KODE-4

Monday, June 11, 2007

Sajak Memberiku Makna Hidup


Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya

Sebuah film dokumenter tentang dirinya diputar pada malam terakhir (24/03) Pentas Seni VI di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Penobatan tersebut memberi kabar sejuk bahwa di ranah Minang, selalu lahir sastrawan yang diperhitungkan. Setidaknya 50 tahun terakhir, kiprah kepenulisan Papa menjadi bagian penting pergulatan sastra Indonesia. Rentang waktu itu, telah ia dedikasikan bagi kesusastraan dengan semangat ”parewa” Minang yang sarat perjuangan.

Sebagai seorang pekarya, Papa mengaku, disiplin kreatifnya sering dibangkitkan oleh ungkapan dari John Keats: My Imagination is a monastery and I am its monk (Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya). Jadi seorang penyiar, barangkali bukan tujuan hidupnya. Tetapi syair yang terus ia tulis telah memberinya makna hidup itu.

Dalam narasi yang disusun Abel Tasman untuk film dokumenter tentang Papa, diuraikan, bahwa puisi-puisi Papa dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak tahun 1950-an. Abel menggambarkan idealisme Papa dengan ungkapan Umar bin Khatab: “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.”

Keberanian yang dicontohkan Papa, terlihat jelas sejak ia sering tampil dalam berbagai pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air. Pada 22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal di daerah.

Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan Papa sebagai seorang penyair.Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, pada tanggal 26 Januari 1936. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Papa adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Papa memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).

Pada tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Papa kemudian dibawa tinggal di Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan pembuatan sadah. Di kota ini pula Papa meneruskan sekolahnya yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Papa melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.

Pada tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Papa meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan cita-cita Papa untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore harinya, Papa melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun kemudian.

Semenjak Sekolah Rakyat, minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli.

Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Papa. Tak hanya menyukai bacaan sastra, Papa juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis.

Bacaan-bacaannya itu menjadikan Papa sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.

Dengan bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Papa untuk menulis puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.

Pada tahun 1956 Papa lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Papa di Kepolisian berakhir karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan Pemerintah Pusat.

Keterlibatannya dalam PRRI memaksa Papa berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Papa. Di tengah perang berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat, dirasakan Papa dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada Ratap Ada Nyanyi.

Usai PRRI, meski ada peluang, Papa tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Papa menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang jatah atau pedagang perantara. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di antaranya adalah batik.

Pada 4 Mei 1963, di kampung halamannya, Papa menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Papa dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis. Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.

Pada tahun 1969, Papa mengawali karirnya sebagai wartawan. Papa bergabung dengan harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Papa bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Papa mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Papa pensiun dari Haluan pada tahun 1999.

Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki. Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Papa terpilih menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.

Aktivitas Papa sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan. Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di DKSB. Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.

Sebagai sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Papa. Ia sering diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui karyanya Sembilu Darah, lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.

Sebagai seorang penyair, Papa mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli dipengaruhi cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi Papa. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.

Puisi-puisi Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Papa juga ada yang bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat dan tradisi maupun kritik sosial dan politik. (zelfeni wimra)
Puisinya berjudul Putri Bunga Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat kuat.

Puisi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang Kotaku.Sekarang, di usianya yang sudah 71 tahun, Papa masih kelihatan segar dan kuat. Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya.

Sehari-harinya masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya. Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi maraton hingga jam tujuh pagi.Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya.

Membaca sosok Papa adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Papa, berarti membaca sejarah hidupnya.Semangat inilah yang tertuang dalam sajaknya yang berjudul Sebuah Kehadiran: kamar dan rak buku terlantar/dinding selalu menagih kerja/tak menidurkan tubuh resah terlantar/hujan sama jatuh di samar senja.


ZELFENI WIMRA, SUMBER Padang Ekspres, Minggu, 25-Maret-2007

Rusli Marzuki Saria

Sastrawan Sumbar Kesepian di Rumah Sendiri
Sumatera Barat (Sumbar) hari ini memerlukan sejumlah penerbitan yang memadai guna memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan dunia sastra di daerah itu. Sejumlah sastrawan menilai, tanpa itu dunia sastra di Sumbar tidak akan beringsut.

Sunday, June 10, 2007

ESTIVAL SENI SURABAYA 2007

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, bila kita membaca pelbagai buku puisi dan ruang sastra di surat kabar, tahulah kita perihal lima kota yang secara nisbiah memberi kita lebih banyak penyair ketimbang kota-kota lain di Nusantara. Itulah Bandarlampung, Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan Denpasar.

"Dan yang lebih berlimpah itu saya harap membuka jalan ke yang lebih berharga. Tanpa uluran tangan kelembagaan dari manapun juga, hanya lingkungan pergaulan sastra dan tekanan dari khazanah dunialah yang mungkin dapat memperpanjang kiprah si penyair," tutur Nirwan.

Selain mengadakan diskusi dan pertunjukan sastra, panitia FSS 2007 juga menerbitkan sebuah buku sastra yang diberi tajuk Lima Pusaran disertai kata pengantar Nirwan Dewanto. Diantara karya mereka itulah dibacakan dalam Malam pertunjukan Sastra. Menampilkna Teater Mozaik malang, mengangkat naskah adaptasi dari novel Hubbu karya Mashuri. Karya novel ini memnangkan Lomba Penulisan Novel yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta 2007.


DISKUSI SASTRA

Rabu, 13 juni 2007 Pukul 10.00 WIB di Gedung Mitra1 Kompleks Balai Pemuda Jl. Gubernur Suro 15 Surabaya. Pembicara: Nirwan Dewanto. Acara: Peluncuran buku puisi LIMA PUSARAN (Zen Hae, Iswadi Pratama, S Yoga, Gunawan Maryanto, Sindu Putra)

PERTUNJUKAN SASTRA

Judul: Hubbu Teater Mozaik(Malang)

Naskah: Mashuri (Pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2007) Sutradara: Ragil Sukrisno di Gedung Utama Balai Pemuda pada Rabu, 13 Juni 2007 pukul 19.00 WIB

Sejak beberapa tahun terakhir, juga menjadi fenomena pada 2007, adalah hiperrealisme: suatu keadaan yang terjadi di belahan dunia mana saja begitu cepat diketahui di sudut dunia lainnya. Begitu cepatnya, hanya dalam hitungan detik/pulsa. Kita sedang memasuki "Abad Digital", segalanya computerize, cybernetic, dan blow up serta massal, terjadi konvergensi antara teknologi komunikasi, media dan seni. Peradaban Baru juga muncul di tengah masih adanya perang, terorisme, ketidakadilan, kelaparan, harapan hidup layak, kerusakan ekologis yang kompleks dan paradoks. Seni, di tengah harapan layak di masa depan dan kerancuan serta kekerasan dunia, kini bisa bicara lembut, bisa pula berteriak, untuk menghimbau amanatnya seperti embusan terapi: membangun Peradaban Baru.

