KODE-4

Showing posts with label MAESTRO SENI. Show all posts
Showing posts with label MAESTRO SENI. Show all posts

Friday, February 23, 2007

Inyiak Upiak Palatiang

Tak Mengenal Henti Bersilat

OLEH Abel Tasman/DKSB

Namanya Inyiak Upiak Palatiang. Perempuan. Usianya sudah 105 tahun. Malam itu, 19 Maret 2005, di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dalam pertunjukan maestro seni Dewan Kesenian Sumatra Barat dalam Pentas Seni IV, dia jadi “bintang”. Kepiawaian Inyiak Upiak Palatiang dalam seni tradisi silat Minangkabau dan kemerduan suaranya menyanyikan dendang ciptaannya, menjadikan dia sosok yang ditunggu-tunggu penonton.

Di atas pentas, Inyiak Upiak Palatiang terlihat masih lincah. Kaki dan tangannya masih cepat bergerak cepat. Sorot matanya tajam mengawasi gerak-gerik lawan. Malam itu, Inyiak Upiak Palatiang telah memperlihatkan “magis”, filosofis, dan makna dari seorang pesilat atau pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dalam tradisi Minangkabau, serta seorang maestro seni tradisi Minangkabau.

Inyiak Palatiang dalam suatu kesempatan di depan Jam Gadang pada hari Minggu 14 Desember 2003 lalu, di hadapan para pejabat dan Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia, menampilkan silat tua Gunung. Langkahnya gesit, tatapan matanya tajam dan waspada. Ia menghalau serangan lawan dengan elakan (gelek) dan tangkisan (tangkih). Ketika tangan lawan mengarah ke dadanya, secepat kilat ia tangkap dan pelintir dengan satu gerakan mengunci. Lawan pun dibuatnya tak berkutik. Sepertinya fisik Inyiak tak renta dimakan usia, menyaksikannya bersilat, seolah usianya baru 40-an.

Inyiak Palatiang sekarang tinggal bersama anak tertua dan cucu-cucunya di Dusun Kubugadang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Kota Padangpanjang. Sepanjang siang ia tetap beraktivitas: membersihkan halaman rumah rumah, menyiangi padi di sawah atau berjalan ke pasar. Namun menurut pengakuan anak dan menantunya, sejak tiga tahun belakangan, Inyiak tak lagi diizinkan bekerja di sawah. Yang masih ia lakukan adalah mengurut (memijat) bila ada orang yang meminta pertolongannya. Bila tak ada kegiatan sepanjang siang, Inyiak berkeliling ke sana ke mari, ke tempat sanak saudara atau ke tempat anak cucunya yang lain di sekitar Padangpanjang dan Tanah Datar. Sering juga ia duduk-duduk di kedai berbincang-bincang dengan anak-anak muda sambil sesekali berdendang atau memperagakan gerakan-gerakat silat bila diminta. Ia memang lebih senang bergaul dengan anak-anak muda.

Inyiak Palatiang lahir tahun 1900. Selain dikenal sebagai pesilat dan pendendang yang sudah digelutinya sejak kanak-kanak, di masa lalu Inyiak juga dikenal orang kampungnya dan daerah sekitarnya sebagai dukun beranak. Selain mampu menolong seorang perempuan yang akan melahirkan, ia juga sering dimintai bantuan untuk mengobati orang yang kesulitan mendapatkan keturunan, dimintai nasehat bagi yang kesulitan mendapatkan jodoh dan memperbaiki rumah tangga yang terganggu keharmonisannya. Selain itu ia juga menguruti seseorang yang persendiannya sakit atau tulang terkilir.

Inyiak akan terlihat penuh semangat kalau diminta berdendang atau bersilat. Bagi Inyiak, silat merupakan tradisi Minang yang sangat diminati masyarakat. Dalam pandangan Inyiak, silat mengandung nilai dan filsafat yang kuat. Menurutnya, silat pada zahirnya adalah mencari kawan, dan secara batiniah mencari Tuhan. Pengertiannya, silat adalah ajang untuk silaturrahmi, memperkokoh persaudaraan, kebersamaan dan persatuan. Keberadaan seorang guru silat mampu mempersatukan banyak orang, dari mana pun mereka berasal. Jika menyebut nama sang guru, berarti mereka bersaudara.

