KODE-4

Monday, June 11, 2007

Rusli Marzuki Saria

Sastrawan Sumbar Kesepian di Rumah Sendiri
Sumatera Barat (Sumbar) hari ini memerlukan sejumlah penerbitan yang memadai guna memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan dunia sastra di daerah itu. Sejumlah sastrawan menilai, tanpa itu dunia sastra di Sumbar tidak akan beringsut.

Maka tidak heran, sastrawan di `gudang sastra', kini merasa kesepian. Sepi di rumah sendiri. Tulisan banyak, penerbit tidak ada. Untuk perintang-rintang tangis, untung ada Yayasan Citra Budaya (CBI) yang selalu siap penerbitkan karya-karya sastra. Tapi, untuk menerbitkan sebuah buku, perlu uang. Cerita sesungguhnnya dimulai dari sini.
Padang, Sumatera Barat (Sumbar) umumnya, adalah daerah yang `hiruk-pikuk' oleh karya sastra. Hiruk di dalam, tapi sepi keluar. Jakarta adalah kiblat yang sepertinya tidak terpanjat. Beberapa orang yang berhasil adalah Wisran Hadi, Harris Effendy Tahar, Darman Moenir, Gus Tf Sakai, Yusrizal KW, Ode Barta Ananda, Asril Koto, Iyut Fitra, Heren Yahya, Khairul Jasmi, Agus Hernawan, Yusril Ardanis dan sedikit nama lainnya. Berhasil menghadirkan buah karyanya di koran Jakarta, tapi tidak semua berhasil masuk percetakan.
Mereka tidak bisa membawa buku pulang ke rumah. "Saya punya percetakan yang kami dirikan bersama beberapa teman, tapi order mencetak buku sastra sangat sepi," kata sastrawan Yusrizal KW.
Menurut Yusrizal KW, begitu ia disapa, jumlah karya yang dilahirkan sasrtawan/penyair Sumbar berbanding terbalik dengan buku yang bisa mereka cetak. "Di sini hanya Citra Budaya satu-satunya percetakan yang memberikan atensi kuat pada dunia sastra," kata KW. Menurut dia, dengan jumlah karya yang banyak tapi tidak ada penerbit, maka hal itu merupakan satu kerugian besar bagi sastrawan Sumbar.
Tapi, KW mungkin lupa, nama penerbit sangat berperan dalam memberi bobot pada satu buku. Biasanya buku atau antologi yang diterbitkan di Jakarta dinilai lebih bagus ketimbang yang diterbitkan di daerah. Karena itu, orang lebih memilih Jakarta. Namun persoalan baru muncul, ongkos cetak sebuah buku di Jakarta lumayan mahal.
Dibanding Yogyakarta dan Bandung misalnya, Padang memang tertinggal dalam bidang percetakan, apalagi dengan Jakarta. Ketertinggalan itu, bisa jadi karena sastrawan tidak memerlukan ada percetakan di dekatnya. "Tidak begitu, saya justru melihat percetakan itu penting," kata penyair Asril Koto. Ia sependapat dengan Yusrizal KW, bahwa kesannya sastrawan dan penyair Sumbar saat ini, kesepian di rumahnya sendiri.
"Untuk jadi sastrawan hebat dan orang hebat tidak perlu merantau," kata almarhum AA Navis. Navis memang tidak pergi merantau, tapi hampir semua karyanya dicetak di rantau. Wisran Hadi, Harris, Darman dan Gus Tf juga mengantarkan karyanya untuk dicetak keluar Padang, walau mereka menetap di Padang.
Gus Tf, menetap di Payakumbuh, sebuah kota kecil di utara Padang, tapi namanya melampauai batas provinsi. Ia menjadi besar karena karyanya, bukan karena tempat tinggalnya. Ismet Fanany, tinggal di Australia, tapi urang awak ini tetap mengalirkan kebudayaan Minang dalam karya-karyanya, paling tidak dalam bathinnya.
