu 12 nagari sedang memperkarakan PP No 84/1999 ke tingkat pengadilan. Lalu, akan mau dibawa ke mana Luhak Agam ini?***


Catatan Perjalanan ke Melaka:

Cara Melaka Menjual Seni-Budaya Indonesia
OLEH Nasrul Azwar
Pesta Gendang Nusantara (PGN) V di Melaka berjaya mencatatkan rekor dalam The Malaysia Book Of Records. Sebagian peserta PGN V berasal dari Indonesia. Kesenian Indonesia diperdagangkan?
Persembahan Perdana Satu Sempena PGN V yang dilangsungkan pada acara puncaknya 15 April 2002 di Bandar Bersejarah Ayer Keroh Melaka yang berhasil menghimpun 800 pemusik dan penari dari 30 kelompok seni di Nusantara, memang memperlihatkan kelihaian Majlis Perbandaran Melaka Bandaraya Bersejarah (MPMBB), di Indonesia sama dengan Pemerintah Kota, mengelola sebuah paket seni pertunjukan dalam perspektif kepelancongan/wisata.

Duet GAMMA

Berkisar di Kain Sarung
OLEH Nasrul Azwar

Media online http://www.ranah-minang.com yang diakses sekitar 2000 user/hari dari berbagai belahan dunia, kembali melakukan jajak pendapat tentang kinerja pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman. Sebagai gubernur dan wakil gubernur Sumatra Barat. Pertanyaan jajak pendapat yang ditayangkan semenjak tanggal 26 November 2005 adalah “Bagaimana kinerja Gamawan Fauzi-Marlis Rahman dalam 100 Hari Kerja”. 26 November 2006 adalah tanggal yang tepat untuk 100 hari pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman menjadi gubernur dan wakil geburnur Sumatra Barat semenjak keduanya resmi dilantik pada 15 Agustus 2005.

Kembali ke Nagari: Sorak Gaya Orde Baru

OLEH Nasrul Azwar

Generasi yang akan menentukan hitam-putihnya masa depan Sumatra Barat pada masa sekarang adalah generasi yang lahir pada dekade 1970-an ke atas. Artinya, generasi inilah pada tahun 2010 nanti berada dalam kondisi yang mapan, baik secara sosial, ekonomi, politik (kekuasaan) dan lain sebagainya. Generasi yang lahir di era ini yang akan memegang tampuk kebijakan roda pemerintahan daerah Sumatra Barat. Maka, alangkah sangat menyedihkan, jika suara lantang kembali ke nagari di Sumatra Barat, justru lebih dominan diteriakkan oleh generasi yang relatif tidak akan hadir lagi di tahun-tahun 2010-an ke atas.

Sementara generasi yang lahir di era 1970-an, nyaris tidak pernah mengecap dan merasakan bagaimana hidup bernagari di kampungnya, hidup dalam tataran di mana adat menjadi subordinasi yang kental dan inheren dalam kehidupan sosial-budaya Minangkabau.

Dan ‘makluk’ apa itu nagari yang pernah hadir di tanah kelahirannya dan dikatakan telah jadi simbol kekuatan masyarakat Minangkabau, justru mereka ini hanya mendapat penjelasan dari generasi tua-tua, tentu pula sebatas kulit dan itu keternagan yang hebat-hebat saja. Tak lebih hanya romantisme masa lalu. Sudah perangai yang tua-tua di mana saja di muka bumi ini, suka bercerita yang hebat-hebat kepada yang muda-muda.

Dari itu pula, kembali menghidupkan nagari-nagari di Sumatra Barat, tentu malah akan menjadi bahan cimeeh dan olok-olok bagi generasi-generasi yang lahir menjelang tahun-tahun nagari itu “dibekukan” di ranah ini. Pertanyaan yang muncul dalam benak generasi di era yang lahir pada tahun 1970-an adalah, apa faedahnya bagi mereka jika nagari itu dihidupkan kembali, apakah ada jaminan nagari akan hebat seperti cerita orang tua-tua itu?

Jika kini, kita setiap hari disuguhi berita-berita di media massa daerah Sumatra Barat tentang pelantikan Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) dan Wali Nagari oleh pejabat daerah minimal pejabat setingkat Sekretaris Daerah, di daerah Kabupaten dan Kota, maka orang tua-tua di nagari bersangkutan tentu bahagia betul wajahnya. Sedangkan yang muda-muda dan sebagian masyarakat, entahlah. Mungkin bingung.

