KODE-4

Sunday, June 3, 2007

Ular itu (Ada dalam) Diri Kita


OLEH SUDARMOKO


Data buku

Judul : Ular Keempat
Pengarang : Gus tf Sakai
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : vii+196 halaman
Cetakan I : Oktober 2005

Novel Ular Keempat karya Gus tf Sakai merupakan sebuah novel yang mencoba untuk kembali memecah persoalan penting dalam adat Minangkabau. Cerita yang membungkus persoalan ini adalah sebuah kisah nyata tentang rombongan jemaah haji yang terjadi pada tahun 1970-an. Mereka dilarang untuk melanjutkan perjalanan haji karena mereka tidak melalui prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah, melalui departemen agama, dan juga karena ulah penyedia jasa perjalanan ibadah haji swasta. Namun, akhirnya mereka tetap melakukan ibadah haji dengan cara negosiasi dengan pihak kapal, yang menaruh perhatian terhadap perjuangan mereka. Dan juga ternyata bahwa pemerintah Arab Saudi menyambut mereka dengan penghormatan yang luar biasa, karena perjuangan yang telah mereka lakukan untuk sampai di tanah suci.

Pengisahan novel ini dilakukan dengan memutar kembali ingatan sang tokoh, Junir, yang sering kali menjemput ingatannya tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi di kampung halamannya semaca kecil. Dengan cara yang demikian, cerita bersesakan dengan berbagai setting yang pernah terjadi, keadaan sosial politik, peristiwa PRRI, romantisme kampung halaman, rindu dendam, dan juga persoalan demokrasi yang ada di Minangkabau, yang menjadi bagian penting di akhir novel ini.
Motivasi untuk menunaikan ibadah haji inilah yang menjadi pesan penting dalam novel ini. Di balik kisah dramatis rombongan haji dengan kapal Gambela, melalui penokohan Junir, digambarkan bahwa alasan untuk menunaikan ibadah haji adalah persoalan-persoalan di luar tuntutan ibadah. Pandangan masyarakat, misalnya, adalah salah satu alasan untuk meningkatkan prestige melalui ibadah haji. Hal ini tampaknya jamak dilakukan oleh masyarakat. Sebagain umat muslim berusaha untuk dapat melaksanakan ibadah ini dengan berusaha keras mencari bekal, menabung, dan segala macam usaha, demi tercapainya cita-cita melaksanakan haji.
Pun, bisnis perjalanan ibadah haji ini terbukti dari dulu hingga sekarang menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Tak jarang malah sebagian dari penyedia jasa perjalanan ibadah haji menipu calon jamaah haji, dengan berbagai cara. Seperti yang menyebabkan rombongan calon jemaah haji yang dipimpin oleh Junir ini, dalam novel ini, yang ternyata menjadi korban dari praktik penipuan oleh penyedia jasa perjalanan.
Haji menjadi ritual yang memiliki dampak nyata dalam masyarakat. Bahkan haji dapat mengalahkan ibadah yang lain semisal shadaqah, yang sebenarnya memiliki dampak sosial yang tinggi. Karena itu pula, tidak sedikit orang yang menunaikan ibadah haji berulang kali, sementara masyarakat sekitar masih diliputi dengan tekanan hidup yang menyesakkan.
Novel Ular Keempat, melalui penceritaan yang mengambil bentuk catatan perjalanan, ternyata berhasil membongkar situasi yang menelingkup bukan hanya masalah perjalanan haji dan soal kampung halaman si tokoh, namun juga dengan nada satir membongkar kebobrokan sistem pemerintahan Indonesia, terutama departemen Agama. Meski sindiran ini tidak secara khusus dibahas, namun di sana-sini pembaca dapat menangkap bagaimana sikap pemerintah yang menelantarkan jemaah hajinya. Pun demikian dengan bandingan yang diajukan dalam novel ini, bagaimana pemerintah Pilipina dan Singapura yang dengan baik melayani jemaah hajinya, walau mereka, umat Islam, bukanlah umat mayoritas dalam pemerintahannya yang sekuler.
Meski demikian, risiko dari bahan yang didapat dan menjadi alur dalam novel ini membuat cerita menjadi terbagi dalam episode-episode atau babakan. Fokus pada cerita utamanya seakan merupakan spiral yang melingkar-lingkar. Pendalaman psikologis atas tokoh dan penokohan menjadi kurang terdalami, kecuali kita melakukan pembacaan yang seksama pada pikiran-pikiran dan perasaan yang dialami tokoh dan kemudian dituliskannya pada catatan-catatan harian itu. Pada beberapa bagian, terutama pengalaman masa kecil tokoh utama, memang membuat sebuah alasan atau motif pada bangunan penokohan yang dilakukan oleh pengarang. Dan dari sini sebenarnya semua permasalahan yang dialami tokoh utama berlangsung.
Dendam masa lalu menjadi sebuah upaya untuk melakukan sesuatu yang sangat berarti pada masa depan. Dengan kata lain, masa lalu menjadi bagian yang berpengaruh dalam diri seseorang atau entitas. Hal ini pula yang secara tersirat ingin dilakukan, menurut pendapat saya, oleh pengarang novel ini dari kedua novel terakhirnya. Ingatan-ingatan masa lalu ini seakan menjadi usaha untuk menolak amnesia sejarah yang sering kali menyebabkan kesalahan-kesalahan terus berulang di masa depan. Bahkan kesalahan-kesalahan yang semestinya dapat dihindari. Demikianlah, catatan-catatan yang dengan pasti mencantumkan tanggal dan tempat memberi nuansa lain dalam novel ini.
Termasuk juga niatan atau motif yang dimiliki oleh Junir, tokoh utama yang sepanjang cerita sepertinya memiliki pribadi saleh, dengan kepemimpinan dan perjuangannya dalam menghadapi rintangan dalam melaksanakan dan menyempunakan ibadah hajinya. Namun pada akhir cerita, pribadi Junir ternyata tak lebih dari sebuah pribadi yang melaksanakan ritual itu karena sebab dendam masa lalu, karena ular keempat yang ditunggu-tunggunya dari pesan yang disampaikan oleh Syekh Muqri, ternyata adalah dirinya sendiri, dalam bentuk motivasi, niat, dan terutama pandangannya dalam melakukan segala sesuatunya. Keinginan yang terus menerus untuk dapat melaksanakan ibadah haji setiap tahun, sementara anak buah yang bekerja di usahanya, atau masyarakat sekitarnya masih saja didera penderitaan dan kekurangan. Ular, dalam novel ini, merupakan representasi dari setan, nafsu, dan obsesi-obsesi jahat yang mesti disingkirkan.
Adakah novel ini berbicara tentang mentalitas bangsa kita yang menganggap dirinya religius dan sekaligus saleh secara sosial dan individual? Sebuah bangsa yang kontradiktif dalam segala aspek dalam kehidupannya, apalagi fondasi yang selalu didengung-dengungkan adalah sebuah bangsa yang mengidentifikasikan dirinya atas nama agama, demi agama, dan mempraktikkan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Menariknya, novel ini mampu memainkan emosi karena pengalaman dan peristiwa yang ada di dalamnya. Sementara itu, pembaca dapat membandingkan bacaannya dengan realitas yang terjadi, sembari membaca diri dan masyarakat sekitar, karena persoalannya yang begitu dekat dan nyata.***
Sudarmoko, alumnus Department of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, peminat masalah sastra dan budaya, tinggal di Padang.

No comments:

Post a Comment