Mencari Tuhan diterangkan Inyiak lebih jauh, maknanya, bagaimana mendekatkan diri manusia kepada-Nya. Menyadarkan orang yang berniat jahat sekaligus menyadarkan kita sendiri. “Makanya, dalam prosesi bersilat, turun ke gelanggang, berdoa kepada Tuhan dan keselamatan atas Nabi menjadi yang utama. Murid yang ingin menuntut ilmu silat pun harus memenuhi persyaratan. Misalnya mempunyai niat dan hati bersih, tidak untuk gagah-gagahan. Perlu diingat, silat bukanlah untuk membunuh orang, tetapi membunuh sifat-sifat buruk seseorang seperti busuk hati, buruk sangka, dengki, sok jagoan dan sebagainya. Begitulah hakikat silat menurut Inyiak Palatiang. Penuh dengan ajaran-ajaran untuk menuju kebaikan dan kebenaran.

Menurut Inyiak, sebagai ilmu bela diri, silat tak kalah hebat dari ilmu bela diri lainnya. Silat itu ilmu Tuhan. Runcing tapi tidak menusuk. Tajam tapi tak meyayat. Itulah salah satu filsafat silat. Dituturkan Inyiak, letak keunggulan silat tradisi Minang itu di gelek, gerakan refleks yang bagaikan kilat menyambar atau mengelak. Apa pun jenis senjata, termasuk peluru yang ditembakkan, bukanlah hal aneh dalam silat tradisi Minang. Secepat peluru melesat, lebih cepat lagi tangan menangkap. Seseorang yang sudah tinggi ilmu silatnya bisa jatuh bak kapas atau hinggap di daun seringan kapas.

Selain sebagai seorang perempuan pendekar silat satu-satunya yang masih hidup, Inyiak Upiak Palatiang juga seorang seniman yang telah menciptakan ratusan syair/lagu dendang saluang dan pantun-pantun pertunjukan randai. Ia juga adalah seorang pendendang kondang.

Lagu/ syair dendang ciptaan Inyiak yang terkenal anatara lain Singgalang Kubu di Ateh, Singgalang Gunuang Gabalo Itiak, Singgalang Ratok Sabu, Singgalang Layah, Singgalang Kariang, Singgalang Alai, Indang Batipuah, dan Parambahan Batusangka.

Sebagaimana dikatakan Musra Darizal Rajo Mangkuto (56), seniman tradisi Minang dan salah seorang murid Inyiak, “Selain telah menciptakan ratusan syair/ lagu dendang saluang dan pantun-pantun untuk randai yang sampai sekarang karya-karyanya masih dikagumi orang. Inyiak juga seorang pendendang terkenal yang penuh karisma. Pitunang (daya pikat) suaranya amat mengagumkan.”

Menurut Musra, atau yang lebih dikenal Da Katik, yang khas dari syair-syair ciptaan Inyiak, ia suka lagu-lagu ratok (ratap) atau lagu-lagu rusuah (risau hati). Pilihan kata atau sampiran pada lagu/ syair ciptaannya cerdas dan punya logika. Jika syair-syair itu didendangkan sendiri oleh Inyiak, kekuatannya menjadi lain. Garinyiak (vibra) atau pitunang suara Inyiak sangat memukau. Mendengar sura Inyiak, orang bisa tertarik, terkesima, dan jatuh hati. Sesuatu yang jarang dimiliki pendendang lain.

Sekarang, di usianya yang sangat tua, Inyiak ingin selalu bersilat dan berdendang. Sebagaimana dinyatakan anaknya, saat tidur pun ia masih sering berdendang. Bila ditantang bersilat ia masih garang. Inyiak Palatiang benar-benar adalah seorang pewaris dan pelestari tradisi Minang yang tak lekang.***

Tuesday, February 20, 2007

Manti Menuik

Merawat Seni TradisI Minang dengan Tulus

OLEH Abel Tasman/DKSB


Namanya Manti Menuik. Laki-laki. Usianya sudah 81 tahun. Malam itu, 19 Maret 2005, di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat, dalam pertunjukan maestro seni tradisi Minangkabau yang digelar oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) dalam Pentas Seni IV 2005, dia tampak masih tegar memainkan silek jalik, tari Adok, dan Tan Bentan, salah satu seni tradisi Minangkabau yang masih ada sampai sekarang. Lelaki itu salah seorang pewarisnya. Kepiawaian Manti Menuik memainkan silek jalik, tari Adok, dan Tan Bentan, bagian seni tradisi Minangkabau menjadikan dia sosok yang ditunggu-tunggu penonton. Manti Menuik malam itu hadir sebagai salah seorang maestro seni Minangkabau dari tiga orang maestro yang diundang khusus DKSB, yaitu Islamidar dan Upiak Palatiang.