SEMINAR KEBUDAYAAN

Kamis, 14 Juni 2007 pukul 14.00 WIB di Gedung Mitra 1 Kompleks Balai Pemuda Jl.Gubernur Suryo 15 Surabaya Pembicara: Arif Bagus Prasetyo, Yasraf A.Piliang, Sony Karsono
Moderator: Audifax

Project Officer Sastra: Mardiluhung

Minangkabau, Balok Es yang Meleleh



OLEH Nasrul Azwar


Suatu hari teman saya mem-posting sebuah cerita
ke e-mail saya. Inti cerita di e-mail itu katanya, penting untuk melihat kondisi masyarakat Minangkabau, baik yang ada di rantau maupun di kampung halamannya. Cerita e-mail teman saya itu begini:

"Usman Chaniago, seorang pemuda bekerja sebagai supir camat di Payakumbuh. Suatu hari ia minta berhenti karena akan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Usman Chaniago menganggap, menjadi supir camat tidak bergengsi dan dipandang rendah di kampungnya. Lalu dia merantau ke Jakarta seperti kebanyakan pendahulunya. Mula-mula dia bekerja sebagai tukang kantau di Tanah Abang. Perlahan-lahan, Usman Chaniago dapat mengumpulkan sedikit modal, lalu dimulai pula menggelar dagangannya di pinggir jalan di Tanah Abang.

Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Dia pun berkeluarga dan memiliki 2 anak. Tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI. Karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya terpampang di pintu rumah mereka: ada Prof, Phd. M.Sc, M.Si, dan lain-lain. Usman Chaniago merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.

Dibuatlah papan nama dari perak, dipesan dari Koto Gadang, salah satu nagari di Kabupatena Agam yang terkenal dengan kerajinan peraknya, dengan nama Dr. Usman Chaniago M.Sc. Ketika ayahnya datang berkunjung ke rumahnya, taragak hendak berjumpa dengan cucunya, sambil bangga dia bertanya di mana anaknya kuliah, sebab setahu ayahnya, anaknya hanya berdagang. Dengan malu-malu Usman Chaniago menerangkan gelarnya di papan nama: "Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat dengan singkatan Dr. Usman Chaniago M.Sc."

Saya tersenyum habis membaca e-mail itu. Di dalamnya ada persoalan kreativitas dan kekonyolan, juga ada "nilai" yang menyangkut prestise dan pentingnya "status" sosial di tengah masyarakat.

Sisi lain, bisa jadi Usman Chaniago beranggapan tidak perlu membeli gelar dengan menghabiskan uang yang sesungguhnya dia sendiri mampu membeli gelar itu. Baginya, yang penting ada persamaan status "sosial" di lingkungannya, walau ia menyadari sebenarnya itu bukan gelar yang mesti diraihnya dengan kuliah.

Pelabelan identitas "baru" di awal dan belakang namanya, tak lebih dari sekadar "main-main". Toh, walau ada label "akademis" itu, Usman menyadari "gelar" itu tidak pernah membawa berkah menjadikan dirinya sebagai keynote speaker dalam sebuah seminar, kongres atau sejenis ini. Bisa juga, Usman Chaniago sedang menertawakan dirinya, atau barangkali kaumnya, atau Minangkabau itu sendiri - yang kadang dinilainya tidak lagi rasional menghadapi persoalan.

Ilustrasi di atas sebuah anekdot. Barangkali banyak anekdot serupa dengan versi yang lain yang pernah kita dengar. Namun, bukan itu yang dipersoalkan. Dari kaca mata ilmu tanda, ia mengemban makna referensial. Makna yang ada di dalam teks melekat di luar teks itu sendiri. Mereferensi. Penanda yang terkait dengan karakter, sifat, dan nurani purba manusia, dan untuk konteks anekdot di atas, penandanya adalah masyarakat Minangkabau: ada identitas etnis yang dapat diidentifikasi di dalamnya.

Anekdot, bagi yang tertarik dengan "dunia" ini, jika ingin memahami dan mendalami karakter etnis tertentu, bisa masuk lewat pintu anekdot seperti ini. Dalam dunia folklor, anekdot kayak begini menjadi determinatif. Kemunculan sebuah anekdot tentu memiliki latar belakang. Ada alasan "tertentu" munculnya anekdot. Dan dapat juga ia muncul karena benar-benar terjadi. Makanya, ia tampak penting dalam membaca karakter, pola pikir, dan etnis tertentu.

Etnis Minang saat sekarang adalah sekumpulan massa yang teridentifikasi karena adanya perjalanan bangsa ini. Ia sekumpulan massa yang diikat dalam sistem yang diciptakan sendiri. Sistem yang muncul itu, bisa jadi karena etnis Minang memiliki peran di dalamnya. Posisi dalam peran itu, pada periode tertentu mendominasi perjalanan bangsa ini, pada periode lain tersubordinatif, atau malah termajinalkan dan tidak dianggap. Namun demikian, etnis Minang tetap meyakini sebuah identitas. Identitas ini menjadi senjata yang diusung kemana-mana. Identitas dihadirkan sebagai singasana yang agung.

Minangkabau yang diaktulisasikan pada saat sekarang adalah Minangkabau sebagai identitas rekayasa jenetikal. Hasil dari proses kulturalistik yang dibangun dengan mengunakan tangan-tangan hegemonik. Kehadiran Minangkabau tidak lagi dilihat dalam posisi perannya yang sangat determinatif dalam policy publik, bukan tersebab dominasi pemikiran dalam nation building. Eksistensinya tidak lebih kerena etnis ini masuk dalam hitungan jumlah suku-suku yang ada di Indonesia ketika seorang guru sekolah dasar mengajarkan sejarah. Tak lebih sebagai hafalan bagi murid sekolah dasar. Dalam perspektif demikian itu, sesungguhnya Minangkabau telah terkubur. Telah tiada.

Minangkabau dalam garis kulturalnya telah tiada, tetapi dalam batas administrasi yang disebut dengan Provinsi Sumatra Barat masih ada. Antara Minangkabau dalam garis kutural dan Sumatra Barat dalam batas administrasi dalam kaca mata budaya adalah dua dunia yang berlainan. Yang diaktulisasikan sebagai Minangkabau pada saat sekarang adalah "Minangkabau" dalam garis administrasi tadi. Sedangkan Minangkabau dalam garis kultural sudah menjadi teks-teks sejarah yang telah lama terlewati. Minangkabau garis kultural telah ditelan oleh Minangkabau batas administratif.

Minangkabau batas administratif berkaitan dengan kekuasaan dan hegemonik negara. Eksistensinya berada dalam cengkeraman dan berkaitan dengan wilayah hukum negara. Minangkabau garis administratif (Sumatra Barat) kekuasaan tertinggi ada di tangan gubernur dan seterusnya ke tingkat bupati/walikota, camat, dan wali nagari/lurah.

Selanjutnya, pemimpin informal Minangkabau yang direpresentasikan sebagai kekuatan daya jelajah keintelektualannya yang pernah berjaya di masa lalu, kini tidak lagi memperlihatkan homologinya (hubungan sinkronis di mana struktur-struktur sosial, nilai-nilai sosial, dan simbol-simbol kultural dikatakan cocok satu sama lainnya). Kehilangan homologi ini disebabkan negara (Minangkabau administratif) telah ikut serta menginvasi secara sistematis Minangkabau garis kultural. Peran kunci pemimpin informal di tengah kaumnya telah direbut oleh aparatur negara. Aparatur itu bisa jadi polisi, satuan polisi pamong praja (Satpol PP), dan lain sebagainya yang bertindak dengan simbol-simbol kekuasaan negara.
Nasrul Azwar, Minangkabau, Balok Es yang Meleleh
Pada wilayah policy publik berkaitan dengan keperluan legitimasi kultural-politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Minangkabau administratif perlu mengaturnya dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Munculnya perda kembali ke nagari, perda penyakit masyarakat, ranperda tanah ulayat yang pernah menjadi polemik itu, dan perda-perda lainnya merupakan indikator dan bukti konkret bahwa negara berada dalam garis terdepan mengatur narasi besar tentang proses keberlangsungan kultural Minangkabau. Seterusnya, pada tingkat pemerintahan paling bawah yaitu nagari juga menerbitkan peraturan nagari. Minangkabau administratif telah merayakan perannya sebagai dalam wilayah materialisme kultural.

