KODE-4

Sunday, June 10, 2007

Minangkabau, Balok Es yang Meleleh



OLEH Nasrul Azwar


Suatu hari teman saya mem-posting sebuah cerita
ke e-mail saya. Inti cerita di e-mail itu katanya, penting untuk melihat kondisi masyarakat Minangkabau, baik yang ada di rantau maupun di kampung halamannya. Cerita e-mail teman saya itu begini:

"Usman Chaniago, seorang pemuda bekerja sebagai supir camat di Payakumbuh. Suatu hari ia minta berhenti karena akan merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Usman Chaniago menganggap, menjadi supir camat tidak bergengsi dan dipandang rendah di kampungnya. Lalu dia merantau ke Jakarta seperti kebanyakan pendahulunya. Mula-mula dia bekerja sebagai tukang kantau di Tanah Abang. Perlahan-lahan, Usman Chaniago dapat mengumpulkan sedikit modal, lalu dimulai pula menggelar dagangannya di pinggir jalan di Tanah Abang.

Nasib rupanya memihak kepadanya, beberapa tahun kemudian dia berhasil memiliki kios kain di dalam pasar. Dia pun berkeluarga dan memiliki 2 anak. Tahun ini dia membangun rumah di Depok, di lingkungan perumahan dosen UI. Karena tetangganya semua akademisi, macam-macam gelarnya terpampang di pintu rumah mereka: ada Prof, Phd. M.Sc, M.Si, dan lain-lain. Usman Chaniago merasa malu kalau papan namanya tidak tercantum gelar seperti tetangganya.

Dibuatlah papan nama dari perak, dipesan dari Koto Gadang, salah satu nagari di Kabupatena Agam yang terkenal dengan kerajinan peraknya, dengan nama Dr. Usman Chaniago M.Sc. Ketika ayahnya datang berkunjung ke rumahnya, taragak hendak berjumpa dengan cucunya, sambil bangga dia bertanya di mana anaknya kuliah, sebab setahu ayahnya, anaknya hanya berdagang. Dengan malu-malu Usman Chaniago menerangkan gelarnya di papan nama: "Disiko Rumahnyo Usman Chaniago Mantan Supir Camat dengan singkatan Dr. Usman Chaniago M.Sc."

Saya tersenyum habis membaca e-mail itu. Di dalamnya ada persoalan kreativitas dan kekonyolan, juga ada "nilai" yang menyangkut prestise dan pentingnya "status" sosial di tengah masyarakat.

Sisi lain, bisa jadi Usman Chaniago beranggapan tidak perlu membeli gelar dengan menghabiskan uang yang sesungguhnya dia sendiri mampu membeli gelar itu. Baginya, yang penting ada persamaan status "sosial" di lingkungannya, walau ia menyadari sebenarnya itu bukan gelar yang mesti diraihnya dengan kuliah.

Pelabelan identitas "baru" di awal dan belakang namanya, tak lebih dari sekadar "main-main". Toh, walau ada label "akademis" itu, Usman menyadari "gelar" itu tidak pernah membawa berkah menjadikan dirinya sebagai keynote speaker dalam sebuah seminar, kongres atau sejenis ini. Bisa juga, Usman Chaniago sedang menertawakan dirinya, atau barangkali kaumnya, atau Minangkabau itu sendiri - yang kadang dinilainya tidak lagi rasional menghadapi persoalan.

Ilustrasi di atas sebuah anekdot. Barangkali banyak anekdot serupa dengan versi yang lain yang pernah kita dengar. Namun, bukan itu yang dipersoalkan. Dari kaca mata ilmu tanda, ia mengemban makna referensial. Makna yang ada di dalam teks melekat di luar teks itu sendiri. Mereferensi. Penanda yang terkait dengan karakter, sifat, dan nurani purba manusia, dan untuk konteks anekdot di atas, penandanya adalah masyarakat Minangkabau: ada identitas etnis yang dapat diidentifikasi di dalamnya.

Anekdot, bagi yang tertarik dengan "dunia" ini, jika ingin memahami dan mendalami karakter etnis tertentu, bisa masuk lewat pintu anekdot seperti ini. Dalam dunia folklor, anekdot kayak begini menjadi determinatif. Kemunculan sebuah anekdot tentu memiliki latar belakang. Ada alasan "tertentu" munculnya anekdot. Dan dapat juga ia muncul karena benar-benar terjadi. Makanya, ia tampak penting dalam membaca karakter, pola pikir, dan etnis tertentu.

Etnis Minang saat sekarang adalah sekumpulan massa yang teridentifikasi karena adanya perjalanan bangsa ini. Ia sekumpulan massa yang diikat dalam sistem yang diciptakan sendiri. Sistem yang muncul itu, bisa jadi karena etnis Minang memiliki peran di dalamnya. Posisi dalam peran itu, pada periode tertentu mendominasi perjalanan bangsa ini, pada periode lain tersubordinatif, atau malah termajinalkan dan tidak dianggap. Namun demikian, etnis Minang tetap meyakini sebuah identitas. Identitas ini menjadi senjata yang diusung kemana-mana. Identitas dihadirkan sebagai singasana yang agung.