Di atas pentas, karena usianya yang sudah tua, gerakannya tampak agak lamban. Namun, kaki dan tangannya masih bergerak mantap. Sorot matanya tajam mengawasi gerak-gerik lawan. Tubuhnya merespons sangat baik. Malam itu, Manti Menuik telah memperlihatkan “magis”, filosofis, dan makna dari seorang pesilat atau pandeka (guru besar) silek tuo (silat tua) dalam tradisi Minangkabau, serta seorang maestro seni tradisi Minangkabau.

Mendengar bunyi adok (sejenis gendang) yang elok, apalagi suara penyanyi (pendendang) yang rancak, dia akan menari dengan totalitas dirinya: “Raso ka patah lantai (Rasa mau patah lantai),” katanya. Begitulah spirit tari Adok atau Tan Bentan yang dirasakan Manti Menuik—sang maestro penari tradisi paling gaek yang ada di ranah Minang saat ini. Tari Tan Bentan, Tari Piriang, silat Jalik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hayatnya. Bila menari, Manti Menuik seperti ekstase—larut dalam irama dan liukan gerak tubuh yang seolah tak ingin berhenti.

Nama Populer

Manti Menuik adalah panggilan populer. Ia diberi nama oleh orangtuanya Jamin, yang setelah dewasa ditambah dengan gelar Manti Rajo Sutan. Manti (panungkek atau tangan kanan dari penghulu) merupakan gelar warisan dari sukunya Guci. Manti Menuik lahir pada tahun 1924 di kampung halamannya Saniangbaka, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Sejak kecil sampai sekarang, ia tetap tinggal di kampung, tak pernah merantau seperti banyak warga Saniangbaka atau lelaki Minang lainnya.

Pendidikan formalnya hanya sampai kelas dua Sekolah Rakyat, hanya sampai bisa tulis baca. Katanya tak sanggup meneruskan sekolah karena uang sekolah mahal. Namun belajar Al-Quran atau mengaji di surau ia jalani sampai tamat, sehingga ia sekian lama menjadi guru mengaji di sebuah surau dekat rumahnya beberapa tahun lamanya.

Sebagaimana pemuda Minang lainnya, Manti Menuik belajar bersilat. Belajar tradisi bela diri Minang ini ia mulai sejak tahun 1938. Ia belajar silat pada Said Sutan Basa—seorang Pandeka Saniangbaka yang terkenal dengan silatnya Singo Barantai. Tentu saja Manti Menuik juga belajar silat asli Saniangbaka Balam Balago. Namun dikatakannya, ia tak terlalu menguasai silat Singo Barantai, penguasaannya lebih fasih pada silat Jalik—silat bungo atau kata dalam bela diri karate. Silat Jalik lebih sebagai peragaan keindahan gerakan silat. Dan memang ia lebih menonjol kemampuannya dalam bidang tari.

Sejak Kecil Belajar

Setelah cukup dengan bekal kemampuan bersilat yang ia miliki, Manti Menuik belajar tari pada tahun 1948. Ia berguru pada Tamin Sutan Sati dan Husin Mantiko. Ia mempelajari Tari Piriang, tari Tan Bentan dan randai. Beberapa lama setelah itu, ia sudah sering tampil menari di berbagai nagari dan daerah sekitar seperti Malalo, Paninggahan, Padangpanjang dan Bukittinggi. Puluhan tahun belakangan ia bersama kelompoknya juga sering tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bersamaan dengan penguasaannya dalam bidang tari itu ia, juga mulai mengajar tari. Ia menjadikan lapaunya sebagai sasaran (tempat belajar silat atau tari) di malam hari atau halaman rumah gadangnya sebagai tempat belajar silat. Kadang ia juga melatih muridnya bersilat dan menari di surau milik kaumnya. Dalam mengajarkan tari, Manti Menuik langsung mengajak muridnya satu per satu dan berganti-ganti untuk menari. Ia tak melatih tari seperti gaya latihan menari saat ini, yakni dengan memberi contok gerakan, lalu menyuruh murid menirukannya secara serempak. Dengan demikian, saat melatih murid-muridnya, Manti Menuik tak pernah berhenti menari.