Pada batas yang demikian, sesungguhnya di Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme.

Pembagunan pasar dan hotel yang diidentikkan dengan ikon kota metropolitan menjadi persyaratan utama menuju kota modern. Para bupati dan wali kota yang berkuasa di wilayah Minangkabau dalam garis administrasi itu setiap hari meneriakkan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di wilayah hukumnya. Kebijakan penguasa tidak lagi mempertimbangkan jeritan pedagang-pedagang kecil. Jika muncul gejolak di tengah masyarakat menolak kebijakan penguasa itu, maka stigma langsung dilekatkan kepada mereka: menghalangi investor masuk ke daerah.

Minangkabau sekarang adalah Minangkabau yang berada dalam cengkeraman gurita konglomerasi-konglomerasi urban yang bertindak sebagai titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai aktivitas ekonomi yang beragam. Minangkabau telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi, distibusi, dan sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul pertukaran informasi dan proses pembuatan keputusan.

Minangkabau telah berada pada titik nadir, dan jelas sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Dari itu pula, wilayah publik, wilayah anak nagari, dan wilayah yang lainnya yang selama ini berada di tangan penguasa sudah saatnya dikembalikan ke dalam wilayah kultural Minangkabau.

"Perlawanan" yang paling dimungkinkan adalah dengan penguatan institusi informal, melakukan bargaining power terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa Minangkabau yang administratif itu. Memperjelas wilayah-wilayah yang pantas disentuh tangan penguasa, dan mempertajam kembali simpul-simpul kultural yang selama ini dimatikan oleh sistem kekuasaan.

Selain itu, penguasa Minangkabau administratif itu harus mempertegas dirinya untuk tidak menyentuh wilayah-wilayah yang sesungguhnya bisa digerakkan oleh sistem yang berjalan secara kultural. Jika tidak demikian, maka jadilah kita Usman Chaniago baru.***

Saturday, June 9, 2007

ALFABET MINANGKABAU

Dérivé fortement de l'arabe, cette écriture note la langue Minangkabau parlée dans l'île de Sumatra (pedroiy.free.fr/alphabets/minangkabau.htm)



Suratkabar di Padang Monoton

Oktober 2nd, 2006 · 14 Comments
Saya di Padang melahap tiap hari semua harian yang terbit di Padang: Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, dan Pos Metro Padang. Apa yang saya peroleh dari empat media itu? Tak lebih rasa jengkel!
Surat kabar yang terbit di Padang (terutama harian)–jika mau memperoleh informasi yang dalam dan berita yang tajam–jangan harap. Berita yang diturunkan tak lebih dari aktivitas pejabat semenjak dari gubernur sampai camat di Sumatra Barat.
Apa yang dapat kita petik–taruhlah, misalnya, selama Ramadan ini–semua harian yang terbit di Kota Padang menurunkan berita safari Ramadan para pejabat dan juga anggota dewan. Apa yang dapat kita ambil dari berita-berita yang sifatnya seremonial peresmian ini dan itu. (Lenkapnya http://jurnalisme.wordpress.com/2006/10/02/suratkabar-di-padang-monoton/.)

Friday, June 8, 2007

Dee, Peracik Kopi Ulung

OLEH YUKA FIANKA PUTRA
DATA BUKU
Judul : Filosofi Kopi “Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade”
Penulis : Dee
Penerbit : Truedee Books & GagasMedia, 2006
Tebal : xii + 134 hal, : 20,5 cm
“Harum, menyegarkan, nikmat, pahit sekaligus mengandung manis” (FX Rudy Gumawan). “Ruang cerpen yang sempit dijadikan wahana yang intens namun tidak sesak untuk mengungkapkan apa yang tak selalu mampu diicapkan (Manneke Budiman). “Inilah kumpulan prosa yang cakras’ (Goenawan Mohamad).

Mempertimbangkan Estetika Ruang Terbuka Kota Padang

OLEH SUDARMOKO

Penempatan berbagai macam reklame dan baliho atau informasi lain yang memanfaatkan ruang terbuka sebagai medianya tak jarang ditata tanpa mempertimbangkan estetika. Spanduk-spanduk dipasang di tempat-tempat yang tidak disediakan secara khusus, dan sering kali dipasang secara melintang di atas jalan, yang membahayakan pemakai jalan bila sewaktu-waktu jatuh. Demikian juga, tak ada aturan dan tindakan yang tegas untuk reklame atau baliho yang sudah kedaluarsa atau menyalahi tata ruang yang disediakan. Tampaknya, asal sudah membayar pajak, pemasang iklan di ruang terbuka ini bebas untuk menempatkannya dimana saja.

Tuesday, June 5, 2007

66 Tahun Sutardji Calzoum Bachri


Pekan Presiden Penyair

Dalam rangka HUT Sutardji Calzoum Bachri ke-66, yang jatuh pada 24 Juni 2007, Yayasan Panggung Melayu (YPM) akan menggelar Pekan Presiden Penyair, pada 14-19 Juli 2007. Perhelatan itu sendiri bakal dipusatkan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Salah satu agenda acara dari Pekan Presiden Penyair adalah Lomba Baca Puisi Internasional Piala Sutardji Calzoum Bachri. Lomba ini bersifat internasional, terbuka bagi peserta berkewarganegaraan mana pun, dan bersifat umum (lintaskategori) . Menurut Ketua Yayasan Panggung Melayu, Asrizal Nur, satu-satunya kriteria dalam lomba ini hanyalah batasan usia minimal peserta 15 tahun.

Lomba di babak penyisihan akan dinilai oleh tiga orang juri (Yose Rizal Manua, Ahmadun Y Herfanda, dan Sunu Wasono) dan di babak akhir juga akan dinilai oleh tiga orang juri (Leon Agusta, Slamet Sukirnanto, dan Tomy F Awuy). Hadiah yang disediakan adalah uang tunai total 15 juta rupiah, piala Sutardji Calzoum Bachri, dan ziarah budaya ke Makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Bagi yang berminat, pendaftaran dapat dilakukan di (1) Kantor Arif Rahman Hakim, komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, telp +62-21-93861703. +62-21-68644945; (2) Yayasan Panggung Melayu, Perum Beji Permai Blok T3, Beji, Depok, telp/faks +62-21-7752144; (3) Anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah (TMII), telp +62-21-8409371; (4) Sanggar Ayodyapala Mal Depok, Mal Depok, Margonda Raya Lt. 3, telp +62-21-7751653.