Hari ini, sejumlah nama menghiasi dunia sastra Sumbar. Sekedar menyebut nama ada Agus Hernawan, Yetty AK, Sondri BS, Yonda Siska, Yung Ster Twin dari generasi terakhir. Nama lain—tanpa mempedulikan generasi—Gus tf, Yusrizal KW, Iyut Fitra, Upita Agustina, Nita Arifin, Syarifuddin Arifin, Abbar Khaiul Ikhirma, Inriani, Asril Koto, Eddy Pranata, Edy Sumanto, Dasril Achmad, Irmansyah Ucok, Alwi Karmena, Pinto Janir, Andri Sandra, Yusril Katil, Yulizar Nassa, Prel T, Free Hearty, Sastri Yunizarti Bakri, Luzi Diamanda, Maifirizal, Eddie MNS Soemanto, Zurianti, M.Isa Gautama, Rudi Rusli, Yusril Ardanis serta sejumlah nama lainnya. Mereka adalah orang-orang yang memberi warna pada konfigurasi dunia sastra di Padang saat ini.
Pada level kritikus ada Prof Hasanuddin WS dan Ivan Adilla, dua nama yang masuk satu langkah di belakang almarhum Prof Mursal Esten. Keduanya mungkin bisa secara bersama-sama mewakili Mursal Esten, tapi belum seorang pun yang bisa mewakili AA Navis yang meninggal dunia Maret 2003 lalu.
Hari ini ada `orang tua' Rusli Marzuki Saria (Papa) yang mengawal gerak-gerik para sastrawan, terutama penyair di Padang. Papa, senantiasa hadir menyemangati generasi penerusnya, meski ia sendiri telah kehilangan halaman budaya di sebuah koran di Padang, karena ia pensiun dari situ.
Tapi, menurut redaktur budaya sejumlah koran Padang, jumlah puisi dan cerpan yang masuk sangat banyak. "Di meja saya menumpuk naskah cerpan dan puisi," kata redaktur budaya Harian Singgalang Achjar Sikumbang. "Ya, banyak soal kualitas saya tidak mau bicara," kata Redpel Mimbar Minang Eko Yance Edrie.
Cerpenis, penyair di Sumbar saat ini berebut di lahan yang sempit. Di Padang hanya ada koran Haluan, Singgalang, Mimbar Minang dan Padang Ekspres yang menyediakan halaman sastra sekali seminggu. Artinya, hanya ada empat halaman, untuk puluhan cerpenis dan penyair.
Menariknya, orang sekaliber Gus Tf, Yusrizal KW, Harris Effendy Tahar dan beberapa nama lainnya, tidak punya waktu untuk menulis di koran lokal. Bisa jadi mereka memang sibuk, bisa pula karena tidak lagi menganggap koran lokal. Semua kemungkinan bisa muncul.
Tapi apa salahnya berbagai kemungkinan itu? Tak salah. Jika mereka merebut pula halaman sastra koran Padang, lalu para pemula mendapat apa? Redaktur budaya pastilah akan memilih karya Gus Tf, Yusrizal KW terlebih dahulu ketimbang seorang pemula.
Pada suatu ketika, beberapa bulan silam, para penulis (90 persen sastrawan) Sumbar diudang oleh pemimpin redaksi Harian Media Indonesia untuk beramah tamah di sebuah hotel di Padang. Dalam pertemuan itu terungkap para sastrawan meminta penambahan halaman sastra, sebab dinilai sangat sedikit.
Selain sedikit, kesempatan untuk orang Padang juga kecil sekali. "Kalau mau banyak buat saja koran sastra," celetuk seorang teman ketika itu. Menurut teman ini, karya sastra hanya dibaca oleh kalangan sastrawan sendiri. Tidak oleh orang lain. Pendapat itu tentulah salah. Tapi patut juga direnung-renungkan.
SUMBER Republika, Minggu, 07 Desember 2003, (Khairul Jasmi)

No comments:

Post a Comment