Manti Menuik adalah maestronya Tari Piriang, Tan Bentan dan silat Jalik. Tari Piriang yang ia mainkan khas tari piringnya Saniangbaka. Gerakannya indah, enerjik dan mengagumkan. Begitu pula bila ia menampilkan silat Jalik. Yang paling menarik adalah bila ia membawakan tari Tan Bentan, tarian khas yang ada di kenagarian sekitar Danau Singkarak. Konon tarian ini asalnya memang dari Saniangbaka.

Tari Tan Bentan adalah bercerita tentang cuplikan kisah perebutan Puti Bungsu oleh Imbang Jayo dan Cindua Mato. Karena kesaktiannya, Cindua Mato berhasil mengalahkan Imbang Jayo. Tari ini terdiri dari lima bagian yang merupakan peristiwa perseteruan antara Cindua Mato dengan Imbang Jayo: Pada-pada (pado-pado), Dendang-dendangan, Adau-adau, Din-din dan Jundai.

Menitis pada Anaknya

Pado-pado adalah pengungkapan filosofis dalam bentuk gerak tari dari ungkapan; babuek baik pado-padoi, babuek buruak sakali jaan. Dendang-dendangan, lagu-lagu menyenangkan yang dibawakan Cindua Mato di hadapan Imbang Jayo supaya Imbang Jayo tak mencurigai Cindua Mato. Adau-adau adalah cerita atau lagu yang diusampaikan Cindua Mato untuk membuat Imbang Jayo tertidur, pada tahap ini Puti Bungsu ikut menari yang makin menghibur Imbang Jayo. Tertidur atau talalok dalam pengertian ini adalah talalok dalam pengertian karakter atau talalok yang dimaksudkan di sini adalah takicuah, karena Cindua Mato bermaksud merebut Puti Bungsu.

Din-din adalah usaha yang dilakukan Cindua Mato untuk mendinginkan atau menyejukkan hati Imbang Jayo dan masyarakat Sungai Ngiang supaya mereka tidak curiga sama sekali dengan tindakan yang akan dilakukan Cindua Mato. Jundai berkisah tentang serangan atau perang batin yang dilakukan Cindua Mato terhadap Imbang Jayo. Imbang Jayo akhirnya kalah dan bangun dari tidurnya dalam keadaan gila (jundai). Itulah makna tari Tan Bentan yang sering ditampilkan Manti Menuik.

Di samping menari dan bersilat atau melatih tari dan silat, sehari-harinya Manti Menuik menjalankan kegiatan hidupnya dengan pergi ke sawah pada pagi hari. Sehabis Zuhur dia pulang, kemudian meneruskan kegiatan di lapau atau kedai kopi yang dimilikinya. Di tempat ini pula setiap pekan ia melatih tari dan silat.

Manti Menuik menikah untuk pertama kalinya pada tahun 1944. Sampai sekarang ia telah menikah dengan delapan orang perempuan. Namun dari kedelapan istrinya itu ia hanya memiliki tujuh orang anak. Di antara tujuh anaknya itu, empat orang telah meninggal dunia. Tiga orang yang masih hidup hidup yakni Safri (52), Eri Mefri (47), dan Rahmi (17). Eri Mefri adalah pewarisnya dalam bidang tari. Eri adalah seorang penari dan koreografer terkenal pimpinan Sanggar nan Jombang.

Di hari tuanya saat ini, Manti Menuik tinggal dengan istri termudanya Nisma dan dengan putrinya Rahmi, di lapaunya yang sudah berubah fungsi menjadi rumahnya. Sejak beberapa tahun terakhir, lapau itu tak lagi berfungsi sebagai kedai kopi. Sehari-harinya Manti Menuik tetap pergi ke sawah, “Untuk tetap mengeluarkan keringat, kalau tak berkeringat badan menjadi lemah,” katanya. Setiap Senin malam ia melatih tari di rumah gadang milik Tarmizi, Wali Nagari Saniangbaka yang sekaligus bertanggung jawab memimpin kelompok tari yang terdiri dari sekitar 30-an anak muda itu.

Sampai usia tuanya saat ini, Manti Menuik, masih terus menari, mempertahankan dan melestarikan seni tradisi. Tradisi yang sudah lama sepi di negeri ini. Begituh Manti Menuik, sang maestro seni tradisi, ia tak akan pernah berhenti menari. Panggilan hidupnya adalah menari. Dan ia akan menari sampai mati.***