Selain Lomba Baca Puisi, Pekan Presiden Penyair juga akan diisi dengan berbagai acara menarik lain, di antaranya adalah Seminar Internasional (19 Juli 2007) menghadirkan 13 pembicara pakar sastra dari berbagai negara, seperti V. Braginsky (Rusia), Dato Kemala (Malaysia), Prof. Dr. Koh Young-Hun (Korea), Suratman Markasan (Singapura), dan masih banyak lagi. "Kita akan berupaya membahas karya-karya Tardji dari beragam sudat pandang sastra," ungkap Maman S Mahayana, penanggung jawab seminar.

Acara yang lain adalah Panggung Apresiasi Karya Sutardji menampilkan para Menteri (antara lain Meutia Hatta, Adyaksa Dault, MS Ka’ban, Lukman Edi, dll.), para Bupati dan Walikota (Walikota Tanjungpinang, Bupati Bengkalis, Bupati Kota Baru, Wakil Bupati Bintan, Bupati Pelalawan, Bupati Indragiri Hulu, dll.), dan para seniman terpilih se-Indonesia.

Selain itu terdapat pula Talkshow Sutardji bersama Guru dan Siswa, Pameran Foto Sutardji. Keseluruhan perhelatan akan diakhiri dengan Malam Puncak Pergelaran Seni dan Pidato Kebudayaan yang akan menampilkan Ignas Kleden, Sutardji Calzoum Bachri sendiri, serta direncanakan akan dihadiri oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono. ***

Eri Anugerah
a/n Yayasan Panggung Melayu

NB:
Contact person:
Asrizal Nur (Ketua Panitia Acara)08176378914
Eri Anugerah (Kordinator Pers) 08159930605

Monday, June 4, 2007

Pertunjukan "Pesta Pencuri" Teater Bengkel Muda Surabaya

JADWAL
  • Sabtu, 16 Juni 2007, pukul 19.00, di Lokasi Pengungsian Korban Lumpur Panas Lapindo, Pasar Baru Porong, Sidoarjo
  • Sabtu, 23 Juni 2007, pukul 19.00, di Lapangan Tambak Asri, Kompleks Lokalisasi Kremil, Surabaya

Pengantar

Lakon ini diambil dari naskah asli berjudul Le Bal des Voleurs (1938), karya seorang Play Wright asal Prancis, Jean Anouilh. Diterjamahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Lucienne Hill menjadi Thieves’ Carnival (1952). Adapun Pesta Pencuri adalah terjemahan Bahasa Indonesia oleh Asrul Sani (Pustaka Jaya, 1986).

Naskah ini memang bercerita tentang pencuri. Harian Sinar Harapan edisi 22 Maret 2002 pernah menulis: “Jean Anouilh seakan tahu dramanya ini bakal terjadi di suatu tempat di Asia Tenggara”.

Terus terang kita tidak berani bilang drama lucu ini juga terjadi di negeri sendiri. Masalahnya ilmu kontra permalingan yang ada belum mampu menganalisis kasus-kasus permalingan di Indonesia. Di sini, soal yang satu ini terlalu sulit, rumit dan sekaligus teramat menggelikan,” demikian tulis koran sore itu.

Sutradara Bengkel Muda Surabaya, Zainuri, sengaja ingin kembali mengangkat naskah drama ini untuk dipentaskan di sejumlah kota karena banyak pelajaran yang bisa dipetik darinya.

Sinopsis

Tiga pencuri jalanan – Bonong, Cacing, dan Cengik – mencoba menghadiri undangan Pesta Para Pencuri di rumah dedengkot pencuri, Keluarga Ayu Selintas dan Lowo Kumolo. Ketiganya bermaksud menguras harta keluarga kaya ini.

Namun ternyata di rumah tersebut sudah banyak tamu yang mempunyai tujuan sama dengan ketiga pencuri jalanan ini. Di pesta ini semua tamu mempertunjukkan kelihaian mencuri. Tentu sasarannya adalah harta sang tuan rumah.

Tapi ternyata tuan rumah lebih pandai membaca gelagat para tamunya. Justru di balik Pesta Pencuri ini Ayu Selintas mengendalikan aturan main dari semua yang ada dibenak tamunya. Para tamu dijadikan korban kemuslihatan dari kekayaan yang diumpankannya.

Mereka ada yang ditangkap polisi, sementara yang lain melarikan diri hanya dengan membawa barang perhiasan curian yang tidak seberapa harganya. Dari sinilah keluarga Ayu Selintas terselamatkan dari incaran polisi.

Staf Produksi

Penasehat: Farid Syamlan (Ketua Bengkel Muda Surabaya), Amang Mawardi, Sabrot D. Malioboro, Rusdi Zaki

Pimpinan Produksi : Hanif Nashrullah
Sekretaris : Sesilia Menuk Wijayanti
Bendahara : Dedi Obeng Supriadi (Obeng)

Staf Sutradara

Penulis Naskah:Jean Anouilh
Penerjemah: Asrul Sani (Pustaka Jaya, 1986)

Sutradara:Zainuri

Supervisi: Amir Kiah

Asisten Sutradara:Dedi Supriadi (Obeng)

Pemain:Saiful Hadjar,
Dedi Supriadi (Obeng),Saiful Arif (Ipung),Mastohir, Taufik Sholekhuddin Sofjan, Samsul Arifin, Rizki Putri Maharani (Kiki), Ida Ayu Kade Ari Trisnawati (Gek), Sesilia Menuk Wijayanti, Marjangkung (Amar)
Artistik: Saiful Hadjar

Pembantu Umum: Jhon Pa’i

Tentang Jean Anouilh

Lahir di Bordeaux, 23 Juni 1910. Namanya populer sejak era Perang Dunia II. Selain menulis drama dia juga dikenal sebagai penulis film dan sutradara. Bakat menulisnya telah tampak sejak usia 9 tahun. Di usia itu dia telah mengadaptasi naskah drama karya Edmond Rostand.

Namun dia pertama kali memainkan drama secara penuh pada usia 16 tahun. Sejak itu pula dia menyatakan ketertarikannya di bidang kepenulisan. Dia pun meninggalkan bangku kuliahnya di Fakultas Hukum, Sorbonne, Paris, dan memilih bekerja sebagai Copy Writer di sebuah perusahaan advertising.

Bersamaan dengan itu, demi meningkatkan penghasilannya, dia juga bekerja sebagai penyusun materi film untuk dipublikasikan. Adapun karirnya sebagai penulis diawali dari sebuah industri film. Yaitu ketika dia menjadi sekretaris di sebuah perusahaan film Comédie des Champs-Élysées (1931).

Dari sinilah dia mengawali menulis naskah yang sesungguhnya. L’Hermine (1932) adalah karya naskah drama pertamanya. Sejak itu, kemudian, hingga akhir hayatnya, dia telah menghasilkan sedikitnya 54 naskah drama.

Karya-karyanya yang populer meliputi Le Voyageur sans Baggage (1938), Antigone (1946) dan Becket (1959). Karya-karyanya terbilang berbeda satu sama lain. Sebagian besar berisikan kontras antara fantasi dan realitas. Tapi banyak juga yang klasik. Beberapa lainnya merupakan adaptasi dari naskah Yunani Kuno. Serta sisanya berupa eksplorasi tentang kehidupan dan cinta.

Banyak naskah-naskah dramanya yang kemudian diangkat menjadi karya film. Anouilh sendiri terhitung mulai berkolaborasi dalam film sejak 1936. Dia mengadaptasi beberapa karyanya, seperti Pattes Blanches (1949) dan Caroline Cherie (1954) yang kemudian disutradarainya sendiri.