Minangkabau yang diaktulisasikan pada saat sekarang adalah Minangkabau sebagai identitas rekayasa jenetikal. Hasil dari proses kulturalistik yang dibangun dengan mengunakan tangan-tangan hegemonik. Kehadiran Minangkabau tidak lagi dilihat dalam posisi perannya yang sangat determinatif dalam policy publik, bukan tersebab dominasi pemikiran dalam nation building. Eksistensinya tidak lebih kerena etnis ini masuk dalam hitungan jumlah suku-suku yang ada di Indonesia ketika seorang guru sekolah dasar mengajarkan sejarah. Tak lebih sebagai hafalan bagi murid sekolah dasar. Dalam perspektif demikian itu, sesungguhnya Minangkabau telah terkubur. Telah tiada.

Minangkabau dalam garis kulturalnya telah tiada, tetapi dalam batas administrasi yang disebut dengan Provinsi Sumatra Barat masih ada. Antara Minangkabau dalam garis kutural dan Sumatra Barat dalam batas administrasi dalam kaca mata budaya adalah dua dunia yang berlainan. Yang diaktulisasikan sebagai Minangkabau pada saat sekarang adalah "Minangkabau" dalam garis administrasi tadi. Sedangkan Minangkabau dalam garis kultural sudah menjadi teks-teks sejarah yang telah lama terlewati. Minangkabau garis kultural telah ditelan oleh Minangkabau batas administratif.

Minangkabau batas administratif berkaitan dengan kekuasaan dan hegemonik negara. Eksistensinya berada dalam cengkeraman dan berkaitan dengan wilayah hukum negara. Minangkabau garis administratif (Sumatra Barat) kekuasaan tertinggi ada di tangan gubernur dan seterusnya ke tingkat bupati/walikota, camat, dan wali nagari/lurah.

Selanjutnya, pemimpin informal Minangkabau yang direpresentasikan sebagai kekuatan daya jelajah keintelektualannya yang pernah berjaya di masa lalu, kini tidak lagi memperlihatkan homologinya (hubungan sinkronis di mana struktur-struktur sosial, nilai-nilai sosial, dan simbol-simbol kultural dikatakan cocok satu sama lainnya). Kehilangan homologi ini disebabkan negara (Minangkabau administratif) telah ikut serta menginvasi secara sistematis Minangkabau garis kultural. Peran kunci pemimpin informal di tengah kaumnya telah direbut oleh aparatur negara. Aparatur itu bisa jadi polisi, satuan polisi pamong praja (Satpol PP), dan lain sebagainya yang bertindak dengan simbol-simbol kekuasaan negara.
Nasrul Azwar, Minangkabau, Balok Es yang Meleleh
Pada wilayah policy publik berkaitan dengan keperluan legitimasi kultural-politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Minangkabau administratif perlu mengaturnya dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Munculnya perda kembali ke nagari, perda penyakit masyarakat, ranperda tanah ulayat yang pernah menjadi polemik itu, dan perda-perda lainnya merupakan indikator dan bukti konkret bahwa negara berada dalam garis terdepan mengatur narasi besar tentang proses keberlangsungan kultural Minangkabau. Seterusnya, pada tingkat pemerintahan paling bawah yaitu nagari juga menerbitkan peraturan nagari. Minangkabau administratif telah merayakan perannya sebagai dalam wilayah materialisme kultural.

Pada batas yang demikian, sesungguhnya di Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme.

Pembagunan pasar dan hotel yang diidentikkan dengan ikon kota metropolitan menjadi persyaratan utama menuju kota modern. Para bupati dan wali kota yang berkuasa di wilayah Minangkabau dalam garis administrasi itu setiap hari meneriakkan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di wilayah hukumnya. Kebijakan penguasa tidak lagi mempertimbangkan jeritan pedagang-pedagang kecil. Jika muncul gejolak di tengah masyarakat menolak kebijakan penguasa itu, maka stigma langsung dilekatkan kepada mereka: menghalangi investor masuk ke daerah.

Minangkabau sekarang adalah Minangkabau yang berada dalam cengkeraman gurita konglomerasi-konglomerasi urban yang bertindak sebagai titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai aktivitas ekonomi yang beragam. Minangkabau telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi, distibusi, dan sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul pertukaran informasi dan proses pembuatan keputusan.

Minangkabau telah berada pada titik nadir, dan jelas sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Dari itu pula, wilayah publik, wilayah anak nagari, dan wilayah yang lainnya yang selama ini berada di tangan penguasa sudah saatnya dikembalikan ke dalam wilayah kultural Minangkabau.

"Perlawanan" yang paling dimungkinkan adalah dengan penguatan institusi informal, melakukan bargaining power terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa Minangkabau yang administratif itu. Memperjelas wilayah-wilayah yang pantas disentuh tangan penguasa, dan mempertajam kembali simpul-simpul kultural yang selama ini dimatikan oleh sistem kekuasaan.

Selain itu, penguasa Minangkabau administratif itu harus mempertegas dirinya untuk tidak menyentuh wilayah-wilayah yang sesungguhnya bisa digerakkan oleh sistem yang berjalan secara kultural. Jika tidak demikian, maka jadilah kita Usman Chaniago baru.***

No comments:

Post a Comment