Tentu saja bingung, sebab yang terbaca dari sekian banyak acara pelantikan BPRN dan Wali Nagari di Sumatra Barat selama ini lebih mencogokkan besar-besar seremonialnya daripada apa yang sesunguhnya menjadi keinginan masyarakat pada saat kini. Untuk mendapatkan minyak tanah saja, misalnya, payahnya minta ampun. Belum lagi tarif listrik, telepon, yang naik dan segala macamnya, yang semuanya dibebankan ke pundak masyarakat. Kini ada lagi istilah kembali ke nagari. Pelantikannya pun pakai upacara segala, biayanya, tentu juga beban masyarakat.

Memang aneh. Maraknya pelantikan BPRN dan Wali Nagari di Kabupaten-kabupten di Sumatra Barat, tampaknya tidak jauh beda dengan ketika demikian ramainya para pejabat meresmikan dan melantik kelompencapir dan kelompok asah terampil di masa Orde Baru berkuasa dulu. Iya ya, apakah ada bedanya pemerintah sekarang ini dengan Orde Baru? Entahlah, tapi yang jelas aleh bakuanya dan mekanisme kerja masih sama.

Persoalan masyarakat yang sangat krusial dan mendesak pada saat sekarang ini, bukan lagi aspirasi dan keinginan yang mengucur dari atas, dari pejabat dan juga anggota DPRD. Namun, yang dimaui masyarakat itu adalah bagaimana pola, sistem, dan mekanisme kerja dari aparat pemerintah dan anggota dewan sebagai wakilnya itu melahirkan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan juga bagaimana mengelola dengan baik persoalan dan masalah yang dihadapi masyarakat setiap hari itu. Apakah benar masyarakat di Sumatra Barat itu dengan suka cita menyambut kembali ke nagari itu? Jelas tidak data dan fakta konkret yang menunjukkan indikasi kuat ke arah itu. Jika ada institusi/lembaga yang ingin menyebarkan polling tentang itu, saya kira hasilnya akan lain. Dan bisa saja peraturan daerah yang telah dikeluarkan tentang kembali ke nagari jadi batal. Sebab, hasilnya akan menunjukkan kenyataan bahwa masyarakat Sumatra Barat sebenarnya tidak ingin kembali ke nagari, karena tidak mengerti apa itu nagari.

Mengapa demikian? Karena sebagian generasi muda di Sumatra Barat, belum mengerti benar apa itu nagari. Jumlah generasi ini bukan sedikit jumlahnya di Sumatra Barat. Lakukanlah polling secara objektif, saya kira dugaan saya tidak meleset jauh. Ini bisa jadi proyek sebenarnya bagi lembaga/individu yang mau melakukan polling. Satu lagi kans proyek, yang sebelumnya tidak terpikirkan di orang lain.

Maka, jika peraturan daerah telah dikeluarkan sebagai pedoman untuk membentuk pemerintahan nagari, itu pun tak lebih dari produk generasi tua-tua yang ingin menyaksikan di akhir hayatnya ‘ilusi’ nostalgia masa lalu. Sebab, tak ada jaminan yang kuat dan indikator yang jelas dan dapat dipakai bahwa masyarakat ingin kembali ke dalam kehidupan bernagari. Tidak ada data statistiknya yang dapat dipertanggung-jawabkan dan independen. Selain itu pula, tak ada pula jaminan dan kontrak sosial yang mantap bahwa dengan kembali bernagari, kehidupan sosial masyarakat akan terberdayakan dengan baik.

Simbol-simbol Palsu

Pola pelantikan BPRN dan Wali Nagari oleh pejabat pemda sebagai simbolisasi dan konkretisasi kembalinya pemerintahan nagari, jelas sekali sebagai simbolisasi palsu yang benuansa politis ketimbang mengarah pada representasi kehendak masyarakat yang sesungguhnya. Pada batas ini menyarakat justru dijadikan sebagai objek kebijakan pemda yang sarat muatan politisnya. Artinya, ada visi dan misi politis didalamnya.

Gaya macam ini memang tak jauh beda dengan gaya Orde Baru dulu. Semua operasional kebijakan pemerintah diawali dari atas dan selanjutnya “rekayasa” dan muatan politis bermain lincah di dalamnya. Dan kembali ke nagari hanya aktivitas politik yang sifatnya instan. Karena ia punya target dan misi. Dan masyarakat tidak mengetahui ini.