Pada tahun 1970, hasil kerjanya dikenal dengan predikat Prix Mondial Cino Del Duca. Jean Anouilh menikahi seorang aktris, Monelle Valentin, pada tahun 1929 dan menghasilkan seorang putri, Catherine, sebelum akhirnya bercerai. Dia meninggal di Lausanne, Swiss, 3 Oktober 1987, akibat serangan jantung.

Tentang Zainuri (Sutradara)

Lahir di Surabaya, 1 Mei 1964. Aktif di Bengkel Muda Surabaya sejak 1984. Selain berteater, dia menulis puisi, esai dan cerita pendek yang dimuat di media massa lokal. Garapan-garapan dramanya, di antaranya, Kaca-Kaca, Orang-Orang Berpeci dan Nyai Adipati. Judul tersebut terakhir sempat dipentaskan untuk Temu Teater Indonesia 1993 di Solo. Pada tahun 2004 dia menyutradarai Polisi. Selain itu, dia punya Kelompok Musik ‘Bledhek Sigar’.

Tengang Pemain

Mastohir

Lahir di Surabaya, 29 September 1946. Kuliahnya di Fakultas Hukum, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dibuyarkan oleh peristiwa G30S/ PKI (1964). Sejak itu dia memfokuskan diri di bidang kesenian dengan bergabung di komintas Penggemar Seni Teater (Pensiter). Kemudian dia terlibat di Srimulat – mulai sebagai Penata Artistik, Pemain, hingga Sutradara – dan berpindah-pindah dari Surabaya, Solo, Semarang dan Jakarta (1966 – 2001). Pernah menekuni seni lukis di Akademi Seni Rupa Surabaya (1967 - 1969). Belakangan juga berperan di sejumlah sinetron.

Saiful Hadjar

Lahir di Surabaya, 30 Agustus 1959. Bergabung dengan Bengkel Muda Surabaya sejak 1978. Dia menulis puisi, bermain teater, seni rupa instalasi dan grafis. Puisi dan artikel budayanya pernah dimuat di berbagai media massa. Penggagas Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) ini telah menerbitkan buku Senapan Grafis (2005).

Dedi Supriadi (Obeng).

Lahir di Malang, 11 Maret 1967. Sebelum bergabung dengan Bengkel Muda Surabaya, dia pernah di Teater Idiot Malang dan Teater Api Surabaya. Pendiri Forum Sikat Gigi dan Teater Belgombes Malang ini pernah mengenyam bangku kuliah di Unmuh Malang. Sekarang jadi tenaga volunteer di suatu LSM yang menangani anak-anak jalanan.

M. Syaiful Arif (Ipung)

Lahir di Surabaya, 22 Desember 1969. Sarjana Seni Rupa dari IKIP Negeri Surabaya ini aktif di Bengkel Muda Surabaya sejak 1985. Pernah main drama dalam lakon Aduh, Bersamadi, Nyai Adipati, Jalan Tembakau, Laboratorium Gila, Racun Tembakau dan Polisi. Mengikuti Hibah Seni ke Malaysia, Singapura dan Thailand di tahun 2002. Sampai sekarang dia juga aktif bermain musik bersama Kelompok ‘Bledhek Sigar’.

Taufiq Sholekhuddin Sofjan

Lahir di Surabaya, 8 September 1974. Alumnus STKW Surabaya jurusan Seni Rupa Murni ini lebih dikenal sebagai aktifis teater. Sebelum di Bengkel Muda Surabaya dia telah bergabung dengan Teater Alif (1989) dan Teater API Indonesia (1993). Juga pernah terlibat di beberapa produksi Film dan Sinetron. Saat ini dia aktif membina kegiatan ekstrakulikuler bidang seni teater di beberapa Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA), baik negeri maupun swasta, di Surabaya. Dia adalah salah satu penggagas Komunitas Teater SMA se-Surabaya dan sekitarnya (KATES).

Marjangkung (Amar)

Lahir di Bojonegoro, 15 Juli 1980. Mengawali belajar akting di LJ. Talent Agensi pada tahun 2006. Berperan dalam film “Kabut Sesaat”, produksi TVRI Surabaya, 2006. Sehari-harinya bekerja sebagai penjahit di sebuah perusahaan konveksi di Surabaya.

Samsul Arifin

Lahir di Surabaya, 1 Februari 1984. “Pesta Pencuri” adalah lakon perdananya. Sebelumnya dia lebih menekuni musik biola secara otodidak. Jika malam tiba, dia punya rutinitas: membuka warung di Pasar Keputran Surabaya.

Sesilia Menuk Wijayanti

Lahir di Surabaya, 11 Juni 1986. Mahasiswi jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala (UWM) Surabaya ini tergolong sebagai aktris senior di Teater Kedok, SMAN 6 Surabaya. Dia memang alumnus situ dan sempat menyutradarai adik-adiknya di Teater Kedok dalam Parade Teater Pelajar yang digelar oleh Dewan Kesenian Surabaya (2006). Saat ini, di kampusnya, dia menjabat sebagai Ketua Pengurus Harian Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bidang Kesenian. Dia ikut mendirikan Teater Bata UWM.

Rizky Putri Maharani (Kiki)

Lahir di Gresik, 14 Juni 1987. Mengenal dunia seni peran sejak aktif di Teater Cepak, SMAN 1 Gresik, dan sempat bermain dalam lakon “Dapur atas Tanah”, karya Gus Roin (2004). Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini kini – selain tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Peradilan (IMP) dan UKM Paduan Suara Unair – juga tercatat sebagai aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Surabaya.

Ida Ayu Kade Ari Trisnawati (Gek).

Lahir di Tabanan, 5 Agustus 1987. Bergabung Bengkel Muda Surabaya sejak 2006. Mahasiswi jurusan Psikologi Unika Widya Mandala (UWM) Surabaya ini juga aktif di UKM Teater Bata. Semasa SMA dulu dia pernah belajar ilmu beladiri Karate. Cita-citanya menjadi Penyiar Radio baru saja kesampaian.

Contact Persons: Zainuri, HP. 081357473656, Hanif Nashrullah, 08174802453, email:revolusioner@ hotmail.com

Identitas Kultural dan Sastra yang Tersebar

OLEH SUDARMOKO
Suatu saat, saya pernah mendengarkan sebuah obrolan ringan tentang fenomena yang menarik tentang pengarang-pengarang Minangkabau. Mereka mencoba membagi dan melihatnya dalam beberapa bagian. Mengingat juga bahwa pembagian ini, dengan cara lain, sering dibicarakan dalam beberapa tulisan, lebih-lebih yang membicarakan tentang pengarang karya sastra Indonesia yang berasal dari Minangkabau.
Kehadiran dan pengaruh mereka terlihat jelas dalam sastra Indonesia. Hal ini disebabkan, mereka yang ‘menguasai’ Balai Pustaka dan karya-karya mereka banyak yang diterbitkan di sana. Demikian juga halnya dengan kedekatan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia. Mereka dengan mudah ‘menemukan’ frasa atau kalimat yang sangat indah dan penuh mewakili untuk mengekspresikan sesuatu. Demikian juga dengan sejumlah tradisi ritual dan seremonial yang, tak dapat dihindarkan, mempengaruhi kompetensi dan ingatan akan bahasa dan cara bertutur mereka.

Sunday, June 3, 2007

Ular itu (Ada dalam) Diri Kita


OLEH SUDARMOKO


Data buku

Judul : Ular Keempat
Pengarang : Gus tf Sakai
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : vii+196 halaman
Cetakan I : Oktober 2005

Novel Ular Keempat karya Gus tf Sakai merupakan sebuah novel yang mencoba untuk kembali memecah persoalan penting dalam adat Minangkabau. Cerita yang membungkus persoalan ini adalah sebuah kisah nyata tentang rombongan jemaah haji yang terjadi pada tahun 1970-an. Mereka dilarang untuk melanjutkan perjalanan haji karena mereka tidak melalui prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah, melalui departemen agama, dan juga karena ulah penyedia jasa perjalanan ibadah haji swasta. Namun, akhirnya mereka tetap melakukan ibadah haji dengan cara negosiasi dengan pihak kapal, yang menaruh perhatian terhadap perjuangan mereka. Dan juga ternyata bahwa pemerintah Arab Saudi menyambut mereka dengan penghormatan yang luar biasa, karena perjuangan yang telah mereka lakukan untuk sampai di tanah suci.

Perantau yang selalu Risau


OLEH SUDARMOKO
Data Buku
Judul : Perantau Kumpulan Cerita Pendek
Penulis : Gus tf Sakai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Maret 2007
Tebal : ix + 133 halaman
Kesan adanya studi yang dilakukan dalam penulisan karya sastra dapat dirasakan dalam cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi cerpen Perantau. Cerpen-cerpen yang ditulis Gus tf Sakai dalam buku kumpulan cerpen ini dapat dikatakan sebagai cerpen antropologis, cerpen yang merekam kegelisahan berbagai etnis, manusia, yang berangkat dari mitologi dan kepercayaan masyarakat. Cerpen-cerpennya berangkat dari studi yang mendalam, dengan penguasaan yang detil terhadap tema yang dikerjakannya. Secara tematis, kumpulan cerpen ini berisi problematika manusia terhadap identitas dirinya, yang berhubungan dengan jejak historis, asal muasal, dan jati diri etnisitas.

Maaf, Jalan Anda Terganggu


OLEH SUDARMOKO

Bus AKDP mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang terkait. Terbukti, berbagai regulasi terus digulirkan untuk mencari tempat dan cara terbaik dalam mengatur keberadaan dan jalur yang harus dilalui. Beberapa kali perpindahan tempat ngetem dilakukan. Intinya, ingin memberi keuntungan yang maksimal untuk semua pihak, masyarakat pengguna, pemilik kendaraan, pemerintah yang mengurusinya, dan sebagainya.

Mengecam Kekerasan TNI-AL













Diambil dari http://rumahkiri.net

Pernyataan Sikap

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan sikap atas penembakan petani di desa Alas Tlogo Kec. Lekok Kab. Pasuruan Jawa Timur oleh TNI-AL tanah-tanah rakyat yang dikuasai oleh militer untuk latihan dan bisnis harus dijadikan objek landreform !!!

Menyikapi rentetan peristiwa konflik agraria yang melibatkan militer, saatnya pemerintah untuk mengevaluasi dan mengambail tindakan tegas terkait dengan penguasaan militer di lapangan agraria, baik untuk kepentingan latihan apalagi untuk kepentingan bisnis militer.

Kasus Pasuruan yang menewaskan empat orang warga Alas Tlogo Kec. Lekok dan melukai delapan orang lainnya yang di antaranya anak berumur lima tahun hanya menambah daftar kekerasan yang dilakukan militer di lapangan agraria.

Dalam catatan KPA, keterlibatan militer dalam sengketa dan konflik agraria di Indonesia merupakan kasus yang cukup tinggi. Dari 1.753 jumlah kasus agraria di Indonesia, sebanyak 59 kasus melibatkan TNI. Konflik agraria yang melibatkan militer dengan warga banyak dilatari oleh pengambil alihan tanah-tanah rakyat untuk kepentingan pembangunan infrastruktur seperti perumahan (home base) dan tempat latihan tempur serta usaha-usaha militer di lapangan agraria baik di sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan.

Keterlibatan militer dalam praktek penyelesaian konflik agraria selama ini, juga kerap menimbulkan kekerasan karena militer lebih menunjukkan perannya sebagai wakil dan "pengawal" dari mesin birokrasi dan modal, dari pada memihaki dan melindungi rakyat yang pada dasarnya berhak atas rasa aman.

Beranjak dari tingginya keterlibatan militer dalam konflik agraria di Indonesia, dan hampir semua konflik itu berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban dari pihak rakyat, maka Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Pemerintah segera mengidentifikasi, mengevaluasi dan menertibkan segala bentuk penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh militer di lapangan agraria yang sedang dikuasai oleh rakyat. Tidak boleh lagi ada penguasaan tanah oleh militer baik untuk kepentingan latihan perang, pembangunan perumahan (home base) apalagi untuk usaha-usaha di lapangan agraria.
  2. Seiring dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria, maka tanah-tanah yang dikuasai oleh militer yang berasal dari tanah-tanah rakyat yang penguasaannya diperoleh dari cara-cara kekerasan dan sedang dituntut oleh rakyat agar dijadikan objek land reform dan dikembalikan kepada rakyat.
  3. Sebagai bagian dari proses reformasi TNI/POLRI, maka TNI/POLRI tidak boleh lagi melibatkan diri dalam konflik agraria yang melibatkan rakyat versus pengusaha, warga versus pemerintah dan BUMN. Penggunaan kekerasan dan keamaan (security approach) dalam penanganan konflik agraria tidak akan menyelesaikan konflik agraria dan hanya melahirkan pelangggaran hak asasi manusia seperti penembakan, pembunuhan, penangkapan, intimidasi, dsb.
  4. Untuk mengatasi dan menyelesaikan ribuan konflik agraria di Indonesia, maka diperlukan lembaga khusus penanganan dan penyelesaian konflik agraria yang bersifat komite nasional. Selama ini konflik agraria yang diproses dalam peradilan umum hanya menempatkan rakyat pada pihak yang selalu kalah dan ruang rakyat untuk mengambil kembali tanahnya yang dirampas tidak ada.
  5. Terkait dengan kekerasan dan konflik agraria di Pasuruan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak pemerintah, DPR dan Komnas HAM untuk : 1) mengusut tuntas pelanggaran hak asasi manusia dan menyelesaikan proses hukum dalam mekanisme peradilan HAM bukan dalam peradilan militer. 2) Segera mengembalikan tanah rakyat, dan merelokasi tempat latihan tempur dari tanah-tanah milik rakyat.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk mendapat perhatian.

Jakarta, 1 Juni 2007
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

USEP SETIAWAN
Sekretaris Jenderal


Info lebih lanjut, hub :
Idham Asyad, Korbid Kampanye KPA ; 08152542914
Iwan Nurdin, Korbid Advokasi Kebijakan KPA ; 081548061079
Kunjungi : www.kpa.or.id



KORPS MARINIR DINAS PENERANGAN
Sabtu 2 Juni 2007

PENJELASAN DANKORMAR TENTANG KASUS GRATI

Pemberitaan mengenai insiden penembakan di Grati - Pasuruan dirasakan sudah semakin tidak seimbang, dimana pihak-pihak yang sama sekali tidak menguasai tragedi tersebut ikut memberikan (dis) informasi, pendapat, serta menyampaikan opini keliru kepada masyarakat.