Bayangkan saja, sementara hampir sebagian besar BPRN dan Wali Nagari di Sumatra Barat ini telah terbentuk dengan simbol pelantikan itu, yang namanya pola, wujud, sistem, dan mekanisme bernagari seperti apa yang sesungguhnya ingin diterapkan di nagari-nagari, hingga ini belum duduk. Bagaimana pertanggungjawaban BPRN? Apakah ia bertanggungjawab ke masyarakat nagari, atau ke pemda? Atau tidak pernah bertanggung jawab? Belum jelas. Sama halnya dengan Wali Nagari, apakah ia sama dengan Kepada Desa dulu, yang tidak pernah bertanggung jawab ke masyarakat, tapi ke Camat dan seterusnya? Lalu, bagaimana dengan adat salingka nagari itu, di mana posisinya? Sementara, pluralitas kultural kini sedang hangat dibincangkan. Sedangkan, pemahaman yang kini terjadi, bahwa filosofis adat salingka nagari itu punya kadar yang tinggi untuk menafikan suku, ras, budaya, dan agama lainnya yang bukan berasal dari nagari bersangkutan?

Banyak soal dan permasalahan yang sebenarnya belum duduk saat orang-orang yang tidak jelas ujung pangkalnya berteriak lantang ‘kembali ke nagari’. Banyak pola dan sistem nagari itu semenjak jauh sebelum Belanda masuk ke ranah ini sampai ke masa Orde Baru. Dan mana yang kita pilih dan diakomidir untuk dipakai saat kini. Ini pun belum jelas. Sementara dunia terus berputar, sedangkan generasi yang akan hidup dalam nagari kini relatif tidak pernah mengenal bagaimana kehidupan bernagari itu sesungguhnya.

Maka, kembali ke nagari yang kini telah mengelinding dan terealisasikan di pelbagai tempat di Sumatra Barat ini, pada akhirnya menjadi sebuah proyek politik sekaligus sebagai kendaraan politik bagi penguasa (pemerintah) pada saat kini, untuk kepentingan jangka panjangnya. Jika kini banyak pejabat dan anggota DPRD bersorak-sorak kembali ke nagari, tampaknya perlu sekali kita curigai dan harus berhati-hati mencermatinya. Pola seperti ini dengan sangat cerdas telah berhasil diterapkan oleh kekuatan Golkar dan Orde Baru. Dan pada tahun 2004, bukan tidak mustahil, pejabat daerah dan juga anggota DPRD kini, akan menikmati hasil sorak-soraknya sekarang. Bisa saja terpilih lagi dalam jabatan yang sama, atau naik setingkat, atau mungkin juga jadi Wali Nagari. ***

Dari Nagari ke Forum Wali Nagari

Penguatan di Tingkat Akar Rumput
OLEH Nasrul Azwar
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Agam Nomor 31 Tahun 2001 tentang pemerintahan nagari, sebagai produk hukum, telah jadi acuan penting untuk pengembangan nagari di Kabupaten Agam. Sebagai Perda, acuannya jelas pada produk hukum yang di atasnya: UU No 12 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi kabupaten dalam lingkungan daerah provinsi Sumatra Tengah, UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 1999 tentang teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang, rancangan peraturan pemerintah dan rancangan keputusan presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000.

Intervensi Negara terhadap Nagari: Wali Nagari Mesti Berkaca

OLEH Nasrul Azwar
Kembali kepada pemerintahan nagari yang telah menggeliat dua tahun terakhir di Sumatra Barat, tampaknya masih terkesan “seremonial” dan retorikaris. Artinya, walau spiritnya kembali kepada kehidupan bernagari itu terasa kental dan kuat, namun apa sesungguhnya visi, komitmen, dan arah bernagari belum jelas.

Kembali ke Nagari: Program Setengah Hati

OLEH Nasrul Azwar
Mayoritas (lebih kurang 95%) penduduk Sumatra Barat adalah suku bangsa Minangkabau. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai adat (tradisi) dan nilai-nilai keagamaan (Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, dimana “Syarak mangato (mengatakan), adat mamakai (menjalankan)”.

Suardi Mahmud: Wali Nagari Nagari Butuh Forum

Bagi Suardi Mahmud, tujuan utama pembentukan Forum Wali Nagari adalah untuk memajukan nagari-nagari yang berada di Kabupaten Agam. Dan ia sendiri menyadari bahwa pemerintahan nagari di Kabupaten Agam ini baru efektif berjalan sekitar 4-5 bulan ini.
“Masih banyak Wali Nagari ataupun masyarakat yang gagap dengan pemerintahan nagari ini. Apalagi, pekerjaan sebagai Wali Nagari itu sangat berat dan tidak mudah.,” katanya.
Alasannya, kata Mahmud, karena selama ini kita terbiasa dengan sistem pemerintahan desa, sesuai dengan UU No 5 /1979 tentang pemerintahan desa yang mulai diterapkan sejak 1980-an.