  1. Tanpa mengurangi rasa keprihatinan yang mendalam atas jatuhnya korban, juga bukan maksud untuk mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan, namun kami merasa perlu menyampaikan kepada publik fakta-fakta yang terjadi, berdasarkan hasil investigasi Korps Marinir.
  2. Marinir sebenarnya tidak ada kaitan apa-apa dengan masalah pekerjaan lahan. Lahan itu luas sekali, ada sekitar 5.569 hektar.
    Jadi Marinir sebenarnya tidak mengerti soal adanya kerja sama yang seperti apa dan lain-lain. Marinir hanya, bagaimana mereka yang ada di Puslatpur Grati itu menyelenggarakan latihan-latihan terhadap pasukan yang dikirim ke sana.
  3. Marinir setiap hari memang mengeluarkan patroli pengamanan sektor. Tujuannya mengontrol agar rakyat tidak terus menyerobot masuk ke daerah latihan. Mereka itu sering menyerobot dan membuat bangunan-bangunan baru di atas tanah-tanah yang jelas-jelas itu milik TNI AL. Dan itu adalah area dari pusat latihan tempur. Juga mengontrol wilayah jika ada masyarakat yang menemukan granat, menemukan peluru mortir yang belum meledak, ada yang busung. Dan juga kadang-kadang mencegah karena rakyat juga sering-
    sering menebang pohon, ambil kayunya yang ada di Puslatpur, padahal pohon-pohon itu dipelihara untuk latihan untuk berlindung dan sebagainya.
  4. Jadi Marinir tidak melakukan bantuan kepada pihak manapun, kepada pihak swasta, misalnya itu yang sedang menggarap wilayah lahan Grati. Sebab kalau ada maksud untuk membantu seperti itu, tentu mereka datang dengan truk. Lho terus ngapain harus jalan kaki sejauh itu, sedangkan pada kejadian ini Marinir hanya melaksanakan patroli rutin, karena memang setiap hari
    mereka itu patroli. Tapi rutenya berubah-ubah. Jadi patroli berjalan kaki. Sedangkan pada kejadian ini, mereka baru tiba di tempat itu setelah berjalan lebih kurang 4 km, selama 2 jam berjalan. Jadi ini suatu fakta, tidak ada kita mau bantu, apakah katanya Citra Rajawali, Grati Agung, enggak ada urusan dengan itu semua. Marinir hanya jalan, patroli hanya untuk melindungi
    wilayah itu dari tadi yang saya katakan, ada yang menebang pohon, ada yang membangun bangunan-bangunan baru di wilayah lahan-lahan latihan. Itu khan membahayakan.
  5. Perlu diketahui sebenarnya hubungan Marinir dengan anggota masyarakat selama ini cukup dekat. Mereka ceritakan, seminggu sebelum kejadian itu, mereka datang ke Alastlogo karena ada undangan Kepala Desanya, Pak Ilham. Khitanan anaknya, kalau tidak salah. Dan juga sebagian anggota itu tinggal di sekitar Grati itu, berada di sekitar Grati, dan keluarganya juga ada yang tinggal di sekitar atau dekat dengan Alastlogo. Jadi mereka ini adalah orang-orang yang ada di sana, yang memiliki hubungan emosional dengan masyarakatnya.
  6. Seperti yang sudah dijelaskan pada beberapa kali dalam memberikan keterangan bahwa, patroli Marinir tidak di tempat kerumunan massa. Jadi setelah mereka jalan selama 2 jam, mereka tiba di tempat kerumunan massa di batas desa Alastlogo. Dengan tidak merasa curiga apa-apa, Komandan
    Tim Letnan Budi Santoso itu dengan beberapa anggota datang, merapat, mendekati masyarakat, membujuk mereka, buat apa bikin demo, khan kelihatan dari usaha mereka mau demo. Nyatanya usaha ini berhasil, sebagian buyar, ada yang pulang. Namun belum ada sepuluh menit kira-kira hal itu terjadi,
    seperti ada yang mengomando, mereka mulai menyerang, memukul kentongan, teriak-teriak, melempari batu ke arah Marinir. Patroli Marinir ini menghindar dengan cara
    mundur dan menjauhi tempat tersebut tapi terus dikejar, bahkan ada yang mau membacok dengan clurit. Orang yang membacok itu jelas diceritakan oleh anggota kita yang namanya Koptu Totok, orang itu menutup mukanya dengan sorban putih. Dia membacokkan cluritnya dari belakang. Setelah diteriaki oleh teman lainnya, itu dapat ditepis dengan menangkis dengan popor.
    Inilah kondisinya. Jadi anggota saat itu memar-memar, ada yang sudah berdarah di bagian pelipisnya, ada yang memar di lehernya kena batu, ada yang kakinya bengkak, tangan lain-lain di tubuh mereka. Ini semua jelas dan sudah dilakukan visum serta pemeriksaan.
  7. Anggota melakukan tembakan peringatan atas perintah Komandan Tim. Itu tembakan ke atas pada mulanya. Diharapkan massa itu yach berhenti untuk mengejar mereka, tapi nyatanya massa yang sudah lebih dari 300 orang itu terus menyerang dengan berani, dan ada yang meneriakkan di dalam rombongan itu, " Jangan takut, itu peluru bohong, itu peluru hampa, serang terus, jangan takut, kita atau Marinir yang mati!!" Jadi mereka meneriakkan kalimat-kalimat yang heroik begitu. Nah melihat kondisi inilah, untuk bisa meyakinkan massa yang terus maju dengan rapat, terus melempari, mengacung-acungkan clurit, parang, maka ada beberapa anggota yang menembakan senjatanya ke tanah. Mereka tembakkan ke tanah di sekitar tempat mereka dengan model dopping. Khan ada latihan model dopper. Perlu diketahui Marinir-Marinir di Puslatpur ini sebagian besar adalah pelatih-pelatih yang sering melayani latihan pasukan. Jadi mereka itu bisa bertindak sebagai
    Dopper yang menembakkan peluru ke tanah sehingga terjadi kebulan-kebulan tanah atau debu yang memperlihatkan bahwa itu bukan peluru bohongan, itu bukan peluru hampa. Jadi inilah yang kami duga dari akibat mereka tembak ke tanah. Setelah belakangan kita sinyalir bahwa tanah di situ banyak batunya, bebatuan, dari situ terjadi rekoset sehingga ada yang mengenai masyarakat di sekitar tempat kejadian.
  8. Akibat tembakan yang rekoset inilah sebenarnya terjadinya korban, dansetelah jatuhnya korban mereka baru berhenti dan mundur. Rasanya tentang penjelasan rekoset ini bisa dibuktikan dari beberapa hasil rontgen terhadap korban yang kemarin ditayangkan di TV dan tadi juga ditayangkan di TV bahwa proyektil yang ada di tubuh korban adalah serpihan, adalah peluru-peluru atau proyektil yang tidak utuh. Nah inilah yang menunjukkan bahwa bukan peluru-peluru yang ditembakkan langsung, jadi serpihan. Itulah kemarin ditanyakan oleh Metro TV, apa mungkin rekoset bisa mengenai ibu-ibu, anak kecil yang ada di rumah. Justru itu yang semakin fakta bahwa itu rekoset. Karena kalau bukan itu rekoset dan memang itu ditembakan, yach tentunya tidak ditembak ke anak-anak atau ke ibu-ibu. Itulah tandanya bahwa peluru itu tidak terarah, terbang sendiri, melenceng sendiri karena rekoset. Kejadian ini ada beberapa saksi mata yang netral, seperti ada orang-orang yang sedang bekerja di lahan. Dari mereka itu kita mendengar bahwa
    kejadian itu sangat menakutkan karena massa sangat beringas sehingga mereka lari dan bersembunyi. Mereka itu juga mengatakan, kasihan mereka melihat bapak-bapak Marinir dilempari seperti itu.
  9. Dari keterangan yang kami dapatkan di lapangan, kami merasa yakin bahwa kalau tidak dalam keadaan yang sangat memaksa, yang telah sangat mengancam jiwa mereka, para prajurit-prajurit Marinir ini, sebagai prajurit yang terlatih, tidak mungkin melakukan tembakan baik tembakan peringatan ke atas maupun peringatan ke bawah. Mereka menceritakan bahwa yang ada
    di benak mereka saat itu mereka akan menjadi korban seperti rekan-rekan Polri di Papua. Karena begitu kuatnya tekanan, lemparan terhadap mereka, bahkan acung-acung clurit. Walaupun mereka sebenarnya sangat menyesal setelah mereka tahu, bahkan sedih. Kenapa sampai ada jatuh korban dari masyarakat, padahal selama ini mereka sudah cukup baik dengan masyarakat di sekitar tempat itu. Tapi saya juga yakin bahwa korban itu terjadi karena peluru rekoset sebab bila tidak tentu yang tertembak adalah orang-orang yang menyerang mereka, yang menyerang dengan clurit, yang dekat dengan mereka. Tidak mungkin mereka menembak perempuan, anak-anak, seperti yang sudah kita lihat korban sekarang.

  10. Kami telah melakukan langkah-langkah hukum, yang segera bisa kami lakukan. Saat ini mereka telah kita serahkan kepada Polisi Militer. Dan Komandan Puslatpurnya kami ganti agar yang bersangkutan bisa lebih berkosentrasi memberikan kesaksian dan keterangan-keterangan, dan kami juga ingin agar Puslatpur tetap dapat berjalan, kegiatan-kegiatannya untuk melaksanakan latihan-latihan kepada prajurit-prajurit Marinir lain.
  11. Kami terkesan saat ini pemberitaan sangat tidak berimbang, terus menerus media mewawancarai masyarakat yang sudah rata bunyinya. Ada banyak sekali yang tidak masuk akal dari keterangan mereka. Dengan menyatakan, mereka tidak tahu apa-apa, tahu-tahu Marinir menembaki. Ini saya malah mengatakan, coba saja di psikotest anggota kami. Saya yakin mereka itu normal dan tidak ada yang gila seperti itu.

Apalagi tadi saya jelaskan bahwa mereka-mereka yang ke-13 orang ini ditetapkan sebagai tim patroli tetap, karena mereka itu memang orang-orang Pasuruan atau keluarganya ada di Pasuruan, sehingga mereka punya hubungan emosional dengan warga atau penduduk sekitar.

Dan ingat bahwa semua orang tahu bagaimana sikap Marinir selama ini kepada rakyat yang sampai kapan pun itu tidak akan berubah. Sehingga kalau kitalihat, kejadian ini benar-benar kejadian yang sangat memaksa mereka dalam membela diri. Mereka itu juga manusia biasa, punya hak untuk membela diri mereka. Inilah keterangan yang bisa saya berikan untuk sekedar menambah keterangan-keterang an terdahulu yang pernah saya berikan. Terima kasih.

Catatan : Penjelasan tersebut di atas sesuai dengan hasil rekaman asli

Satrio Arismunandar

Producer-News Division, Trans TV, Floor 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4026, Fax: 79184558, 79184627

http://satrioarismu nandar6.blogspot .com
http://satrioarismu nandar.multiply. com


FESTIVAL KESENIAN YOGYAKARTA XIX 2007


TONGUE IN YOUR EAR

Festival Puisi Nasional
23-24 Agustus 2007
Sasono Hinggil, Alun-alun Selatan Kraton

Peserta dari Yogya
• Faisal Kamandobat
• Afrizal Malna
• Bustan Basir Maras
• Hasta Indriyana
• T.S. Pinang
• Iman Budhi Santoso
• Joko Pinurbo
• Hamdy Salad

Peserta luar Yogya
• Aslan A. Abidin (Makassar)
• Agus Hernawan (Padang)
• Riki Dhamparan Putra (Denpasar)
• Jamal T. Suryanata (Banjarmasin)
• Irmansyah (Jakarta)
• Mardi Luhung (Gresik)
• Arie MP Tamba (Jakarta)
• Gus tf (Payakumbuh)
• Iyut Fitra (Payakumbuh)
• Hasan Aspahani (Batam/Kepulauan Riau)
• Marhalim Zaini (Pekanbaru)
• Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
• Toto ST Radik (Banten)
• Tan Lioe Ie (Denpasar)
• Wayan Sunarta (Karangasem)
• Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya)
• Ahda Imran (Bandung)
• Sindu Putra (Mataram)
• S. Yoga (Surabaya/Madura)
• Thompson Hs (Medan)
• Sihar Ramses Simatupang (Jakarta)
• Badruddin Emce (Cilacap)

Workshop Penulisan Kritik Sastra
23 Agustus 2007
Jam 09.00–16.00WIB
Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta
(Peserta Terbatas Undangan)

Pengisi Workshop
• Nirwan Ahmad Arsuka (Jakarta)
• Katrin Bandel (Yogyakarta)

Peserta Inti Workshop
• Zen Rachmat Sugito (Sejarah-UNY)
• Sudaryanto (Sastra-UNY)
• Hatib Abdul Kadir Olong (Sospol-UGM)
• Afthonul Afif (Alumni Psikologi-Unprok, S2-Sadhar)
• Fachruddin (Alumni Filsafat UIN)
• Ndika Mahendra (Sastra Indonesia-UNY)
• Muchlis Amrin (Sosiologi-UIN)
• Syamsul Bahri (S2- Sadhar)
• Muhamad Al-Fayed (Filsafat-UIN)
• Agus Sulistiyo (Komunikasi- UAJY)
• Syaiful Aminullah Ghofur (S2-UII)
• Gugun El-Guyanie (PPM Hasyim Asyari)
• Yusuf Siregar (Seni Lukis-ISI)
• Sukarni (Guru Bantu MAN 3 Yogya, Redaksi Majalah Remaja Kuntum)
• Fauzi Fazhri (Komunikasi- UMY)

Diskusi Sastra
Spirit Penciptaan dan Perlawanan: Menggugat Politik Estetik
Sastra Dekaden, Membangun Spirit Penyair Independen
24 Agustus 2007
Jam 10.00–13.00WIB
Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta

Pembicara
• Acep Zamzam Noor
• Afrizal Malna
• Aslan A. Abidin
• Gus tf
• Wowok Hesti Prabowo

Moderator
• Saut Situmorang

For more information, please contact:
FKY INFO CENTRE (0274) 587712
or Raudal Tanjung Banua 08122729237