Hujan Vonis untuk Kuruptor di Negeri Industri Otak

OLEH Nasrul Azwar
Setahun yang lalu, banyak orang berdecak kagum, memuji keberanian para penegak hukum di Sumatra Barat menyeret sebanyak 43 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat periode 1999-2004 ke meja hijau karena mengorupsi uang rakyat sebesar Rp 5,904 miliar dengan mengelembungkan anggaran di APBD. Pada 17 Mei 2004 ke 43 anggota wakil rakyat itu divonis Pengadilan Negeri Padang. Untuk unsur pimpinan DPRD Sumatra Barat, yakni H Arwan Kasri (Ketua), Ny Hj Titi Nazif Lubuk (Wakil Ketua), dan H Masfar Rasyid (Wakil Ketua), divonis hukuman masing-masing 27 bulan penjara dan denda Rp 100 juta, dan anggotanya masing-masing divonis satu tahun penjara, denda Rp 100 juta, dan mengembalikan uang sebanyak yang dikorupsi.

Memormat Alas Bakul Pandidikan di Sumatra Barat

OLEH Nasrul Azwar

Secara nasional, kondisi mutu pendidikan dari laporan terakhir serta tingkat partisipasi publik Sumatra Barat terhadap dunia pendidikan termasuk paling rendah. Perbandingan demikian bisa kita baca dari data-data jumlah sekolah negeri dan swasta. Jumlah sekolah negeri lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta. Dan bahkan, ada beberapa sekolah swasta yang ingin dinegerikan. Jumlah yang cukup signifikan dan mencolok terlihat dalam rentang tahun 1970-1990-an. Persoalan ini akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan Jakarta atau Bandung. Justru partisipasi publik bagi pembagunan dunia pendidikan meningkat, tentu, terlepas dari kualitasnya.

Sistem Pendidikan: Penjara Nasional

OLEH Nasrul Azwar
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan berorientasi ke masa depan.

Thursday, February 15, 2007

Pertunjukan Koreografi Susasrita Lora Vianti:

Tiga Narasi Perempuan
OLEH Nasrul Azwar
Pertunjukan koreografi ini memang telah lama berlalu, dan tulisan ini juga telah lama Di atas pentas Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, beberapa waktu lalu, sorot lampu bercahaya temaram dan terlihat usang, menyapu bagian tengah ruang pentas. Cahaya itu membasahi sepasang tubuh yang meliuk-meliuk tegas dalam gerak silek harimau (salah satu anasir tradisi silek di Minangkabau), tampak “bertutur” dengan fasihnya tentang tatanan dan sistem adat Minangkabau yang melarang kawin sesuku. Jelas, bahasa koreografi Susasrita Lora Vianti pada malam itu memperlihatkan perlawanan terhadap sistem adat dan kekerabatan matrilineal Minangkabau, yang memang ditabukan kawin sesama suku (sepersukuan). 

Wednesday, February 14, 2007

Mencermati Pemakaian Uang Rakyat: Kasus APBD Kota Bukittinggi

OLEH Nasrul Azwar
Pemerintah Kota Bukittinggi tentu boleh bangga karena yang pertama di Indonesia dalam penyusunan APBD tahun 2002 menerapkan sistem anggaran kinerja. Kebanggaan terbersit dari ucapan Drs. Djufri – Wali Kota Bukittinggi – yang dikutip Singgalang (Rabu, 7 Agustus 2002). Disebutkan Djufri, dengan memakai sistem anggaran kinerja dalam pengelolaan anggaran daerah tahun 2002, tumbuhnya sikap akuntabel dalam pengelolaan anggaran, dengan kesadaran bahwa gaji, tunjangan, dan insentif lainnya hanya diterima pegawai, harus dapat dihitung kontribusinya terhadap pencapaian setiap kegiatan satuan kerja.
“Penerapan anggaran kinerja menumbuhkan sikap demokratis dan transparan dalam menetapkan dan menguji validasi anggaran antara pejabat yang bertanggung-jawab untuk menetapkan alokasi anggaran dengan dengan pejabat pengguna anggaran,” paparnya.
Dijelaskannya lagi, penelitian kinerja dari pengguna anggaran dapat dilakukan dengan hasil yang dapat diterima publik lewat penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang profesional. “Anggaran ini memberi manfaat terjadinya internalisasi value for money pada seluruh jajaran,” katanya.